Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya memberlakukan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, berlaku mulai hari ini 1 April 2022. Dengan kenaikan PPN ini disampaikan hal-hal sebagai berikut..
1.Penyesuaian tarif PPN merupakan amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
2.Kebijakan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal sebagai fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal, dan berkelanjutan.
3.Barang dan Jasa tertentu TETAP DIBERIKAN FASILITAS BEBAS PPN antara lain:
a) barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging,
telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi;
b) jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa
angkutan umum, dan jasa tenaga kerja;
c) vaksin, buku pelajaran dan kitab suci;
d) air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap);
e) listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA);
f) rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
g) jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional;
h) mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan,
bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak;
i) minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi;
j) emas batangan dan emas granula;
k) senjata/alutsista dan alat foto udara.
4. Barang tertentu dan jasa tertentu TETAP TIDAK DIKENAKAN PPN:
a) barang yang merupakan objek Pajak Daerah: makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
b) jasa yang merupakan objek Pajak Daerah: jasa penyediaan tempat parkir, jasa
kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, dan jasa boga atau catering;
c) uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat
berharga;
d) jasa keagamaan dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
5.Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, penyesuaian tarif PPN juga dibarengi
dengan:
a) penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi atas penghasilan sampai
dengan Rp60 juta dari 15% menjadi 5%;
b) pembebasan pajak untuk pelaku UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta;
c) fasilitas PPN final dengan besaran tertentu yang lebih kecil, yaitu 1%, 2% atau 3%;
d) layanan restitusi PPN dipercepat sampai dengan Rp 5 Milyar tetap diberikan.
- Di samping dukungan perpajakan, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga tetap melanjutkan dan akan memperkuat dukungannya berupa perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat dan kondisi perekonomian nasional.
7.Pemerintah akan terus merumuskan kebijakan yang seimbang untuk menyokong pemulihan ekonomi, membantu kelompok rentan dan tidak mampu, mendukung dunia usaha terutama kelompok kecil dan menengah, dengan tetap memerhatikan kesehatan keuangan negara untuk kehidupan bernegara yang berkelanjutan.
8.Pengaturan lebih lanjut mengenai UU HPP klaster PPN akan tertuang dalam:
a) PMK tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan PPN atas Pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean
di Dalam Daerah Pabean Melalui PMSE;
b) PMK tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
c) PMK tentang PPN atas LPG Tertentu;
d) PMK tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau;
e) PMK tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu;
f) PMK tentang PPN atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas;
g) PMK tentang PPN atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian;
h) PMK tentang PPN atas Penyerahan JKP Tertentu;
i) PMK tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan
Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau
Katering, yang Tidak Dikenai PPN;
j) PMK tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak
Lain atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi
Pengadaan Pemerintah;
k) PMK tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto;
l) PMK tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial;
m) PMK tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan PKP, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah;
n) PMK tentang PPN atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi.
- Direktorat Jenderal Pajak telah menyesuaikan aplikasi layanan perpajakan, seperti: e-Faktur Desktop, e-Faktur Host to Host, e-Faktur Web, VAT Refund, dan e-Nofa Online.
Kenaikan PPN 11% bakal memicu terjadinya inflasi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, inflasi pada tahun ini masih terkendali sesuai target sebesar 2%-4% year on year (yoy).
“Dalam target (inflasi) pemerintah 2%-4% untuk 2022 itu sudah termasuk semua harga yang kita pantau per saat ini, dan juga bahkan termasuk kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%,” kata Febrio dalam acara Konferensi Pers Realisasi APBN, belum lama ini.
Febrio mengatakan, kenaikan PPN 11% tidak akan terlalu membebani masyarakat karena pemerintah membebaskan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan jasa sosial.
“Pemerintah terus memantau seperti yang sudah dilakukan bertahun-tahun pada saat pandemi khususnya masyarakat miskin dan rentan. Pemerintah memastikan tetap menjaga daya beli dan kelompok miskin rentan,” kata Febrio.
Di sisi lain, tingkat inflasi dipengaruhi dinamika ekonomi global yang akan menentukan harga barang di pasar internasional. Salah satu perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga komoditas energi melonjak dan beberapa barang lainnya.
“Sehingga harga-harga tersebut nantinya, bagaimana transmisinya yang masuk ke Indonesia dapat dijaga, harga-harga yang dibayar oleh konsumen, masyarakat, dan keluarga,” kata Febrio.
Beritaneka.com—Pemerintah berencana menaikkan PPN di tahun depan. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang diperkirakan akan mulai pulih sejak akhir tahun ini. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pihaknya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Ada dua skema yang disiapkan kenaikan yang akan diambil pemerintah yakni single atau multi tarif. Jika single tarif maka batasan maksimal PPN bisa naik sampai 15% sesuai UU PPN tahun 2009. Namun jika multi tarif maka akan ada perbedaan pajak untuk jenis barang yang berbeda seperti barang reguler dan barang mewah.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Kebijakan menaikkan PPN itu dikritisi pengamat ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Menurut penilaian Anthony, kebijakan pemerintah menaikkan PPN untuk tambal defisit akan berpengaruh ke berbagai bidang kehidupan. Jika kebijakan itu diterapkan, maka ekonomi akan melemah, angka kemiskinan naik, kesenjangan sosial melebar.
“Karena kenaikan PPN akan mengurangi pendapatan / konsumsi riil masyarakat terutama untuk kelompok kelas bawah,” ujar Antoni
Kebijakan kenaikan pajak itu paling berdampak pada masyarakat bawah karena memberi efek pajak degresif. Artinya masyarakat berpenghasilan rendah menanggung PPN lebih besar dalam persentase penghasilan. Terutama kalau yang naik PPN untuk jenis barang yang dikonsumsi masyarakat bawah misalnya mi instan. Maka, jumlah kemiskinan akan naik.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Antoni menyebut, rasio penerimaan pajak negara terhadap PDB turun terus dari 13,3% (2008) menjadi 9,76% (2019) dan 7,32% (03/2021). Padahal, sudah dibantu kenaikan cukai rokok setiap tahun. Rasio penerimaan pajak ini terendah sejak Orde Baru, dan mendekati prestasi Orde Lama dengan rasio 3,7%.
Ada kesamaan kebijakan fiskal (dan moneter) saat ini dengan Orde Lama. Defisit anggaran naik tajam, mayoritas dibiayai Bank Indonesia. Defisit 2020 6,2% vs Defisit 1965 6,4% dari PDB. Anggaran defisit 2021 5,7%, dan 2022 diperkirakan tetap tinggi.
“Tapi proyek mercusuar maju tak gentar,” tegasnya. (ZS)
Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN sebagai salah satu langkah untuk melakukan reformasi perpajakan yang sehat, adil, dan kompetitif.
Rencana ini tertuang dalam paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Musrenbangnas 2021 secara virtual belum lama ini atau pada hari Selasa (4/5/2021).
Dalam paparan menyebutkan, reformasi perpajakan mencakup inovasi penggalian potensi untuk peningkatan rasio pajak, perluasan basis perpajakan di e-commerce, cukai plastik dan menaikkan tarif PPN. Kemudian, reformasi lainnya yaitu sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.
Baca Juga: Nopol Kendaraan dan SKM Kekaisaran Sunda Nusantara, Cari Sensasi?
Pemerintah menyatakan akan terus menggali dan meningkatkan basis pajak, memperkuat sistem perpajakan dan berupaya menaikkan rasio pajak (tax ratio). Hingga saat ini, tarif PPN untuk konsumen masih dipatok sebesar 10 persen.
Namun, rencana Pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) di tengah pandemi dinilai kontraproduktif dan berefek negatif bagi pemulihan ekonomi nasional oleh beragam kalangan. Kenaikan PPN turut memicu naiknya harga barang yang akan membuat daya beli masyarakat makin merosot.
“Naiknya tarif (PPN) ini akan berdampak terhadap melemahnya konsumsi rumah tangga karena harga jual barang di konsumen akhir meningkat,” kata pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, Kamis (6/5/2021).
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Menurut Bhima, semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan PPN ditanggung pemerintah atau DTP sebagai bagian dari stimulus fiskal untuk meningkatkan konsumsi dan gairah berbelanja masyarakat di sektor retail. Bukannya malah menaikkan tarif PPN.
Menurut Bhima, konsumsi rumah tangga masih mengalami kontraksi minus -2,23 persen (year-on-year/yoy) di kuartal I/2021. Daya beli masyarakat juga masih rendah, ditunjukkan dari perkembangan sektor retail yang menurun minus 0,24 persen yoy pada periode yang sama. “Bila tarif PPN naik malah bisa bikin blunder ke pemulihan ekonomi,” kata Bhima.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, pemerintah perlu menunda rencana kenaikan PPN.
“Momentumnya belum tepat karena masih resesi di tengah pandemi, di mana daya beli masyarakat melemah. Efeknya kontra bagi perpajakan dan perekonomian nasional,” kata Koni, Managing Partners & Director PajakOnline Consulting Group kepada Beritaneka hari ini.
Koni menyebutkan, Indonesia masih resesi. mengacu pada data BPS perekonomian Indonesia masih mengalami kontraksi atau minus 0,74%. Kontraksi PDB Indonesia terus terjadi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Indonesia masih berada dalam kondisi resesi ekonomi.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2021 Minus 0,74%, Indonesia Masih Resesi
Resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi minus dua kuartal berturut-turut akibat menurunnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi minus yang dialami Indonesia sudah terjadi sejak kuartal II-2020 yaitu minus 5,32%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi berlanjut ke kuartal III-2020 minus 3,49% dan minus 2,19% pada kuartal IV-2020.
Koni yang juga mantan auditor senior Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini mengatakan, untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah sebaiknya intens mengejar para wajib pajak besar (orang-orang kaya raya atau super kaya) yang belum patuh atau taat pajak dan terus mengejar pajak penghasilan (PPh) perusahaan platform digital asing yang telah mengambil keuntungan signifikan di Indonesia, seperti Youtube, Facebook, Google, Zoom, dan lainnya yang potensi pemajakannya mencapai triliunan rupiah. (el)