Categories: RAGAM

Simulacrum: Dunia dalam Bingkai

Oleh: Noorca M. Massardi

Beritaneka.com—Dunia milenium ketiga adalah dunia yang telah menyatu. Dunia yang mampu meleburkan ruang dan waktu. Sehingga tak ada lagi jarak. Tak ada lagi batas. Masa lalu, masa kini, dan masa depan jadi makin tersamar. Tanda dan penanda tak mudah dibedakan. Media dan pesan tak lagi terpisahkan. Dunia nyata dan jagad maya terhampar secara bersamaan. Impian dan kenyataan berjalan paralel, berkelindan dan berpadu di depan mata.

Kehidupan telah berubah. Tata nilai, etika, norma, moral, agama, budaya, tinggal sebagai cookies. Hanya disimpan sebagai bookmark. Ibarat pakaian di dalam rak. Bukan untuk dipakai sekaligus sepanjang hari. Tergantung pada klik dan kebutuhan. Tergantung pada sistem dan aplikasi.

​Sebagai dampaknya, manusia milenial mengakui, dan merasakan, perkembangan itu mengakibatkan fakta dan dusta menjadi raja dunia. Janji dan bukti hanyalah citra. Setiap insan cuma percaya kepada apa yang ingin dilihatnya, kepada apa yang hendak didengarnya, kepada apa yang dipersembahkan oleh kelompoknya.

Orang hanya percaya pada apa yang tersaji di layar persegi. Di dalam bingkai bujur sangkar atau persegi panjang. Baik citra, suara, angka atau aksara. Di luar itu, di luar layar kaca persegi itu, dianggap bukan kenyataan. Bukan dunia yang sebenarnya.

​Makin lama, masyarakat tak lagi peduli pada apa pun yang berada di luar bingkai. Bahkan bila bingkai itu dalam keadaan gelap. Ketika ia menjadi black mirror. Karena itulah, mereka tak ingin yakin, dan tak bisa diyakinkan, bahwa masih ada kehidupan lain di luar (ke)rangka. Bahwa masih ada dunia lain yang tetap berdenyut.

Dunia yang masih bisa diraba, dicium, dipeluk, digeluti, dijalani, direnangi. Dunia yang menyajikan kehidupan yang jauh lebih nyata, lebih besar, lebih lebar, lebih panjang, dan lebih tinggi. Dunia yang jauh lebih luas dari bingkai/layar di hadapannya atau di seputarnya.

​Di mata mereka, bingkai sudah diyakini sebagai jendela kenyataan. Satu-satunya jalan keluar masuk dunia. Menjadi windows entry bagi kehidupan. Sehingga apa pun yang ada di depan bingkai itu, apa pun pemandangan di seberang jendela itu, diyakini pasti akan seperti itu pula keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang sesungguhnya. Penampakan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Sesuatu yang tak usah diragukan lagi. Walau sesungguhnya bingkai itu hanya dunia mikro. Mikrokosmos. Dunia dalam kemasan. Dunia yang dimampatkan. Dalam ruang dan waktu yang sangat sempit. Namun dalam tempo yang tak terbatas. Dalam maju dan mundur cantik.

​Kita hidup di dalam bingkai yang sudah menjadi ideologi. Menjadi agama. Karena bingkai sudah memberikan keyakinan dan kepercayaan: Bingkai adalah kebenaran. Bingkai adalah kenyataan. Sehingga kita yakin dan percaya, bahkan secara buta, kepada apa pun yang tertayang. Kepada apa pun yang terkemas di dalamnya. Apa pun agamanya. Apa pun keyakinannya. Apa pun ideologinya. Apa pun kepercayaannya. Apa pun partainya. Apa pun komunitasnya. Apa pun sistem operasinya.

Sehingga tak perlu lagi nalar. Tak perlu lagi akal. Yang nyata atau yang hoax. Tak perlu lagi kata hati. Tak ada lagi batas antara yang halal dan yang haram. Tak relevan lagi pahala dan dosa. Tak ada haru dan iba. Dan, semua itu berjalan secara real-time. Seketika. Serentak. Sekarang juga. Sistematis. Terstruktur. Dan, massif.

​Dunia kita adalah dunia yang sudah terjaring. Umat manusia semakin terikat dan melekatkan dirinya pada jaringan itu. Dalam web. Dalam kelompok. Dalam grup. Dalam siklus yang semakin cepat. Terjerat sebagai subjek sekaligus objek. Sebagai mangsa sekaligus pemangsa. Konsumen sekaligus produsen. Korban dan penikmat monetisasi.

Tak ada lagi rahasia. Yang tersembunyi atau yang ingin disembunyikan. Yang dulu maupun yang sekarang. Yang besar maupun yang sebutir zarah. Yang nyata maupun yang bikinan. Yang sejati atau yang hoax.

Masa lalu dan masa depan terpampang dan terpapar sekarang juga. Di hadapan jutaan dan miliaran pasang mata dan telinga. Tergantung pada keharusan dan kebutuhan. Terpulang pada pesan dan pemesan. Sesuai maksud, niat, dan tujuan. Jangka pendek maupun jangka panjang. Menciptakan trend atau sekadar terbawa arus.

​Dunia telah demikian transparan. Tak ada lagi ruang yang tertutup. Tak ada lagi lorong dan gua persembunyian. Di bukit atau di lembah. Di gunung atau di lautan. Tak ada lagi sudut bumi yang tak terjangkau. Tak ada lagi peta buta. Semua sudah tertandai. Semua sudah ternamai. Semua sudah terpantau dan terliput. Semua sudah terpindai. Ternumerasi. Tak ada lagi yang tak terhubung. Di darat. Di laut. Di dalam tanah. Di bawah laut.

Semua terkoneksi. Semua terkontaminasi. Semua termanipulasi. Termasuk hewan dan tumbuhan. Termasuk hasil bumi dan yang di dalam perut bumi. Bahkan di angkasa luar. Juga di planet lain. Sekarang dan di sini. Hic et nunc.

​Dunia kita telah menjelma menjadi hamparan semesta digital. Dunia biner. Dunia 0 dan 1. Setiap jiwa, setiap nyawa, setiap nama, sudah berenang dan tenggelam di dalam samudera teknologi dan informasi. Hidup atau mati. Sebuah dunia yang terus bergerak, terus merangkak, terus berlipat, dan terus maju.

Dunia yang tak mungkin mundur lagi. Untuk kebaikan atau demi keburukan. Untuk kemakmuran atau kemiskinan. Untuk keuntungan atau kerugian. Untuk kelanggengan atau demi kehancuran. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli. Bahkan tak ada yang harus merasa peduli.

​Bagi masyarakat milenial, masa depan adalah tujuan. Bukan sekadar perjalanan ruang dan waktu untuk menyusun bekal. Atau untuk menabung kebaikan menjelang masa berakhir. Sebab, masa depan bagi mereka bukanlah akhir. Ia tidak akan pernah berakhir. Masa depan adalah tantangan dan peluang abadi. Masa depan adalah harapan. Pintu gerbang menuju kemungkinan lain. Kemungkinan baru yang tak terbayangkan. Nyata atau sekadar maya.

​Di dunia seperti ini, identitas hanyalah angka. Jatidiri hanyalah kode. Negara bangsa hanyalah kenangan. Sekali pindai semua segera terbuka dan terpapar. Sidik jari, sidik genoma, sidik kornea, sudah menjadi angka. Numera telah menjadi data dan fakta yang suci. Tak mungkin terbantahkan. Tak lagi termusyawarahkan.

Bahkan gagasan, ucapan, dan tindakan, sudah terekam menjadi kode-kode. Konversi data yang setiap saat bisa dibuka, dipaparkan, dimanfaatkan, sesuai pesan, sesuai tujuan, sesuai pemesan, sesuai kebutuhan, sesuai bayaran. Yang dulu, yang terkini, maupun yang terproyeksi ke depan.

​Dunia itulah, dunia yang terburu dan diburu, yang kini ada di depan, di belakang, di atas, di bawah, di sekeliling kita. Dunia yang selalu ada di dalam rumah pribadi. Dunia yang ada di ruang-ruang privat. Dunia yang ada di dalam bingkai. Yang nyata dan yang maya. Yang berada di semua perangkat elektronik. Dunia yang hadir di atas meja. Dunia yang dikemas di dalam laptop. Yang dipaket di dalam telepon cerdas. Yang dipilah dan disusun di semua gadget. Di semua layar monitor digital. Di dalam genggaman. Di ujung-ujung jari. Di setiap sentuhan. Di setiap kedipan mata. Di dalam denyut kepala. Di dalam otak. Di dalam gagasan.

​Dunia milenial adalah dunia yang sudah dan selalu terhubung. Dunia yang senantiasa terkoneksi dan terwaspadai di dalam jasad dan jatidiri. Setiap saat, setiap waktu, setiap detik. Permanen dan selamanya. Citra dan suara yang dimampatkan, senantiasa terhubung melalui dan berada di dalam jaringan. Semua terpadu dan terurai melalui satelit. Semua terprogram dan terpapar melalui wi-fi. Melalui bluetooth. Melalui inframerah. Melalui pita suara. Melalui pandangan mata. Melalui getaran sinyal dan frekuensi.

​Itulah dunia terkini yang merupakan hasil dari pelbagai sentuhan dan rekayasa teknologi informasi. Dunia yang selalu tergantung dan bergantung kepadanya. Yang tergantung pada apa pun keinginannya. Yang tergantung kepada aplikasi rekaannya. Yang tergantung kepada produk rancangannya. Yang tergantung kepada hasil ciptaannya. Yang tergantung kepada rekayasanya. Dan, yang tergantung serta bergantung kepada isi, kepada content yang telah, yang sedang, yang harus, dan yang akan dibuat dalam pelbagai aplikasi baru dan terbarukan. Sesuai komposisi dan algoritmanya. Setiap detik. Setiap digit. Sepanjang waktu. Sampai entah. Tanpa kenal jeda.

Karena jeda adalah bencana. Jeda adalah ancaman. Jeda adalah keruntuhan. 𝙆𝙚𝙚𝙥 𝙞𝙣 𝙩𝙤𝙪𝙘𝙝. 𝙎𝙩𝙖𝙮 𝙘𝙤𝙣𝙣𝙚𝙘𝙩𝙚𝙙. 𝙋𝙞𝙭𝙚𝙡 𝙗𝙮 𝙥𝙞𝙭𝙚𝙡𝙨. 𝘽𝙮𝙩𝙚 𝙗𝙮 𝙗𝙮𝙩𝙚𝙨. 𝙁𝙧𝙖𝙢𝙚 𝙗𝙮 𝙛𝙧𝙖𝙢𝙚. 𝙎𝙚𝙦𝙪𝙚𝙣𝙘𝙚 𝙗𝙮 𝙨𝙚𝙦𝙪𝙚𝙣𝙘𝙚. 𝙇𝙤𝙬 𝙖𝙣𝙙 𝙝𝙞𝙙𝙚𝙛𝙞𝙣𝙞𝙩𝙞𝙤𝙣. 𝙇𝙞𝙫𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙧𝙚𝙘𝙤𝙧𝙙𝙚𝙙. 𝙋𝙡𝙖𝙮𝙗𝙖𝙘𝙠 𝙖𝙣𝙙 𝙛𝙖𝙨𝙩-𝙛𝙤𝙧𝙬𝙖𝙧𝙙𝙚𝙙. 𝙇𝙞𝙛𝙚 𝙖𝙣𝙙 𝙙𝙚𝙖𝙩𝙝. 𝙍𝙚𝙖𝙡 𝙖𝙣𝙙 𝙫𝙞𝙧𝙩𝙪𝙖𝙡. 𝙏𝙧𝙪𝙩𝙝 𝙖𝙣𝙙 𝙥𝙤𝙨𝙩-𝙩𝙧𝙪𝙩𝙝.*

Pengarang novel “𝙎𝙄𝙈𝙑𝙇𝘼𝘾𝙍𝙑𝙈” (bersama Cassandra Massardi)

Redaksi Beritaneka

Share
Published by
Redaksi Beritaneka

Recent Posts

Gunung Marapi Erupsi, 11 Pendaki Meninggal 12 Hilang

Beritaneka.com—Gunung Marapi yang berada di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat mengalami…

11 bulan ago

Maruli Simanjuntak Jadi KSAD

Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Letnan Jenderal TNI Maruli Simanjuntak sebagai Kepala Staf Angkatan Darat…

11 bulan ago

Sebanyak 204 Juta Data Pribadi Pemilih di KPU Bocor Dibobol Hacker, Dijual Rp1,2 Miliar

Beritaneka.com—Sebanyak 253 juta data pemilih di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bocor dibobol hacker. Namun setelah…

11 bulan ago

Tax Payer Community: People Power sampai Boikot Pajak Bisa Hentikan Genosida Gaza

Beritaneka.com—Demonstrasi berupa unjuk rasa besar-besaran warga masyarakat dunia telah berlangsung di pelbagai belahan dunia, bahkan…

11 bulan ago

Megawati Ingatkan Penguasa Jangan Kembali Masa Orba

Beritaneka.com—Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengingatkan kepada penguasa untuk tidak kembali pada masa Orde Baru…

11 bulan ago

KPK Tidak Beri Bantuan Hukum ke Firli Bahuri

Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan tidak memberi bantuan hukum kepada Firli Bahuri (FB) yang saat…

11 bulan ago