Categories: OPINI

Melawan Wabah Virus Pertambangan

Oleh: Merah Johansyah, Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Beritaneka.com—Pandemi Covid-19 akan diingat dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bercak-hitam. Namun, sejatinya bencana akibat Covid-19 ditimbulkan dan datang bersamaan dengan Bencana-Bukan-Alami ciptaan ekstraktivisme tambang. Berlangsung lebih dari setengah abad di bawah kendali para pengurus publik, gelombang penyebaran dan pendalaman kerusakan dari wabah virus pertambangan berlangsung 24 jam sehari, tanpa hari libur dan tanpa kurva yang melandai.

Kesengsaraan, rusaknya hutan, margasatwa, kampung-halaman di setiap pulau, tamatnya sumber-sumber air kehidupan, meredupnya masa depan negeri dan bangsa sebesar ini akibat wabah virus pertambangan, akan melekat bersama kehidupan sehari-hari warga Indonesia. Bukan untuk satu-dua tahun seperti layaknya prediksi masa mewabahnya covid-19, tapi untuk sebuah kurun waktu yang bahkan terlalu jauh ke depan.

Daya rusak pertambangan beroperasi selayaknya wabah virus. Virus pertambangan akan mencari inang untuk tetap hidup, dengan hinggap dan menggerogoti ruang hidup warga, mengubahnya menjadi konsesi pertambangan. Daratan Kepulauan Indonesia yang tengah diserang oleh kerumunan virus pertambangan adalah seluas 68,9 juta hektar terdiri dari perizinan pertambangan panas bumi, mineral dan batu bara serta minyak bumi dan gas alam.

Virus pertambangan –seperti halnya virus COVID-19– juga bermutasi dalam perkembangannya. Cara virus pertambangan bermutasi salah satunya melalui pengenalan bahasa-bahasa yang terdengar baik dan ramah guna membalut bahayanya virus tambang ini, seperti tambang hijau (green mining) dan tambang yang berkelanjutan (sustainable mining).

Mutasi virus tambang lainnya adalah strategi industri ini dalam bermuslihat dengan warga melalui apa yang disebut tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang merupakan upaya “suap” untuk mendapatkan persetujuan warga. Tipu muslihat industri tambang terhadap publik bermutasi dari waktu ke waktu, agar virus pertambangan menjadi lebih mudah menginfeksi dan diterima tanpa sadar oleh warga.

Termutakhir, mutasi virus pertambangan adalah melalui cara menunggangi mesin-mesin politik elektoral. Sehingga politik elektoral, baik itu pilkada maupun pemilu, bukan hanya menjadi ajang para politisi berebut jabatan dan kekuasaan, namun sekaligus merupakan kesempatan bagi pebisnis tambang mendapatkan jaminan politik bagi bisnis mereka. Sejumlah regulasi dan kebijakan yang dilahirkan dari hasil penunggangan virus tersebut berfungsi sebagai carrier atau ‘sarana penularan’ bagi industri bongkar dan keruk bernama pertambangan.

Para politisi dan pengurus publik yang terlibat dalam politik elektoral tersebut kemudian berubah menjadi budak dari partai politik hingga menerbitkan kebijakan serta izin yang menjadi carrier virus. Virus menyelinap masuk dan menyasar kampung dengan carrier perundang-undangan dan regulasi tanpa ada hambatan berarti. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Cilaka) maupun Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru disahkan oleh pemerintah Indonesia adalah carrier bagi virus pertambangan untuk dapat mengendalikan wilayah yang hendak ditulari.

Operasi virus pertambangan dalam tubuh alam dan rakyat menyebabkan ‘rontok’ dan ‘ambruknya’ imunitas atau daya tahan sosial-ekologis di suatu wilayah atau kesatuan sosial-ekologis menyejarah. Imunitas sosial dan ekologis warga ‘digerogoti’ melalui perusakan terhadap sumber air warga, perampasan tanah, pembongkaran hutan dan pelenyapan biodiversitas hingga penghilangan solidaritas sosial dan pengetahuan leluhur di suatu tempat. 

Sama halnya dengan virus covid-19, virus pertambangan tidak bisa diatasi dengan hidup berdampingan dan berdamai dengan virusnya seperti anjuran sesat pengurus publik. Tidak ada vaksin yang dapat mempertebal imunitas warga untuk bertahan dari virus pertambangan. Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan agar terhindar dari virus pertambangan adalah dengan melakukan lockdown atau mengunci wilayah sebagai bentuk boikot terhadap penularan virus pertambangan dengan berbagai carrier-nya yang datang masuk ke kampung.

Sembari melakukan lockdown, daya tahan sosial-ekologis mesti ditingkatkan hingga mencapai stamina yang prima. Jika imunitas sosial-ekologis suatu komunitas sehat dan kokoh, maka penularan virus akan dapat ‘ditangkal’ untuk mencegah perluasan daya rusak virus pertambangan pada seluruh tubuh kampung.

Contoh lockdown wilayah yang dilakukan warga kampung, salah satunya bisa ditemukan di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Mayoritas warga yang bergantung pada pertanian dan perikanan ini, telah dua kali berhasil menghentikan upaya perusahaan tambang. Mulai dari PT Derawan Berjaya Mining yang menambang pasir krom pada 2015 lalu; dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, selama 2018-2020. Keberhasilan warga menghentikan kedua perusahaan itu penuh dengan risiko dan pengorbanan. Mulai dari intimidasi, kekerasan, pelecehan dan kriminalisasi.

Dalam melawan PT GKP ada 27 warga yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mengada-ada. Mulai dari menghalang-halangi aktivitas tambang, pencemaran nama baik, penganiayaan, hingga perampasan kemerdekaan seseorang. Atas pengawalan polisi, PT GKP juga tiga kali menyerobot lahan warga. Akibatnya tanaman jambu mete, cengkeh, pala, dan kelapa — sebagai sumber penghidupan utama — dirusak.

Namun demikian, tak ada pilihan lain bagi warga jika tidak mau kehilangan sumber penghidupan utama. Apalagi, pemerintah daerah dan aparat keamanan condong berada di pihak perusahaan. Maka, solidaritas sosial antar warga kampung pun digalakkan, bahkan terhubung hingga ke Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara dan Jakarta. Solidaritas antar-warga inilah yang meningkatkan imunitas sosial-ekologis warga.

Tak hanya warga Pulau Wawonii, model penguatan imunitas warga yang serupa bisa kita temukan di Lamaknen, Kabupaten Belu dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah-wilayah itu, keberadaan pengurus negara dan perusahaan tambang nyaris tidak bisa menularkan wabah virus pertambangan di hadapan kuatnya imunitas warga kampung dan kota yang teroganisir. Gereja Katolik di dua wilayah itu berperan penting dalam menguatkan imunitas warga. Mulai dari pendampingan warga – yang merupakan umat gereja itu sendiri – hingga menekan otoritas lokal melalui aksi langsung dan bentuk perlawanan lainnya. Sehingga, wabah virus pertambangan berhasil dipukul mundur dari dua wilayah itu.

Jika di Wawonii, Belu, dan Manggarai warga mengandalkan gerakan massa yang teroganisir, pola lockdown berbeda dapat kita temukan di Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Aktivitas penambangan batu kapur di pegunungan karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia (sebelumnya bernama PT Semen Tonasa) dan PT Semen Bosowa yang terus merusak membuat warga di Desa Salenrang bergerak melawan ekspansi penambangan ke wilayah mereka.

Perlawanan yang dilakukan warga setempat, dimulai dengan merebut kembali (reclaiming) sebagian kawasan karst Maros-Pangkep, terutama kawasan yang memiliki nilai sejarah, karena terdapat peninggalaan situs purbakala, hingga kawasan sumber mata air yang keberadaannya sangat vital bagi kehidupan warga. Reclaiming yang dilakukan warga adalah bentuk dari imunitas sosial mereka agar virus pertambangan tidak menyebar ke wilayah mereka. Reclaim kawasan itu, bukan untuk meneruskan praktik penambangan seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan tambang di atas, melainkan menguasainya untuk dikelola secara adil dan berkelanjutan, melalui pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan melanjutkan pertanian.

Nyaris tak ada satu operasi virus pertambangan yang tidak diganggu oleh warga. Bagi mereka, kekerasan dan kriminalisasi dalam menyelamatkan tanah warisan leluhur itu, tak ada apa-apanya jika suatu saat mereka harus kehilangan lahan pertanian-perkebunan dan sumber air. Bagi warga, upaya-upaya lockdown ini sebagai bentuk tanding merebut ruang hidup, yang tidak sebatas mengejar keuntungan ekonomi belaka untuk segelintir orang, tetapi mengelolanya untuk kepentingan bersama warga komunitas secara adil, dengan tetap menjaga seluruh nilai-nilai di dalamnya.

Lockdown yang dilakukan warga di tapak industri pertambangan memang telah berhasil menangkal perluasan daya rusak dari virus ini di kampung-kampung. Namun, virus ini telah parah menginfeksi dan menjangkiti para pengurus publik. Virus pertambangan yang telah mewabah di Indonesia selama tiga generasi terakhir telah mengantarkan kita pada zona ruang-waktu yang genting, yakni bangkrutnya infrastruktur ekologis penjamin metabolisme dan reproduksi sosial, punahnya sistem pengetahuan asli rakyat, serta penghinaan pada martabat manusia.

Warga di lokasi wilayah operasi pertambangan lah yang menanggung kerusakan hutan, pemusnahan bentang air, perladangan pangan, ketahanan solidaritas kampung, dan pengusiran besar-besaran dari ruang-ruang hidup menyejarah, rumah bersama yang menyediakan kehidupan. Beban dan penderitaan warga wilayah tambang ini disembunyikan di balik cerita sukses industri tambang dan energi Indonesia menjamin pasokan konsumsi mineral dan sumber-energi global khususnya untuk Jepang, China dan India; disembunyikan dibalik ilusi target pertumbuhan ekonomi negara yang nyatanya hanyalah pemusatan kekayaan di tangan oligarki.

Dalam situasi genting seperti ini, sudah seharusnya menghentikan pertumbuhan dan penyebaran pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan segala kehidupan termasuk manusia. Maka dari itu, pada HARI ANTI TAMBANG 29 Mei 2020, kami mengajak seluruh warga Bumi untuk mempertanyakan kembali apakah kita mau meneruskan eskalasi wabah virus pertambangan (ekstraktivisme pemangsa ini), ATAU segera kembali menginjak tanah, menghentikan pertumbuhan sektor tambang di seluruh kepulauan, untuk menjamin keselamatan segala kehidupan di kepulauan Indonesia termasuk manusianya.

Inilah saatnya untuk menghentikan laju daya rusak wabah virus pertambangan, putus rantai penularan dalam bentuk penghentian perluasan pertambangan, stop promosi dan proyeksi bisnis pertambangan dan kunci (lockdown) wilayah serta perkuat imunitas simpul perlawanan-pemulihan rakyat.

Redaksi Beritaneka

Share
Published by
Redaksi Beritaneka

Recent Posts

Gunung Marapi Erupsi, 11 Pendaki Meninggal 12 Hilang

Beritaneka.com—Gunung Marapi yang berada di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat mengalami…

12 bulan ago

Maruli Simanjuntak Jadi KSAD

Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Letnan Jenderal TNI Maruli Simanjuntak sebagai Kepala Staf Angkatan Darat…

12 bulan ago

Sebanyak 204 Juta Data Pribadi Pemilih di KPU Bocor Dibobol Hacker, Dijual Rp1,2 Miliar

Beritaneka.com—Sebanyak 253 juta data pemilih di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bocor dibobol hacker. Namun setelah…

12 bulan ago

Tax Payer Community: People Power sampai Boikot Pajak Bisa Hentikan Genosida Gaza

Beritaneka.com—Demonstrasi berupa unjuk rasa besar-besaran warga masyarakat dunia telah berlangsung di pelbagai belahan dunia, bahkan…

12 bulan ago

Megawati Ingatkan Penguasa Jangan Kembali Masa Orba

Beritaneka.com—Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengingatkan kepada penguasa untuk tidak kembali pada masa Orde Baru…

12 bulan ago

KPK Tidak Beri Bantuan Hukum ke Firli Bahuri

Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan tidak memberi bantuan hukum kepada Firli Bahuri (FB) yang saat…

12 bulan ago