Beritaneka.com—Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan terus mengawasi transaksi pendirian Grup GoTo, bentukan kombinasi usaha yang melibatkan Gojek dan Tokopedia yang diumumkan pembentukannya pada tanggal 17 Mei 2021 lalu.
Sebagaimana diketahui, Grup GoTo mengombinasikan layanan e-commerce, on-demand, dan layanan keuangan dan pembayaran serta layanan lainnya. Kombinasi usaha ini dinilai sebagai kombinasi terbesar perusahaan internet dan layanan media di Asia saat ini.
“Hingga saat ini, KPPU belum menerima pemberitahuan atau notifikasi sesuai dengan aturan yang berlaku untuk aksi korporasi berupa merger dan akuisisi di Indonesia. Jika memang pembentukan kombinasi usaha tersebut merupakan hasil transaksi penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham, maka transaksi tersebut wajib dinotifikasikan kepada KPPU paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah transaksi tersebut efektif,” ujar M. Afif Hasbullah, Anggota KPPU.
Baca juga: KPPU Putuskan Telkom Tidak Terbukti Melanggar Dalam Kasus Netflix
Jika dibutuhkan, relaksasi jangka waktu notifikasi juga dapat diberikan hingga 60 (enam puluh) hari, sesuai dengan Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2020 tentang Relaksasi Penegakan Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Pengawasan Pelaksanaan Kemitraan dalam Rangka Mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Untuk itu, KPPU menghimbau agar Grup GoTo memberikan penjelasan atau notifikasi kepada KPPU atas pembentukan kombinasi usaha tersebut.
KPPU secara simultan melakukan pengawasan atas berbagai aksi korporasi yang memiliki implikasi terhadap persaingan usaha, baik aksi merger dan akuisisi maupun aliansi strategis. Pengawasan atas kombinasi usaha tersebut menggunakan kajian yang dimiliki KPPU di sektor digital, maupun berbagai data dan dokumen yang dimiliki KPPU dari berbagai notifikasi merger dan akuisisi yang dilakukan oleh PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek).
Sejak tahun 2018, perusahaan tersebut dan anak usahanya telah belasan kali melakukan notifikasi kepada KPPU, sehingga berbagai kegiatan usaha dan rencana bisnisnya telah dapat diketahui. Pengawasan yang dilakukan akan berfokus pada berbagai pasar bersangkutan di ekosistem Grup GoTo, serta potensi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang dapat timbul paska transaksi tersebut.
Baca juga: KPPU : Gejolak Harga Cabe, Bawang dan Daging Relatif Stabil Pada Triwulan Pertama 2021
Sebagai informasi, dalam praktek yang berlaku internasional, suatu transaksi di pasar digital umumnya melibatkan pasar yang multi-sisi (multi-sided). Dalam hal tersebut, pasar yang awasi cukup beragam dan membutuh analisis dampak jaringan (network effect) yang kompleks.
Secara prinsip, KPPU mendukung terhadap penciptaan daya saing bagi setiap pelaku usaha di dalam negeri, sepanjang hal tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999. KPPU menghimbau setiap pihak untuk tetap memperhatikan regulasi yang berkaitan dengan persaingan usaha.
KPPU membuka diri seluas-luasnya bagi pelaku usaha maupun masyarakat yang mengalami atau mengetahui adanya dugaan pelanggaran persaingan usaha paska pembentukan kombinasi usaha tersebut. (ZS)
Beritaneka.com—Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan PT. Telekomunikasi Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam perkara Dugaan Praktek Diskriminasi PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler terhadap Netflix terkait Penyediaan Layanan Akses Internet Provider.
Kesimpulan tersebut disampaikan dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan yang dilakukan di Kantor Pusat KPPU dan secara daring pada 29 April 2021. Perkara ini berawal dari penelitian inisiatif seiring dengan temuan yang mengemuka di publik terkait pemblokiran akses pelanggan berbagai jaringan yang dimiliki PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TELKOM) dan PT Telekomunikasi Seluler (TELKOMSEL) dalam mengakses konten Netflix sejak tahun 2016 hingga akhir 2018.
Baca juga: KPPU : Gejolak Harga Cabe, Bawang dan Daging Relatif Stabil Pada Triwulan Pertama 2021
Temuan tersebut dilanjutkan ke tahapan penyelidikan dan persidangan dengan Nomor Perkara No. 08/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Praktek Diskriminasi PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler terhadap Netflix terkait Penyediaan Layanan Akses Internet Provider.
Pada proses persidangan, Majelis Komisi menemukan bahwa memang telah terjadi perilaku pemblokiran atau penutupan akses internet untuk layanan Netflix oleh para Terlapor, dimana TELKOM melakukan pemblokiran di jaringan tetap (Fixed Broadband) dan TELKOMSEL melakukan pemblokiran pada jaringan bergerak (Mobile Broadband). Dalam hal tersebut, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa telah terjadi perlakuan berbeda atau diskriminasi oleh para Terlapor antara Netflix dengan penyedia Subscription Based Video On Demand (SVOD) lain.
“Namun demikian, Majelis Komisi juga menemukan bahwa pemblokiran tersebut tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat,” ujar Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU.
Baca juga: Tiga Potensi Permasalahan Impor Garam
Hal ini mengingat ditemukannya berbagai bukti, antara lain bahwa, tindakan tersebut dilakukan untuk menghindarkan dari kemungkinan dikenakan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016, tidak adanya kerugian yang dialami Netflix, dan konsumen masih bisa memiliki pilihan untuk melihat layanan Netflix melalui penyedia lainnya.
Memperhatikan berbagai fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan pada masa persidangan, maka Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf “d” Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Lebih lanjut, jelas Nur, Majelis Komisi memberi rekomendasi kepada Komisi untuk memberikan saran pertimbangan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membuat regulasi atau peraturan mengenai Over The Top yang antara lain meliputi Advertising-Based Video on Demand (AVOD), Transactional Video On Demand (TVOD), dan Subscription Based Video On Demand (SVOD), mengingat hingga saat ini belum ada aturan mengenai Over The Top padahal menggunakan infrastruktur jaringan Internet Service Provider (ISP) dan terus tumbuh secara signifikan.
Termasuk didalamnya mengenai aturan pemblokiran dan situs internet bermuatan negatif, serta membuat aturan terkait hal-hal yang harus dipatuhi dalam kerja sama antara Pelaku Usaha ISP dengan Pelaku Usaha Over The Top karena selain terkait aspek privat (business to business) terdapat juga aspek publik. (ZS)
Beritaneka.com—Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan paling tidak terdapat potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam saat ini yang dapat mengarah pada penguasaan pasokan garam oleh importir tertentu. Untuk itu KPPU meminta Pemerintah agar mewajibkan penyerahan data penggunaan garam impor oleh importer garam kepada Pemerintah.
“Hal ini ditujukan agar Pemerintah dapat memantau hubungan realisasi impor garam industri dan penggunaannya untuk kepentingan industri, sehingga dapat memastikan bahwa impor dilakukan untuk keperluan industri dan mencegah masuknya garam industri tersebut di pasar garam rakyat,” ujar Yudi Hidayat, Anggota KPPU.
Sebagai informasi, Pemerintah telah memutuskan kenaikan impor garam industri menjadi 3 juta ton, dari proyeksi 4.6 juta ton kebutuhan. Importasi tersebut memang tidak dapat dihindari, karena kualitas produksi garam rakyat yang belum mampu memenuhi kualitas kebutuhan industri. Masalahnya, impor garam industri ini dilaksanakan di tengah masih tersedianya stok garam nasional dalam jumlah yang signifikan, yakni di atas 1 juta ton.
Sementara kebijakan baru dikeluarkan saat ini, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, khususnya pasal 291, mengatur bahwa importir garam harus memprioritaskan penyerapan garam hasil produksi petambak garam yang tersedia di gudang garam nasional dan/atau gudang garam rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Saat ini impor garam untuk keperluan industri menggunakan model kuota per importir. Ini rentan mengarah kepada penguasaan pasokan garam di pasar oleh pelaku usaha yang terbatas. Kebijakan ini dapat mendorong supernormal profit melalui penjualan garam industri ke garam konsumsi seiring dengan perbedaan harga yang tinggi diantara keduanya. KPPU mencatat adanya paling tidak tiga potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam.
Pertama, adanya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk ke pasar garam konsumsi, sebagai akibat kesalahan dalam mengestimasi kebutuhan impor. Sebagai informasi, kebutuhan garam nasional tahunan saat ini berada di sekitar 4,6 juta ton, dengan hampir 84% atau 3,9 juta ton diantaranya berasal dari kebutuhan garam industri.
Hanya sekitar 7% untuk kebutuhan rumah tangga. Stok garam lokal sekitar 1,3 juta ton. Analisis Pemerintah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dan sektor industri pengolahan tahun 2021 menunjukkan estimasi 2,49-3,01, masih berada di bawah level pertumbuhan 2019, yakni sebesar 3,8. Sehingga kemungkinan sektor yang paling banyak membutuhkan garam industri (CAP dan aneka pangan) juga mengalami pertumbuhan kebutuhan di bawah tahun 2019. Sehingga apabila kebutuhan impor garam sektor 2,5 juta ton (2019) dengan pertumbuhan sektor pengolahan 3,8, maka kebutuhan impor garam industri di 2021 tidak akan mencapai 3 juta ton. Dengan demikian kebutuhan garam industri tahun 2021 tidak sebesar tahun 2019, dan berpotensi overestimasi.
Permasalahan kedua adalah realisasi importasi yang mungkin tidak tercapai sepenuhnya. Importir melakukan impor dilakukan sesuai alokasi kuota yang ditetapkan Pemerintah untuk kebutuhan internal. Berdasarkan data, realisasi impor yang dilakukan per April 2021 mencapai 412 ribu ton atau 19,67% dari total rekomendasi dikeluarkan yang mencapai 2,1 juta ton. Apabila dihitung dari alokasi impor sebesar 3 juta, maka realisasi impor per April baru mencapai 13,38 %. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, realisasi impor garam mencapai 1,8 juta ton.
Sehingga terdapat potensi impor yang tidak dilaksanakan. Atau dilaksanakan, namun tidak digunakan sebagaimana peruntukan garam industri. Permasalahan ketiga adalah lemahnya pengawasan pasca importasi. Saat ini tidak terdapat mekanisme pengawasan terhadap penggunaan garam impor oleh importir. Sehingga tidak tertutup kemungkinan terdapat sisa stok garam impor yang tidak terpakai oleh industri dan berpotensi masuk ke pasar garam rakyat, apalagi dengan disparitas harga yang tinggi.
Potensi masuknya kelebihan garam impor ke pasar garam rakyat menjadi semakin besar apabila importir tidak melaporkan penggunaan serta penyaluran garam impor kepada Pemerintah. Potensi tersebut semakin besar apabila importir tersebut tidak menggunakan garam tersebut dalam proses produksinya, namun bertindak sebagai importir untuk memenuhi kebutuhan garam untuk industri lain di dalam negeri.
Untuk itu, KPPU berpendapat bahwa Pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap industri pengguna garam impor serta importir garam, khususnya dengan mewajibkan penyerahan data penggunaan garam impor kepada Pemerintah. Serta melakukan perbaikan mekanisme penujukan importer guna memastikan agar stok garam impor tidak jatuh pada penguasaan kelompok tertentu dalam porsi yang signifikan.
Selain itu KPPU juga merekomendasikan agar Pemerintah mengutamakan penyerapan stok garam rakyat yang masih ada untuk pasar domestik dan memastikan stok garam impor digunakan sesuai dengan peruntukan rencana awal tahun dan tidak terjadi rembesan ke pasar garam rakyat sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021. (ZS)
Beritaneka.com—Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lakukan pemantauan harga bahan-bahan pokok di enam wilayah guna mencegah potensi pelanggaran Undang-undang No. 5 Tahun 1999, khususnya dalam mengetahui kendala hambatan distribusi di sektor tersebut. Secara umum, KPPU menemukan bahwa benar terjadi rata-rata kenaikan harga bahan pokok secaranasional, namun gejolak harga tersebut masih relatif stabil pada triwulan pertama 2021.
Kenaikan dua komoditas, yakni daging ayam dan cabai terjadi di hampir semua wilayah, dengan besaran berkisar antara 10%-30%. Namun kenaikan tersebut lebih disebabkan oleh faktor di luar persaingan, yakni faktor cuaca (iklim musiman) terkait masa panen, kendala pasokan terkait logistik; dan faktor jalur distribusi yang panjang.
Berikut garis besar temuan pantauan yang dilakukan KPPU. Wilayah Kerja Komoditas yang bergejolak catatan Wilayah I (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Kep. Riau), daging sapi, cabai, bawang, kenaikan rata-rata 16%. Wilayah II (Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu dan Bangka Belitung) Cabai, bawang, daging ayam, telur relatif stabil.
Wilayah III (Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta), daging ayam, telur ayam, daging sapi kenaikan rata-rata antara 10%-15% Wilayah IV (Jawa Timur, JawaTengah, DI Yogyakarta, Bali, NTT, dan NTB), daging ayam Kenaikan rata-rata menekati 30%. Wilayah V (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara), cabai kenaikan rata-rata mendekati 20%.
Wilayah VI (Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat) bawang, daging ayam, telur Kenaikan rata-rata antara 11% – 25%.
“Kesimpulan tersebut diperoleh KPPU setelah melakukan berbagai pantauan lapangan sejak awal tahun 2021 di seluruh kantor wilayah KPPU yang bertempat di Medan, Bandar Lampung, Bandung, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Pantauan tersebut dilaksanakan atas bahan pokok seperti, beras, gula, minyak goreng, daging, telur, garam, cabe, dan bawang,” ujar Taufik Ariyanto, Deputi bidang Kajian dan Advokasi, Sekretariat KPPU kepada Beritaneka.
Dari pantauan terlihat bahwa kenaikan harga bahan pokok jelang Ramadhan sering kali tidak terelakan. KPPU terus melakukan pengawasan untuk memastikan tidak ada pelanggaran Undang-undang No. 5 Tahun 1999, khususnya selama bulan Ramadhan dan di sektor pangan. KPPU mengharapkan dukungan setiap pihak untuk melaporkan ke KPPU jika terdapat pelanggaran persaingan usaha di berbagai komoditas bahan pokok tersebut. (zs)