Beritaneka.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menanggapi adanya pemberitaan telah ditetapkannya tiga pegawai pajak pada Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Sumatera Selatan (Sumsel) dan Bangka Belitung (Babel) sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Korupsi Pajak oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan.
Dengan ini, melalui keterangan resminya seperti dilansir PajakOnline.com, Selasa (31/10/2023), DJP menyampaikan sejumlah hal sebagai berikut:
- Penetapan tersangka tersebut merupakan hasil tindak lanjut kerja sama antara Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Bangka Belitung dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen DJP terhadap langkah-langkah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak.
- DJP sangat menyesali adanya penetapan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pajak. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena setiap pegawai telah dibekali dengan kode etik, kode perilaku, dan budaya organisasi.
- DJP tidak menolerir dan tidak ragu untuk memroses pelanggaran tersebut. Atas kasus ini, secara internal telah dilakukan pemeriksaan sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hasilnya, terhadap salah satu tersangka, yakni Sdr. RFG telah dijatuhi hukuman
tingkat berat berupa pemberhentian sebagai PNS. Sementara dua tersangka lainnya masih dalam proses pemeriksaan pemberian hukuman disiplin PNS dan telah dibebaskan dari pelaksaan tugas.
- DJP berkomitmen untuk terus menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Salah satu upaya perbaikan adalah melalui program reformasi perpajakan yang sedang dijalankan. Program reformasi tersebut terkait dengan perbaikan dan pengembangan di bidang SDM, organisasi, IT, basis data, proses bisnis, serta
penyempurnaan regulasi perpajakan. - DJP mengimbau apabila terdapat pegawai yang menjanjikan kemudahan terkait pemenuhan kewajiban perpajakan dengan imbalan tertentu segera laporkan melalui whisteblowing system Kementerian Keuangan di
https://www.wise.kemenkeu.go.id/ atau melalui Kring Pajak 1500200 atau email : pengaduan@pajak.go.id. - DJP mengapresiasi dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada masyarakat yang terus konsisten melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beritaneka.com, Jakarta —Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengikuti rapat dengan anggota Komisi III DPR di Senayan Rabu (29/3/2023). Rapat berlangsung selama kurang lebih delapan jam membahas pernyataan Mahfud berkaitan transaksi mencurigakan atau janggal sebesar Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dalam rapat yang berlangsung panas ini, Mahfud selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengungkapkan alasannya menyampaikan laporan transaksi mencurigakan tersebut.
Mahfud menyatakan dirinya memiliki kewenangan mengungkap dugaan transaksi mencurigakan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tersebut ke publik selama tidak menyampaikannya secara detail.
“Saya mengumumkan kasus itu tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nomor akun,” kata Mahfud di Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Mahfud mengaku memahami undang-undang melarang pejabat terkait mengungkap identitas orang, nama perusahaan, hingga nomor akun pihak yang diduga terlibat tindak pidana.
Oleh karena itu, sejak awal dia tidak pernah menyinggung nama atau identitas lainnya, tetapi hanya nominal dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 triliun. “Saya enggak nyebut nama. Yang nyebut nama inisial bukan saya,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, dirinya punya wewenang untuk menerima atau meminta laporan dari PPATK mengenai dugaan transaksi mencurigakan karena posisinya di Komite TPPU. Mahfud justru heran dengan sejumlah anggota DPR yang meributkan pernyataannya sampai-sampai menyinggung pasal pidana soal pembocoran dokumen rahasia TPPU yang dimuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Padahal, kata Mahfud, membuka dugaan kasus pidana ke publik bukan sesuatu yang baru dan menjadi hal wajar selama sesuai dengan ketentuan perundangan. “Dan ini sudah banyak ini, kok Saudara baru ribut sekarang? Ini sudah banyak diumumkan kok Saudara diam saja sejak dulu?” kata Mahfud kepada anggota Komisi III DPR.
Dalam rapat tersebut, Mahfud menyampaikan asal-usul transaksi mencurigakan yang diidentifikasi oleh PPATK. Mahfud mengatakan, asal transaksi janggal itu terbagi ke tiga kelompok, salah satunya transaksi keuangan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp35 triliun.
“Satu, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun,” kata Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Mahfud melanjutkan, ada pula transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp53 triliun. Kemudian, ada transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan pegawai Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh datanya sebesar Rp261 trilun. “Sehingga jumlahnya sebesar Rp 349 triliun, fix,” tegas Mahfud.
Mahfud menambahkan, ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan tersebut. Dia menyebutkan, dari jumlah tersebut, ada yang merupakan bagian dari jaringan kelompok RAT, eks pejabat pajak yang diduga melakukan pencucian uang. Pihak lain yang terlibat terdiri dari 13 orang ASN kementerian/lembaga lain dan 570 orang non-ASN sehingga totalnya mencapai 570 orang terlibat.
Soal Perbedaan data
Data yang disampaikan Mahfud berbeda dengan data yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada Senin (27/3/2023). Saat itu, Sri Mulyani menyebut tidak semua laporan dugaan transaksi janggal itu berkaitan dengan pegawai Kemenkeu. Dari laporan PPATK yang berisi kompilasi 300 surat dugaan transaksi janggal, cuma 135 surat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pegawai Kemenkeu.
Nilainya sekitar Rp22 triliun. “Bahkan Rp22 triliun ini, Rp18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kementerian Keuangan,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
“Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu Rp3,3 triliun. Ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit-kredit dari seluruh pegawai yang diinkuiri tadi, termasuk penghasilan resmi transaksi dengan keluarga, transaksi jual beli aset, jual beli rumah, itu Rp3,3 triliun,” katanya.
Soal perbedaan data inilah yang kemudian dipersoalkan anggota Komisi III DPR dalam sesi tanya jawab bersama Mahfud dalam rapat kemarin. Komisi III DPR berencana mengagendakan rapat lanjutan yang akan mengundang Sri Mulyani. Menkeu absen dalam rapat kemarin karena menghadiri pertemuan Menteri Ekonomi se-ASEAN di Bali.
PajakOnline.com—Pemerintah segera membayarkan gaji ke-13 untuk aparatur sipil negara/pegawai negeri sipil (ASN/PNS), TNI, Polri, dan pensiunan tahun 2021. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan pencairan gaji ke-13 tersebut pada minggu pertama bulan Juni 2021 ini.
Pembayaran gaji ke-13 itu mengacu pada PP Nomor 63 Tahun 2021 tentang Pemberian THR dan Gaji ke-13 kepada ASN, Pensiunan, Penerima Pensiun dan Penerima Tunjangan Tahun 2021.
Baca Juga: BI Mau Terapkan Uang Mata Digital, DPR Minta Dikaji Lebih Dalam
“Oleh karena itu, maka gaji 13 sudah akan mulai dapat dibayarkan pada minggu 1 bulan Juni 2021,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Hadiyanto kepada wartawan.
Kemenkeu telah melakukan penyesuaian terhadap aplikasi pembayaran gaji yang akan digunakan oleh kementerian lembaga (K/L) untuk mengajukan permintaan pembayaran ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
Baca Juga: Peningkatan Tarif PPN dan Penghapusan PPNBM Akan Memperburuk Kesenjangan Ekonomi
“Dalam rangka persiapan permintaan pembayaran tersebut, KL sudah dapat mendownload aplikasi tersebut dan melakukan rekonsiliasi dengan KPPN sebelum mengajukan permintaan pembayaran ke KPPN,” katanya.
Saat ini, KPPN di seluruh Indonesia telah siap untuk menerima permintaan pembayaran dan melakukan pencairan gaji ke-13.
Beritaneka.com—Penerapan single identity number (SIN) pajak untuk mengoptimalisasi penerimaan negara terutama di sektor perpajakan. Bahkan, dapat memberantas korupsi dan mewujudkan kemandirian fiskal Indonesia.
Mantan Presiden Republik Indonesia Ke-5 Megawati Soekarnoputri mengatakan, pemanfaatan SIN pajak dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, termasuk mencegah terjadinya kredit macet.
“Secara umum SIN pajak memiliki manfaat yang luas dari penerimaan, karena dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, meningkatkan penerimaan negara secara sistemik, mewujudkan proses pemeriksaan yang sistemik, hingga mencegah kredit macet,” kata Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga: Peningkatan Tarif PPN dan Penghapusan PPNBM Akan Memperburuk Kesenjangan Ekonomi
Dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan dengan menggunakan konsep link and match SIN pajak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hingga saat ini pemerintah terus membangun pondasi, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan integrasi data perpajakan dengan melakukan matching dari NIK dengan NPWP.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, SIN pajak dapat melakukan tracking dan mengungkap data wajib pajak (WP) yang belum membayar kewajiban perpajakannya. Biasanya uang atau harta, baik dari sumber legal maupun ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yakni konsumsi, investasi, dan tabungan.
Baca Juga: Mahfud MD: 92 Persen Warga Papua Pro NKRI dan Mendukung Pembangunan di Papua
“Sektor-sektor tersebut dalam SIN pajak wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem perpajakan. Artinya, uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara utuh dalam SIN Pajak.WP yang menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP dan SIN Pajak akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT,” kata Koni, Managing Partners & Director PajakOnline Consulting Group.
Menurut Koni, sudah tidak ada lagi harta yang dapat disembunyikan oleh WP dengan berjalannya sistem integrasi SIN pajak. “Sehingga diharapkan WP akan patuh dan jujur melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah penghindaran kewajiban perpajakan,” kata Koni, mantan auditor senior DJP ini.
Oleh karena itu, dengan penerapan SIN pajak tersebut diharapkan dapat menambah penerimaan negara, mencegah terjadinya korupsi, dan menciptakan kemandirian fiskal.