Beritaneka.com—Karyawan PT Garuda Indonesia Tbk, yang diberhentikan atau mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) mencapai 30,56 persen dari total 7.861 karyawan. Persentase ini terjadi sejak Januari 2020 hingga November 2021.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan saat ini jumlah karyawan Garuda tersisa 5.400 saja. Artinya, ada pemangkasan 2.400 karyawan. Manajemen juga melakukan pemangkasan jumlah pilot secara signifikan. Hingga saat ini, hanya ada 200 pilot yang bekerja secara bergiliran.
Baca Juga: Terkait Hibah Bodong Rp2 Triliun, IPW Minta Mahfud MD Tegur Kapolri
Kebijakan operasional pilot secara berjadwal tersebut sejalan dengan jumlah penerbangan armada pesawat Garuda yang mengalami penurunan signifikan. Tercatat, pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia hanya sekitar 50-60 saja. “Ada penurunan pilot yang lumayan banyak, saya tidak ingin menyebutkan jumlahnya, tapi ada lebih dari 200-an orang yang memberlakukan periode kerja secara bergilir. Jadi ketika tidak terbang bulan tersebut, kami tidak akan bayar gaji,” kata Irfan saat public expose hari ini, Senin (20/12/2021).
Manajemen mengklaim, pengurangan karyawan dan pilot dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. “Kami lakukan itu dengan cara-cara yang santun, menekan jumlah pegawai, tentu saja taat terhadap peraturan yang ada di negara ini sambil punya empati terhadap karyawan,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian BUMN mencatat jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia makin sedikit atau hanya sekitar 50-60 yang beroperasi. Sementara armada di parkiran ada sebanyak 125 pesawat, terdiri 119 pesawat sewa dan 6 pesawat milik sendiri. Berkurangnya jumlah pesawat menyebabkan terjadinya kelangkaan rute penerbangan pesawat Garuda Indonesia di sejumlah daerah.
Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo menyebut, hal itu membuat pihaknya menerima keluhan dari sejumlah calon penumpang.
Baca Juga: Omicron Masuk RI, Pimpinan DPR Minta Segera Cegah Penyebarannya
Kartika mencatat, rute perbangan emiten dengan kode saham GIAA itu akan berkurang secara drastis. Dimana, pengurangan difokuskan pada rute yang tidak menguntungkan secara bisnis dan menguatkan rute-rute super premium. Dalam catatannya, rute penerbangan Garuda diperkirakan turun dari 237 rute menjadi 140 rute saja. Pemangkasan itu sejalan dengan pengembalian sejumlah armada kepada lessor atau perusahaan penyewa pesawat.
Beritaneka.com—International Air Transport Association (IATA) memprediksi industri penerbangan dunia akan pulih pada 2024. Di dalam negeri, banyak kekhawatiran bahwa Garuda Indonesia, maskapai yang sejak tahun 1949 telah menjadi flag carrier merah-putih, tak akan mampu bertahan hidup lebih lama dari itu lantaran berbagai masalah yang membelitnya.
Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera Farouk Abdullah Alwyni menjelaskan, kecilnya peluang Garuda untuk bangkit dapat dilihat dari systemic corruption dan incompetent management yang sudah mengakar sejak lama.
Satu contoh adalah pernyataan dari Kementerian BUMN sendiri bahwa biaya sewa pesawat dibandingkan pendapatannya adalah 4x lebih besar dari rata-rata global.Menurut pengakuan salah satu eks komisarisnya Garuda juga harus membayar kredit yang tinggi terhadap para lessor-nya.
Baca juga: Solusi Efektif, Pimpinan DPR Setuju Bentuk Pansus Masalah Garuda Indonesia
Dampak pandemi Covid-19 pada esensinya hanya sekedar mengekspose persoalan yang memang sudah terakumulasi dalam waktu yang lama ada dan mengantar Garuda pada titik terendah. Dalam catatan Farouk Alwyni, di tahun 2020, pendapatan bulanan Garuda merosot 70 persen selama corona mewabah.
Dimana pada saat tersebut Garuda sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan operasionalnya yang setiap bulannya bisa mencapai US$ 150 juta, sedangkan pendapatan Garuda bahkan pernah hanya mencapai US$27 juta.
“Secara teknis Garuda sudah bangkrut sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah. Langit tak lagi membawa untung bagi mereka. Ini dapat dilihat dari utangnya yang berjumlah US$9,75 miliar [atau sekitar Rp140 triliun], melebihi jumlah asetnya yang sebesar US$6,92 miliar,” kata Farouk Alwyni.
Hal ini menyebabkan ekuitas atau modal Garuda, lanjut Farouk Alwyni, menjadi minus US$2,8 miliar atau sekitar Rp. 39,7 triliun. “Diakui oleh pemerintah sendiri, ekuitas negatif ini menjadi rekor baru mengalahkan Jiwasraya,” kata dia.
Kebangkrutan teknis yang dialami Garuda ini memengaruhi banyak hal, termasuk di antaranya pengurangan armada dan jumlah rute penerbangan.
Baca juga: Ribuan Karyawan Garuda Daftar Pensiun Dini
Tahun depan Garuda hanya akan menerbangkan 134 unit berbanding 202 unit pesawat pada tahun 2019. Dari segi rute, Garuda juga memangkas dari semula 237 rute menjadi hanya 140 rute.
Menurut Farouk Alwyni, pada dasarnya pemerintah harus ikut bertanggung jawab dengan kondisi Garuda yang secara tehnis telah bangkrut, sekurang-kurangnya lantaran status pemerintah sebagai pemilik saham terbesar dari emiten berkode GIAA ini.
“Pemerintah adalah pihak yang selama ini mengangkat dan memberhentikan Direksi ataupun Komisaris. Pemerintah jugalah yang menyetujui ekspansi armada,” jelasnya.
Farouk Alwynimengatakan, persoalan Garuda adalah dilema besar bagi Indonesia, disatu sisi akumulasi persoalan tata kelola yang begitu lama, menjadikan perusahaan ini menjadi ladang korupsi, maka dibiarkan bangkrut adalah satu opsi natural, tetapi disisi lain, jika tidak diselamatkan, ada kekhawatiran bahwa masalah yang membelit Garuda bisa merembet ke perusahaan-perusahaan lainnya, belum lagi persoalan massive layoff yang akan terjadi.
“Dampak sistemik harus diwaspadai. Garuda memiliki utang terhadap paling tidak dua bank BUMN yakni BNI sebesar Rp. 5,2 triliun dan BRI Rp. 5,97 triliun per September 2021. Ada pula Mandiri yang belum diketahui angkanya. Seperti virus, sakitnya Garuda bisa menular kepada perusahaan lain yang sehat,” kata Farouk Alwyni.
Baca juga: Lagi Rugi, Garuda Indonesia Hanya Operasikan 50 Pesawat
Selain itu, Farouk melanjutkan, perlu diperhitungkan juga bagaimana dampak yang akan dialami perusahaan pelat merah lainnya seperti PT Pertamina yang selama ini menyediakan bahan bakar avtur untuk Garuda, hingga PT Angkasa Pura yang menyediakan jasa ground handling unit pesawat.
Untuk itu Farouk Alwyni mendesak agar pemerintah lebih serius mencari solusi terbaik. “Jangan sampai ada langkah sembrono yang justru membuat Garuda jatuh menukik dan tumpas berkalang tanah,” katanya.
“Maka sebagaimana dilakukan pemerintah di banyak negara lain, pemerintah Indonesia harus juga mampu memetakan persoalan yang tepat agar solusinya juga dapat tepat. Pemetaan itu harus mampu menghitung risiko apa saja yang muncul jika suatu keputusan diambil,” lanjutnya.
Lebih dalam lagi menurut Farouk Alwyni, pencarian solusi atas persoalan Garuda harus didahului langkah pembenahan manajemen perusahaan.
Menurutnya, perusahaan yang sehat berawal dari tata kelola yang baik (good corporate governance), namun sayangnya Garuda tidak memiliki prasyarat tersebut.
“Garuda punya masalah dengan prinsip good corporate governance. Hal ini harus segera dibenahi mengingat ia adalah prinsip dasar yang menunjang performa sebuah perusahaan,” kata Farouk Alwyni.
“Lebih-lebih saat ini Garuda sedang bernegosiasi meyakinkan para lessor dan pemilik piutang untuk mau merestrukturisasi tunggakan dari US$9,75 miliar menjadi US$3,69 miliar. Para lessor tentu akan menilai seberapa jauh prinsip good corporate governance dijalankan oleh manajemen Garuda. Jika di sisi ini manajemen Garuda gagal perform, agak mustahil proposal restrukturisasi Garuda diterima,” pungkas Farouk Alwyni.
Beritaneka.com—Pimpinan DPR menyetujui jika ada anggota dewan yang mengusulkan untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) untuk mencari solusi penyelamatan PT Garuda Indonesia.
Langkah tersebut merupakan bagian dari langkah cepat dan efektif untuk mencari solusi BUMN sektor penerbangan tersebut.
“Saya sangat setuju ya, DPR untuk mengambil langkah-langkah cepat, efektif, dan tepat sasaran. Sasarannya adalah membersihkan Garuda, menyelamatkan Garuda, atau sekaligus mencari solusi,” ujar Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar, seperti dikutif dari laman resmi DPR, Selasa (2/11).
Baca juga: Situasi Membaik, DPR Optimis Indonesia Dapatkan Izin Umrah dan Haji
Meski terbilang cukup terlambat menangani permasalahan Garuda, namun Gus Muhaimin mendesak untuk menyelamatkan aset-asetnya terlebih dahulu. “Yang kedua, follow up dari ancaman pailit. Pailitnya sudah di depan mata,” tegas Politisi PKB tersebut.
Sebagai informasi, Garuda Indonesia terancam pailit karena gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT My Indo Airlines ke PN Jakarta Pusat sejak 9 Juli 2021 dengan nomor perkara 289/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Jkt.Pst.
Baca juga: Perkuat Kelembagaan BAZNAS, DPR Dorong Optimalisasi Anggaran dari APBN
Gugatan dilayangkan karena Garuda Indonesia menunggak pembayaran sejumlah kewajiban kepada My Indo Airlines. Majelis Hakim menyatakan menolak pengajuan PKPU My Indo Airlines pada sidang putusan Kamis (21/10) lalu.
Terbaru, Garuda Indonesia kembali terancam pailit akibat permohonan PKPU oleh PT Mitra Buana Korporindo. Permohonan PKPU oleh Mitra Buana Korporindo ke Garuda Indonesia, dilayangkan melalui kuasa hukumnya Atik Mujiati ke Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 22 Oktober 2021. Kasus ini terdaftar dengan nomor perkara 425/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst
Beritaneka.com—PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) menyatakan program pensiun dini bagi karyawan telah dimulai bulan ini. Kebijakan tersebut dilakukan salah satunya untuk menyelamatkan Garuda Indonesia di tengah kesulitan akibat pandemi Covid-19.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, program pensiun dini ini merupakan kebijakan terbuka dan telah dibicarakan bersama serikat kerja. Program pensiun dini ditawarkan dengan mengikuti aturan Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan, dan sampai saat ini sudah ada 1.099 karyawan yang mendaftar dan jumlah pilot yang mendaftar tidak terlalu banyak.
Baca Juga: Jamiluddin Ritonga: Usulkan Jokowi Tiga Periode Tindakan Oportunis
“Insya Allah mulai di bulan ini (pensiun dini) dan kita berharap sampai akhir tahun sudah bisa kita selesaikan,” kata Irfan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, hari ini, Senin (21/6/2021).
Irfan menyebutkan, pihaknya akan melakukan berbagai diskusi dengan karyawan untuk tindakan apa-apa saja yang perlu bersama-sama sepakati untuk dilakukan ke depannya. “Karena ini persoalan yang sangat penting dimana jumlah karyawan harus sesuai alat produksi,” kata dia.
Dari 1.099 karyawan yang telah mendaftar pensiun dini, Irfan menyebut angka tersebut masih jauh dari harapan manajemen Garuda dan ke depannya akan ada penawaran lainnya untuk didiskusikan.
Baca Juga: Diskon PPnBM 100% Mobil Baru Diperpanjang Hingga Agustus 2021
“Kita sepakati eksekusi pensiun dini disesuaikan dengan ketersediaan dana dan akan dilakukan secara bertahap. Jadi sampai SK pensiun mereka belum keluar status karyawan tetap ada dengan hak dan kewajiban,” katanya. (el)
Beritaneka.com—Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini hanya mengoperasikan 50 pesawat. Minimnya operasional maskapai penerbangan pelat merah tersebut disebabkan oleh terbatasnya arus kas (cash flow) perusahaan.
Para pemegang saham menyiapkan sejumlah tindakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Pemerintah pun tengah melakukan kajian bersama penasehat dan tim konsultan keuangan untuk membahas skema restrukturisasi dengan kreditur Garuda Indonesia.
Baca Juga: KPK Dilemahkan, PKS: Berdampak Buruk Terhadap Investasi
“Saat ini beroperasi minimum sekitar 50-an pesawat, kita harus mengambil tindakan yang drastis, maka ini tinggal tunggu waktu karena cash flow terbatas, setiap bulan minus, kami sedang lakukan kajian dengan para advisor untuk mengambil tindakan dengan kreditur,” kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo kami kutip hari ini.
Selama ini manajemen juga sudah melakukan penundaan pembayaran baik ke lessor, maupun perusahaan pelat merah lain seperti PT Angkasa Pura.
Dari Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), penundaan pembayaran juga dilakukan untuk tunjangan atau gaji karyawan Garuda. Tercatat, gaji yang belum dibayar per 31 Desember 2020 sebesar USD23 juta atau sekitar Rp327,9 miliar.
Baca Juga: Megawati Peroleh Profesor, Merusak Atmosfer Akademik di Indonesia
“Selama ini dilakukan penundaan pembayaran Garuda, sperti ke lessor, maupun BUMN lain termasuk Angkasa Pura, ditunda pembayaran, lessor-lessor ini meng-grounded pesawat ya, yang tidak dibayar leasing-nya, call sign ganti karena di grounded oleh lessor,” katanya.