Beritaneka.com, Jakarta —Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, pemerintah telah memberikan ruang bagi daerah untuk membangun dana abadi. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
“Pemerintah pusat sekarang punya sovereign wealth fund, daerah juga bisa seperti itu. Masukkan, yang memiliki DBH besar, yang memiliki PAD besar, disisihkan, ditabung di Dana Abadi. Itu sudah ada dalam Undang-Undang maupun PP Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah,” kata Jokowi saat memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Selasa (17/1/2023).
Jokowi menjelaskan, dana abadi milik daerah nantinya dapat diinvestasikan di Indonesia Investment Authority (INA) yang merupakan sovereign wealth fund milik Indonesia. Dana abadi tersebut diharapkan bisa menghasilkan investasi yang lebih tinggi setelah dimasukkan ke INA. “Kalau INA mau beli jalan tol, INA mau beli pelabuhan, INA mau beli airport, Dana Abadi itu bisa dimasukkan ke sana dengan return yang jauh lebih tinggi,” katanya.
Baca Juga:
Berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Jokowi kembali mengingatkan pentingnya membelanjakan APBD untuk membeli produk-produk buatan dalam negeri. Saat ini, realisasi untuk belanja produk dalam negeri dari APBN maupun APBD masih 61 persen. Jokowi berharap, belanja produk dalam negeri dengan APBN maupun APBD dapat terus meningkat. “Kita ingin tahun ini meningkat lebih dari itu, syukur bisa 100 persen,” kata Presiden.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga menyampaikan total APBD daerah yang mengendap di bank sampai akhir tahun 2022 mencapai angka Rp123 triliun. Dia mengingatkan kepada seluruh kepala daerah untuk merencanakan program di daerahnya sebelum tahun berjalan sehingga anggaran yang telah diberikan tidak menjadi SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran).
“Saya ingatkan untuk mendesain program, merencanakan program sebelum tahun berjalan. Jangan sampai menjadi SiLPA, jangan sampai menjadi SiLPA,” katanya.
Sementara itu, terkait birokrasi, Jokowi menyebut, seluruh aparatur sipil negara (ASN) harus memiliki indikator kinerja yang sesuai dengan program prioritas pemerintah, yaitu investasi, kemiskinan, digitalisasi, inflasi, dan TKDN. Indikator tersebut tidak hanya diberikan kepada para ASN di kementerian/lembaga, melainkan juga akan diberikan kepada para ASN di institusi TNI, Polri, hingga kejaksaan.
Beritaneka.com—Kalangan DPR menyayangkan pemerintah belum mengabulkan kebutuhan riil terkait dana abadi pesantren dan penambahan dana desa. Alasan pemerintah, anggaran sudah defisit.
Dalam laporan APBN tahun 2022 diperkirakan mencapai defisit Rp868 triliun (4,85 persen) dan pembiayaan utang sebesar Rp973,6 triliun. Padahal kedu bidang itu sudah dijamin oleh UU Nomor 18/2019 Pasal 45 dan UU Nomor 6/2014.
“Akibatnya kita belum melihat bagaimana desentralisasi, semangat APBN yang berkeadilan dan berkelanjutan bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia,” ujar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Ratna Juwita Sari, dalam keterangan tertulis kepada media, Senin (13/9/2021).
Baca juga: Selisih Anggaran PEN Sangat Besar, Anggota DPR PAN: Memprihatinkan
Ratna meminta agar pemerintah bersama DPR harus melihat beban fiskal berupa defisit anggaran tersebut, dalam perspektif generasi mendatang. Bahwa, menurutnya, anak-anak muda Indonesia ke depan akan semakin sempit menikmati ruang fiskal, yang disebabkan dari kebijakan yang diambil oleh generasi saat ini.
“Karena itu, saya ingin pertegas dalam hal ini, bahwa bagaimana sebenarnya perencanaan pemerintah dalam pembayaran utang yang akan kita ambil pada tahun 2022 nanti yang rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyebutkan terdapat selisih antara defisit sebesar Rp868 triliun dengan pembiayaan utang Rp973,6 triliun, yaitu sebesar Rp 105,6 triliun. Namun, besaran Rp 105,6 triliun tersebut sangat tergantung pada tingkat besaran PDB pada 2022.
Dengan komposisi ini, menempatkan rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen dan rasio utang terhadap pendapatan menjadi sekitar 51,93 persen. Yang terdiri dari bunga utang Rp405,8 triliun dan pokok utang kisarannya Rp550 triliun. “Sehingga, beban utang yang harus ditanggung pada 2022 sebesar Rp955,87 triliun,” jelas Said