Beritaneka.com, Jakarta—Baru-baru ini warga masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan vonis hukuman mati terhadap Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdi Sambo oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Majelis Hakim menilai Ferdi Sambo bersalah telah melakukan pembunuhan berencana terhadap mantan ajudanya Brigadir J atau N Yosua Hutabarat.
Dalam lingkungan anggota kepolisian sebenarnya Ferdi Sambo bukan yang pertama dijatuhi hukuman mati oleh Majelis Hakim.
Sebelum hukuman mati pernah dijuga dijatuhkan kepada anggota Kepolisian yaitu Raden Soegeng Soetarto.
Raden Soegeng Soetanto pada saat itu dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga Soegeng dijatuhi hukuman mati.
Tetapi dalam perjalanan Soegeng kemudian mendapat grasi dari Presiden Seoharto yang ketika itu sedang menjabat. Berkat perjuang sang Istri juga Soegeng akhirnya dibebaskan pada tahun 1995.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa yang telah dieksekusi dari hukuman mati sebut saja di antaranya;
Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas yang telah dieksekusi hukuman mati karena terlibat kasus pengebom di Bali pada bulan Oktober 2002 lalu.
Ferdy Budiman dijatuhi eksekusi hukuman mati, karena terlibat kasus narkobah. Bahkan dari beberapa yang eksekusi hukuman mati di Indonesia ada juga warga negara asing yaitu Andrew Chan merupakan warga negara Australia.
Jika kita melihat dari sejarah hukuman mati di Indonesia sudah ada sejak zaman Hidia Belanda yaitu sekitar pada tahun 1808.
Kemudian pada masa Pemerintah Soekarno, hukum mati tetap ada dengan keluarnya Penpres No.5 Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 21 Tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Pada masa Presiden Soeharto hukum mati tetap ada dengan tujuan untuk menjamin keamanan nasional untuk menjaga stabilitas politik. Serta mengamankan agenda pembangunan Pemerintah.
Hingga sekarang mati tetap dilaksakan pada Pemeritahan Presiden Joko Widodo, terbukti dengan divonis Ferdi Sambo mantan Kadiv Propam Polri.
Di Indonesia hukum mati diatur dalam pasal II KUHP, serta dipertegas kembali dalam UU no 02/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan cara ditembak sampai mati.
Kemudian peraturan diatur kembali dalam peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Beritaneka.com—Kasus dugaan pemerasan Rp 1,5 miliar yg dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Polri terhadap Walikota Tanjungbalai tidak hanya memalukan, tapi juga menjadi fenomena baru bahwa ada dekadensi kemerosotan moral di kalangan oknum lembaga antirasuha tersebut.
Indonesia Police Watch (IPW) mengecam keras kasus ini. Bagaimana pun, kasus dugaan pemerasan ini tidak boleh ditolerir. Jika terbukti pelakunya harus dijatuhi hukuman mati. Sebab apa yg dilakukan oknum polisi SR berpangkat ajun komisaris polisi (AKP) itu membuat kepercayaan publik pada KPK menjadi runtuh.
Baca Juga: Kisah Khairul Walad, Mengabdi untuk Para Mustahik Bersama BAZNAS
“Padahal selama ini harapan publik satu satunya dalam pemberantasan korupsi hanyalah KPK. Sedangkan pada Polri maupun Kejaksaan, publik sudah kehilangan kepercayaan. Namun dengan adanya kasus dugaan pemerasan terhadap walikota Tanjungbalai ini publik pun akan dengan gampang menuding bahwa KPK tak ada bedanya dengan Polisi maupun Kejaksaan. Kalau opini ini berkembang luas dikhawatirkan akan muncul gugatan publik yakni, untuk apa lembaga KPK dipertahankan,” ujar Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch kepada Beritaneka.
Untungnya dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial ini, KPK bekerja cepat. Bersama Propam Polri, KPK menangkap penyidik berinisial AKP SR yang diduga melakukan pemerasan itu. Dalam kasus ini IPW menekankan KPK tidak sekadar memastikan proses hukum terhadap penyidik yang berasal dari Polri yang diduga memeras itu. Lebih dari itu hukuman mati harus diarahkan kepada yang bersangkutan, mengingat sudah merusak kepercayaan publik pada KPK.
IPW berharap, dalam kasus ini KPK tidak sekadar memegang prinsip zero tolerance terhadap personilnya yang brengsek. Lebih dari itu, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi para pimpinan maupun Dewas KPK untuk mengevaluasi sistem rekrutmen personilnya, terutama rekrutmen untuk para penyidik. Tujuannya agar “citra seram” KPK tidak digunakan untuk menakut nakuti dan memeras para pejabat di daerah maupun di pusat.
Jika selama ini para terduga korupsi atau tersangka dikenakan rompi oranye dan dipajang KPK di depan media massa, IPW mendesak terduga pemerasan terhadap walikota Tanjungbalai itu juga dikenakan rompi oranye dan dipajang di depan media massa. Agar publik tahu persis penyidik KPK yang diduga menjadi pemeras tersebut.
Baca Juga: DJP Bersama 84 Pemda Optimalkan Pertukaran dan Pemanfaatan Data Pajak
“Kejahatan yang diduga dilakukan penyidik KPK itu lebih berat dari korupsi yg dilakukan para koruptor. Sebab dia sudah meruntuhkan harapan publik pada KPK,” tegasnya.
Jika para elit KPK dengan meyakinkan bahwa mereka tidak akan menolerir penyimpangan dan memastikan akan menindak pelaku korupsi tanpa pandang bulu, IPW juga berharap KPK jangan menyembunyikan dan melindungi penyidiknya yg diduga melakukan pemerasan. Sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk memakaikan rompi oranye dan memajangnya di depan media massa. (ZS)