Beritaneka.com—Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) memprotes rencana pemerintah untuk menjadikan bahan kebutuhan pokok sebagai objek pajak. Pemerintah diharapkan tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok.
Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat kebijakan. Apalagi kebijakan tersebut akan diterapkan di masa pandemi di tengah situasi perekonomian yang sedang sulit seperti saat ini.
Baca Juga: Bahan Kebutuhan Pokok Kena Pajak, Makin Banyak Rakyat Miskin
“Ikappi melihat upaya ini benar-benar tidak melihat realitas di bawah apalagi barang yang kenakan pajak adalah beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Ikappi mencatat, lebih dari 50% omzet pedagang pasar menurun di tengah pandemi. Di samping itu pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan ini.
“Harga cabai bulan lalu hingga Rp100 ribu, harga daging sapi belum stabil mau dibebanin PPN lagi?. Gila… kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, bagaimana tidak gulung tikar,” katanya.
Baca Juga: UMKM Harus Bangkit dengan Semangat 3G dan 4L di Tengah Pandemi
Ikappi memprotes keras kebijakan tersebut dan akan menyuarakan hal itu kepada presiden. “Ini agar kementerian terkait tidak melakukan upaya yang justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar),” katanya.
Beritaneka.com—Rencana pemerintah bakal memperluas pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan kebutuhan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dinilai kontraproduktif. Sebab, bangsa dan negara masih dalam upaya pemulihan ekonomi lantaran hantaman pandemi Covid-19.
“Kami paham bahwa pemerintah harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun ketika wacana ini disampaikan dalam waktu yang kurang tepat apalagi menyangkut bahan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal itu hanya akan memicu polemik yang bisa menganggu upaya pemulihan ekonomi,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, belum lama ini.
Baca Juga: UMKM Harus Bangkit dengan Semangat 3G dan 4L di Tengah Pandemi
Sekretaris Fraksi PKB ini menjelaskan pihaknya telah menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Dalam RUU KUP tersebut memang disebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok yakni tarif umum dipatok 12%, tarif rendah sesuai skema multitarif 5%, dan tarif final dipatok 1%.
“Skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini pertama kali dimunculkan karena diundang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat,” katanya.
Fathan mengakui jika di sejumlah negara komoditas bahan pokok juga menjadi objek pajak. Namun demikian, apa yang terjadi di negara lain tidak bisa diterapkan begitu saja di Indonesia. “Ada perbedaan konteks seperti stabilitas harga komoditas, kepastian serapan pasar hasil panen, dan beberapa indikator lain yang kebetulan di Indonesia masih belum stabil,” ujarnya.
Dia mengungkapkan rata-rata harga komoditas bahan pokok di Indonesia masih belum stabil. Seperti misalnya fluktuasi harga gabah yang kerap merugikan petani, begitu juga serapan hasil panen beberapa komoditas bahan pokok yang masih belum terjamin.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, wacana pemerintah memperluas basis pajak dengan pemajakan kebutuhan pokok momentumnya kurang tepat.
Baca Juga: Penerapan SIN Pajak Optimalisasi Penerimaan Negara dan Berantas Korupsi
“Kita semua mengetahui masih banyak yang mengalami kondisi sulit hingga saat ini. Daya beli masyarakat menurun. Sektor usaha sedang berupaya bangkit dan membantu pemulihan ekonomi. Bila pajak kebutuhan pokok diterapkan maka daya beli makin anjlok, semakin banyak rakyat menjadi miskin,” kata Koni, Managing Partners & Direktor PajakOnline Consulting Group.
Akibatnya, penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah akan bertambah malah akan semakin menurun karena ketidakmampuan masyarakat untuk membayar pajak karena ekonomi yang makin terpuruk. “Pemerintah harus lebih berhati-hati melakukan perluasan basis pajak dalam situasi dan kondisi ekonomi di masa pandemi ini,” kata Koni, mantan auditor senior DJP.