Beritaneka.com, Jakarta —Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengikuti rapat dengan anggota Komisi III DPR di Senayan Rabu (29/3/2023). Rapat berlangsung selama kurang lebih delapan jam membahas pernyataan Mahfud berkaitan transaksi mencurigakan atau janggal sebesar Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dalam rapat yang berlangsung panas ini, Mahfud selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengungkapkan alasannya menyampaikan laporan transaksi mencurigakan tersebut.
Mahfud menyatakan dirinya memiliki kewenangan mengungkap dugaan transaksi mencurigakan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tersebut ke publik selama tidak menyampaikannya secara detail.
“Saya mengumumkan kasus itu tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nomor akun,” kata Mahfud di Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Mahfud mengaku memahami undang-undang melarang pejabat terkait mengungkap identitas orang, nama perusahaan, hingga nomor akun pihak yang diduga terlibat tindak pidana.
Oleh karena itu, sejak awal dia tidak pernah menyinggung nama atau identitas lainnya, tetapi hanya nominal dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 triliun. “Saya enggak nyebut nama. Yang nyebut nama inisial bukan saya,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, dirinya punya wewenang untuk menerima atau meminta laporan dari PPATK mengenai dugaan transaksi mencurigakan karena posisinya di Komite TPPU. Mahfud justru heran dengan sejumlah anggota DPR yang meributkan pernyataannya sampai-sampai menyinggung pasal pidana soal pembocoran dokumen rahasia TPPU yang dimuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Padahal, kata Mahfud, membuka dugaan kasus pidana ke publik bukan sesuatu yang baru dan menjadi hal wajar selama sesuai dengan ketentuan perundangan. “Dan ini sudah banyak ini, kok Saudara baru ribut sekarang? Ini sudah banyak diumumkan kok Saudara diam saja sejak dulu?” kata Mahfud kepada anggota Komisi III DPR.
Dalam rapat tersebut, Mahfud menyampaikan asal-usul transaksi mencurigakan yang diidentifikasi oleh PPATK. Mahfud mengatakan, asal transaksi janggal itu terbagi ke tiga kelompok, salah satunya transaksi keuangan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp35 triliun.
“Satu, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun,” kata Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Mahfud melanjutkan, ada pula transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp53 triliun. Kemudian, ada transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan pegawai Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh datanya sebesar Rp261 trilun. “Sehingga jumlahnya sebesar Rp 349 triliun, fix,” tegas Mahfud.
Mahfud menambahkan, ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan tersebut. Dia menyebutkan, dari jumlah tersebut, ada yang merupakan bagian dari jaringan kelompok RAT, eks pejabat pajak yang diduga melakukan pencucian uang. Pihak lain yang terlibat terdiri dari 13 orang ASN kementerian/lembaga lain dan 570 orang non-ASN sehingga totalnya mencapai 570 orang terlibat.
Soal Perbedaan data
Data yang disampaikan Mahfud berbeda dengan data yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada Senin (27/3/2023). Saat itu, Sri Mulyani menyebut tidak semua laporan dugaan transaksi janggal itu berkaitan dengan pegawai Kemenkeu. Dari laporan PPATK yang berisi kompilasi 300 surat dugaan transaksi janggal, cuma 135 surat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pegawai Kemenkeu.
Nilainya sekitar Rp22 triliun. “Bahkan Rp22 triliun ini, Rp18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kementerian Keuangan,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
“Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu Rp3,3 triliun. Ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang diinkuiri tadi, termasuk penghasilan resmi transaksi dengan keluarga, transaksi jual beli aset, jual beli rumah, itu Rp3,3 triliun,” katanya.
Soal perbedaan data inilah yang kemudian dipersoalkan anggota Komisi III DPR dalam sesi tanya jawab bersama Mahfud dalam rapat kemarin. Komisi III DPR berencana mengagendakan rapat lanjutan yang akan mengundang Sri Mulyani. Menkeu absen dalam rapat kemarin karena menghadiri pertemuan Menteri Ekonomi se-ASEAN di Bali.
Beritaneka.com—Kebijakan larangan Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk Indonesia sudah sepatutnya diambil di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi saat ini. Kebijakan itu harus diperlakukan pada siapa pun, tanpa pandang bulu. Pasalnya, beberapa kasus Covid-19 di Indonesia terjadi karena kelonggaran pengawasan terhadap kedatangan warga negara asing (WNA).
“Memang sudah saatnya ada kebijakan seperti ini, mengingat beberapa kasus di Indonesia diakibatkan oleh longgarnya pengawasan terhadap WNA yang masuk,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, dalam dalam keterangan tertulisnya.
Baca juga: Anggota DPR: Opsi PSBB Harus Segera Diambil Atasi Lonjakan Covid-19
Anggota DPR dari Fraksi Nasdem ini, secara tegas Sahroni meminta kebijakan pemerintah menutup pintu masuk bagi TKA selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ditegakkan secara adil dan tidak pandang bulu.
“Saya harapkan aturan ini berlaku tanpa pandang bulu, bagi TKA dari perusahaan kecil maupun besar seperti tambang,” ujar Sahroni.
Ia meminta aturan terkait larangan tersebut dibuat secara jelas dan disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan industri. Meskipun terlambat, pemerintah baru saja mengambil kebijakan menutup pintu bagi TKA masuk wilayah Indonesia selama masa PPKM. Hal tersebut, tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 27 Tahun 2021 yang diteken oleh Yasonna Laoly pada 21 Juli 2021.
Baca juga: Menuju Kemandirian Bangsa, Komisi VII DPR Dukung Riset Vaksin Merah Putih
Dalam beleid itu, TKA menjadi salah satu pihak yang dikecualikan untuk masuk ke Indonesia. Padahal sebelumnya, izin masih diberikan kepada pekerja asing yang bertugas di proyek strategis nasional. Meskipun demikian, dia menerangkan bahwa aturan tersebut akan mulai berlaku dua hari ke depan sejak diterbitkan.
Menurut politisi Fraksi NasDem ini, perlu masa transisi sejak diumumkan. Menurutnya, setiap kebijakan yang berurusan dengan kedatangan orang asing membutuhkan jeda waktu. Keputusan tersebut, kata dia, telah dikoordinasikan dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Beritaneka.com—Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan sebanyak 97.000 data base aparatur sipil negara (ASN/PNS) yang tidak jelas keberadaannya, namun mendapatkan gaji dan iuran pensiun.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Hari Wibisana menyebutkan adanya fakta mengejutkan setelah melakukan pendataan aparatur sipil negara (ASN)/PNS secara online. Sebanyak 97 ribu ASN itu fiktif atau tidak ada orangnya. Namun, pemerintah hingga saat ini masih memberikan gaji dan dana pensiun.
“Pada 2014 kita melakukan kembali pendataan ulang PNS, tapi saat itu kita sudah melakukannya melalui elektronik dan dilakukan oleh masing-masing PNS sendiri. Hasilnya apa? Ternyata hampir 100.000 tepatnya 97.000 data itu misterius. Dibayarkan gajinya, membayarkan iuran pensiun, tapi tidak ada orangnya,” katanya secara virtual, Senin (24/5/2021).
Baca Juga: Ini Skema Perubahan Tarif Pajak Penghasilan, Orang Kaya Dipajaki 35%
Sejak saat itu, data base PNS menjadi lebih akurat meski banyak yang belum melakukan pendaftaran ulang data diri. Setelah beberapa tahun kemudian mulai banyak ASN yang mengajukan diri untuk daftar ulang.
“Pertama tahun 2002 itu dilakukan melalui daftar ulang PNS dengan sistem yang masih manual. Kemudian pada 2014 kita melakukan kembali pendataan ulang PNS, tapi saat itu kita sudah melakukannya melalui elektronik,” ujarnya.
Oleh karena itu, BKN meluncurkan program Pemutakhiran Data Mandiri (PDM) agar ASN/PNS bisa melakukan update data setiap waktu melalui aplikasi MYSAPK. Sehingga, PNS bisa melakukan perubahan data sendiri, tidak perlu menunggu BKN.“Dilakukan oleh masing-masing PNS/ASN karena orang yang paling berhak atas datanya adalah PNS yang bersangkutan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku bingung dengan temuan ini. Dia heran bagaimana bisa negara mengeluarkan dana ke puluhan ribu ASN fiktif selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Bappenas Bahas 11 Kawasan Industri Prioritas dan Smelter dalam RKP 2022
“Ini sangat membingungkan. Bagaimana bisa hampir 100 ribu orang nggak ada wujudnya, tapi negara terus membayarkan gaji mereka selama bertahun-tahun? Ini jelas ada yang tidak beres,” kata Ahmad Sahroni kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Karena itu, Bendahara Umum Partai Nasdem ini meminta agar Polri bersama BKN bekerja sama menelusuri temuan yang mencengangkan ini.
Tak hanya membongkar kasusnya secara serius dan transparan, Legislator asal Tanjung Priok ini juga meminta polisi untuk turut menelusuri ke mana aliran uang gaji dan pensiunan para PNS fiktif tersebut. Apakah ada unsur pidana atau korupsi juga di dalam temuan ini.
Baca Juga: KPPU Awasi Potensi Pelanggaran Paska Pembentukan Grup GoTo
“Ini harus diinvestigasi secara serius, dan polisi juga harus menelusuri ke mana uang ini sampainya? Mengapa bisa terus terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Jangan-jangan ada penyelewengan pidana,” katanya.