Beritaneka.com, Jakarta —Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengungkapkan, pabrik-pabrik sepatu di Indonesia telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 25.700 karyawan.
Dia menyebutkan kemungkinan jumlahnya bisa terus bertambah. “Sekarang yang sudah kena PHK itu 10 persen, kira-kira sekitar 25.700 karyawan pabrik sepatu. Angka ini bisa terus bertambah,” kata Eddy dalam konferensi pers, Rabu (16/11/2022).
Eddy mengatakan, PHK itu terjadi karena pemesan ekspor sepatu terbesar dari Indonesia, seperti Nike, Reebok, dan Adidas menurunkan pesanan hingga 50 persen. Dia pun mengaku telah menemui pihak Nike, Reebok, dan Adidas.
Baca Juga:
- Pemilik Kendaraan Bisa Manfaatkan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Tahun Ini
- Presiden Jokowi dan Presiden MBZ Resmikan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo
- Faktor Penyebab Ekonomi Indonesia Bisa Melesat Pasca Pandemi
- Presiden Jokowi Terima Penghargaan Global Citizen Award 2022
- Sekeluarga yang Tewas di Kalideres Diduga Akibat Kelaparan
- KPK Bongkar Modus Korupsi Pejabat Daerah, Berikan Izin hingga Tentukan Pemenang Tender
Dari pertemuan itu diketahui, mereka menurunkan pesanan hingga setengahnya karena sedang dalam masa tersulit. Sebab, selama 30 tahun mereka berbisnis belum pernah mengalami kesulitan penjualan seperti saat ini.
“Dalam pertemuan kita dengan orang Nike, Reebok, dan Adidas, mereka mengatakan 30 tahun mereka bisnis, tidak pernah sekalipun mengalami kesulitan penjualan kecuali tahun ini.
Stok produk mereka di negara tujuan ekspor masih sangat besar sehingga menurunkan pemesanan dari pabrik-pabrik di Indonesia,” katanya.
“Padahal, selama 30 tahun berbisnis merek-merek tersebut tidak pernah menurunkan order di bawah 10 persen. Bahkan setiap tahun, ketiga merek itu menaikan pesanan hingga 10 sampai 30 persen,” kata Eddy.
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Penurunan pesanan juga terjadi di negara-negara pengekspor alas kaki lainnya, seperti Vietnam dan China. Bahkan, kedua negara itu mengajukan kepada pemerintahnya untuk mengurangi jam kerja, dari 40 jam menjadi 25-30 jam per minggu.
Dia mengatakan, beberapa perusahaan sebetulnya juga sudah melakukan langkah tersebut. Bahkan, meminta kepada pemerintah di negara masing-masing supaya memberikan kelonggaran kagar bisa hanya menggaji karyawannya berdasarkan prorata jam kerja.
Menurutnya, itu adalah jalan keluar yang tidak bisa dihindari. Karena, karyawan saat ini tidak bekerja dengan penuh, yakni hanya bekerja setengah hari atau 70 persen dari biasanya karena total order yang tidak mencukupi.
Di sisi lain, Eddy mengungkapkan perusahaan pabrik sepatu juga tidak ingin terus menerus melakukan PHK. Karena, jika keadaan mulai pulih dan perusahaan membutuhkan karyawan kembali, perusahaan akan memerlukan upaya lebih besar untuk merekrut karyawan baru.