Beritaneka.com—Mahasiswa mulai bersuara lantang mengkritisi kinerja Presiden Jokowi. Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) UI yang memulai. Mereka menyebut Jokowi The King of Lip Service. Kemudian, suara lantang mahasiwa UI mendapat sambutan dan dukungan dari berbagai BEM kampus lainnya, universitas negeri atau pun swasta.
BEM Universitas Padjadjaran, melalui akun Twitter @bem_unpad, menyatakan sikap atas kritik BEM UI terhadap Jokowi. BEM Unpad menilai tindakan pihak kampus UI yang memanggil sejumlah pengurus BEM UI untuk mengklarifikasi kritik tersebut tidak tepat. BEM Unpad juga menyinggung dugaan peretasan akun WhatsApp dan media sosial sejumlah pengurus BEM UI.
BEM Universitas Yarsi turut mengkritik sikap Jokowi yang dinilai banyak mengobral janji manis tanpa realisasi, serupa dengan kritik yang disampaikan BEM UI. Mereka menilai, dari fakta yang ada hingga kini banyak yang dilakukan [Jokowi] tidak sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan. Mulai dari HAM, pembangunan, pangan, hingga lainnya.
Dari Pulau Sumatera, dukungan kepada BEM UI juga disampaikan Presiden BEM Universitas Sriwijaya, Dwiky Sandy. Ia pun mendukung julukan King of Lip Service diberikan kepada Jokowi. Mereka berharap Presiden Jokowi berhenti untuk mengibul dan serius mengurus negara.
Pernyataan BEM UI langsung mendapat respons dari pendukung Jokowi terutama di media sosial. Ketua BEM UI dituding Asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon sebagai anggota HMI yang berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca juga: Bagaimana Pemerintahan Jokowi Dapat Utang Benaran Tahun 2021?
Tudingan tersebut tampaknya sengaja disampaikan secara vulgar untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon. Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service, tapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon.
Bagaimana alumni mahasiswa menilai sikap BEM beberapa kampus yang mengkritisi kinerja Presiden Jokowi? Seperti apa kekuatan sipil lainnya seharusnya merespons kritikan mahasiswa? Apa sebenarnya yang salah dan solusi yang harus diambil pemerintah di tengah berbagai persoalan bangsa yang semakin kritis? Berikut tanggapan Sekjen Ikatan Alumni ITB, Hairul Anas Suaidi kepada Beritaneka.com :
Apa tanggapan Anda terhadap kritikan mahasiwa UI yang mengatakan Joko Widodo (Jokowi) sebagai The King of Lip Service?
Itu merupakan suatu yang menggembirakan dalam demokrasi, setelah sekian lama masyarakat menunggu suara mahasiswa yang seringkali disebut sebagai agent of change, suatu fase hidup yang paling bebas dan minim risiko.
Dalam sudut pandang saya sebagai mantan mahasiswa, kritik tersebut menjadi energi baru dalam demokrasi yang hampir lumpuh. Suara mahasiswa harus dihargai sebagai representasi suara masyarakat luas, karena mahasiswa sudah memiliki kemampuan berfikir logis dan independen dalam membandingkan harapan, janji, dan realisasi di lapangan.
Kritik mahasiswa UI mendapat respons dari Rektor UI, mahasiswa dipanggil dan dan menyebut apa yang dilakukan mahasiswa tidak pantas. Komentar Anda?
Sepantasnya Rektor UI menghargai dan turut bangga mahasiswanya telah berani melakukan kritik. Tak ada bedanya Rektor dan Mahasiswa, mereka sama-sama insan akademik yang mesti menjaga nilai-nilai obyektifitas, kejujuran, dan kebebasan berpendapat.
Apa penilaian Anda terhadap dunia kampus sebagai kumpulan orang berpendidikan tinggi menyikapi berbagai persoalan bangsa?
Sejak penentuan posisi rektor lebih didominasi oleh kementerian, saya melihat independensi, obyektifitas, dan suara kritis dari pejabat kampus semakin lemah. Ini menjadi keprihatinan banyak pihak, di mana kampus semestinya memberikan gagasan-gagasan yang jernih dan tidak melulu menjadi amplifier penguasa musiman. Kita semua berharap jangan sampai insan kampus mencatolkan kariernya kepada dunia politik, agar kredibilitas dan kehormatannya tidak tergerus poros-poros politik.
Presiden Jokowi juga merespons kritik mahasiswa dengan mengatakan kritik boleh saja, tapi harus disampaikan dengan tata krama yang santun. Tanggapan Anda?
Kritik memang tidak enak, namun itulah konsekuensi demokrasi. Dalam agama kita diajari prinsip,”katakanlah kebenaran, walau itu pahit”. Presiden Jokowi sudah maklum dan saya rasa beliau akan melakukan introspeksi. Semoga jajaran di bawahnya juga tidak melakukan tindakan represif kepada mahasiswa atau siapapun yang bersikap kritis. Kita semua mencintai bangsa ini, sehingga harus dibuka ruang kritik; tesis-antitesis. Itu biasa sejak masa awal kemerdekaan republik ini.
Kritikan mahasiswa terhadap Presiden Jokowi tidak hanya dilakukan BEM UI, tapi juga dilakukan mahasiswa UGM dan USU. Menurut Anda ini fenomena apa?
Saya melihat ini merupakan fenomena solidaritas sekaligus indikator bahwa adik-adik BEM di berbagai perguruan tinggi sudah lama menahan kritiknya dalam hati, menunggu ada yang berani memulai secara terbuka dan lugas. Ini akan terus bergulir, walau sebagaian masih ragu-ragu, menunggu dan melihat situasi.
Sebagai yang pernah menjadi aktivis kampus, bagaimana Anda menilai pergerakan mahasiswa saat ini melakukan kontrol terhadap pemerintah?
Sudah lama sekali aktivis kampus terlihat melempem dan ikut arus, karena pertaruhannya memang besar, yaitu bisa terbengkalainya tugas akademik. Tidak mudah menjadi aktivis kampus yang setiap saat mendapatkan beban akademik dalam batasan waktu yang sangat pendek. Kondisi ini telah banyak melahirkan budaya copy/paste, keroyokan, dan dependensi yang tinggi kepada orang lain.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Namun saya yakin akan selalu ada suara-suara mahasiswa atau alumninya yang kritis, walau stock-nya semakin menipis. Semoga angin perubahan dari BEM UI menjadi energi baru untuk demokrasi yang bersih dan egaliter. Kita sebagai alumni selalu siap siaga mendukung adik-adik BEM yang memerlukan perlindungan dan dukungan, agar tidak khawatir masa depannya selepas dari kampus.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan kekuatan sipil dalam konteks melakukan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat banyak?
Banyak pilihan bagi masyarakat, sesuai dengan latar belakang dan potensi masing-masing. Kuncinya adalah berani memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan dalam setiap aspek yang ditekuni. Media sosial bisa dimanfaatkan secara maksimal, namun harus tetap waspada jangan sampai menyebar hoax dan melanggar pasal karet UU ITE.
Masyarakat juga harus berfikir mandiri, terus menjalin sinergi dan saling menguatkan dalam kekuatan ekonomi, tanpa bergantung kepada program pemerintah yang sangat prosedural dan menguras sumber daya. Think out of the box.
Bagaimana Anda menilai pemerintah mengelola negara ini dibawah komando Presiden Jokowi?
Sepertinya saya sama dengan kebanyakan mahasiswa dan masyarakat, agak bingung menilai kinerja pemerintahan ini. Banyak yang tumpang tindih dan terkesan bagi-bagi kue saja. Persoalan-persoalan bangsa hampir tidak ada yang tuntas dan diselesaikan secara cerdas dan memuaskan.
Saya tidak dapat memahami, dana bansos Covid-19 saja dikorupsi. Belum bicara bidang-bidang lain yang tentu jauh lebih rumit dalam penganggarannya. Sudah diceritakan oleh Menkopolhukam sendiri, kan? Itu fakta tak terbantahkan.
Intinya, pemerintahan hingga saat ini gagal menjawab dengan baik “tuntutan oposisi”. Oposisi terkesan lebih diposisikan sebagai lawan, bukan mitra berfikir.
Apa yang salah dan apa solusi yang Anda tawarkan?
Kita telah salah mengartikan sila ke-4 Pancasila (Permusyawaratan Perwakilan) menjadi Demokrasi One Man One Vote ala barat, sehingga Demokrasi dikuasai oleh oligarki dan politisi liar (demagog), yang mencari rente atau kue ekonomi dari politik.
Solusi idealnya, kembalikan Undang-undang Dasar ke naskah asli UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Insya Allah itu solusi paling adil bagi semua pihak, karena merupakan buah pikir para pendiri bangsa yang murni berjuang untuk bangsa. Itulah cermin jati diri bangsa Indonesia yang sejati.
Jika perlu penyesuaian-penyesuaian, perbaiki sistem perundang-undangan yang di bawahnya, bukan mengubah UUD 1945.
Adapun solusi realistis saat ini adalah membangun kemandirian dan kebebasan berekspresi dalam koridor persaudaraan. Saya yakin bangsa kita dapat keluar dari kemelut dan permasalahan-permasalahan yang berat bilamana pemerintah dan masyarakat, termasuk mahasiswa, menjunjung tinggi asas kejujuran, solidaritas kebangsaan, dan tidak saling mencurigai.