Beritaneka.com—Protes pemerintah Tiongkok terkait pengeboran minyak di Laut Natuna Utara diniliai tidak memiliki dasar hukum. Untuk itu kalangan DPR mendukung pemerintah mengabaikan protes tersebut. Demikian ditegaskan Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani.
China diketahui meminta Indonesia menghentikan eksplorasi pengeboran minyak dan gas di Natuna yang merupakan kawasan yang diklaim sepihak oleh Beijing sebagai bagian dari teritorial di Laut China Selatan.
“Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas nine dash line dan karenanya tidak perlu menanggapi protes-protes tanpa dasar hukum tersebut,” ujar tegas politisi Partai Golkar tersebut dalam keterangan tertulisnya, yang dikutif, Selasa (7/12/2021).
Baca juga: Didukung DPR, Kejagung Segera Lelang Aset Koruptor Jiwasraya
Christina menambahkan, sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), ujung selatan Laut China Selatan merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang sejak tahun 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.
“Sesuai ketentuan Pasal 56 Unclos, Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayah tersebut,” imbuh legislator dapil DKI Jakarta II ini.
Untuk itu, Christina mendorong Pemerintah Indonesia memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai coast guard untuk menjalankan tugas-tugas pengamanan terhadap kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi di ZEE.
“Kehadiran negara dalam berbagai bentuk di wilayah ZEE harus diintensifkan sebagai penangkal klaim-klaim sepihak negara lain,” ungkapnya. Terakhir, Christina meyakini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam hal ini sudah dan akan terus melakukan langkah-langkah diplomatik terukur.
Baca juga: DPR Dukung Kerjasama Internasional untuk Ketahanan Ekonomi
Beritaneka.com—Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPU) DPD RI telah menyepakati 40 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.
Beberapa RUU yang menjadi sorotan publik seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ada dalam daftar prioritas.
UU Nomor 11 Tentang 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai proses legislasinya inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi prioritas dan masuk ke dalam daftar RUU kumulatif terbuka.
Baca Juga: Perkuat Visi Bersama, KPK Galang Sinergi dengan Aparat Penegak Hukum Terkait
Daftar RUU ini akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada hari ini Selasa (7/12/2021) pukul 10.00 WIB.
“Rapat Kerja Baleg DPR RI dengan Menkumham RI dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI dalam rangka penyusunan Prolegnasgram Legislasi Nasional RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 dan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2022, menyetujui untuk menyepakati Program Legislasi Nasional RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 sebanyak 254 RUU sebagaimana terlampir,” kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dalam Raker di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/12/2021).
Politikus Partai Gerindra ini melanjutkan Baleg DPR, Menkumham dan PU DPD RI menyetujui jumlah Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022 sebanyak 40 RUU sebagaimana terlampir. Serta, memasukkan satu RUU ke dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka, yakni RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Nomor 1-26 merupakan RUU usulan DPR RI baik dari anggota maupun komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD); nomor 27-38 merupakan RUU usul inisiatif pemerintah; dan nomor 39-40 merupakan usul inisiatif DPD RI.
Berikut Daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022 yang kami himpun:
1.Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
- Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
- Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Psikologi.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
12.Rancangan Undang-Undang tentang Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
- Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
- Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
- RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau, Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara, dan Pengadilan Tinggi Papua Barat.
- RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Palembang, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Banjarmasin, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado.
- Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Riau, Pengadilan Tinggi Agama Bali, Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Barat, Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Utara, dan Pengadilan Tinggi Agama Papua Barat.
- Rancangan Undang-Undang tentang Bahan Kimia.
- Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Anggota DPR RI.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama.
- Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
- Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi.
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
- RUU tentang Hukum Acara Perdata.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
- RUU tentang Ibu Kota Negara.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (RUU tentang Landas Kontinen).
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah).
- RUU tentang Wabah (dalam Prolegnas 2020-2024 tertulis: RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular).
- RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
- RUU tentang Desain Industri (dalam Prolegnas 2020-2024, tertulis: RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri).
- RUU tentang Daerah Kepulauan.
- RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.
Baca Juga: Mahfud MD Dorong Diskusi Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Daftar RUU Kumulatif Terbuka:
1.Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pengesahan Perjanjian Internasional
- Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka akibat Putusan Mahkamah Konstitusi, RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (DPR/Pemerintah)
- Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
- Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
- Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Beritaneka.com—Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal melelang sejumlah barang rampasan milik para terpidana kasus mega korupsi dan pencucian uang pada PT Asuransi Jiwasraya. Rencana ini didukung DPR. Barang rampasan itu akan dilelang secara virtual atau online melalui website lelang pada 24 November mendatang dengan perkiraan nilai mencapai Rp11,19 miliar.
Wakil Ketua Komi,si III DPR RI Ahmad Sahroni menilai pengembalian kerugian keuangan negara dari para koruptor memang harus terus dioptimalkan. “Pelelangan ini adalah langkah yang sangat baik sebagai bentuk peran aktif kejaksaan dalam mengembalikan uang negara yang dimaling koruptor,” kata Sahroni kepada wartawan.
Baca Juga: Hari Ini Milad Ke-109 Muhammadiyah: Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama
Sahroni menjelaskan, ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung melelang barang-barang sitaan dari para koruptor, seperti di antaranya kapal-kapal mewah yang dimiliki para terpidana korupsi. “Jadi ini track record yang sangat baik,” katanya.
Komisi III DPR akan turut mengawal proses pelelangan aset tersebut. Menurut Sahroni, hal ini penting demi memastikan uang hasil rampasan kembali kepada para korban maupun nasabah dari PT Asuransi Jiwasraya.
Baca Juga: Marsekal Hadi Tjahjanto Resmi Sertijab Panglima TNI ke Jenderal Andika Perkasa
“Itu juga akan saya pantau dan memastikan bahwa dananya kembali ke nasabah. Jadi dana dari pelelangan maupun hasil rampasan bisa dikembalikan kepada para nasabah yang sudah dirugikan,” tutup legislator asal Tanjung Priok ini.
Beritaneka.com—Kalangan anggota DPR mendukung penguatan kerja sama internasional untuk ketahanan ekonomi yang lebih besar dan pemulihan ekonomi yang inklusif serta percepatan ekonomi digital dan peningkatan konektivitas.
“Masalah ekonomi dan perdagangan global menjadi perhatian utama untuk memastikan rebound positifnya setelah hampir dua tahun lesu karena pandemi. Kami harus mengubah krisis ekonomi global yang berlangsung menjadi peluang sempurna untuk bersatu dengan kerja sama yang lebih kuat dari sebelumnya,” ujar Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Yohanis Fransikus Lema.
Anggota Komisi IV DPR RI ini juga mengucapkan terima kasih karena APPF telah mengakomodasi dua rancangan resolusi DPR RI tentang penguatan kerjasama internasional untuk ketahanan ekonomi yang lebih besar dan pemulihan ekonomi yang inklusif serta percepatan ekonomi digital dan peningkatan konektivitas.
Baca juga: Dasar Hukum tidak Jelas, Legislator DPR Kritisi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Politisi PDI-Perjuangan itu menekankan dampak negatif pandemi terhadap ekonomi global seperti meningkatnya permintaan dan gangguan rantai pasokan, aktivitas investasi yang lesu, utang yang membengkak, kontraksi perdagangan dan pariwisata.
“DPR RI juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memperkuat multilateralisme, solidaritas dan kerja sama global dalam menangani pandemi dan dampaknya. Serta mendorong sepenuhnya untuk mengambil langkah-langkah ekonomi hijau untuk mencapai pemulihan ekonomi yang lebih berkelanjutan, pembangunan yang lebih cepat, dan masyarakat manusia yang lebih inklusif,” imbuh Ansy Lema.
Baca juga: Solusi Efektif, Pimpinan DPR Setuju Bentuk Pansus Masalah Garuda Indonesia
Sementara itu, Anggota BKSAP DPR RI Ratih Megasari Singkarru menyadari peran penting digitalisasi, inovasi, dan teknologi dalam mendorong ketahanan UMKM, khususnya di masa pandemi. Mengubah pandemi menjadi percepatan inovasi dan digitalisasi kolaboratif. “Pentingnya memastikan keamanan siber dan perlindungan data pribadi serta hal-hal terkait,” tukas politisi Partai NasDem itu.
Berdasarkan penekanan tersebut, DPR RI menurut Ratih menekankan rancangan untuk mendesak negara-negara Anggota APPF untuk memperkuat kebijakan dan kerangka peraturan yang meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan UMKM; juga mengambil tindakan untuk percepatan konektivitas digital di wilayah.
“Kami mendorong kerja sama yang lebih luas di kawasan untuk mengadvokasi kesadaran tentang manfaat masyarakat digital serta pendidikan dan inklusi digital untuk meningkatkan keterampilan dan literasi digital,” pungkas Anggota Komisi XI DPR RI itu
Beritaneka.com—Kalangan anggota DPR melayangkan kritikan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Alasannya, Permen tersebut mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sebelumnya ditolak masyarakat luas di ranah DPR periode 2014-2019 lalu. Selain itu, dasar hukum dari terbitnya aturan tersebut juga tidak jelas, karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada.
“Padahal Undang-Undang No 12 tahun 2011 pasal 8 ayat 2 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi,” ujar Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Perlu Kepastian, DPR Himbau SE Penghapusan PCR Bagi Penumpang Pesawat Diterbitkan
Lanjut Guspardi, Permen tersebut melampaui kewenangan yang ada. Terlebih, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini masih membahas tentang RUU TPKS. Artinya, Permen ini melangkahi undang-undang serta tidak memiliki cantolan yuridis yang jelas dan spesifik. “Jadi, apa dasar hukum yang menjadi landasan dikeluarkannya kebijakan tersebut,” imbuh Guspardi.
Anggota Badan Legislasi DPR RI itu menambahkan betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan alias suka sama suka. Begitu pula bermunculannya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang kian merebak di masyarakat.
Baca juga: Solusi Efektif, Pimpinan DPR Setuju Bentuk Pansus Masalah Garuda Indonesia
Padahal perilaku seks di luar nikah ataupun LGBT tidaklah dibenarkan dalam norma agama. Tak hanya itu, Permen Nomor 30 Tahun 2021 itu seolah mengesampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus. Pasalnya, cenderung berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satuan tugas (Satgas) di lingkungan kampus.
“Oleh karena bermasalah dari segi yuridis maupun filosofis, beleid yang ditandatangani Mas Menteri Nadiem pada 31 Agustus 2021 itu sebaiknya dicabut dan dibatalkan karena berpotensi menjadi masalah dan memantik polemik di tengah masyarakat dalam implementasinya kedepan,” pungkas politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR RI tersebut.
Sebelumnya, diberitakan sebanyak 13 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mencabut Permen Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hal ini karena dinilai peraturan tersebut telah meresahkan umat Islam.
Beritaneka.com—Kalangan DPR mengapresiasi kebijakan penghapusan tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat. Kebijakan itu sekaligus membuktikan bahwa pemerintah mendengar aspirasi dan masukan dari masyarakat.
“Banyak keuntungan yang diperoleh dari penghapusan kebijakan itu. Diharapkan, kebijakan itu juga dapat menaikkan jumlah penumpang pesawat udara. Dengan begitu, industri penerbangan tetap dapat bertahan di tengah gelombang pandemi saat ini,” ungkap Saleh, seperti dikutif dari laman resmi DPR, Rabu (3/11).
Baca juga: Solusi Efektif, Pimpinan DPR Setuju Bentuk Pansus Masalah Garuda Indonesia
Meski begitu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku pihaknya menunggu surat edaran terkait kewajiban PCR. Sebab, sampai saat ini aturan tersebut belum bisa diterapkan. Bahkan, petugas di bandara belum bisa melaksanakan kebijakan itu sebelum aturan tertulisnya dibuat.
“Aturan itu belum efektif. Ada beberapa teman yang cerita bahwa surat edarannya belum ada. Jadi, hari ini masih tetap PCR seperti sebelumnya. Mesti disegerakan ini. Kementerian mana yang mau mengeluarkan aturannya? Kemenhub? Kemenkes? Atau Kemendagri? Terserah. Yang mana saja OK. Yang penting, segera bisa diterapkan. Masyarakat menunggu,” sambung Saleh.
Baca juga: Situasi Membaik, DPR Optimis Indonesia Dapatkan Izin Umrah dan Haji
Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah diminta untuk menyediakan tempat testing antigen di bandara dan tempat-tempat pemberangkatan penumpang lewat jalur darat. Antigen tentu akan semakin dibutuhkan. Karena itu, petugas dan labaratorium yang melaksanakan test antigen harus diperbanyak.
“Selain itu, harga antigen ini juga harus ditetapkan. Jangan sampai nanti malah harganya naik. Konsekuensi peralihan PCR ke antigen, bisa saja berimbas pada kenaikan harga. Ini yang harus diantisipasi pemerintah,” pungkas legislator dapil Sumatera Utara II tersebut
Beritaneka.com—Kemampuan setiap negara dalam mengendalikan pandemi Covid-19 dan upaya setiap pemerintah dalam melakukan lobi tingkat tinggi dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi adalah kunci untuk memperoleh izin keberangkatan haji dan umrah.
Demikian disampaikan Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (1/11). Bukhori menilai pandemi di Indonesia kian membaik. Perkembangan cakupan vaksinasi nasional juga sudah berjalan ke arah yang positif serta didukung dengan budaya masyarakat untuk disiplin prokes yang kian tinggi.
“Saya kira ini yang menjadi bahan pertimbangan Arab Saudi, sehingga memberikan izin bagi kita untuk melaksanakan umrah sebagaimana kabar ini telah mereka sampaikan melalui kawat diplomatik ke Kementerian Luar Negeri RI,” ujarnya.
Baca juga: Golkar Serahkan Surat Pergantian Wakil Ketua DPR, Lodewijk F Paulus Gantikan Azis Syamsuddin
Bukhori mengatakan, izin umrah bagi Indonesia merupakan sinyal positif bagi rencana pelaksanaan haji di tahun 2022, sepanjang Pemerintah Indonesia mampu menjaga kepercayaan pemerintah Arab Saudi dengan mengendalikan pandemi secara terukur dan transparan.
Selain itu, Bukhori juga menerangkan soal pembangunan infrastruktur terkini di Mekkah yang memungkinkan untuk menampung lebih banyak jemaah haji.
Harapannya, semakin besar kapasitas yang dibangun akan berdampak pada bertambahnya kuota haji Indonesia sehingga bisa memangkas daftar tunggu haji di dalam negeri.
“Dengan pembangunan di Mina yang dibuat bertingkat, kita berharap kuota haji kita bertambah dari 200 ribu menjadi dua atau tiga kali lipatnya. Walhasil, ini bisa mengurangi daftar tunggu jemaah kita yang sebelumnya antara 25 sampai 35 tahun, maka bisa dipersingkat,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Baca juga: Komisi IX DPR Desak Kemenkes Evaluasi Pengadaan Obat dan Alkes
Meskipun Indonesia telah memperoleh izin, Bukhori memaparkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi bagi penyelenggaraan umrah di masa pandemi.
“Tantangan kita saat ini antara lain soal sinkronisasi antara aplikasi PeduliLindungi dan Tawakalna milik Arab Saudi. Terbaru, saya baru saja memperoleh kabar bahwa sinkronisasi ini telah memasuki tahap finalisasi. Kedua, persoalan vaksin booster dan ketiga adalah persoalan isolasi dan biaya karantina,” terang Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut.
“Saya berharap pemerintah mampu menyusun skema penyelenggaraan umrah yang aman, sehat, dan tidak memberatkan calon jemaah. Sebab, keberhasilan pemerintah dalam menyelenggarakan umrah tahun ini akan menjadi modal penting bagi penyelenggaraan haji 2022,” pungkas Anggota DPR RI dapil Jawa Tengah I ini.
Beritaneka.com—Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri serta Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) selaku penyelenggara Pemilu belum mencapai kesepakatan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
Komisi II menginginkan tanggal Pemilu disepakati secara bulat. Saat ini masih terdapat dua usulan tanggal Pemilu 2024, yakni dilaksanakan pada 21 Februari 2024 sebagaimana diusulkan oleh KPU, sementara pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengusulkan Pemilu serentak 2024 dilaksanakan pada 15 Mei 2021.
“Penetapan Pemilu masih ditunda karena Komisi II ingin kesepakatan bulat, sementara Kemendagri melalui Menteri Korpolkam mengusulkan kalau pencoblosan pemilu Pilpres dan Pileg pada 15 Mei 2024. Ini kita sudah konsinyering berapa kali, masih belum ada keputusan,“ ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal, seperti dilansir dari laman resmi DPR, Kamis (7/10/2021).
Baca juga: Golkar Serahkan Surat Pergantian Wakil Ketua DPR, Lodewijk F Paulus Gantikan Azis Syamsuddin
Syamsurizal mengatakan ada kekhawatiran bila Pemilu serentak 2024 dilaksanakan pada Mei 2024. Hal ini disebabkan, Pilkada serentak yang diusulkan untuk diselenggarakan pada 27 November 2024 akan terganggu pelaksanaannya bila Pilpres dilakukan dua putaran.
Menurut Syamsurizal, tanggal Pemilu 2024 perlu diputuskan secara hati-hati agar Pilkada tidak sampai mundur pelaksanaannya ke tahun 2025, mengingat hal ini tidak sesuai dengan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menerangkan Pilkada serentak dilaksanakan pada bulan November 2021. Sehingga diperlukannya Perppu jika Pilkada mundur ke tahun 2025.
“Kalau Pilkada 27 November ada kekhawatiran mepet (jika Pemilu pada Mei 2024). Karena tidak ada yang bisa menjamin Pilpres 1 putaran. Kalau 2 kali putaran ini akan sangat mepet sehingga kita menyepakati jangan sampai ada Perppu, jangan sampai pilkada 2025 karena tidak sesuai dengan UU Pilkada,“ jelas politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Syamsurizal mengatakan, Komisi II akan melanjutkan pembahasan terkait penetapan tanggal Pemilu 2024 setelah masa reses DPR pada masa persidangan I 2021/2022 yang berlangsung hingga awal November 2021. Ia menegaskan tidak ada pembahasan terkait Pemilu saat masa reses ini.
Baca juga: Komisi IX DPR Desak Kemenkes Evaluasi Pengadaan Obat dan Alkes
Selain itu, pihaknya juga menjelaskan bahwa saat ini pun Fraksi di DPR belum mencapai mufakat terkait tanggal pemilu serentak. Syamsurizal pun berharap, pada pembahasan selanjutnya hal ini dapat segera diputuskan secara bulat.
“Komisi II sepakat akan dibahas setelah reses dan pembahasan tidak mungkin dilakukan saat masa reses. Diharapkan sepakat secara menyeluruh karena ada beberapa fraksi menginginkan yang sesuai KPU, ada yang sepakat dengan pemerintah. Jadi belum sepakat saat ini dan kita ingin keputusan nanti suara secara bulat.” harap legislator dapil Riau I ini.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI bersama pemerintah dan penyelenggara Pemilu direncanakan akan membahas waktu pelaksanaan Pemilu 2024 dalam rapat yang diselenggarakan pada 6 oktober 2024. Namun rapat tersebut pun ditunda, dikarenakan ketidakhadiran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang harus menghadiri rapat bersama Presiden Joko Widodo.
Beritaneka.com—Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong optimalisasi anggaran dari APBN guna memperkuat kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR RI dengan BAZNAS dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) di Gedung DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (13/9/2021).
Turut hadir Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tb Ace Hasan Syadzily (Fraksi Partai Golkar), serta anggota Komisi VIII DPR lintas fraksi seperti Lisda Hendra Joni (Fraksi Partai Nasdem), M. Husni (Fraksi Gerindra), John Kenedy Azis (Fraksi Partai Golkar).
Baca juga: Bantu Percepat Capaian Vaksinasi Nasional, BAZNAS Gencarkan Program “Kita Jaga Kyai”
Dari BAZNAS, hadir Ketua BAZNAS RI Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA; Wakil Ketua BAZNAS RI Mo Mahdum; Pimpinan BAZNAS RI Dr Zainulbahar Noor, SE, M.Ec; KH Achmad Sudrajat, Lc, MA; Rizaludin Kurniawan, M.Si; Saidah Sakwan, MA; Dirut BAZNAS M Arifin Purwakananta; Direktur Operasi/Plt Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan Wahyu TT. Kuncahyo; Sekretaris BAZNAS, Dr. H Ahmad Zayadi, M.Pd. Dari BWI turut hadir Ketua BWI Prof. Dr. H. Muhammad Nuh, DEA beserta jajaran.
Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mengatakan, DPR RI mendukung penambahan anggaran operasional BAZNAS tahun 2022 menjadi Rp30 Miliar, guna mengoptimalkan kelembagaan BAZNAS yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Untuk itu, kami juga mendukung BAZNAS menjadi pengguna anggaran yang mempunyai bagian anggaran tersendiri. Komisi VIII DPR RI akan melaksanakan rapat gabungan dengan kementerian Dalam Negeri, BUMN, TNI/Polri dan MenPAN&RB,” ujar Yandri.
Lebih lanjut, Yandri mengatakan agar BAZNAS dan BWI juga dapat meningkatkan sinergitas dengan Bimas Islam Kementerian Agama RI, serta meningkatkan kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melibatkan pemerintah daerah dalam pengelolaan wakaf dan zakat
“Komisi VIII DPR RI akan melakukan revisi Undang-Undang No.41 tahun 2004 dan Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat untuk optimalisasi wakaf dan zakat,” urai Yandri.
Dalam kesempatan tersebut Ketua BAZNAS RI Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA menegaskan kembali bahwa BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No. 23 tahun 2011 yang memiliki visi menjadi lembaga utama menyejahterakan umat.
Maka dari itu, Prof Noor mengatakan perlunya penguatan kelembagaan BAZNAS tidak hanya di pusat tetapi juga kelembagaan BAZNAS Provinsi dan Kabupaten/Kota, baik dari segi manajemen, hingga sarana dan prasarana yang memadai.
Baca juga: BAZNAS Gandeng PT Pos Indonesia Maksimalkan Pelayanan Zakat
Prof Noor memaparkan laporan kinerja zakat 2021 (Januari-Agustus). Pengumpulan Zakat, Infak Sedekah (ZIS) berdasarkan data yang masuk melalui SIMBA 59,54% dengan total pengumpulan mencapai Rp. 3.246.314.217.449.
Saat ini, menurutnya, BAZNAS sedang menjalankan empat agenda besar diantaranya; program Darurat Kesehatan, program Kita Jaga Kyai, program Kita Jaga Usaha dan Kita Jaga Yatim. Adapun total anggaran yang telah dikeluarkan untuk empat program tersebut sebesar Rp. 36.492.174.664.
Hal itupun mendapat dukungan dari anggota Komisi VIII DPR RI Lisda Hendra Joni (Fraksi Partai Nasdem) yang menyampaikan apresiasi terhadap program-program yang saat ini dijalankan BAZNAS dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Ia juga mengimbau agar BAZNAS memperkuat kelembagaan, lebih transparan dan profesional serta mampu bersinergi dengan kementerian-kementerian terkait, hingga perusahaan-perusahaan agar mampu mengoptimalkan potensi zakat di Indonesia.
Beritaneka.com—Pimpinan DPR meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjaman online (pinjol). Permintaan itu merujuk pada kian maraknya praktik pinjaman online ilegal yang sangat merugikan masyarakat.
“Tiap hari kita disodori berita yang menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang yang membengkak secara luar biasa. Pinjam satu-dua juta, tapi pengembaliannya bisa sampai puluhan juta. Ini kan tidak masuk akal. Untuk melindungi masyarakat, saya minta OJK melakukan moratorium. Setop dulu,” ujar Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel, keterangan tertulisnya, Rabu (15/9/2021).
Pinjol sendiri dilahirkan untuk meningkatkan inklusivitas sektor keuangan. Namun dalam praktiknya terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola pinjol ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Seperti diberitakan di berbagai media, rakyat kecil banyak terjerat pinjol. Mereka teriming kemudahan pinjol tapi kemudian tak mampu membayar karena bunganya yang berlipat. Padahal mereka sedang kesusahan, seperti kemiskinan maupun kehilangan pekerjaan. “Kalau praktik pinjol seperti ini maka mereka menjadi seperti rentenir,” tegas Gobel.
Baca juga: Demi Masa Depan Bangsa, DPR Sayangkan Dana Abadi Pesantren Tidak Dikabulkan
Otoritas keuangan, menurut Rachmat perlu melakukan evaluasi serius terhadap keberadaan pinjol. Mereka perlu membuat pemetaan dari berbagai masalah yang muncul selama ini dan bagaimana mengatasinya. Termasuk bagaimana mengatasi perusahaan pinjol yang beroperasi dari luar negeri. Ini harus segera dilakukan, agar situasi tidak semakin memburuk.
Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama yang ilegal. Mereka sulit ditangani karena pemilik pinjol ilegal hanya 22 persen yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan, 44 persen lainnya tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.
Pimpinan DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) ini mengatakan, maraknya pinjol juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk perlu instrospeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan Permodalan Nasional Madani (PNM).
“Maraknya pinjol tidak terlepas dari ketidakmampuan bank, koperasi dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut,” kata wakil rakyat dapil Gorontalo itu.
Karena itu, Gobel berpendapat, pemerintah dan otoritas keuangan segara memperkuat perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM. “Berikan prosedur yang lebih mudah dan perkuat jejaringnya agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri,” tukasnya.
Baca juga: Selisih Anggaran PEN Sangat Besar, Anggota DPR PAN: Memprihatinkan
Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5 persen dari total UMKM yang ada di dalam negeri. Sedangkan sisanya 69,5 persen belum mendapat akses kredit dari bank. Dari jumlah tersebut, sekitar 43 persen dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp1.600 triliun.
“Jadi kesenjangan kredit masih tinggi. Oleh karena itu, tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiayaan, tapi bank, koperasi dan PNM tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibenahi,” tutur Gobel.
Dari sisi regulasi, menurut Gobel, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016. Selain itu, sampai saat ini RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum juga bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju dibentuknya lembaga pengawas yang bersifat independen.
Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU PDP. Namun sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana, sementara untuk pembahasan UU PDP belum ditemukan kata sepakat antara DPR dan pemerintah.