Beritaneka.com, Jakarta—Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) memperbarui ketentuan tentang jenis-jenis aset kripto yang secara legal bisa diperdagangkan di Indonesia. Melalui Peraturan Bappebti 4/2023, kini ada 501 jenis aset kripto yang bisa diperdagangkan di pasar fisik aset kripto di Indonesia. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang ketentuan sebelumnya, yakni 383 jenis aset kripto.
“Masyarakat jangan lupa bertransaksi pada perusahaan yang berizin Bappebti dengan aset kripto yang telah terdaftar,” tulis Bappebti dalam keterangannya, dikutip pada Selasa (20/6/2023).
Masyarakat bisa menyimak daftar aset kripto yang bisa diperdagangkan di pasar fisik
aset kripto melalui laman ini.
Sebagai informasi, aset kripto sendiri mulai populer di Indonesia secara signifikan pada 2017 lalu. Kemudian, pada 2018 pemerintah resmi menetapkan aset kripto sebagai komoditas dan menjadi yurisdiksi Bappebti.
Sepanjang 2020-2021, volume perdagangan aset kripto melonjak drastis seiring dengan diliriknya aset kripto sebagai alternatif instrumen investasi selama masa pandemi. Bappebti mencatat nilai transaksi aset kripto pada 2021 mencapai Rp859,45 triliun.
Kemudian pada 2022, Bappebti merilis aturan baru terkait dengan jenis aset kripto yang bisa diperdagangkan, yakni sebanyak 383 jenis aset. Hingga 2023 ini, total ada 28 calon pedagang fisik aset kripto terdaftar di Bappebti. Total nilai transaksinya selama Januari-Mei 2023 adalah Rp38,5 triliun dengan jumlah pelanggan 17,4 juta.
Beritaneka.com, Jakarta —Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat data transaksi aset kripto meningkat pesat.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti, Tirta Karma Senjaya mengatakan, perdagangan fisik aset kripto merupakan salah satu komoditi yang sangat diminati masyarakat akhir-akhir ini. Hal tersebut terlihat dari nilai transaksi pada 2021 sebesar Rp859,4 triliun atau naik 1.224 persen dibandingkan pada 2020 sebesar Rp64,9 triliun.
Selain itu, peningkatan terlihat dari transaksi Januari-Juni 2022 yang telah mencapai Rp212 triliun. Hingga Juni 2022, pelanggan aset kripto di Indonesia tercatat sebanyak 15,1 juta pelanggan.
“Dengan tingginya minat masyarakat yang berinvestasi di bidang perdagangan fisik aset kripto, masyarakat diminta agar terlebih dahulu paham dengan benar produk dan mekanisme perdagangannya,” kata Tirta dalam keterangan resminya, Kamis (28/7/2022).
Baca Juga:
- NIK Jadi NPWP, Begini Cara Pakainya
- Anies Resmikan JIS: Dibangun 100 Persen oleh Keringat Anak Bangsa
- Prabowo Capres 2024, Hasil Survei SPP: Mantap Berada di Puncak Elektabilitas
Tirta menyarankan beberapa hal kepada investor kripto, sebagai berikut;
Pertama, masyarakat harus menjadi pelanggan pada perusahaan yang memiliki tanda daftar dari Bappebti.
Kedua, memastikan dana yang digunakan adalah dana lebih yang dihasilkan secara legal dan bukan dana yang digunakan kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, menginvestasikan dana untuk jenis produk yang telah ditetapkan Bappebti.
Keempat, mempelajari risiko yang mungkin timbul dan perkembangan harga komoditi yang terjadi karena harga yang fluktuatif.
Lalu kelima, pantang percaya janji-janji keuntungan tinggi atau tetap.
“Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, ketahui terlebih dahulu profil dan legalitas CPFAK dengan mengakses situs resmi Bappebti di tautan https://www.bappebti.go.id,” katanya.
Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengatur kegiatan investasi mata uang digital kripto atau cryptocurrency seperti bitcoin dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kemenkeu dan Bank Sentral mulai step in. Kita sedang dalam proses diskusi dengan Gubernur BI dan OJK,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan anggota Komisi XI Andreas Susetyo mengenai regulasi investasi cryptocurrency yang diminati masyarakat dalam rapat kerja dengan Komisi XI, belum lama ini.
Menkeu menyebutkan secara prinsip regulasi investasi mata uang kripto diatur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Namun, opsi pengaturan juga sedang dilihat dari sisi kebijakan fiskal dan moneter.
Baca Juga: PPN Sembako Kebijakan Tidak Masuk Akal, Netty: Berhentilah Menguji Kesabaran Rakyat
Menkeu memaparkan regulasi baru tentang investasi uang kripto dari kacamata kebijakan fiskal perlu dilakukan dengan cermat. Pemerintah perlu melihat praktik yang sudah diterapkan negara lain terkait dengan investasi uang kripto seperti bitcoin.
Menkeu menjelaskan kemampuan pemerintah dalam memperkenalkan legislasi terkait kegiatan ekonomi baru seperti uang kripto perlu ditingkatkan. Dengan demikian, aturan pemerintah mampu mengimbangi dinamika ekonomi digital seperti yang berlaku pada komoditas seperti uang kripto.
“Kecepatan legislasi dan perkembangan teknologi ini perlu disinkronisasi, karena perubahan yang terjadi sangat besar,” katanya.
Data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) hingga Februari 2021 mencatat jumlah investor aset kripto mencapai 4,2 juta orang.
Jumlah tersebut lebih banyak dari data investor yang dihimpun Bursa Efek Indonesia yang hanya 2 juta akun single investor identification (SID). Adapun sampai saat ini setidaknya sudah ada 13 perusahaan yang memperoleh tanda daftar sebagai calon pedagang fisik aset kripto.
Perusahaan yang sudah terdaftar, antara lain, PT Indodax Nasional Indonesia (INDODAX), PT Crypto Indonesia Berkat (TOKOCRYPTO), PT Zipmex Exchange Indonesia (ZIPMEX), PT Indonesia Digital Exchange (IDEX) dan PT Pintu Kemana Saja (PINTU), PT Luno Indonesia LTD (LUNO), PT Cipta Koin Digital (KOINKU), PT Tiga Inti Utama, PT Upbit Exchange Indonesia, PT Bursa Cripto Prima, PT Rekeningku Dotcom Indonesia, PT Triniti Investama Berkat dan PT Plutonext Digital Aset.
Bitcoin Bisa Kena Pajak
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, wacana penarikan pajak dari mata uang kripto masih terus dikaji. Mata uang kripto merupakan perluasan objek pajak baru yang jenis pajaknya masih harus ditentukan sesuai dengan model bisnis kripto.
“Kripto ini sesuatu barang baru. Nah untuk kripto ini sendiri kami sedang terus melakukan pendalaman, seperti apa, sih, model bisnis kripto ini,” kata Suryo Utomo dalam suatu kesempatan media briefing di Gedung DJP, Jakarta.
Suryo menuturkan, pihaknya masih mengkaji apakah mata uang kripto masuk ke dalam kategori barang/jasa yang perlu dipajaki atau produk pengganti uang. “Kalau kita bicara UU pajak, atau UU yang paling sederhana UU PPh dan UU PPN. UU PPN pasti yang dikenakan adalah barang dan jasa yang masuk kepabeanan. Apakah kripto ini termasuk barang dan jasa, apakah dia ini sebagai pengganti uang atau bukan?,” kata Suryo.
Baca Juga: Megawati Peroleh Profesor, Merusak Atmosfer Akademik di Indonesia
Kendati demikian, Suryo memberi kisi-kisi bahwa mungkin saja pajak atas mata uang kripto dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh investor. Misalnya, ketika investor berinvestasi Rp1 juta kemudian mendapat Rp3 juta, maka investor itu mendapat keuntungan Rp2 juta. Keuntungan inilah yang akan dikaji skema dan sistem pemajakannya.
“Apakah Rp3 juta ini betul-betul sesuatu yang kita bisa tukarkan dengan uang nyata? Diskusi mengartikan Rp3 juta itu dapat ditukar dengan uang nyata. Lalu bagaimana majakinnya? Nanti kita bahas majakinnya begini, nanti kita potong atau kita pungut,” kata Suryo.