Beritaneka.com—Pemerintah Presiden Jokowi resmi memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Jawa-Bali hingga 2 Agustus 2021. Menyikapi kebijakan itu Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyerukan agar hak rakyat jangan dilupakan.
Pemerintah harus meningkatkan pemberian bansos dan bantuan untuk usaha mikro dan kecil. Memastikan Bansos sampai tepat sasaran karena masih banyak belum diterima oleh rakyat terdampak.
“Seharusnnya, pendistribusian bantuan dilakukan seiring dengan diberlakukannya PPKM Darurat/Level4. Jika sudah menerima bantuan, masyarakat pun akan bisa menerima dan menaati aturan-aturan yang ditetapkan selama pemberlakukan PPKM Darurat/Level 4,” ujar Hergun-sapaan akrab Heri Gunawan, melalui keterangan tertulisnya.
Baca juga: Anggota DPR: Opsi PSBB Harus Segera Diambil Atasi Lonjakan Covid-19
Mengatasi pandemi Covid-19, pemerintah menaikkan anggaran dari semula Rp193,93 triliun menjadi Rp214,95 triliun. Anggaran kesehatan tersebut, lanjut Hergun, dialokasikan untuk biaya perawatan pasien, insentif nakes, penyediaan obat covid, pembangunan rumah sakit darurat, dan percepatan vaksinasi.
“Meskipun anggaran kesehatan dinaikkan, namun pelaksanaanya di lapangan kurang maksimal. Misalnya, insentif nakes di daerah dilaporkan masih tersendat,” ujar politisi Partai Gerindra ini.
Hergun juga meminta anggaran untuk nakes diberikan tepat pada waktunya. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, per 17 Juli 2021 realisasi insentif nakes baru mencapai 23,6 persen atau Rp2,09 triliun dari pagu anggaran Rp8,85 triliun. Padahal, nakes merupakan garda terdepan penanggulangan pandemi. Sudah seharusnya mendapatkan prioritas atas hak-haknya.
“Nakes sudah berjuang mempertaruhkan nyawa dengan mendampingi dan merawat pasien Covid-19. Peluang terpapar virus sangat besar. Bahkan, sudah banyak nakes yang meninggal dunia akibat terpapar virus,” ungkapnya.
Baca juga: Menuju Kemandirian Bangsa, Komisi VII DPR Dukung Riset Vaksin Merah Putih
Selain itu, obat-obatan juga dilaporkan mengalami kelangkaan. Hal tersebut diketahui ketika Presiden Jokowi mengecek ketersediaan obat di apotek Kota Bogor, Jawa Barat. Presiden tidak menemukan obat yang dicarinya.
Menurut apotekernya, obat yang dicari presiden yaitu Oseltamivir, Gentromicyn, Favipiravir, dan multivitamin, sudah sebulan tidak tersedia. Ketidaktersediaan obat yang dicari Presiden di apotek Kota Bogor menimbulkan kecurigaan tentang dugaan adanya penimbunan obat.
Pasalnya, tutur Hergun, BUMN Farmasi di hadapan DPR sudah menyatakan telah memproduksi obat-obatan dalam jumlah yang melebihi kapasitas produksinya untuk memenuhi pasokan pasaran.
“Semoga kelangkaan obat bukan karena penimbunan. Kalaupun terindikasi ada oknum yang menimbun obat Covid-19, sudah selayaknya aparat kepolisian mengusut pihak yang terlibat dalam penimbunan obat dan barang-barang penanganan pandemi Corona ini,” tandas legislator dapil Jawa Barat IV ini.
Hergun menyerukan semua komponen bangsa bersatu untuk kepentingan bangsa dan negara. Berbagai kendala diharapkan bisa segera diperbaiki agar pelaksanaan perpanjangan PPKM Level 4 dan penyaluran bantuan untuk rakyat bisa berjalan lancar. Perkembangan Covid-19 per 25 Juli 2021 menunjukkan jumlah penambahan kasus positif dan pasien meninggal masih cukup tinggi. Kasus positif tercatat bertambah sebanyak 38.679 kasus.
Beritaneka.com—Lonjakan kasus Covid-19 semakin tinggi. Kalangan DPR meminta pemerintah agar memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna mengendalikan pandemi Corona.
“Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro terbukti tidak efektif menahan mobilitas masyarakat. Akibatnya lonjakan kasus Covid-19 sulit dikendalikan. Pemerintah harus segera berlakukan PSBB, bahkan lockdown total,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Rabu (23/06/2021).
Baca juga: PKS Ajak Semua Elemen Lakukan Politik Menyenangkan
PSBB sendiri diatur melalui UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada 31 Maret 2020, pemerintah menetapkan aturan lebih lanjut terkait PSBB melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.
Menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII ini, pandemi akan efektif dikendalikan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, tegas dan melibatkan partisipasi luas masyakarat. “Masyarakat harus dipaksa agar disiplin prokes melalui aturan yang ketat dan tegas. Tanpa aturan yang tegas dan setengah hati, masyarakat yang sudah jenuh dengan keadaan pandemi akan abai dan tidak peduli. Opsi pemberlakukan PSBB seperti di awal pandemi harus diambil. PSBB ketat yang diterapkan di Jakarta dulu, terbukti mampu menurunkan angka kasus secara signifikan,” tambahnya.
Diketahui jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah menembus angka lebih dari 2 juta, tepatnya 2.004.445 pada Senin (21/6/2021). Dalam kurun waktu 24 jam, pemerintah melaporkan penambahan 14.536 kasus baru.
“Jika tak segera diambil kebijakan yang lebih ketat, maka kasus Covid-19 di tanah air akan semakin buruk. Jangan sampai kita mengalami seperti India dan Malaysia yang kewalahan kendalikan pandemi. Laksanakan strategi tarik rem dengan pemberlakuan PSBB minimal dalam masa 14 hari,” terangnya.
Baca juga:Silaturahim dengan Sri Sultan dan PP Muhammadiyah, DPP PKS Perkenalkan Pengurus dan Lambang Baru
Apalagi, kata Netty, saat ini banyak anak-anak sebagai kelompok rentan yang sudah terpapar Covid-19. Berdasarkan data, Jakarta mencatatkan penambahan kasus harian sebanyak 5.582 kasus, 879 di antaranya adalah anak-anak.
“Aturan yang ketat dan tegas dalam penerapan prokes harus dibarengi dengan kesiapan pemerintah dalam menyediakan faskes yang memadai, termasuk untuk anak-anak yang membutuhkan penanganan lebih spesifik. Pemerintah tidak boleh lamban bertindak guna mengantisipasi antrian bahkan penumpukan pasien di IGD karena ruang perawatan penuh. Segera tambah fasilitas perawatan semisal Wisma Atlet, bahkan siapkan skenario Rumah Sakit Lapangan untuk antisipasi lonjakan pasien,” ujarnya.
Netty juga mengingatkan para orangtua agar disiplin menjalankan prokes dan menimalisir membawa anak-anak ke luar rumah yang potensi penularannya tinggi.
“Orangtua juga bertanggungjawab memberikan perlindungan pada anak-anak dari serangan virus. Pastikan anak-anak mendapat asupan memadai, istirahat cukup, dan tetap tinggal di rumah. Jangan malah orang tua yang membawa anak-anak ke mall atau tempat wisata dengan alasan mengatasi kejenuhan. Anak-anak adalah generasi masa depan bangsa yang harus dijaga kesehatannya,” katanya.
Beritaneka.com—Dalam rangka mengoptimalkan potensi zakat di Indonesia, Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendukung BAZNAS untuk mengakselerasi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengumpulan Zakat di Lingkungan ASN, TNI, Polri, dan BUMN melalui BAZNAS.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Dr. Tb. Ace Hasan Syadzily (Fraksi Partai Golkar), saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR dengan BAZNAS dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), di Gedung DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (14/6/2021).
Baca juga: UAH Salurkan Donasi Rakyat Indonesia untuk Beasiswa Pelajar Palestina Rp 6,3 M ke BAZNAS
Rapat dihadiri sejumlah anggota Komisi VIII DPR lintas fraksi. Dari Badan Amil Zakat Nasional hadir Ketua BAZNAS, Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA; Wakil Ketua BAZNAS, Mo Mahdum; Pimpinan BAZNAS, Zainulbahar Noor, Nadratuzzaman Hosen, Nur Chamdani, Rizaludin Kurniawan, Saidah Sakwan; Dirut BAZNAS, Arifin Purwakananta; Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan, Wahyu TT. Kuncahyo; Sekretaris BAZNAS, Dr. Ahmad Zayadi.
Menurut Tb. Ace Hasan Syadzily, dengan akselerasi perpres tersebut, BAZNAS diharapkan dapat memperluas sasaran dan penerima bantuan kepada seluruh mustahik di Indonesia.
“Komisi VIII DPR mengimbau BAZNAS agar mampu meningkatkan pengumpulan ZIS-DKSL melalui peningkatan kepercayaan publik (public trust) terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat,” kata Tb. Ace Hasan Syadzily.
Baca juga: BWI dan BAZNAS Tandatangani Kerjasama Pendayagunaan ZISWAF untuk Kemaslahatan Umat
DPR juga akan mengupayakan regulasi yang memberikan insentif kepada muzaki dengan menjadikan nilai 2.5% zakat dapat menjadi pengurang persentase pajak perorangan atau perusahaan melalui peningkatan koordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Beritaneka.com—Kalangan Komisi XI DPR yang membidangi masalah keuangan meminta Bank Indonesia (BI) mengkaji lebih dalam rencana pembuatan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). CBDC merupakan representasi uang digital yang menjadi simbol kedaulatan negara yang diterbitkan dan dikendalikan oleh bank sentral sebagai bagian dari kewajiban moneternya.
“Kita tentu tidak bisa menghindar dari pesatnya arus disrupsi teknologi, tetapi kita tetap perlu merespon perubahan tersebut melalui upaya antisipasi dan mitigasi yang memadai. Sehingga, inisiatif BI untuk mengkaji CBDC merupakan suatu langkah positif untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Namun, proses studinya harus dilakukan secara akurat, teliti, ilmiah, dan hati-hati agar kita mendapatkan gambaran urgensi hingga penilaian kelayakan dari rencana tersebut secara menyeluruh,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta kepada wartawan.
Baca juga: Gus Menteri: Ekonomi Desa Faktor Penentu Pemulihan Ekonomi Nasional
Politisi Fraksi Partai Golkar juga menyampaikan bahwa sampai saat ini Komisi XI DPR RI belum melakukan pembahasan secara khusus bersama BI terkait rencana tersebut. Kendati demikian, Puteri meminta agar BI dapat mendalami rencana pembentukan CBDC dengan memperhatikan kesiapan nasional.
“Dengan begitu, kita dapat menggali potensi, manfaat, serta risikonya jika dikaitkan dengan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia saat ini dan kedepan. Lantaran, kondisi-kondisi ini nantinya akan mempengaruhi desain, arsitektur dan infrastruktur teknologi, serta mitigasi risiko dari penerbitan CBDC,” tutur Puteri.
Puteri menambahkan agar BI dapat melakukan benchmarking dengan bank sentral negara lain yang telah lebih dulu mendalami CBDC seperti Tiongkok, Inggris, Jepang dan Uni Eropa.
“Tiongkok sendiri telah menginisiasi proyek ini sejak 2014 atau butuh sekitar 7 tahun hingga penerbitannya. Tiongkok juga melakukan serangkaian simulasi atas peredaran mata uang digital ini guna memantau dan mengukur dampaknya terhadap transmisi ke pasar uang dan perekonomian. Saya kira hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan BI,” ungkapnya.
Baca juga: Menuju Indonesia Development Forum 2021, Menteri Suharso Tekankan Transformasi Ekonomi
Selain itu, Ketua GKSB Parlemen Indonesia-RRT tersebut memandang perumusan CBDC perlu memperhatikan terpenuhinya aspek legalitas dengan menerbitkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Lantaran, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyebutkan bahwa mata uang NKRI adalah Rupiah dan macamnya terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.
“BI juga perlu mengkaji bentuk regulasi yang diperlukan serta mulai menginventarisir UU dan ketentuan pelaksana apa saja yang perlu dicabut, direvisi, atau diterbitkan. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung penerbitan CBDC ini agar memiliki dasar hukum yang sesuai dan dapat dilaksanakan. Serta, agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku,” tegas Puteri.
Puteri juga meminta agar BI dapat mulai membangun komunikasi dengan pemerintah, OJK, dan LPS terkait rencana tersebut.
“Rencana BI untuk mengembangkan CBDC ini tentu tidak hanya sebatas pada penerbitan mata uang digital saja, melainkan juga perlu mempersiapkan ekosistem digital secara menyeluruh dan merata di seluruh Indonesia yang perlu dibangun mulai dari sekarang. Oleh karena itu, kajian ini nantinya juga perlu melibatkan perspektif dari pemerintah, OJK, LPS, dan entitas terkait lainnya. Tentunya juga perlu memperhatikan pandangan dan persepsi masyarakat sebagai pengguna dari mata uang digital ini nantinya,” tutup Puteri.
Beritaneka.com—Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menilai kinerja DPR hingga kini belum juga beranjak. Kinerja DPR menjalankan fungsi legislasi tanpa hasil, fungsi anggaran lumpuh, dan fungsi pengawasan tidak signifikan. Ketidakmampuan DPR dalam menjalankan fungsi-fungsinya itu, bukan saja karena semata-mata pandemi Covid-19 tetapi akibat kemampuan alat kelengkapan dewan (AKD) sangat terbatas. Faktor Pimpinan, Komisi, Badan-badan dan MKD yang menjadi kunci berjalannya roda parlemen tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
“Di samping itu faktor aktor dan sistem juga sangat mempengaruhi kinerja DPR. Hal-hal itulah yang akan menjadi pokok bahasan kinerja DPR secara kelembagaan,” ujar Lucius Karus, Peneliti FORMAPPI.
Baca juga: DPR Pertahankan RUU Kontroversial, Formappi: Perburuk Kinerja Bidang Legislasi
Dari kajian FORMAPPI, peran pimpinan DPR dalam melakukan koordinasi sangat menentukan dinamika kegiatan di DPR. Dengan banyaknya unsur seperti Komisi, Badan, bahkan Fraksi yang menjadi bagian dari DPR, peran koordinasi pimpinan dalam membangun harmonisasi antar unsur menjadi sangat penting. Agar bisa melakukan koordinasi antar unsur di DPR, pimpinan sendiri harus bisa membangun koordinasi antar mereka sendiri.
Dalam membangun koordinasi di level Pimpinan, peran Ketua DPR yang paling menentukan. Pembagian tugas di antara wakil ketua DPR akan bisa efektif jika Ketua DPR mampu mengoordinasikan pelaksanaan tugas para wakilnya. Peran koordinasi Ketua DPR ini yang terlihat gagal selama ini ketika para wakil ketua terlihat saling serobot serta mendominasi wakil pimpinan lain dalam menjadi juru bicara DPR ke publik.
“Azis Syamsuddin dan Sufmi Dasco Ahmad terlihat mendominasi pelaksanaan tugas Pimpinan sebagai juru bicara DPR. Dominasi keduanya kerap mengabaikan lingkup bidang yang menjadi tangung jawab masing-masing. Dominasi Azis dan Dasco juga “menenggelamkan” dua wakil ketua lainnya yakni Muhaimin Iskandar dan Rachmat Gobel. Oleh karena itu, koordinasi perlu diperbaiki terutama di tingkat Pimpinan DPR dalam melaksanakan wewenangnya,” tegas Karus.
Baca juga: Literasi Wisata Syariah Harus Ditingkatkan
Catata kritis FORMAPPI terhadap DPR lainnya, kepercayaan publik terhadap DPR yang sudah mulai terbangun karena cukup lama tidak terdengar adanya korupsi oleh anggota DPR, kasus Azis Syamsuddin menjadikan DPR menjadi terpuruk kembali. Wajah DPR menjadi coreng moreng dan sangat memalukan. Dugaan keterlibatan Azis dalam kasus suap Walikota Tanjungbalai kepada Penyidik KPK tak hanya menghancurkan DPR tetapi juga KPK.
“Sebagai Wakil Pimpinan, kekuasaan besar yang dimilikki Azis justru dimanfaatkan untuk mempengaruhi proses hukum dengan cara-cara yang menyimpang yaitu suap,” ungkap pria bersahaja asala NTT itu.
FORMAPPI mengusulkan, untuk meningkatkan kinerja Komisi DPR perlu ada suatu evaluasi secara terus menerus agar semua komisi secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsinya secara optimal, tidak lalai dan malas. Disinilah sebetulnya peran para wakil ketua DPR sebagai koordinator bidang yang membawahi Komisi-Komisi.
Setali tiga uang Badan-badan DPR juga harus dikontrol dan diingatkan agar tidak malas melakukan tugas-tugasnya. Para Wakil Ketua DPR yang menjadi koordinator bidang perlu memberikan supervisi agar Badan-badan DPR ini tidak gagap melaksanakan tugas. Meski kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna semakin baik, tetapi masih dinodai oleh dimasukkannya anggota yang ijin sebagai kriteria anggota yang hadir. Muncullah apa yang dinamakan dengan istilah kehadiran fiktif. (ZS)
Beritaneka.com—Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritisi kinerja DPR RI pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2020-2021, terutama dibidang legislasi. Formappi menilai pelaksanaan fungsi legislasi DPR selama MS IV belum mengalami kemajuan signifikan dibandingkan dengan MS sebelumnya. DPR dinilai juga bermasalah karena mempertahankan RUU kontroversial pada program legislasi nasional.
“Jika di masa sidang terdahulu (MS III) tak satu pun hasil kerja legislasi yang bisa ditorehkan DPR, maka pada MS IV situasinya nyaris tak berubah,” ujar Koordinator Formappi Lucius Karus.
Baca juga: KPK Sita Dokumen dari Kantor dan Rumah Dinas Azis Syamsuddin
Sedikit perbedaan, jelas Karus, hanya ditunjukkan melalui pengesahan Daftar RUU Prioritas Prolegnas 2021 dan 1 RUU Kumulatif Terbuka yakni Rancangan Undang-Undang tentang Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dengan Negara-negara EFTA (RUU IE-CEPA), yang dibahas oleh Komisi VI.
Menurut Karus, penetapan Prolegnas Prioritas 2021 tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa karena momentumnya sudah terlambat. Sebagai sebuah perencanaan, Daftar RUU Prioritas mestinya harus sudah ditetapkan sebelum tahun pelaksanaannya. Jika Prolegnas Prioritas 2021 dimaksudkan sebagai rujukan pelaksanaan fungsi legislasi sepanjang tahun 2021, maka penetapan Prolegnas Prioritas mestinya harus sudah dilakukan di akhir tahun 2020.
Penetapan di MS IV hanya akan berakibat pada minimnya hasil legislasi karena waktu pembahasan yang kian tipis sebagai efek keterlambatan penetapan Prolegnas Prioritas. Keterbatasan waktu yang tersisa sebagai akibat molornya pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 diperparah dengan kegagalan DPR untuk mengesampingkan RUU-RUU Kontroversial dari daftar RUU Prioritas tersebut.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Perilaku Azis Syamsuddin Tidak Beretika
Lebih lanjut, Formappi menyoroti keputusan untuk tetap mempertahankan RUU Kontroversial hanya akan memberatkan DPR dalam upaya menghasilkan lebih banyak RUU Prioritas. RUU Kontroversial seperti RUU Minol, RUU Perlindungan Tokoh dan SImbol Agama, RUU Pemindahan Ibukota merupakan beberapa RUU yang potensi menimbulkan kontroversi itu. Pengesahan 1 RUU Kumulatif Terbuka pada MS IV juga bukan sebuah prestasi luar biasa.
RUU Kumulatif Terbuka itu bukan menjadi bagian dari politik legislasi yang direncanakan sesuai dengan visi dan misi DPR periode 2019-2024. RUU Kumulatif Terbuka merupakan hasil ratifikasi perjanjian RI dengan negara tertentu.
“Karenanya, pengesahan satu RUU Kumulatif Terbuka di MS IV sesungguhnya menjadi pelipur lara di tengah mandulnya DPR menghasilkan RUU Prolegnas Prioritas,” tegas Karus. (ZS)