Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS)
Beritaneka.com, Jakarta—Kedaulatan rakyat merupakan istilah politik yang artinya “kekuasaan tertinggi di suatu negara berada di tangan rakyat”. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Indonesia adalah negara demokrasi, maka kekuasaan tertinggi dalam politik Indonesia berada di tangan rakyat.
Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka kekuasaan itu perlu dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula. Segala bentuk kekuasaan yang dipergunakan BUKAN untuk kepentingan mayoritas rakyat, menandakan bahwa praktek politik di negeri tersebut menyimpang dari praktek politik demokrasi.
Demokrasi Indonesia sedang mengalami cobaan. Kedaulatan rakyat cenderung diabaikan oleh penguasa. Penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan segelintir orang sering menjadi agenda rutin. Kasus-kasus yang berkembang saat ini menunjukkan betapa kekuasaan yang dititipkan oleh rakyat disalahgunakan.
Ini merupakan praktek “perampasan” kedaulatan rakyat Indonesia. Akibatnya, suara ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa sering digaungkan. Rakyat menjerit menuntut “keadilan”. Namun jeritan ini sering diabaikan, walaupun suara lantang bergema ke seluruh Indonesia. Seolah-olah kedaulatan rakyat tidak hadir lagi di alam Indonesia.
Wakil rakyat di lembaga resmi negara tidak lagi mampu mewakili rakyat, bahkan cenderung untuk berpihak kepada kezoliman. Wakil rakyat yang bertugas di lembaga legislatif merupakan petugas partai, yang mewakili kepentingan partai. Lembaga legislatif ini yang seharusnya mewakili kedaulatan rakyat. Kemudian, siapa yang mewakili rakyat? Bagaimana kedaulatan rakyat bisa kembali kepangkuan rakyat?
Rakyat perlu mengatur diri sendiri untuk mengambil kembali kedaulatannya. Jika lembaga resmi yang mewakili rakyat tidak bisa berfungsi atas nama rakyat, maka rakyatlah yang perlu melakukannya. Pada tahun 1998, sewaktu gencarnya gerakan protes terhadap rezim orde baru, rakyat menebar parlemen jalanan. Rakyat turun ke jalan untuk menunjukkan kedaulatan mereka. Tapi cara ini cara yang penuh resiko, tidak sistematis dan tidak bisa langgeng untuk mewakili kepentingan rakyat. Parlemen jalanan merupakan cara “preman” untuk menuntut kedaulatan. Rakyat Indonesia perlu membangun budaya “santun” untuk menunjukkan kedaulatannya.
Koperasi merupakan lembaga ekonomi dan sosial yang mewakili kepentingan anggotanya. Kedaulatan di koperasi ada pada anggotanya. Dari sisi kedaulatan ini, koperasi mewakili model terkecil dari suatu negara demokrasi. Prinsip demokrasi “one-man-one-vote” merupakan bentuk kedaulatan anggota dalam institusi koperasi.
Karena koperasi merupakan kumpulan orang, maka kedaulatan orang banyak bisa disalurkan melalui koperasi. Kesadaran masyarakat koperasi akan kedaulatan ditimbulkan melalui praktek di koperasi. Prinsip koperasi yang menyebutkan “keanggotaan yang terbuka”, menunjukkan koperasi berpotensi untuk membangun agregasi. Siapa saja berpeluang untuk menjadi anggota koperasi, tanpa harus melihat latar belakang suku, ras, agama atau status sosial. Jadi koperasi merupakan kendaraan yang dapat menciptakan “kebermanfaatan” ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat luas. Kedaulatan merupakan manfaat sosial bagi masyarakat, maka koperasi pantas untuk menjadi kendaraan dalam membangun kedaulatan rakyat.
Dengan bertumbuhkembangnya koperasi, maka akan bertumbuhkembang pula praktek kedaulatan. Dengan bertumbuhkembangnya koperasi, maka akan bertumbuhkembang pula masyarakat yang merasakan kedaulatan. Dengan bertumbuhkembangnya masyarakat yang merasakan kedaulatan, maka akan berkembang pula jumlah masyarakat Indonesia yang merasakan arti kedaulatan. Maka kedaulatan bagi seluruh rakyat dalam demokrasi Indonesia akan tercipta.