Beritaneka.com—Institut Teknologi Bandung (ITB) membuka saluran pengaduan hotline bagi mahasiswa dan masyarakat yang dirugikan atas persoalan konflik pengelolaan Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.
Sebelumnya Forum Dosen (FD) SBM ITB mengklaim proses akademik tidak berjalan normal. Bahkan, Forum Dosen SBM ITB juga menyatakan tidak akan menerima mahasiswa baru sampai sistem normal kembali.
Namun, Rektorat ITB menyatakan akan memberikan sanksi jika ada dosen yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.
ITB telah menyediakan hotline pengaduan di WhatsApp (WA) Akademik ITB dengan nomor 08112101920.
“MWA (Majelis Wali Amanat) ITB menegaskan kembali dukungannya kepada rektorat dalam berbagai upaya untuk menjamin dan melaksanakan operasional kegiatan sebagaimana mestinya,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB Naomi Haswanto.
Baca Juga: Surat Terbuka IA ITB Menyikapi Situasi ITB Hari Ini
MWA ITB, menyatakan kepada Rektor untuk mengambil tindakan tegas dengan menertibkan dosen dan tendik yang melanggar aturan disiplin pegawai dalam melaksanakan pelayanan akademik termasuk di SBM ITB, sesuai dengan aturan atau peraturan yang berlaku.
MWA ITB selalu mendukung pihak Rektorat dalam menuntaskan permasalahan terkait SBM ITB. MWA telah menyampaikan kepada Rektor untuk bersama-sama dengan Dekanat SBM ITB memperbaiki atau meningkatkan memperkuat manajemen SBM ITB.
“Kami ITB optimistis bahwa masalah SBM ITB dapat dituntaskan dalam waktu segera dengan dukungan penuh dan kepercayaan dari seluruh sivitas akademika, tendik, MWA, Senat Akademik, dan para alumni,” katanya.
Beritaneka.com—Pengurus Pusat Ikatan Alumni (IA) Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Ketua Umum Akhmad Syarbini dan Sekretaris Jenderal Hairul Anas Suaidi menyampaikan Surat Terbuka IA ITB menyikapi Situasi ITB Hari Ini.
Berikut ini isinya;
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Ganeca!!
Bulan ini, Maret tahun 2022 adalah bulan yang bersejarah. Pada tanggal 2 Maret 1959, Presiden RI Ir. Soekarno menggabungkan dua fakultas dalam lingkungan Universitas Indonesia, Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB. Seminggu lalu, ITB merayakan dies natalis ke-63 dengan tema ‘a locally relevant, a globally respected university’, semakin bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan dihormati masyarakat dunia.
Dalam pidato memperingati hari ulang tahun almamater kita, Rektor Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D mengajak seluruh sivitas akademika ITB untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan guna memantapkan langkah melewati krisis akibat pandemi Covid-19, turut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional demi kemajuan ITB, bangsa Indonesia dan kebaikan masyarakat dunia.
Ajakan mulia dalam pidato Rektor ITB tersebut disampaikan saat bangsa kita sedang berada dalam situasi ketidakpastian (uncertainty) tentang masa depan pasca wabah Covid-19. Namun, publik dikejutkan dengan pernyataan Forum Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (FD-SBM) ITB yang menghentikan seluruh proses perkuliahan mahasiswa, serta menunda proses ujian seleksi masuk bagi mahasiswa baru angkatan 2022. Sebuah ironi saat ITB mengumumkan ajakan mulia untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan, sebagian sivitas akademikanya justru memulai konflik yang tak perlu.
Merenungkan Kembali Sejarah
Presiden RI Soekarno, alumni ITB pada masa bernama Technische Hoogeschool (TH) pernah berpidato pada hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1966 berjudul ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’. Para aktivis mahasiswa ITB yang sedang menggulirkan gerakan mendukung Orde Baru dan meruntuhkan Orde Lama Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno menyingkat judul pidato itu menjadi Jasmerah, dalam rangka menyindir sikap simpati dan keberpihakan Bung Karno terhadap ideologi yang berwarna Merah, alih-alih mengutamakan Merah Putih.
Sindiran para mahasiswa tersebut kemudian diwujudkan dalam karikatur di Mingguan Mahasiswa Indonesia terbitan Bandung. Sindiran tersebut merupakan pesan tersirat bahwa kita bangsa Indonesia memang sering melupakan sejarah, termasuk Bung Karno yang mengajak mengingat sejarah. Sindiran tersebut jika dikontekstualisasikan ke hari ini juga benar, kealpaan kita dalam mengingat dan mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah menyebabkan kita menemui konflik yang berulang dan seharusnya bisa dihindari.
Seperti misalnya sejarah bagaimana ITB berdiri. Pada saat perguruan tinggi teknik ini didirikan pada 3 Juli 1920 dengan nama TH Bandoeng, kita melupakan sebuah fakta sejarah bahwa tujuan pendidikan TH adalah menghasilkan insinyur-insinyur dengan upah kerja lebih murah ketimbang harus membawa insinyur lulusan TH Delft yang lebih bergengsi. Insinyur-insinyur tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor perkebunan, pertanian dan pertambangan yang sedang tumbuh dan berkembang di Hindia Belanda.
Oleh karena itu tidak heran, pendirian TH Bandung didukung oleh pengusaha perkebunan dari bangsa Eropa dan Tionghoa. Karena memang merekalah yang saat itu berkepentingan mengambil keuntungan besar dengan faktor produksi tenaga kerja terdidik berupah murah. Kaum bumiputera yang berkesempatan mendapatkan pendidikan teknik pun hanya segelintir, itu pun dari kalangan priyayi yang bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial serta pengusaha Eropa dan Tionghoa.
Padahal, sejatinya pendirian perguruan tinggi di Hindia adalah bagian dari pelaksanaan politik etis yang digagas kaum Sosialis Demokrat di negeri Belanda yang marah dengan eksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja pribumi akibat kebijakan Cultuurstelsel pasca Perang Diponegoro dan liberalisasi penanaman modal setelah berlakunya UU Agrarische Wet 1870.
Akibat Cultuurstelsel (kemudian diberi nama Sistem Tanam Paksa oleh Bung Karno) dan liberalisasi modal, kaum petani melakukan pemberontakan di mana-mana seperti di Banten, Cirebon, Lampung hingga gerakan Sedulur Sikep di kaki pegunungan Kendeng yang masih berlanjut hingga hari ini.
Kaum Sosialis Belanda ini kemudian mendesak Pemerintah Kerajaan untuk menghentikan eksploitasi besar-besaran ini dengan mendorong politik balas budi kepada rakyat Hindia. Kebijakan ini didukung lebih lanjut oleh Sarekat Islam dengan pemimpinnya Abdul Muis yang pada tahun 1917 mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar mendirikan perguruan tinggi teknik untuk kepentingan Pertahanan Hindia (Indie Weerbaar) di tengah berkecamuknya Perang Dunia Pertama.
Kemudian kita mafhum, cita-cita sedemikian besar itu mengalami distorsi. Kepentingan besar agar Hindia mampu mempertahankan tanah air dari invasi negara luar, disempitkan menjadi kemakmuran kaum pengusaha keturunan Eropa dan Tionghoa. Hindia Belanda kemudian menjadi wilayah koloni makmur, orang-orang tua mengingat masa itu dengan sebutan Zaman Normal.
Lalu datanglah Balatentara Dai Nippon menyerbu Asia Tenggara. Hanya kurang dari 3 bulan, seluruh Hindia Belanda jatuh tanpa perlawanan berarti pasukan kolonial KNIL yang dibantu milisi-milisi rakyat dengan persiapan minim. Rakyat pribumi justru menyambut Jepang sebagai pembebas mereka dari penjajah Belanda.
Merancang Masa Depan Bersama
L’histoire se répète, sejarah mengulang dirinya sendiri. Sejarah bangsa kita yang dibangun dengan cita-cita besar kemudian mengalami distorsi akibat kepentingan jangka pendek hanya untuk kelompok sendiri.
Demikian juga sejarah almamater kita. Pada saat guru-guru besar ITB berjibaku menggagas kemandirian perguruan tinggi agar dapat lebih independen dalam menjalankan misi pendidikan untuk anak bangsanya, terutama saat berhadapan dengan birokrasi negara yang tends to corrupt, upaya tersebut kemudian mengalami distorsi menjadikan almamater sebagai faktor produksi berupa entitas bisnis.
Pada awalnya, kemandirian finansial ITB sebagai Badan Hukum Milik Negara bertujuan agar sivitas akademiknya berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang ditopang hasil-hasil riset bernilai bisnis, sehingga keuntungan yang dihasilkan dapat digunakan untuk kepentingan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Namun kemandirian finansial ini mengalami distorsi dengan pendirian program-program studi yang berorientasi komersil semata dengan biaya pendidikan yang fantastis untuk ukuran perguruan tinggi negeri.
Menurut kami, implementasi yang melenceng dari cita-cita para guru besar tentang kemandirian perguruan tinggi inilah yang hendak diperbaiki oleh pihak Rektorat ITB. Pihak Rektorat dalam pernyataan medianya menyatakan hendak mentransformasi ITB menjadi institusi pendidikan yang makin lincah, berkualitas, akuntabel, transparan dan tertib. Dengan segala keragaman rumpun keilmuan ITB, integrasi sistem menjadi mutlak diperlukan agar transformasi tersebut dapat diwujudkan bersama.
Dengan demikian, kami Pengurus Pusat Ikatan Alumni ITB memandang sivitas akademika ITB perlu duduk bersama menyelesaikan persoalan internal tersebut agar tidak berlarut-larut dan mengorbankan marwah ITB serta kepentingan mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa ini di masa depan.
Pengurus Pusat IA-ITB juga mengajak seluruh alumni ITB untuk memahami persoalan ini dengan kepala dingin, mengedepankan prinsip kejujuran , kebenaran serta bersikap adil dalam menilai permasalahan yang terjadi dan menindaklanjutinya dengan sebuah langkah urun rembug agar para alumni dan almamater dapat merumuskan langkah bersama demi kebaikan bangsa.
Pengurus Pusat IA-ITB mengajak kita semua bersatu merancang masa depan bangsa ini secara bersama-sama agar bangsa ini semakin demokratis, semakin berkemajuan dan semakin terbuka dengan ide-ide pembaharuan.
Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater
Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh
Tertera tanggal surat terbuka adalah hari ini, 10 Maret 2022.
Beritaneka.com—Ikatan Alumni Institut Teknologi Bangdung (IA ITB) kembali menggelar putaran ketiga, bulan Juli di Bandung dan Jakarta, program Donor Darah Biasa dan Donor Darah Plasma Konvalesen secara rutin sebagai kepedulian membantu masyarakat terdampak Pandemi Covid-19.
Selain menjadi agenda kegiatan bakti sosial dan aksi kemanusiaan Donor Darah IA-ITB akan rutin secara periodik dan direncanakan mencakup target 100 kota di Seluruh Indonesia. Gelaran kali ini serasa spesial karena dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.
“Dalam penanggulangan ekonomi khususnya UMKM kami akan melakukan Program IA-ITB lainnya adalah partisipasi Alumni ITB pada sektor Pariwisata khususnya di wisata Labuan Bajo, NTT,” ujar Ketum IA-ITB Akhmad Syarbini melalui keterangan tertulis kepada media, Jumat (06/08).
Baca juga: Sekjen IA ITB: Kritik BEM UI Energi Baru dalam Demokrasi
Selanjutnya, jelas Akhmad, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno menanggapi positip dan akan mengundang IA-ITB ke Labuan Bajo, NTT untuk bekerjasama dengan Pemda setempat dan pengusaha lokal serta UMKM untuk optimalisasi pariwisata disana.
Akhmad menambahkan, IA-ITB akan berpartisipasi pada pemulihan ekonomi di tengah Covid-19 dengan meresmikan pusat kuliner di Perumahan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) PT. Kreasi Prima Land di Kelapa Dua Bogor untuk para UMKM.
“Dalam penanggulangan ekonomi khususnya UMKM kami akan melakukan Program IA-ITB lainnya adalah partisipasi Alumni ITB pada sektor Pariwisata khususnya di wisata Labuan Bajo, NTT.
Menurut Akhmad Syarbini, alasan utamanya selain menjadi agenda kegiatan bakti sosial dan aksi kemanusian selama pandemi IA-ITB dibawah Ketum Akhmad Syarbini, bersama Dirut PT. Kreasi Prima Land, Hadiana akan menyumbangkan ambulance kepada PMI Jakarta.
“Insya Allah akan diserahkan saat HUT PMI Tgl 16 September 2021. Harapan banyak terimakasih atas kedatangan warga Jakarta yang bersedia meluangkan waktunya untuk datang dan mendonorkan darahnya termasuk Donor Plasma Konvalesen untuk theraphy COVID-19, terlebih dimasa pandemi saat ini. Dari setetes darah yang kita sumbangkan akan menyelamatkan banyak nyawa dan kehidupan,” pungkas Akhmad Syarbini.
Beritaneka.com—Mahasiswa mulai bersuara lantang mengkritisi kinerja Presiden Jokowi. Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) UI yang memulai. Mereka menyebut Jokowi The King of Lip Service. Kemudian, suara lantang mahasiwa UI mendapat sambutan dan dukungan dari berbagai BEM kampus lainnya, universitas negeri atau pun swasta.
BEM Universitas Padjadjaran, melalui akun Twitter @bem_unpad, menyatakan sikap atas kritik BEM UI terhadap Jokowi. BEM Unpad menilai tindakan pihak kampus UI yang memanggil sejumlah pengurus BEM UI untuk mengklarifikasi kritik tersebut tidak tepat. BEM Unpad juga menyinggung dugaan peretasan akun WhatsApp dan media sosial sejumlah pengurus BEM UI.
BEM Universitas Yarsi turut mengkritik sikap Jokowi yang dinilai banyak mengobral janji manis tanpa realisasi, serupa dengan kritik yang disampaikan BEM UI. Mereka menilai, dari fakta yang ada hingga kini banyak yang dilakukan [Jokowi] tidak sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan. Mulai dari HAM, pembangunan, pangan, hingga lainnya.
Dari Pulau Sumatera, dukungan kepada BEM UI juga disampaikan Presiden BEM Universitas Sriwijaya, Dwiky Sandy. Ia pun mendukung julukan King of Lip Service diberikan kepada Jokowi. Mereka berharap Presiden Jokowi berhenti untuk mengibul dan serius mengurus negara.
Pernyataan BEM UI langsung mendapat respons dari pendukung Jokowi terutama di media sosial. Ketua BEM UI dituding Asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon sebagai anggota HMI yang berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca juga: Bagaimana Pemerintahan Jokowi Dapat Utang Benaran Tahun 2021?
Tudingan tersebut tampaknya sengaja disampaikan secara vulgar untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon. Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service, tapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon.
Bagaimana alumni mahasiswa menilai sikap BEM beberapa kampus yang mengkritisi kinerja Presiden Jokowi? Seperti apa kekuatan sipil lainnya seharusnya merespons kritikan mahasiswa? Apa sebenarnya yang salah dan solusi yang harus diambil pemerintah di tengah berbagai persoalan bangsa yang semakin kritis? Berikut tanggapan Sekjen Ikatan Alumni ITB, Hairul Anas Suaidi kepada Beritaneka.com :
Apa tanggapan Anda terhadap kritikan mahasiwa UI yang mengatakan Joko Widodo (Jokowi) sebagai The King of Lip Service?
Itu merupakan suatu yang menggembirakan dalam demokrasi, setelah sekian lama masyarakat menunggu suara mahasiswa yang seringkali disebut sebagai agent of change, suatu fase hidup yang paling bebas dan minim risiko.
Dalam sudut pandang saya sebagai mantan mahasiswa, kritik tersebut menjadi energi baru dalam demokrasi yang hampir lumpuh. Suara mahasiswa harus dihargai sebagai representasi suara masyarakat luas, karena mahasiswa sudah memiliki kemampuan berfikir logis dan independen dalam membandingkan harapan, janji, dan realisasi di lapangan.
Kritik mahasiswa UI mendapat respons dari Rektor UI, mahasiswa dipanggil dan dan menyebut apa yang dilakukan mahasiswa tidak pantas. Komentar Anda?
Sepantasnya Rektor UI menghargai dan turut bangga mahasiswanya telah berani melakukan kritik. Tak ada bedanya Rektor dan Mahasiswa, mereka sama-sama insan akademik yang mesti menjaga nilai-nilai obyektifitas, kejujuran, dan kebebasan berpendapat.
Apa penilaian Anda terhadap dunia kampus sebagai kumpulan orang berpendidikan tinggi menyikapi berbagai persoalan bangsa?
Sejak penentuan posisi rektor lebih didominasi oleh kementerian, saya melihat independensi, obyektifitas, dan suara kritis dari pejabat kampus semakin lemah. Ini menjadi keprihatinan banyak pihak, di mana kampus semestinya memberikan gagasan-gagasan yang jernih dan tidak melulu menjadi amplifier penguasa musiman. Kita semua berharap jangan sampai insan kampus mencatolkan kariernya kepada dunia politik, agar kredibilitas dan kehormatannya tidak tergerus poros-poros politik.
Presiden Jokowi juga merespons kritik mahasiswa dengan mengatakan kritik boleh saja, tapi harus disampaikan dengan tata krama yang santun. Tanggapan Anda?
Kritik memang tidak enak, namun itulah konsekuensi demokrasi. Dalam agama kita diajari prinsip,”katakanlah kebenaran, walau itu pahit”. Presiden Jokowi sudah maklum dan saya rasa beliau akan melakukan introspeksi. Semoga jajaran di bawahnya juga tidak melakukan tindakan represif kepada mahasiswa atau siapapun yang bersikap kritis. Kita semua mencintai bangsa ini, sehingga harus dibuka ruang kritik; tesis-antitesis. Itu biasa sejak masa awal kemerdekaan republik ini.
Kritikan mahasiswa terhadap Presiden Jokowi tidak hanya dilakukan BEM UI, tapi juga dilakukan mahasiswa UGM dan USU. Menurut Anda ini fenomena apa?
Saya melihat ini merupakan fenomena solidaritas sekaligus indikator bahwa adik-adik BEM di berbagai perguruan tinggi sudah lama menahan kritiknya dalam hati, menunggu ada yang berani memulai secara terbuka dan lugas. Ini akan terus bergulir, walau sebagaian masih ragu-ragu, menunggu dan melihat situasi.
Sebagai yang pernah menjadi aktivis kampus, bagaimana Anda menilai pergerakan mahasiswa saat ini melakukan kontrol terhadap pemerintah?
Sudah lama sekali aktivis kampus terlihat melempem dan ikut arus, karena pertaruhannya memang besar, yaitu bisa terbengkalainya tugas akademik. Tidak mudah menjadi aktivis kampus yang setiap saat mendapatkan beban akademik dalam batasan waktu yang sangat pendek. Kondisi ini telah banyak melahirkan budaya copy/paste, keroyokan, dan dependensi yang tinggi kepada orang lain.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Namun saya yakin akan selalu ada suara-suara mahasiswa atau alumninya yang kritis, walau stock-nya semakin menipis. Semoga angin perubahan dari BEM UI menjadi energi baru untuk demokrasi yang bersih dan egaliter. Kita sebagai alumni selalu siap siaga mendukung adik-adik BEM yang memerlukan perlindungan dan dukungan, agar tidak khawatir masa depannya selepas dari kampus.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan kekuatan sipil dalam konteks melakukan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat banyak?
Banyak pilihan bagi masyarakat, sesuai dengan latar belakang dan potensi masing-masing. Kuncinya adalah berani memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan dalam setiap aspek yang ditekuni. Media sosial bisa dimanfaatkan secara maksimal, namun harus tetap waspada jangan sampai menyebar hoax dan melanggar pasal karet UU ITE.
Masyarakat juga harus berfikir mandiri, terus menjalin sinergi dan saling menguatkan dalam kekuatan ekonomi, tanpa bergantung kepada program pemerintah yang sangat prosedural dan menguras sumber daya. Think out of the box.
Bagaimana Anda menilai pemerintah mengelola negara ini dibawah komando Presiden Jokowi?
Sepertinya saya sama dengan kebanyakan mahasiswa dan masyarakat, agak bingung menilai kinerja pemerintahan ini. Banyak yang tumpang tindih dan terkesan bagi-bagi kue saja. Persoalan-persoalan bangsa hampir tidak ada yang tuntas dan diselesaikan secara cerdas dan memuaskan.
Saya tidak dapat memahami, dana bansos Covid-19 saja dikorupsi. Belum bicara bidang-bidang lain yang tentu jauh lebih rumit dalam penganggarannya. Sudah diceritakan oleh Menkopolhukam sendiri, kan? Itu fakta tak terbantahkan.
Intinya, pemerintahan hingga saat ini gagal menjawab dengan baik “tuntutan oposisi”. Oposisi terkesan lebih diposisikan sebagai lawan, bukan mitra berfikir.
Apa yang salah dan apa solusi yang Anda tawarkan?
Kita telah salah mengartikan sila ke-4 Pancasila (Permusyawaratan Perwakilan) menjadi Demokrasi One Man One Vote ala barat, sehingga Demokrasi dikuasai oleh oligarki dan politisi liar (demagog), yang mencari rente atau kue ekonomi dari politik.
Solusi idealnya, kembalikan Undang-undang Dasar ke naskah asli UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Insya Allah itu solusi paling adil bagi semua pihak, karena merupakan buah pikir para pendiri bangsa yang murni berjuang untuk bangsa. Itulah cermin jati diri bangsa Indonesia yang sejati.
Jika perlu penyesuaian-penyesuaian, perbaiki sistem perundang-undangan yang di bawahnya, bukan mengubah UUD 1945.
Adapun solusi realistis saat ini adalah membangun kemandirian dan kebebasan berekspresi dalam koridor persaudaraan. Saya yakin bangsa kita dapat keluar dari kemelut dan permasalahan-permasalahan yang berat bilamana pemerintah dan masyarakat, termasuk mahasiswa, menjunjung tinggi asas kejujuran, solidaritas kebangsaan, dan tidak saling mencurigai.