Beritaneka.com — Penerapan kebijakan fuel surcharge akan menaikan harga tiket pesawat. Kenaikan harga bahan bakar avtur tidak dapat dipungkiri berdampak signifikan terhadap komponen cost structure tiket penerbangan.
PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) buka suara ihwal kebijakan pengenaan tuslah atau biaya tambahan untuk tarif tiket pesawat.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menilai penerapan kebijakan fuel surcharge pada komponen harga tiket pesawat menjadi sebuah langkah yang konstruktif atas fokus pemulihan ekosistem industri penerbangan yang salah satunya sangat dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi seperti fluktuasi harga bahan bakar.
Baca Juga:
- Mudik Lebaran 2022, Cek Aturan Terbaru Perjalanan Dalam Negeri
- Menag Umumkan Jatah Kuota Haji Indonesia 100.051 Jamaah
- Putaran Ekonomi Libur Lebaran 2022 Diperkirakan Capai Rp72 Triliun
- Mudik Lebaran 2022, KAI Siapkan 739 Ribu Tempat Duduk
- Cara Daftar Mudik Gratis Lebaran 2022, Berikut Link Kemenhub Cek!
“Kebijakan fuel surcharge tersebut tentunya akan kami sikapi secara cermat dan seksama dengan memperhatikan fluktuasi harga bahan bakar avtur terhadap kebutuhan penyesuaian komponen cost structure untuk fuel surcharge pada tiket penerbangan,” katanya melalui keterangan resmi, hari ini.
Irfan berjanji mengedepankan pemenuhan kebutuhan pengguna jasa atas aksesibilitas layanan penerbangan dengan harga yang kompetitif. “Dapat kami sampaikan bahwa adanya kebijakan fuel surcharge ini akan mengacu pada jangka waktu yang telah ditentukan oleh Kementerian Perhubungan RI, yang akan terus kami evaluasi secara berkala atas kebutuhan penerapan fuel surcharge tersebut,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin menyoroti penaikan harga avtur yang berdampak kenaikan tarif tiket pesawat. Dengan kondisi ekonomi global dan politik yang berimbas kepada industri penerbangan, dia mengimbau kepada maskapai agar mulai memberikan fokus terhadap tarif tiket yang bakal menjadi sorotan masyarakat.
Dia juga meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator untuk mengawal tarif tiket pesawat agar tak melampaui tarif batas atas (TBA). Hal tersebut perlu dilakukan agar tarif tiket pesawat untuk angkutan niaga berjadwal kelas ekonomi masih terjangkau oleh masyarakat.
“Sementara kalau kami sendiri menyikapinya adalah meningkatkan standardisasi layanan operasi bandara. Kami konsisten dengan satu hal, yaitu jaminan terhadap layanan penumpang harus diberikan jauh lebih baik,” katanya.
Beritaneka.com—Karyawan PT Garuda Indonesia Tbk, yang diberhentikan atau mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) mencapai 30,56 persen dari total 7.861 karyawan. Persentase ini terjadi sejak Januari 2020 hingga November 2021.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan saat ini jumlah karyawan Garuda tersisa 5.400 saja. Artinya, ada pemangkasan 2.400 karyawan. Manajemen juga melakukan pemangkasan jumlah pilot secara signifikan. Hingga saat ini, hanya ada 200 pilot yang bekerja secara bergiliran.
Baca Juga: Terkait Hibah Bodong Rp2 Triliun, IPW Minta Mahfud MD Tegur Kapolri
Kebijakan operasional pilot secara berjadwal tersebut sejalan dengan jumlah penerbangan armada pesawat Garuda yang mengalami penurunan signifikan. Tercatat, pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia hanya sekitar 50-60 saja. “Ada penurunan pilot yang lumayan banyak, saya tidak ingin menyebutkan jumlahnya, tapi ada lebih dari 200-an orang yang memberlakukan periode kerja secara bergilir. Jadi ketika tidak terbang bulan tersebut, kami tidak akan bayar gaji,” kata Irfan saat public expose hari ini, Senin (20/12/2021).
Manajemen mengklaim, pengurangan karyawan dan pilot dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. “Kami lakukan itu dengan cara-cara yang santun, menekan jumlah pegawai, tentu saja taat terhadap peraturan yang ada di negara ini sambil punya empati terhadap karyawan,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian BUMN mencatat jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia makin sedikit atau hanya sekitar 50-60 yang beroperasi. Sementara armada di parkiran ada sebanyak 125 pesawat, terdiri 119 pesawat sewa dan 6 pesawat milik sendiri. Berkurangnya jumlah pesawat menyebabkan terjadinya kelangkaan rute penerbangan pesawat Garuda Indonesia di sejumlah daerah.
Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo menyebut, hal itu membuat pihaknya menerima keluhan dari sejumlah calon penumpang.
Baca Juga: Omicron Masuk RI, Pimpinan DPR Minta Segera Cegah Penyebarannya
Kartika mencatat, rute perbangan emiten dengan kode saham GIAA itu akan berkurang secara drastis. Dimana, pengurangan difokuskan pada rute yang tidak menguntungkan secara bisnis dan menguatkan rute-rute super premium. Dalam catatannya, rute penerbangan Garuda diperkirakan turun dari 237 rute menjadi 140 rute saja. Pemangkasan itu sejalan dengan pengembalian sejumlah armada kepada lessor atau perusahaan penyewa pesawat.
Beritaneka.com—Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini hanya mengoperasikan 50 pesawat. Minimnya operasional maskapai penerbangan pelat merah tersebut disebabkan oleh terbatasnya arus kas (cash flow) perusahaan.
Para pemegang saham menyiapkan sejumlah tindakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Pemerintah pun tengah melakukan kajian bersama penasehat dan tim konsultan keuangan untuk membahas skema restrukturisasi dengan kreditur Garuda Indonesia.
Baca Juga: KPK Dilemahkan, PKS: Berdampak Buruk Terhadap Investasi
“Saat ini beroperasi minimum sekitar 50-an pesawat, kita harus mengambil tindakan yang drastis, maka ini tinggal tunggu waktu karena cash flow terbatas, setiap bulan minus, kami sedang lakukan kajian dengan para advisor untuk mengambil tindakan dengan kreditur,” kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo kami kutip hari ini.
Selama ini manajemen juga sudah melakukan penundaan pembayaran baik ke lessor, maupun perusahaan pelat merah lain seperti PT Angkasa Pura.
Dari Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), penundaan pembayaran juga dilakukan untuk tunjangan atau gaji karyawan Garuda. Tercatat, gaji yang belum dibayar per 31 Desember 2020 sebesar USD23 juta atau sekitar Rp327,9 miliar.
Baca Juga: Megawati Peroleh Profesor, Merusak Atmosfer Akademik di Indonesia
“Selama ini dilakukan penundaan pembayaran Garuda, sperti ke lessor, maupun BUMN lain termasuk Angkasa Pura, ditunda pembayaran, lessor-lessor ini meng-grounded pesawat ya, yang tidak dibayar leasing-nya, call sign ganti karena di grounded oleh lessor,” katanya.