Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Undang-Undang Dasar atau Konstitusi mengatur tentang, antara lain, Pemilihan Umum dan Pemerintah Daerah. Perintah Konstitusi ini tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk Presiden, DPR, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Pasal 22E ayat (1) UUD berbunyi Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pasal 18 ayat (4) UUD berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis, yang tentu saja bermakna dipilih oleh rakyat. Seperti halnya makna Pemilihan Umum, dipilih oleh rakyat.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Hal ini diperkuat di dalam undang-undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 3 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No 1 Tahun 2014 yang disahkan dengan UU No 1 Tahun 2015 menyatakan Pemilihan (Kepala Daerah: ditambahkan) dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “secara serentak”, tentu saja, pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang jatuh tempo pada tahun yang sama akan dilaksanakan secara bersamaan. Bukan Pilkada yang jatuh tempo dari berbagai macam waktu (tahun) disatukan menjadi serentak. Karena hal ini pasti bertentangan dengan Pasal 3 tersebut. Yaitu Pilkada harus dilaksanakan setiap lima tahun.
Pelaksaaan Pilkada yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut di atas berarti bertentangan dengan Konstitusi, dan karena itu wajib batal. Seperti halnya rencana penundaan Pilkada tahun 2022 menjadi tahun 2024. Antara lain Pilkada DKI Jakarta yang jatuh tempo 2022, juga rencananya akan ditunda ke tahun 2024.
Terkait penundaan ini, pemerintah juga akan memberhentikan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya pada 2022. Dan mengangkat penggantinya sebagai Penjabat Kepala Daerah sampai dilaksanakan Pilkada berikutnya, yaitu tahun 2024.
Baca juga: Presidential Threshold, Mahkamah Konstitusi dan Revolusi (Mental)
Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi. Karena menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah harus dipilih secara demokratis, artinya pemilihan secara langsung oleh rakyat. Selain itu, pencalonan Kepala Daerah harus diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan sesuai Pasal 39 huruf a dan huruf b UU No 1 Tahun 2015.
Selain itu, kriteria pengganti Kepala Daerah sudah ditentukan terlebih dahulu. Yaitu, Jabatan Pimpinan Tinggi Madya untuk Gubernur dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama untuk Bupati dan Walikota. Yang mana kriteria ini bertentangan dengan kriteria pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang hanya menetapkan jenjang Pendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.
Sehingga, berarti, kriteria Penjabat Kepala Daerah tersebut juga bertentangan dengan prinsip demokratis yang diamanatkan UUD, Pasal 18 ayat (4).
Oleh karena itu, pengangkatan Kepala Daerah oleh pihak manapun, dalam kondisi apapun, bertentangan dengan UUD. Karena hal ini tidak demokratis. Serta menghilangkan hak memilih rakyat daerah dalam pemilihan Kepala Daerah, yang mendasari jiwa dan semangat UU otonomi daerah.
Baca juga: Inflasi Global, Quantitative Easing dan Potensi Resesi 2022
Dengan demikian, Pilkada serentak dengan menunda Pilkada dan mengangkat Kepala Daerah tidak melalui proses secara demokratis (dipilih oleh rakyat) akan bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, wajib batal.
— 000 —