Beritaneka.com, Jakarta —Potensi penerimaan pajak kendaraan bermotor diproyeksi lebih dari Rp100 triliun. Oleh karena itu, PT Jasa Raharja (Persero) mendorong Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) segera menerapkan single data atau data tunggal. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi jumlah data kendaraan, sehingga mampu mengoptimalkan penerimaan pajak kendaraan bermotor.
Samsat merupakan bentuk kerja sama antara Polri/Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah (Ditlantas Polda), Dinas Pendapatan Provinsi, dan Jasa Raharja.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Samsat, Samsat adalah sebuah rangkaian sistem yang berfungsi untuk menyelenggarakan tugas Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), registrasi serta identifikasi kendaraan bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (SWDKLLJ).
“Dengan adanya data yang akurat yang terintegrasi dari single data, pemangku kepentingan di Samsat dapat mengetahui jumlah data kendaraan bermotor dan status kendaraannya, jumlah kendaraan bermotor yang sudah membayar pajak, serta jumlah kendaraan bermotor yang belum membayar pajak,” kata Direktur Utama Jasa Raharja Rivan A Purwantono, dalam keterangannya, dikutip hari ini.
Baca Juga:
Pelajar Indonesia Raih Medali Emas Olimpiade Biologi Internasional
Jasa Raharja menyimpulkan, ketidakpatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan bermotor menjadi isu utama yang sedang dihadapi di Samsat. Berdasarkan data Jasa Raharja, terdapat 40 juta kendaraan atau 39 persen dari total kendaraan yang belum melakukan pembayaran pajak kendaraan bermotor. Padahal secara nominal, potensi penerimaan pajak kendaraan bermotor diperkirakan lebih dari Rp100 triliun.
“Maka perlu upaya untuk menggali potensi pajak sesuai dengan kewenangan tiap instansi di Samsat,” kata Rivan.
Saat ini sistem pengelolaan data yang digunakan masih belum terintegrasi. Tidak optimalnya penerimaan pajak kendaraan bermotor utamanya dipengaruhi oleh perbedaan jumlah data di setiap instansi.
Sebagai gambaran, per 31 Desember 2021, Polri mencatat terdapat 148 juta kendaraan di Indonesia; sementara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut, hanya ada 112 juta kendaraan; dan 103 juta kendaraan yang dicatat oleh Jasa Raharja.
“Atas permasalahan perbedaan data di setiap instansi, diperlukan penataan data yang baik melalui single data yang akan dikelola bersama oleh ketiga. Sistem pengelolaan data yang digunakan di masing-masing instansi masih belum terintegrasi sehingga menyebabkan perbedaan jumlah data kendaraan di tiap instansi,” ungkap Rivan.
Baca Juga:
Biaya Melahirkan Ibu Hamil Ditanggung Negara
Secara simultan, seiring dengan dilakukannya integrasi data, ketiga instansi juga akan melakukan upaya penanganan terhadap ketidakpatuhan kendaraan bermotor. Dari sisi Polri, salah satu upayanya adalah melalui penegakkan hukum dengan penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam beleid itu, ada sanksi penghapusan data kendaraan bermotor dari daftar registrasi dan indentifikasi kendaraan bermotor.
Selain itu, Korlantas Polri juga akan mengimplementasikan Peraturan Polisi Nomor 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor Pasal 85. Polri telah melakukan upaya penegakkan hukum berbasis digital melalui Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE).
E-TLE merupakan sistem berbasis teknologi informasi dengan memanfaatkan perangkat elektronik berupa kamera CCTV yang dapat mendeteksi berbagai jenis kendaraan lalu lintas. Dalam impelementasinya, sistem E-TLE akan terus dioptimalkan. Sebab dari 36 juta pelanggaran dengan 417 ribu surat tilang yang telah dikirim, hanya 153 ribu yang terbayar.
Dari sisi Kemendagri, upaya yang dapat dilakukan adalah peringatan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 97 ayat (2) dan peraturan gubenur mengenai petunjuk pelaksanaan daerah terkait pajak kendaraan bermotor.
Di sisi lain, Kemendagri dapat memberikan relaksasi berupa penghapusan balik nama kendaraan bermotor atas penyerahan kepemilikan kedua (BBN-2); denda progresif untuk mendorong registrasi pengesahan pajak kendaraan bermotor; serta memberikan edaran ke pemerintah provinsi untuk pemanfaatan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dalam optimalisasi pendapatan pajak kendaraan bermotor. Kemudian, dari sisi Jasa Raharja, upaya yang dapat dilakukan adalah melalui dukungan validitas data, alamat, dan kontak pemilik kendaraan.