Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar, masing-masing lebih dari 30 persen, pada 3 September yang lalu. Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, atau naik Rp2.350 per liter. Solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, atau naik Rp1.650 per liter.

Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi ini diperkirakan hanya membuat pendapatan negara naik Rp31,75 triliun, sampai akhir tahun ini. Dengan asumsi, sisa konsumsi pertalite 10 juta KL dan solar 5 juta KL.
Kenaikan pendapatan negara yang hanya Rp31,75 triliun tersebut sangat tidak berarti bagi pemerintah. Nilainya sangat rendah, jauh di bawah anggaran subsidi, yang menurut pengakuan pemerintah, mencapai Rp502 triliun, dan yang akan membengkak menjadi Rp700 triliun, katanya. Jumlah Rp31,75 triliun ini tidak signifikan, dan tidak berarti, untuk dapat menambal APBN yang akan ‘jebol’.
Di lain sisi, biaya sosial akibat kenaikan harga BBM yang harus ditanggung oleh semua elemen bangsa ini sangat mahal. Demo terjadi di mana-mana, di kota-kota besar di seluruh Indonesia, sangat buruk.
Rp31,75 triliun sangat kecil bagi pemerintah, tetapi sangat besar bagi masyarakat kelompok bawah, atau masyarakat miskin pengguna pertalite dan solar. Apalagi, di tengah kesulitan ekonomi dan inflasi pangan yang sangat tinggi, mencapai lebih dari 10 persen, serta kenaikan pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April yang lalu.
Kemudian, dampak kenaikan harga BBM juga akan membuat inflasi naik lebih tinggi lagi. Sedangkan gaji buruh relatif tidak naik. Daya beli anjlok, khususnya daya beli kelompok masyarakat menengah bawah, termasuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil, dan sektor informal. Tingkat kemiskinan nasional pasti naik.
Dalam kondisi daya beli masyarakat terpuruk, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan fiskal ekspansif, defisit APBN meningkat, dan belanja negara dan subsidi naik.
Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, kebijakan fiskal kontraktif, APBN sampai dengan Juli 2022 surplus Rp106 triliun. Dan, belanja negara (riil) mengalami kontraksi, atau minus 6,27 persen, pada semester pertama 2022.
Padahal, penerimaan negara naik sangat tinggi, Rp519 triliun selama 7 bulan pertama 2022, atau naik 50,3 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kenaikan pendapatan negara yang sangat tinggi tersebut disebabkan karena kenaikan harga komoditas dunia yang melonjak tajam. Indonesia sebagai produsen komoditas mendapat berkah besar dari ‘durian runtuh’ ini. Tetapi, rejeki tersebut tidak terdistribusi dengan baik dan adil kepada rakyat. Yang malah terjadi, rakyat mendapat musibah, dibebani kenaikan harga pangan dan harga BBM.
Betapa malang nasib rakyat kecil Indonesia.
Oleh Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com, Jakarta —Bahan Bakar Minyak, BBM, merupakan barang kebutuhan (necessity goods) yang menguasai hajat hidup orang banyak. BBM dikonsumsi masyarakat luas, dari kendaraan pribadi hingga transportasi umum dan taksi, dari pertanian hingga nelayan, dan lain-lainnya.

BBM juga merupakan komponen biaya produksi dan distribusi yang cukup signifikan. Kalau harga BBM naik, biaya produksi dan distribusi juga akan naik, menyebabkan inflasi, membuat daya beli masyarakat tergerus. Di negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan tingkat kemiskinan.
Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September lalu. Sangat tinggi, lebih dari 30 persen. Alasannya, untuk mengurangi subsidi BBM. Kalau tidak, APBN akan jebol, demikian alasan horor yang dikemukakan.
Apa benar APBN akan jebol? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, apa artinya ‘jebol’? Pemerintah tidak transparan dalam menghitung neraca keuangan BBM. Berapa pendapatan dan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak mentah? Tidak jelas!
Kenaikan harga BBM ini langsung menuai protes dari masyarakat luas. Tentu saja ada juga yang mendukung.
Protes umumnya berasal dari kelompok bawah. Kenaikan harga BBM akan berakibat buruk bagi mereka. Jumlah kelompok bawah ini sangat besar, merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.
Kelompok pendukung terkesan sangat liberal, harga BBM harus merujuk harga internasional, untuk mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM. Selain itu mereka juga beralasan subsidi BBM tidak tepat sasaran, jadi harus dicabut. Tetapi dampaknya terhadap masyarakat miskin sepertinya kurang dipedulikan.
Jadi, berapa harga BBM yang pantas di Indonesia?
Apakah harus mengikuti harga internasional dengan mencabut subsidi, seperti yang dilakukan banyak negara maju antara lain Amerika Serikat, Eropa, Jepang, bahkan Singapore, Hong Kong atau Korea Selatan?
Atau sebaiknya meniru Malaysia, yang memberlakukan harga BBM (tertentu) cukup rendah bagi warganya?
Jawaban untuk itu, harusnya cukup sederhana. BBM adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka itu harga BBM wajib terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Terjangkau, artinya relatif dibandingkan dengan penghasilan masyarakat.
Kalau harga BBM di Indonesia setinggi di Singapore, sekitar Rp30.000 – Rp40.000 per liter, maka sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya untuk aktivitas sehari-hari. Karena penghasilan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dari masyarakat Singapore dan negara maju lainnya. Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2021 hanya 4.292 dolar AS, sedangkan Singapore sudah mencapai 72.794 dolar AS, atau 17 kali lipat dari Indonesia.
Selain itu, menurut data Bank Dunia, jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 50,3 persen dari jumlah penduduk pada 2021, setara 138,9 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp1 juta per orang per bulan (atau 5,5 dolar AS, kurs PPP 2011). Sedangkan Singapore dan negara maju lainnya tidak ada penduduk miskin dengan pendapatan sebesar itu.
Dengan pendapatan per kapita yang sangat rendah, ditambah jumlah penduduk miskin yang sangat besar, mayoritas masyarakat Indonesia tidak mampu membeli BBM dengan harga internasional.
Meskipun harga BBM di Indonesia lebih rendah dari negara maju, tetapi rasio atau persentase pengeluaran BBM terhadap penghasilan bersih (disposable income) di Indonesia lebih tinggi dari negara maju.
Yang lebih memprihatinkan, kelompok masyarakat bawah menanggung beban kenaikan harga BBM jauh lebih berat dari kelompok atas. Menurut salah satu studi di Amerika Serikat, rasio pengeluaran BBM terhadap penghasilan masyarakat berpendapatan rendah bisa capai 11 sampai 38 persen dari penghasilan bersihnya. Sedangkan kelompok menengah atas hanya 2,8 hingga 4,9 persen saja.
Maka itu, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat miskin semakin bertambah miskin. Belum memperhitungkan inflasi yang akan melonjak akibat kenaikan harga BBM.
Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk miskin sangat besar, kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi jelas akan membuat jumlah penduduk miskin meningkat.
Di samping itu, masyarakat pedesaan akan menanggung beban kenaikan harga BBM lebih besar dibandingkan masyarakat perkotaan. Kemiskinan pedesaan akan melonjak.
Maka itu, kenaikan harga BBM di tengah inflasi yang tinggi saat ini sangat tidak tepat. Mencabut subsidi BBM akan membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin, dan membuat jumlah penduduk miskin meningkat. Maka itu, mereka masih sangat perlu dibantu.
Artinya, menentukan harga BBM, barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, wajib memperhatikan penghasilan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan BBM untuk aktivitas sehari-hari, dan mempertahankan ekonomi sosial masyarakat agar tidak bertambah miskin.
Oleh Anthony Budiawan –
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com, Jakarta —Bank Indonesia (BI) pertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,5 persen pada bulan Juli ini. Meskipun inflasi tahunan (total) sampai dengan Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen. Bahkan, inflasi pangan mencapai 9,1 persen. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir.
Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi INTI, yang menurut BI masih sangat rendah. Hanya 2,65 persen. Karena itu, BI tidak menaikkan suku bunga acuan. Inflasi INTI adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten, artinya tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).

Sebelumnya, awal minggu ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi (INTI). Artinya, BI berpendapat, inflasi INTI yang merambat naik ke 2,65 persen disebabkan jumlah uang beredar meningkat.
Meskipun masih sangat rendah, BI berpendapat inflasi INTI harus ditekan, melalui pengetatan uang beredar. Tetapi, untuk inflasi NON-INTI, yaitu inflasi pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, menyerahkan global untuk mengatasinya.
BI sangat paham dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakannya ini. BI berpendapat ekonomi Indonesia mampu menghadapi konsekuensi tersebut.
Pertama, kurs rupiah akan menghadapi tekanan cukup serius. Karena perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil, sehingga dapat memicu arus dolar keluar dari Indonesia. Apalagi kalau suku bunga the FED naik lagi pada awal minggu depan, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri. Rapat dewan gubernur the FED akan diselenggarakan pada 26-27 Juli mendatang.
Kedua, penjualan SBN sebesar Rp293 miliar sepertinya hanya kebijakan basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan. Hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali kalau kebijakan ini akan berlanjut terus, dan menjadi signifikan. Maka, dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan tertekan.
Kebijakan penjualan SBN ini terlihat tidak konsisten. Kalau BI menganggap inflasi INTI masih rendah, seharusnya BI tidak perlu memperketat uang beredar, yang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi (INTI).
Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”?
Sepertinya BI sangat yakin jumlah cadangan devisa cukup besar untuk bisa memenuhi arus dolar keluar dari Indonesia, tanpa mengganggu kurs rupiah. Artinya, BI sangat yakin intervensi kurs rupiah akan efektif, dapat menahan kurs rupiah di sekitar Rp15.000.
Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekeunsinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat?
Kalau meleset agak jauh, mungkin bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia: Kurs rupiah dan cadangan devisa bisa tergelincir.
Oleh Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Jakarta, Masa jabatan beberapa Kepala Daerah akan segera berakhir pada 2022 ini, setelah menjabat 5 tahun sejak 2017. Kepala Daerah yang segera berakhir masa jabatannya antara lain DKI Jakarta.
Sedangkan menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) harus dipilih secara demokratis, artinya tentu saja dipilih oleh rakyat.

Dengan kata lain, Kepala Daerah tidak boleh ditunjuk atau diangkat oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Karena hal tersebut melanggar UUD Pasal 18 ayat (4) tersebut di atas.
Karena itu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) wajib dilaksanakan ketika masa jabatan Kepala Daerah bersangkutan berakhir. Hal tersebut sebagai konsekuensi “Kepala Daerah dipilih secara demokratis”. Maka Pilkada tidak bisa ditunda.
Baca Juga: Warga Bandung Raya dan Bodebek Bisa Bayar Pajak Kendaraan Sambil Ngabuburit
Karena masa bakti Kepala Daerah ditetapkan 5 tahun, maka Pilkada juga wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, seperti kemudian ditegaskan pada Pasal 3 PERPPU No 1/2014 yang disahkan oleh UU No 1/2015.
PERPPU No 1/2014 dan Pasal 3 bahwa Pilkada harus dilaksanakan setiap 5 tahun adalah koreksi dan pembatalan atas UU No 22/2014 yang menetapkan Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.
Artinya, tidak ada ruang lagi Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sekaligus menegaskan bahwa Kepala Daerah harus dipilih secara Demokratis oleh rakyat, sesuai perintah UUD.
Karena itu, penundaan Pilkada tahun 2022 (dan 2023) serta pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi, dan wajib batal.
Sebagai konsekuensi, Pilkada 2022 harus dilaksanakan secepat mungkin.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Direcyor PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Usulan penundaan pemilu, atau kudeta konstitusi, terus bergulir. TSM. Terstruktur, Sistematis, dan Massif. Alasan penundaan disiapkan secara meyakinkan. Melalui Lembaga survei dan think-tank Indonesia Laboratorium 2045 (Lab 45).
Lembaga survei mengatakan 70 persen lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab 45 mengatakan mesin big data mereka menangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang.
Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi. Ini tugas Bahlil, Menteri Investasi/Kepala BPKM, dan Ketua Umum Partai Politik (parpol): PKB, PAN dan Golkar.

Usulan kudeta konstitusi mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk parpol lain seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan Gerindra. Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat.
Terkait ini, Presiden Jokowi, DPR/MPR dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi. Presiden harus memberhentikan Menteri yang terlibat kudeta konstitusi, DPR/MPR harus mencopot pejabat pengusul kudeta konstitusi, dan Mahkamah Konstutusi membekukan atau membubarkan Partai Politik yang terlibat kudeta Konstitusi, karena anti Pancasila dan anti UUD.
Akhirnya, Jokowi bersuara juga. Beliau mengajak semua pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi. Sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini.
Tetapi, pernyataan Jokowi berikutnya bikin kening berkerut. Sepertinya ada pihak-pihak yang mau menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi.
Baca Juga:
- Daftar Lengkap 332 Sektor Usaha Tujuan Investasi Peserta PPS, Cek!
- Berlaku Mulai Hari Ini, Penumpang Pesawat Wajib Isi E-HAC Sebelum Terbang
- Gaikindo Siap Gelar Jakarta Auto Week 2022
- Jelang Ramadhan, Badan Pangan Nasional Amankan Stok Daging Sapi
Maaf, pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter.
Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya.
Karena itu, usulan yang melawan hukum dan konstitusi seharusnya dilarang, untuk kepastian hukum itu sendiri. Kalau tidak, pasti akan menimbulkan chaos dan anarki. Karena setiap pihak nanti merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya. Bisa terjadi konflik horisontal yang meluas.
Bayangkan, nanti ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat lagi saja. Atau ada pihak yang mau menjadi negara Islam. Mungkin juga ada pihak yang mau memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki?
Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat: mau menjerusmukan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia.
Karena, USULAN MELAWAN HUKUM DAN KONSTITUSI BUKAN DEMOKRASI, TAPI TIRANI.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Wacana penundaan Pemilu 2024 mencuat lagi. Sekarang malah didukung oleh tiga partai politik (parpol). PKB, PAN dan Golkar. Meskipun mereka paham penundaan Pemilu adalah pelanggaran Konstitusi, atau tepatnya ‘kudeta konstitusi’, Constitutional Coup. Yaitu, mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh konstitusi.

“A Constitutional coup is when power is seized within the framework of a country’s constitution. The actors are already members of the government and will alter their government’s constitution to legally seize power. Examples include: extending an incumbents mandate through the removal of term or age limits, changing electoral rules to hinder opposing candidates, and postponing elections indefinitely.”
Karena Undang-Undang Dasar secara jelas mengatur Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun, dan Pemilu yang akan datang harus diselenggarakan pada 2024.
Baca Juga:
Penundaan Pemilu 2024 Bisa Chaos dan Munculkan Diktaktor
Muhammadiyah Tolak Wacana Tunda Pemilu 2024
Alasan wacana penundaan beragam. Tulisan ini hanya menyoroti dua alasan. Yaitu alasan ekonomi termasuk keuangan negara, dan alasan popularitas Jokowi yang katanya mencapai 73,9 persen. Kedua hal ini dijadikan alasan utama beberapa Parpol untuk mendukung usulan yang bisa mengarah kepada ‘kudeta konstitusi’ seperti dimaksud di atas.
Menurut Lembaga Survei, popularitas Jokowi mencapai angka tertinggi sejak 2015. Karena itu, beberapa Parpol mengusulkan masa jabatan Jokowi patut diperpanjang. Alasan ini (popularitas) dan konsekuensinya (diperpanjang) jelas merupakan bagian awal atau pintu masuk untuk ‘kudeta konstitusi’.
Pertama, popularitas presiden yang tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan ‘kudeta konstitusi’, dengan menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden, misalnya, menjadi tiga periode. Kalau ini terjadi, maka lima tahun mendatang tingkat popularitas presiden bisa naik lagi, dan masa jabatan presiden bisa diperpanjang lagi, dan seterusnya.
Sehingga Bangsa ini akan terjebak dalam pusaran ‘kudeta konstitusi’ yang tidak berujung pangkal, dan akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia.
Di samping itu, survei popularitas presiden ini mengundang banyak pertanyaan dan keraguan. Untuk itu, penulis sudah menyampaikan dalam sebuah tulisan sebelumnya. Namun, perlu ditambahkan, bahwa kondisi ekonomi riil belakangan ini sepertinya juga sulit memberi pembenaran atas survei tersebut.
Karena, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi merupakan yang terendah dibandingkan pemerintahan SBY periode pertama maupun kedua. Pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2014-2019 hanya 5,03 persen par tahun, jauh lebih rendah dari periode 2004-2009 yang mencapai 5,63 persen dan periode 2009-2014 sebesar 5,80 persen. Kalau memperhitungkan tahun 2020 dan 2021, kinerja ekonomi semakin buruk.
Kemudian, kinerja utang pemerintah juga memburuk. Utang pemerintah periode 2004-2009 naik hanya Rp292,7 triliun (22,6 persen), periode 2009-2014 naik Rp1.018 triliun (64 persen), dan periode 2014-2019 naik Rp 2,176 triliun (83,4 persen). Dalam dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, utang pemerintah sudah naik Rp2.124 triliun (44,4 persen).
Dari kedua faktor tersebut sulit dipahami popularitas Jokowi bisa naik dan tertinggi sejak 2015, di mana ketika itu, di masa awal pemerintahan, rakyat sedang berbulan madu dan sangat antusias dengan presiden baru yang memberi janji dan harapan besar.
Kedua, alasan bahwa Pemilu secara umum, atau Pemilu 2024 secara khusus, akan menghambat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, karena itu harus ditunda, merupakan cara berpikir menyesatkan, dan salah fatal. Karena, taat hukum dan taat konstitusi adalah satu-satunya pegangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa, lebih dari segalanya, lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi.
Karena, Pemilu bahkan diperkirakan akan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, dan memicu pertumbuhan ekonomi. Karena anggaran Pemilu akan menjadi stimulus ekonomi. Jadi, ketakutan Pemilu akan menghambat ekonomi tidak beralasan, dan di luar akal sehat.
Alasan lain yang cukup masuk akal adalah kondisi keuangan negara yang diperkirakan akan semakin sulit pada 2024. Tetapi, penundaan Pemilu dari 2024 menjadi, misalnya, 2027 tidak memecahkan masalah. Karena tidak ada jaminan, keuangan negara pada 2027 akan membaik. Bisa saja semakin memburuk. Kalau itu terjadi, apakah Pemilu akan ditunda lagi?
Perlu diingat, Pemilu 1999 dapat dilaksanakan dengan baik, diikuti 48 partai politik, meskipun kondisi keuangan negara ketika itu sedang terpuruk sangat dalam akibat krisis moneter 1997-1998. Yang membuat pemerintah harus mohon pinjaman kepada IMF dengan menyerahkan kedaulatan ekonominya. Pengalaman Pemilu 1999 ini adalah sebuah bukti dan preseden yang mematahkan semua alasan untuk penundaan Pemilu 2024.
Seandainya benar kondisi keuangan negara menjadi bahan pertimbangan yang sangat dominan untuk menunda Pemilu, dan keuangan negara 2024 diperkirakan akan semakin sulit, karena defisit anggaran akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB, maka solusinya adalah memajukan Pemilu 2024 menjadi 2022.
Karena, defisit anggaran tahun 2022 masih dibolehkan tidak terbatas, dan Bank Indonesia masih dibolehkan membeli surat utang negara untuk pembiayaan defisit anggaran tersebut. Sehingga keuangan negara 2022 tidak menjadi masalah sama sekali untuk membiayai pelaksanaan Pemilu.
Jangan lewatkan kesempatan ini. Karena tahun 2023 keuangan negara akan berjalan normal kembali.
Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi para Ketum Parpol demi menyelamatkan Pemilu 2024, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Penundaan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) memicu ketidakpastian hukum. Bayangkan, uang Tabungan ‘Hari Tua’ milik para Pekerja tiba-tiba tidak bisa diambil, sampai umur 56 tahun.
Kata ‘Jaminan’ di sini sebenarnya kurang tepat. Karena memang tidak ada yang dijamin (oleh negara). Kata yang tepat seharusnya Tabungan Hari Tua. Seperti dijelaskan secara tegas di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun 1977, sebagai aturan pelaksana dari UU No 14 tahun 1969 mengenai Tenaga Kerja. Pasal 1 butir 14 berbunyi “Tabungan Hari Tua adalah bentuk tabungan wajib …..”.

Kemudian, Pasal 32 ayat (1) PP No 14 Tahun 1993 menjelaskan, Pekerja yang berhenti kerja sebelum usia 55 tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun, dapat menerima manfaat Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
Hal ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 19 tahun 2015. Manfaat Jaminan atau Tabungan Hari Tua dibayarkan pada saat pensiun (dalam arti luas). Maksudnya, definisi pensiun juga termasuk yang berhenti bekerja. Baik yang mengundurkan diri atau yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), atau pindah ke luar negeri.
Hal ini mencerminkan semangat dan jiwa program Jaminan (atau Tabungan) Hari Tua sejak era Orde Baru tahun 1993 hingga awal Februari 2022. Sebelum “diberangus” oleh Permenaker No 2 tahun 2022, tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua.
Baca Juga:
- Produsen Tahu Tempe Mogok Produksi
- Indonesia Rawan Bencana, Basarnas Harus Siap
- Cek Biaya Bikin SIM A, B, C dan D Terbaru
Peraturan Jaminan Hari Tua sejak 1993 sangat logis dan tepat. Karena program Jaminan Hari Tua bukan program Pensiun. Tetapi program untuk menjamin ketika Pekerja tidak mempunyai pekerjaan lagi. Sedangkan ‘Hari Tua’ adalah hari di mana seseorang kehilangan pekerjaan, baik karena masuk usia pensiun maupun alasan lainnya.
Oleh karena itu manfaat Jaminan Hari Tua dibayarkan sekaligus, agar dapat digunakan antara lain untuk modal usaha ketika Pekerja kehilangan pekerjaan.
Sedangkan program Jaminan Pensiun yang diberlakukan sejak tahun 2011 (UU No 24/2011) merupakan program untuk mempertahankan pendapatan (bulanan) Pekerja ketika masuk masa pensiun dan kehilangan pendapatan bulanan.
Karena itu, manfaat Jaminan Pensiun dibayarkan secara bulanan, seperti seolah-olah Pekerja menerima gaji atau upah, meskipun sudah tidak bekerja lagi, sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk tujuan ini, manfaat Jaminan Pensiun hanya boleh dibayarkan pada usia pensiun, dan tidak boleh sebelumnya, sudah sangat tepat.
Dengan adanya program Jaminan Pensiun maka tidak tepat kalau pembayaran manfaat Jaminan (Tabungan) Hari Tua ditetapkan seperti program Jaminan Pensiun, dibayarkan pada usia 56 tahun. Hal ini tidak menjadi masalah selama Pekerja bekerja hingga masa pensiun. Tetapi akan menjadi masalah besar kalau Pekerja kehilangan pekerjaan di usia yang tidak muda lagi, dengan alasan apapun, dan yang bersangkutan sulit mendapat pekerjaan lainnya.
Untuk itu, uang Jaminan (Tabungan) Hari Tua seharusnya bisa digunakan, misalnya untuk modal usaha. Agar Pekerja tersebut dapat memperoleh penghasilan bulanan, sampai masa pensiun. Dari penghasilan ini, yang bersangkutan juga bisa melanjutkan pembayaran iuran pensiunnya, untuk menjamin pendapatan di masa pensiun nanti.
Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Peraturan yang berlaku sangat baik sejak 1993 dihapus. Pembayaran manfaat Jaminan (Tabungan) Hari Tua yang sebelumnya boleh diambil ketika Pekerja kehilangan pekerjaan malah dihapus. Tentu saja ini menjadi beban bagi Pekerja.
Karena itu, Permenaker No 2 tahun 2022 ini terasa aneh, dan sewenang-wenang. Karena sekonyong-konyong menghapus peraturan yang sudah berlaku sejak 1993. Padahal uang tersebut milik Pekerja. Tidak ada uang negara. Ada apa?
Apakah peraturan ini dibuat karena kondisi keuangan BPJS Ketenagakerjaan sedang tidak baik? Menurut berita, ada potensi kerugian, atau unrealized loss, sekitar Rp20 triliun, pada tahun lalu. Kasus ini sempat disidik oleh Kejaksaan Agung, tapi belum ada keputusan definitif. Karena, katanya, belum ada unsur kerugian negara, karena masih potensi kerugian.
Memang, penurunan investasi di saham akan selamanya tercatat sebagai potensi kerugian selama saham tersebut belum dijual, dan masih tercata di Bursa Efek.
Tetapi, secara cashflow investasi tersebut mungkin benar bermasalah. Imbal hasil nihil. Nilai investasi tidak bisa diuangkan,kecuali tunggu harga saham naik. Kalau saham tersebut dijual dalam keadaan rugi, maka potensi kerugian akan menjadi kerugian riil. Dan membuka pintu bagi Kejagung untuk memeriksa kembali.
Kemudian, menurut informasi publik, dana investasi BPJS Ketenagakerjaan pada 2021 mencapai Rp553,5 triliun. Sekitar 63 persen ditempatkan pada surat utang, 19 persen pada deposito, 11 persen pada saham, 6,5 persen pada reksadana dan 0,5 persen merupakan investasi langsung.
Sedangkan investasi di surat utang mayoritas ditempatkan pada surat utang negara. Mencapai 60,3 persen dari keseluruhan portofolio. Katanya, mengikuti regulasi OJK yang menetapkan minimum 50 persen harus ditempatkan pada surat berharga negara. Petrtanyaannya, apa dasar hukum OJK untuk menetapkan peraturan seperti itu?
Selanjutnya, bagaimana mekanisme penempatan investasi: apakah di pasar sekunder atau penempatan langsung (private placement)? Kemudian, bagaimana profil jatuh tempo investasi: jangka pendek atau jangka panjang?
Artinya, sejauh mana pengaruh tata kelola investasi BPJS terhadap tingkat Kesehatan keuangan dan cashflow bersangkutan? Apakah penundaan pembayaran manfaat Jaminan (Tabungan) Hari Tua sampai umur 56 tahun ini ada hubungannya dengan kondisi keuangan BPJS?
Untuk itu, BPJS Ketenagakerjaan wajib memberi informasi kepada publik Pekerja secara transparan mengenai kondisi keuangannya serta profil investasi.
Pekerja diharapkan dapat mempertahankan haknya serta menuntut semua peraturan yang tidak adil dan merugikan, agar dapat dikoreksi demi kepentingan Pekerja.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Harga komoditas dunia naik sejak pertengahan 2020. Memang agak aneh. Harga naik di tengah resesi ekonomi, di tengah pandemi, dan terus naik hingga kini.
Menjelang akhir 2021, harga minyak sawit mentah mencapai rekor tertinggi. Harga rata-rata bulanan Oktober 2021 mencapai 1.310 dolar AS per ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Harga batu bara juga mencatat rekor tertinggi. Harga batu bara Acuan Februari 2022 mencapai 188,38 dolar AS per ton. Tertinggi sepanjang sejarah. Padahal Harga batu bara Acuan September 2020 hanya 49,42 dolar AS per ton.
Rakyat Indonesia seharusnya bersyukur, dan senang, atas kenaikan harga komoditas ini. Karena Indonesia merupakan salah satu eksportir Minyak Sawit dan batu bara terbesar dunia. Di samping juga Karet Alam.
Memang, pemerintah terdengar sangat senang. Bahkan bangga. Dolar mengalir deras ke Republik ini. Kenaikan harga komoditas di-klaim sebagai keberhasilan (pemerintah). Boleh-boleh saja. Meskipun semua pihak paham, keberhasilan ini mayoritas akibat kenaikan harga komoditas.
Pemerintah memang patut senang. Bagaimana tidak. Surplus neraca perdagangan meroket. Mencapai 35,3 miliar dolar AS untuk tahun 2021. Tertinggi sejak 2007 yang mencatat surplus sebesar 39,6 miliar dolar AS. Juga akibat harga komoditas yang tinggi ketika itu.
Realisasi penerimaan negara (APBN) juga meningkat tajam pada 2021, mencapai Rp2.003,1 triliun, atau 14,1 persen di atas target. Atau 21,6 persen di atas realisasi penerimaan negara tahun 2020. Cukup menggembirakan.
Baca Juga: Presidential Threshold, Mahkamah Konstitusi dan Revolusi (Mental)
Yang juga terlebih senang adalah para pengusaha oligarki. Mereka bahkan lebih senang dari pemerintah. Karena dolar komoditas yang mengalir ke Republik ini sebenarnya milik mereka. Milik sekelompok kecil oligarki. Meskipun komoditas tersebut dihasilkan dari lahan negara, yang notabene adalah lahan rakyat juga. Tetapi, dolarnya dimiliki oleh para pengusaha oligarki. Negara hanya dapat uang kecil dari pajak dan non-pajak.
Kisah menggembirakan ini hanya berlaku bagi pemerintah dan pengusaha oligarki. Tidak bagi rakyat yang malah mendapat derita dan nestapa. Rakyat mendapat derita dari kenaikan harga komoditas yang diproduksi di tanah milik negara, di tanah milik rakyat (daerah).
Bayangkan, PLN sebagai perusahaan listrik milik negara, dan milik rakyat, hampir saja kehabisan persediaan batu bara. Kalau itu terjadi, listrik bisa padam. Rakyat akan menderita.
Karena, menurut cerita, harga pembelian batu bara oleh PLN relatif rendah, dipatok 70 dolar AS per ton. Jauh lebih rendah dari harga internasional, atau Harga batu bara acuan pemerintah yang sudah mencapai di atas 150 dolar AS per ton, per September 2021. Perbedaan harga ini membuat pengusaha oligarki lebih suka menjual barangnya di pasar internasional. Sehingga PLN kelimpungan mendapat pasokan.
Untuk masalah ini sudah dicarikan jalan keluarnya. Menurut rumor, PLN nanti akan diwajibkan membeli batu bara dengan harga pasar internasional. Kalau ini terjadi, tarif listrik PLN bisa naik. Menambah derita rakyat.
Kenaikan harga minyak sawit juga membuat rakyat menderita. Harga minyak goreng melesat, melewati Harga Eceran Tertinggi (HET) kemasan sederhana yang ditetapkan Rp11.000 per liter terlewati. Tetapi, tidak ada sanksi. Harga minyak goreng bahkan sempat mencapai lebih dari Rp20.000 per liter.
Derita rakyat masih berlanjut. Harga minyak goreng kemudian ditetapkan paling mahal Rp14.000 per liter. Katanya, disubsidi. Hal ini, perlu diapresiasi. Tapi sayangnya barang sering kali kosong. Pembelian juga dibatasi. Subsidi benaran atau pencitraan?
Anehnya, subsidi minyak goreng ini diambil dari dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Tentu saja jumlah dana ini terbatas. Di samping, dana ini seharusnya digunakan untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit. Lalu, bagaimana mekanisme pertanggung jawaban subsidinya? Siapa yang bertanggung jawab kalau minyak goreng kosong? Chaos.
Baca Juga: Suara IMF Suara Rakyat Indonesia, Rupiah Melemah?
Seyogyanya, kalau mau serius, subsidi minyak goreng, dan juga subsidi listrik, diambil dari APBN. Bukankah penerimaan negara APBN melesat akibat kenaikan harga komoditas? Kenaikan ini seharusnya dikembalikan kepada rakyat, dalam bentuk subsidi akibat kenaikan harga komoditas ini. Antara lain, subsidi minyak goreng. Bukan untuk membangun yang lain, seperti kabupaten Penajam Paser Utara.
Penderitaan rakyat semakin lengkap dengan kenaikan pajak pertambahan nilai pada April mendatang.
Namun, di lain sisi, pengusaha oligarki (dan pemerintah) sedang bergembira, berpesta dolar komoditas. Di atas nestapa rakyat. Inilah kisah ironi di Nusantara, rakyat sengsara di negeri kaya komoditas, di tengah meroketnya harga dunia.
Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com-Pemindahan Ibu kota sebuah negara merupakan hal biasa. Terjadi di banyak negara di dunia. Meskipun tidak semuanya sukses. Ada yang gagal seperti Nay Pyi Taw, ibukota baru Myanmar yang ditetapkan tahun 2005.
Yang kini, konon, menjadi “kota hantu”. Mohon frasa “kota hantu” ini jangan diplintir. Frasa ini bukan mau menghina penduduk Nay Pyi Taw. Tetapi hanya sebagai arti kiasan, menunjukkan sebuah kota yang sepi. Bukan kota yang benar-benar dihuni oleh hantu. Sebelum dipolisikan, saya mohon maaf kepada penduduk Nay Pyi Taw.
Tetapi, pemindahan Ibu kota akan menjadi tidak biasa kalau prosesnya penuh misteri, di luar prosedur umum. Terkesan sebagai kolaborasi antara eksekutif dan legislatif: antara pemerintah dan DPR. Ada yang memaknai “kolaborasi” sebagai persekongkolan. Silakan saja. Meskipun kata persekongkolan mengandung arti negatif.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Pembentukan ibu kota negara (IKN) baru yang dinamakan Nusantara memang terkesan tidak lazim. Proses pengesahan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) sangat cepat, bagaikan kilat. Dan terkesan menghindari diskusi publik.
Pembentukan dan pemindahan ibu kota seharusnya sangat mudah. Karena semua prosedur sudah tertulis jelas di dalam UU dan Konstitusi. Hal ini diatur di Bab VI, Penataan Daerah, dari Pasal 31 hingga Pasal 56, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya Bagian Ketiga: Penyesuaian Daerah, Pasal 48 hingga Pasal 56, yang mengatur antara lain pemindahan ibukota: Pasal 48 ayat (1) huruf d.
UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan perintah Konstitusi UUD yang tertuang di dalam BAB VI, Pasal 18 hingga 18B, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (7) berbunyi Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Karena itu, pembentukan kota dan pemindahan Ibu Kota yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas melanggar UU Pemerintahan Daerah, dan juga melanggar Konstitusi.
Pembentukan dan penetapan Ibukota Negara (IKN) Nusantara jelas tidak sesuai peraturan perundang-undangan seperti dijelaskan di atas. Tidak sesuai Konstitusi. Kondisi ini diperparah dengan upaya “zigzag” dalam penetapan IKN Nusantara, yang hasilnya juga melanggar UU dan Konstitusi.
Upaya “zigzag” ini untuk mengambil jalan pintas. Mencari kelemahan hukum, menghindari prosedur normal sesuai UU dan Konstitusi. Yang menyedihkan, upaya “zigzag” hukum ini semakin sering dilakukan. Dan terbukti, beberapa UU (atau Pasal dalam UU) dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Begitu juga dengan IKN Nusantara, yang tidak lagi dalam bentuk kota (atau daerah). Tetapi dianggap sebagai sebuah kawasan (administrasi) dalam bentuk Otorita. Hal ini dilakukan agar pembentukan kota dan Ibu Kota dapat dilakukan secepat kilat. Tidak perlu persetujuan DPRD setempat dan persyaratan lainnya seperti perintah UU Pemerintah Daerah.
Kedua, agar “kepala daerah” IKN tidak perlu dipilih secara demokratis seperti perintah Pasal 18 ayat (4) UUD. Karena, Kawasan Otorita IKN Nusantara rencananya diketuai oleh Ketua Otorita yang dapat diangkat secara langsung oleh Presiden. Selain itu, Kawasan Otorita juga tidak mempunyai perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Konsep hasil “zigzag” hukum ini juga melanggar UU dan Konstitusi. Pertama, Ibu Kota adalah sebuah kota, di antara kota-kota yang tersebar di sebuah negara, yang kemudian ditunjuk sebagai IBU KOTA, dan biasanya menjadi pusat kegiatan resmi pemerintah, serta menjadi domisili perwakilan negara lain (kedutaan besar) dan organisasi internasional.
Bisa saja ibu kota negara diberi status khusus sebagai Provinsi, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini sesuai dengan UUD, Pasal 18 ayat (1) yang berbuni Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Artinya, Ibu Kota tidak boleh dalam bentuk sebuah Kawasan. Selain tidak dikenal di dalam (susunan Pemerintahan Daerah di dalam) UUD, Kawasan umumnya terdiri dari beberapa kota atau desa (daerah) seperti Daerah Industri Pulau Batam (di bawah pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam).
Baca juga: Presidential Threshold, Mahkamah Konstitusi dan Revolusi (Mental)
Kawasan juga bisa mencakup lintas Kabupaten yang di dalamnya terdiri dari berbagai Kota seperti Kawasan Pariwisata Danau Toba (di bawah pengelolaan Badan Otorita Pengelola Kawasan Wisata Danau Toba).
Karena itu, Kawasan tidak mungkin bisa berwujud Kota, dan tidak bisa menjadi ibu kota.
Kemudian, pembentukan Kawasan tidak bisa menghilangkan status kota (daerah). Sehingga status Kota (dan desa) di dalam sebuah Kawasan (IKN) masih tetap ada, dan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Daerah (Kabupaten Penajam Paser Utara).
Kawasan juga tidak bisa menjalankan fungsi administrasi Pemerintahan Daerah. Kawasan tidak bisa mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk. Kawasan juga tidak boleh mempunyai satuan keamanan. Karena, semua itu fungsi dari Pemerintah Daerah.
Terakhir, pembentukan Kawasan pada hakekatnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditugaskan untuk tujuan tertentu. Misalnya pengembangan industri (Batam), pengembangan pariwisata (Danau Toba, Labuan Bajo), dan lainnya. Bukan untuk fungsi Pemerintahan Daerah, apalagi sebagai ibu kota.
Kesimpulan, Kawasan Ibu Kota Negara Nusantara cacat hukum, karena bukan sebagai kota, dan tidak bisa menjadi Ibu Kota.
— 000 —
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Inflasidi berbagai negara meningkattajam, menebar ancaman baru bagi ekonomi dunia yang belum pulih sepenuhnya dari resesi pandemi covid-19. Amerika Serikat mencatat inflasi 6,2 persen secara tahunan pada Oktober 2021, dibandingkan Oktober 2020 (Year on Year, YoY). Tingkat inflasi ini merupakan yang tertinggi selama 30 tahun terakhir.
Inflasi adalah kenaikan harga untuk sekelompok barang konsumsi yang tercermin di dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Selain inflasi barang konsumsi, inflasi lainnya adalah inflasi harga produksi yang dinamakan Producer Price Index (PPI) atau Indeks Harga Produsen (IHP). Yaitu, kenaikan harga (atau biaya) produksi di tingkat produsen.
Kenaikan biaya produksi akan membebani daya beli masyarakat, dan akan membebani ekonomi secara keseluruhan. Karena para produsen pada umumnya akan membebani kenaikan biaya produksi tersebut kepada masyarakat, sehingga harga-harga barang akan naik. Kalau pasar belum bias menyerap kenaikan biaya produksi ini, maka produsen yang akan menanggungnya. Laba perusahaan berkurang. Dalam kondisi ekonomi yang masih lemah, banyak perusahaan akan rugi akibat kenaikan biaya produksi ini.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Inflasi harga produsen Amerika Serikat pada Oktober2021 juga sangat tinggi, mencapai 8,6 persen (YoY). Inflasi biaya produksi ini mendekati inflasi tertinggi pada awal 2008, ketika terjadi gelembung ekonomi yang mengakibatkan krisis financial global 2007-2008.
Kenaikan biaya produksi bukan saja terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga terjadi di semua negara maju, serta juga terjadi di China sebagai negara produsen dan eksportir terbesar dunia. Kenaikan biaya produksi di China bahkanjauh lebih besar dari Amerika Serikat. Inflasi biaya produksi pada Oktober 2021 tercatat13,5 persen, menjadi yang tertinggi selama 26 tahun terakhir, sejak pertengahan 1995.
Data inflasi yang meningkat tajam tersebut menimbulkan dua pertanyaan besar. Pertama, mengapa inflasi biaya produksi bias naik begitu tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang belum pulih sepenuhnya? Kedua, apa konsekuensi kenaikan inflasi yang begitu tinggi terhadap ekonomi dunia dan Indonesia?
Pandemi covid-19 menyeret ekonomi dunia masuk resesi sejak awal 2020. Untuk melawan resesi tersebut hamper semua negara di dunia memberlakukan stimulus fiskal dan stimulus moneter yang sangat agresif, sejak Maret 2020. Bank sentral terkemuka dunia seperti the FED (Federal Reserve), BOE (Bank of England), dan ECB (European Central Bank) menurunkan suku bunga acuan mendekati nol persen dalam hitungan hari.Tidak berhenti di situ, bank sentral terkemuka tersebut juga memberlakukan Quantitative Easing secara agresif untuk membanjiri likuiditas, dengan membeli surat berharga pemerintah yang dipegang oleh sector keuangan.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Akibat stimulus moneter ini sangat luar biasa. Harga komoditas melonjak di tengah resesi. Harga rata-rata bulanan minyak mentah (WTI) naik 185 persen dalam sembilan bulan, terhitung April 2020 hingga Desember 2020. Harga batubara, minyak kelapa sawit dan karet masing-masing naik 42 persen, 67 persen dan 75 persen. Sedangkan permintaan dunia terhadap komoditas tersebut masih stagnan di tengah resesi.
Harga komoditas lanjut meroket pada 2021. Harga rata-rata bulanan minyak mentah dunia naik 333 persen pada September 2021 dibandingkan April 2020. Harga batubara naik 217 persen dan harga minyak kelapasawit naik 94 persen, untuk periode yang sama. Kenaikan harga komoditas yang tinggi ini membuat biaya produksi naik: indeks harga produsen naik.
Penjelasan di atas menggambarkan secara jelas bahwa kebijakan stimulus moneter dan Quantitative Easing sebagai upaya untuk mengatasi resesi ekonomi pandemi 2020, malah mengakibatkan harga komoditas melonjak, dan menyebabkan inflasi tinggi. Kenaikan harga komoditas ini terjadi di tengah ekonomi masih lemah dan belum pulih sepenuhnya, serta tingkat pengangguran masih relative tinggi. Kondisi seperti ini, yaitu di mana inflasi tinggi dan tingkat pengangguran juga tinggi, dinamakan stagflasi dan menjadi ancaman mengerikan bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pada umumnya, tingkat pengangguran dan inflasi mempunyai korelasi negatif. Artinya, kalau tingkat pengangguran tinggi, daya beli lemah, maka inflasi rendah, atau bahkan deflasi seperti terjadi pada awal resesi 2020. Sebaliknya, kalau tingkat pengangguran rendah, daya beli relative kuat, maka inflasi cenderung meningkat.
Kondisi umum tersebut tidak berlaku kalau inflasi disebabkan oleh kenaikan biaya produksi, atau cost-push inflation, seperti yang sekarangs edang terjadi melalui kenaikan harga komoditas minyak mentah, batubara, serta komoditas pangan dan mineral lainnya, yang disebabkan oleh stimulus moneter dan Quantitative Easing yang berlebihan.
Baca juga: Menihilkan Peran DPD Merupakan Penghinaan dan Pengkhianatan Kepada Daerah
Kalau kondisi ini dibiarkan terus berjalan, maka stagflasi tahun 1970-an bias terulang. Harga minyak mentah tahun 1970-an naik dari sekitar 3 dolar AS per barel pada akhir 1972 menjadi 35 dolar per barel pada 1981, membuat biaya produksi naik di tengah tingkat pengangguran yang relative tinggi.
Kondisi ekonomi saat ini bisamenuju stagflasi kalau Quantitative Easing terusberlanjut dalam jumlah massif seperti sekarang, membuat harga komoditas masih terus naik, dan memicu biaya produksi dan harga konsumen naik lebih tinggi.
Perlu menjadi catatan bahwa harga komoditas saat ini masihjauh di bawah harga tertinggi pada pertengahan 2008 atau awal 2011. Artinya, bahaya kenaikan hargakomoditas masih sangat riil.
Untuk mengatasi kenaikan harga komoditas dan inflasi, bank sentral dunia diperkirakanakan mengambil kebijakan koreksi dengan mengurangi jumlah stimulus Quantitative Easing, dan secara perlahan-lahan menaikkan suku bunga acuan.
Sebagai konsekuensi, kenaikan suku bunga dan pengetatan moneter akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang memang belum pulih sepenuhnya. Varian baru virus omicron menambah kompleksitas pemulihan ekonomi, berpotensi membawa ekonomi dunia masuk resesi kembali. Pembatasan sosial dan mobilitas domestik dan internasional diperketat.
Perkembangan ekonomi dunia saat ini tidak menguntungkan bagi Indonesia yang dalam posisi serba sulit.
Kalau kebijakan Quantitative Easing berlanjut, inflasi akan meningkat, ekonomi Indonesia akan stagnan dan cenderung resesi. Inflasi di Indonesia akan naik tajam. Karena harga bahan bakar domestic akan naik, harga bahan baku impor melonjak, sehingga mendongkrak biaya produksi dan harga barang jadi.
Saat ini, kenaikan harga beberapa bahan pokok pangan sudah terjadi. Harga minyak goreng sudah naik lebih dari 60 persen, menuju 100 persen atau lebih, dan sudah tembus batas Harga EceranTertinggi (HET). Aneh tapi nyata. Pengusaha minyak goreng boleh melanggar HET. Tetapi, pengusaha komoditas lainnya, seperti beras atau gula, jangan pernah coba-coba melanggar HET. Karena bias bernasib naas, ditangkap dan dipenjara. Semua ini seperti menjadi contoh nyata di mana kebijakan untuk oligarki bias disesuaikan menurutkeperluan, meskipun melanggar peraturan. Sedangkan kebijakan untuk petani, peraturan harus tegak. Ini yang dinamakan hokum tumpul keatas dan tajam kebawah?
Baca juga: Majelis, Kembalikan Kedaulatan Rakyat!
Sebaliknya, kalau kebijakan koreksi moneter terjadi: Quantitative Easing dihentikan dan suku bunga acuan bank sentral naik, maka ekonomi Indonesia akan melambat, dan berpotensi masuk resesi. Pertama, kebijakan koreksi ini akan membuat harga komoditas andalan ekspor Indonesia turun, membuat deficit neraca transaksi berjalan melebar, membuat kurs rupiah tertekan. Untuk menahan laju aliran dolar keluar negeri (capital outflow), Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan sebagai respons atas kenaikan suku bunga bank sentral lainnya. Semua ini membuat ekonomi tertekan.
Permasalahan Indonesia bertambah kusut karena kenaikan tarif PPN dan perluasan barang kena pajak yang menyasar bahan pokok pangan, jasa kesehatan dan jasa pendidikan tertentu akan diberlakukan pada April tahun depan. Kenaikan PPN ini akan membebani daya beli masyarakat dan memicu inflasi. Di lain sisi, tekanan harga komoditas akan membuat pendapatan negara dari pajak dan bukan-pajak akan turun, membuat stimulus fiscal menjadi lebih terbatas.
Dengan kata lain, masa depan ekonomi Indonesia terlihat cukup suram. Mencemaskan. Resesi mengintai.
— 000 —