Beritaneka.com—Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI) Hidayat Nur Wahid, mendesak agar guru yang diduga melakukan pemerkosaan terhadap lebih dari 12 santriwati di bawah umur di Bandung, Jawa Barat, agar dihukum terberat dengan ancaman hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Mendengar terulangnya kejahatan yang terkutuk ini, yang menabrak hukum Negara dan hukum Agama, sudah sangat selayaknya pelaku dihukum dengan pemberatan apakah dengan hukum kebiri, atau hukuman pidana seumur hidup, bahkan hukuman pidana mati,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (10/12).
Baca juga: Tarif Dasar Listrik Naik Tahun 2022, Fraksi PKS Tolak
HNW, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman dengan pemberatan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
HNW menjelaskan selain mengatur hukuman kebiri, aturan tersebut juga memuat hukuman pidana seumur hidup dan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menunjuk Pasal 81 UU yang mengesahkan Perppu Kebiri tersebut. Ketentuan itu berbunyi, ‘Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, ganggungan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.’
Baca juga: Peduli Erupsi Gunung Semeru, Fraksi PKS Himbau Potong Gaji ALeg
Sedangkan Pasal 76D berbunyi, ‘Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.’
“Salah satu syarat untuk menjatuhkan hukuman maksimal sudah terpenuhi, karena korbannya adalah anak-anak dibawah umur yang diduga lebih dari satu, yakni ada 12 malah ada yang menyebutkan 21 santriwati,” tukasnya.
HNW mengatakan bahwa instrumen hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah cukup memadai, sehingga tinggal keberanian nurani aparat penegak hukum untuk menegakkannya seadil-adilnya.
“Mengingat terus terulangnya kejahatan dan kekerasan seksual di dunia Pendidikan, dan korbannya adalah para Perempuan, bahkan sebelum ramai kejadian di Bandung, sudah ramai jadi perhatian publik soal kekerasan seksual terhadap Mahasiswi UNSRI, juga kejahatan dan kekerasan seksual pada Mahasiswi UNIBRAW, maka agar timbulkan efek jera, dan maksimalkan perlindungan bagi Perempuan (Mahasiswi maupun Santriwati), pemberatan hukum ini perlu menjadi pertimbangan polisi, jaksa dan hakim yang akan mengadili dan memutus perkara yang sangat biadab dan menjadi perhatian publik ini,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Sebut 2021 Tidak Impor Beras, PKS: Ada 41.600 Ton
Selain itu, HNW juga mendukung Kementerian Agama (Kemenag) yang meninjau ulang izin operasional pesantren tersebut, bahkan hingga izinnya dicabut. Sekalipun disayangkan, keputusan itu baru diambil setelah kasusnya menjadi heboh di publik, dan korbannya berjatuhan sampai lebih dari 12 Santriwati. Padahal peristiwa kejahatan seksual yang melanggar hukum Negara, Agama dan Tradisi atau Marwah Pesantren itu sudah terjadi sejak tahun 2016.
“Ini harus diusut secara tuntas, mengapa bisa terjadi bukan sekali dua kali, tetapi terhadap lebih dari 12 korban. Dan dalam rentang waktu sampai 5 tahunan ? Seandainya sikap tegas Kemenag itu dilakukan sejak lebih awal, kemungkinan korbannya akan tak sebanyak yang sekarang ini,” ujarnya.
“Tapi selain itu semua, juga sangat penting pemenuhan hak para Santriwati dan perlindungan hukum untuk mereka. Agar para santriwati di pesantren tersebut, baik yang menjadi korban atau bukan, terus didampingi dan dibantu, untuk masa depan pendidikan dan keselamatan kehidupannya.
Jangan sampai sudah jadi korban kejahatan seksual atau terimbas akibat terjadinya kejahatan seksual sekalipun bukan korban, pesantrennya ditutup, dan masa depan pun hilang. Kemensos dan KemenPP&PA bekerjasama dengan Pemda, penting turun tangan melaksanakan kewajiban Negara, lindungi anak-anak tersebut,” pungkasnya.