Beritaneka.com—Pemerintah terus berupaya untuk mendorong adopsi teknologi digital secara holistik bagi seluruh pelaku industri di tanah air, termasuk pelaku industri pertelevisian.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan hal itu dilakukan melalui dukungan untuk konvergensi industri media dan penciptaan fair level of playing field.
“Upaya penciptaan fair level of playing field dan konvergensi industri media terus dilakukan melalui beragam kebijakan yang melibatkan beragam pemangku kepentingan terkait,” ungkap Menkominfo dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11).
Menurut Menteri Kominfo, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah menargetkan penyelesaian akhir program migrasi penyiaran televisi analog ke digital melalui Analog-Switch-Off (ASO) pada 2 November 2022.
Baca juga: Kominfo Putus Akses 4.873 Konten Fintech Ilegal Sejak Tahun 2018
Johnny menyatakan digitalisasi penyiaran dirancang sebagai cara untuk mendayagunakan frekuensi seefisien mungkin sehingga tercipta koeksistensi di ruang digital.
“Antara penyelenggara penyiaran dan hadirnya pendatang baru di industri media yakni Over the Top (OTT) dan secara khusus menciptakan ruang lebih luas bagi digital broadcasters dalam menghadapi ekosistem kompetisi media digital melalui tata kelola dan pemanfaatan multiplexing (MUX) yang lebih efisien dan berdaya saing,” jelasnya.
Selain penguatan regulasi di dalam negeri, Menkominfo menyatakan Pemerintah juga secara konsisten melakukan studi komparasi praktik-praktik negara lain untuk mendukung pertumbuhan industri media secara berkelanjutan di era transformasi digital.
“Salah satu yang menjadi perhatian adalah perkembangan kebijakan banyak negara untuk menyetarakan posisi industri media konvensional dengan para penyelenggara konten, atau yang biasa dikenal dengan Publishers’s Rights,” jelasnya.
Baca juga: Menkominfo: Lakukan Persiapan Integrasi BTS secara Bertahap
Menteri Johnny menilai koeksistensi media di ruang digital menjadi penting untuk menempatkan posisi industri pers setara dengan pengelola platform digital.
“Meski bukan silver bullet untuk memastikan ekosistem industri pers yang independen dan keberlanjutan, ketentuan publisher rights merupakan salah satu alternatif kebijakan publik yang menempatkan posisi industri pers setara dengan pengelola platform digital dengan jumlah pengguna yang besar,” jelasnya.
Publisher’ rights
Regulasi publishers’ rights yang saat ini naskahnya telah selesai disusun oleh Dewan Pers. Menurut Menkominfo, kebutuhan pengaturan mengenai publishers’ rights, payung hukum atas ketentuan publishers’ rights baik di level undang-undang maupun aturan pelaksanaannya juga harus segera disiapkan.
“Usulan konstituen Dewan Pers merupakan usulan yang sangat baik. Menimbang Pemerintah saat ini tengah menjajaki beberapa kemungkinan undang-undang yang dapat mengadopsi ketentuan terkait publishers’ rights seperti melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU terkait Kekayaan Intelektual seperti UU Hak Cipta, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU lainnya,” jelasnya.
Baca juga: Polri Koordinasi Kominfo, 10 Kementerian Diduga Dibobol Hacker China
Menteri Johnny menegaskan Pemerintah berupaya agar adopsi ketentuan publishers’ rights dapat segera dilakukan mengingat sifatnya yang mendesak.
“Ketentuan yang diatur pada level undang-undang tersebut akan menjadi acuan penyusunan lebih lanjut aturan pelaksanaan publishers’ rights baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau turunan peraturan lain yang akan diatur secara lebih detil,” tandasnya.
Percepat Transformasi
Perkembangan lansekap industri pertelevisian tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi yang ada. Menurut Menkominfo teknologi digital juga mendorong perkembangan percepatan transformasi industri pertelevisian, terlebih selama pandemi Covid-19.
“Sebagai kanal distribusi maupun konten, teknologi hadir mewarnai jagad pertelevisian nasional. Setidaknya terdapat dua tantangan utama yang dihadapi oleh insan pertelevisian termasuk para jurnalis televisi dalam era teknologi digital yaitu persaingan usaha di era disrupsi digital dan independensi jurnalis dalam pelaksanaan tugas,” jelasnya.
Menteri Johnny mengutip Laporan Motion Pictures Association di tahun 2020 mencatat bahwa sepanjang pandemi Covid-19, di tingkat global terdapat peningkatan pengguna layanan video online sebesar 1,1 miliar di tahun 2020, lebih besar 26% dibanding tahun 2019. Kondisi tersebut menunjukan bahwa meski di tengah kondisi disrupsi digital, industri pertelevisian berpeluang untuk terus tumbuh meskipun turut memiliki tantangan tersendiri.
“Laporan yang sama menyampaikan bahwa televisi berlangganan menjadi pangsa pasar pertelevisian dengan pendapatan tertinggi mencapai 111,6 miliar dolar Amerika Serikat di tahun 2020,” tuturnya.
Baca juga: Kemkominfo Sinergi dengan Kemenkes dan BSSN Sikapi dugaan Kebocoran Data Pribadi Aplikasi EHAC
Mengutip Laporan Digital News Report (2021) dari Universitas Oxford dan Reuters Institute, Menkominfo mengisyaratkan tiga kondisi besar yang harus diwaspadai oleh insan jurnalisme, yaitu (1) tingkat kesenjangan kepercayaan publik (Public Trust Gap) antara media mainstream dan media sosial yang semakin tinggi, (2) isu akses publik terhadap informasi yang berkualitas, dan (3) penurunan ketertarikan publik terhadap berita dibandingkan konten media sosial yang semakin atraktif.
“Kementerian Kominfo tentu terbuka dengan usulan dan aspirasi lain dari publik untuk memperkuat kebebasan pers, serta menjamin keberlangsungan industri pers secara khusus industri pertelevisian di tengah situasi pandemi Covid-19,” tegas Menteri Johnny.
Dalam workshop bertema “Jurnalis Televisi dan Tantangannya” itu, Menkominfo memaparkan dua tantangan utama yang dihadapi oleh insan pertelevisian yaitu persaingan usaha di era disrupsi digital dan independensi jurnalis dalam pelaksanaan tugas.
Acara workshop merupakan rangkaian dari Kongres IJTI yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Dalam acara itu hadir secara virtual Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Pers Indonesia, Muhammad Nuh. Selain itu hadir Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Yadi Hendriana; Ketua Asosiasi Pers, pemimpin redaksi, pengurus dan anggota IJTI.
Beritaneka.com—Berbagai penyesuain perlu dilakukan untuk merespon perubahan global yang terjadi secara cepat dan tidak terduga. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) merespon ini dengan meluncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kegiatan MBKM adalah wujud respon pemerintah agar sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan era saat ini.
“MBKM membebaskan mahasiswa untuk belajar di luar program studinya. Bahkan mahasiswa merdeka untuk belajar di luar kampus selama tiga semester. Mahasiswa bisa magang di industri multinasional, mengajar di sekolah proyek di desa. Serta bisa mengikuti program belajar di negara lain,” ungkap Nadiem Makarim MBA, Mendikbudristek dalam diskusi rangkaian kegiatan Festival Kampus Merdeka (15/6-2021).
Baca juga: Rehabilitasi Ekosistem, Bappenas Beri Mandat IPB Kelola Pesisir Raja Ampat
Hadir dalam kegiatan ini Ir Joko Widodo selaku Presiden RI dan Prof Arif Satria yang merupakan Rektor IPB University sekaligus Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI). Selain itu, hadir juga perwakilan mahasiswa yang mengikuti program MBKM yang diadakan oleh Kemendikbudristek dan perwakilan dari pimpinan perusahaan negeri dan swasta.
Dalam kesempatan ini, Prof Arif memberikan beberapa masukan kepada Presiden RI dan Kemendikbudristek terkait keberlangsungan MBKM yang saat ini sudah berjalan.
Menurutnya salah satu komponen yang penting adalah menciptakan regulasi yang kondusif untuk menunjang kegiatan ini. Misalnya undang-undang tentang guru dan dosen yang memuat tentang kualifikasi dosen.
“Saat kita hadir dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka, sulit untuk mencari praktisi yang ahli. Perlu adanya penyesuaian perangkat perundang-undangan agar bisa kondusif untuk implementasi kampus merdeka. Begitu pula untuk sistem akreditasi yang harus merdeka juga untuk ekosistem kampus. Lalu statuta perguruan tinggi yang masuk dalam pemerintah perlu direform,” tambah Prof Arif.
Ia juga menjelaskan bahwa program Kampus Merdeka ini sangat cocok dengan agenda di IPB University. Semenjak tahun 2019 IPB University sudah menggagas program-program yang membebaskan mahasiswa untuk belajar di luar kampusnya. Misalnya dengan menggabungkan riset, kewirausahaan dan belajar dalam satu kegiatan. Sehingga ia menyebut, saat momen peluncuran program MBKM, ada istilah ‘tumbu nemu tutup’. Progam ini sangat mendukung agenda dari IPB University.
Baca juga: Apa Hubungan Lapar dan Marah? Berikut Penjelasan Pakar IPB
Menanggapi ini Nadiem sangat senang dan menyebut Prof Arif sebagai ‘champion’ dari Kampus Merdeka. Bahkan sebelum program ini diluncurkan, ide ini sudah digagas oleh IPB University. Ia senang memiliki mitra yang sangat responsif.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ir Joko Widodo, yang merespon baik masukan ini dan mendorong seluruh pihak untuk terus berkolaborasi.
“Kampus Merdeka membutuhkan kolaborasi dari semuanya, baik kampus, mahasiswa, pemerintah, industri dan pihak lainya. Paling penting juga kecepatan dari tiap pihak. Misal kecepatan review kurikulum di kampus, pengembangan program di dunia industri dan ekosistem pendidikan nasional. Hal ini bukan hanya pekerjaan Mendikbudristek, tapi semua harus bekerja sama jika ingin membangun negara Indonesia yang maju,” tutup Presiden Joko Widodo.