Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Sejarah berdirinya koperasi di Eropa pada abad ke-19 merupakan satu bentuk perlawanan kaum buruh dan petani yang tertindas oleh sistem kapitalis pada masa itu. Akibat proses industrialisasi, kapital menjadi kekuatan dalam kehidupan ekonomi. Berkembangnya kekuatan kapitalis dalam perekonomian, menyisakan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Di perkotaan, kaum buruh yang menjadi korban industrialisasi, merupakan kelompok yang terpinggirkan. Polarisasi antara pemilik modal dan pekerja, merupakan realitas saat itu.
Koperasi merupakan alat bagi kaum buruh dan petani di Eropa untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Hasilnya, koperasi di beberapa negara Eropa saat ini merupakan pelaku usaha yang diperhitungkan dalam sistem kapitalisme. Koperasi di berbagai bidang dan industri yang bergerak di bidang ritel, pertanian, keuangan, manufaktur, merupakan pemain yang menentukan dalam perekonomian nasional.
Kontribusi koperasi terhadap perekonomian menjadi signifikan. Di Jerman misalnya, 60% pangsa pasar kredit di negara berpenduduk sekitar 85 juta jiwa itu dikuasai oleh koperasi. Di Norwegia, koperasi susu berkontribusi 99% dari total produksi susu.
Di Denmark, hampir semua pertokoan dan bank milik koperasi. Di Swedia, koperasi konsumennya mampu mendirikan pabrik sendiri. Di Italia, koperasi juga bergerak di bidang industri, selain di bidang pertanian, perbankan dan ritel. Koperasi yang sukses bukanlah sesuatu hal yang langka ditemukan di negara-negara Eropa saat ini.
Ada kesamaan situasi Eropa pada abad ke-19 dengan situasi Indonesia saat ini. Penguasaan Oligarki di bidang ekonomi dan politik di Indonesia saat ini bisa disamakan saat awal berkembangnya kapitalisme di Eropa. Ada dua kelompok saat itu di Eropa, kaum minoritas yang menguasai kapital dan kelompok masyarakat miskin dari golongan buruh dan petani. Begitu juga halnya di Indonesia.
Ada segelintir masyarakat oligarki yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan selebihnya masyarakat pekerja, petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di Eropa ada ketidakpuasan terhadap kaum kapitalis pada masa itu.
Di Indonesia, ketidakpuasan disuarakan kepada kaum oligarki, yaitu segelintir orang yang mega kaya. Di Eropa, ada ketimpangan ekonomi dan sosial pada masa itu.
Di negeri ini, ketimpangan ekonomi juga terlihat jelas, yang ditunjukkan oleh angka ratio Gini sebesar 0,77 (Suissie Credit, 2022). Ketidakpuasan terhadap kelompok oligarki bukan saja ditunjukkan oleh petani dan kaum buruh, tetapi juga oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia, baik dari golongan pekerja maupun kelompok pengusaha. Mereka mengharapkan keadilan dalam pembagian kekayaan negara.
Di Eropa, tuntutan perubahan nasib diwujudkan melalui prinsip “menentukan nasib sendiri, bertanggungjawab atas diri sendiri, mengatur diri sendiri”. Dalam dunia koperasi, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan arus bawah” (bottom-up approach).
Kaum buruh dan perani di Eropa saat itu menggunakan koperasi sebagai kendaraan mereka untuk bangkit dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Koperasi waktu itu memang tumbuh dari masyarakat. Koperasi di Eropa ditujukan untuk merubah nasib rakyat. Tujuan koperasi memang benar-benar untuk kesejahteraan anggotanya. Bantuan pemerintah untuk membangun gerakan koperasi boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Gerakan koperasi di Eropa sepenuhnya gerakan swadaya masyarakat.
Berbeda dengan perkembangan koperasi di Indonesia. Pendirian dan pertumbuhan koperasi banyak melibatkan campur tangan pemerintah. Hal ini sangat nyata terlihat pada masa pemerintahan orde baru. Koperasi, terutama Koperasi Unit Desa (KUD), digunakan untuk mensukseskan program-program pemerintah. Semangat swadaya anggota saat itu sangat lemah. Koperasi lebih banyak mengurus kepentingan pemerintah, sehingga kesadaran akan manfaat koperasi sebagai kendaraan masyarakat untuk mengubah kondisi sosial dan ekonomi juga rendah.
Sekaranglah saatnya bagi masyarakat Indonesia yang berada di luar lingkaran kaum oligarki untuk bangkit menentukan nasibnya sendiri. Masyarakat perlu meninggalkan mentalitas “ketergantungan”. Meniru pengalaman di Eropa, masyarakat harus berani untuk bangkit. Kondisi yang tidak puas terhadap sistem oligarki bisa diatasi dengan menggunakan koperasi sebagai kendaraannya untuk mengangkat kesejahteraan.
Pemerintah harus memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan koperasi dalam mengambil peluang-peluang ekonomi di negara ini. Koperasi juga perlu diberikan ruang untuk masuk ke semua sektor produksi di negara ini.
Koperasi harus dibudayakan sebagai “gerakan” masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, kecemburuan sosial terhadap kelompok oligarki akan bisa dihindari, sehingga tercipta keadilan yang sebenarnya di Tanah Air Indonesia tercinta. Belajar dari pengalaman di Eropa, bukannya tidak mungkin Koperasi di Indonesia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kelompok Oligarki yang saat ini menguasai negeri ini.
Beritaneka.com—Gunung Marapi yang berada di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat mengalami…
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Letnan Jenderal TNI Maruli Simanjuntak sebagai Kepala Staf Angkatan Darat…
Beritaneka.com—Sebanyak 253 juta data pemilih di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bocor dibobol hacker. Namun setelah…
Beritaneka.com—Demonstrasi berupa unjuk rasa besar-besaran warga masyarakat dunia telah berlangsung di pelbagai belahan dunia, bahkan…
Beritaneka.com—Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengingatkan kepada penguasa untuk tidak kembali pada masa Orde Baru…
Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan tidak memberi bantuan hukum kepada Firli Bahuri (FB) yang saat…