Beritaneka.com—Data dari Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) sampai 18 Juni 2021 yang diungkap seorang senator Amerika Serikat bernama Ron Johnson, bersama pihak-pihak yang terkena efek samping vaksin Covid-19, memaparkan akibat vaksin telah menyebabkan korban meninggal 4.812 orang.
Angka itu, hampir mendekati seluruh dampak samping vaksin-vaksin lainnya yang diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 1990 yang berjumlah 5.039 (korban efeks amping 6 bulan penerapan Vaksin Covid-19 hampir sama dengan lebih dari 31 tahun total penerapan vaksin-vaksin lainnya).
Gambaran yang kurang lebih sama juga terjadi untuk efek samping yang menyebabkan kelumpuhan permanen (4,996 orang dalam waktu 6 bulan VS 12,053 dalam waktu 31 tahun).
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Perhatikan Ketersediaan Vaksin di Daerah Luar Jawa
Ron Johnson membandingkan bahwa efek samping vaksin flu yang menimbulkan kematian antara tanggal 1 Januari 1996 s/d 31 Maret 2021 (25 tahun lebih) adalah berjumlah 955 jauh dibawah efek samping vaksin Covid-19 yang berjumlah 4.812.
Melihat data itu, Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Investasi (Ekuin) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti bahwa ditengah-tengah upaya gencar pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menjalankan program vaksinasi Covid-19 maka sudah selayaknya jika pemerintah juga memberikan perhatian yang optimal terkait persoalan efek samping vaksin.
Farouk menambahkan bahwa paling tidak ada dua kasus berat terbaru sebagai dampak samping vaksin. Pertama kasus Trio Fauqi, pemuda yang meninggal pada tanggal 6 Mei 2021 usai divaksin Astra Zenneca, padahal dari hasil autopsi, tidak ditemukan adanya komorbid, serangan jantung atau gagal paru.
Kedua adalah kasus yang menimpa Amelia Wulandari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala Banda Aceh yang lumpuh usai menjalan ivaksinasi Covid-19 di Akademi Keperawatan Meulaboh pada tanggal 27 Juli 2021.
“Dua kasus tersebut adalah kasus-kasus yang terungkap ke media masa, kita belum tahu lagi kasus-kasus lain yang tidak pernah terpublikasi di media massa ataupun media sosial, mungkin jauh lebih banyak lagi”, ujar Farouk.
“Satu persoalan yang perlu diperhatikan terkait program vaksinasi adalah efek samping vaksin. Dewasa ini secara internasional, pemberitaan terkait efek samping vaksin Covid-19 selalu ada, mulai dari Astra Zenneca, Sinovac, Pfizer, Moderna, dan terakhir Johnson & Johnson,” ujar Farouk Alwyni.
Belajar dari kasus di Amerika Serikat, Farouk meminta bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih berhati-hati dalam menjalankan program vaksinasi nasional. “Tolong jangan hanya mengejar target saja, safety first harus diprioritaskan, dan jangan melakukan pemaksaan dengan berbagai cara seperti yang terjadi saat ini,” pinta Farouk.
“Dalam rangka menjalankan program vaksinasi nasional yang lebih prudent dan bertanggung jawab, sudah seharusnya pemerintah menyiapkan dana kompensasi yang transparan untuk masyarakat yang terkena efek samping dari vaksin, khususnya untuk yang berat, baik yang memerlukan kebutuhan pengobatan berkala setelah suntikan vaksin, kelumpuhan, ataupun kematian,” ujarnya.
Baca juga: Kesehatan dan Ekonomi Penting Disinergikan, Produksi Vaksin Nasional Solusi Ledakan Covid 19
Farouk juga mengungkapkan bahwa untuk membantu meningkatkan kepercayaan public terhadap vaksinasi dan menunjukkan bahwa pemerintah bersedia menanggung risiko efek samping, negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand telah menyiapkan dana kompensasi bagi penerima vaksinasi yang menderita efek samping yang serius (termasuk meninggal).
Hal in imengingat bahwa berdasarkan survey yang ada ternyata salah satu alas an keraguan banyak anggota masyarakat terhadap program vaksinasi adalah kekhawatiran terhadap efe ksamping.
Mantan Direktur Bank Muamalat ini merincikan bahwa Singapura menganggarkan ganti rugi senilai SD 451 ribu (sekitar Rp. 4.8 milyar) bagi setiap warga yang terkena efek samping parah dari vaksin COVID-19. Malaysia mengalokasikan dana RM 500 ribu (sekitar Rp. 1.7 milyar) bagi setiap individu yang terdampak cacat permanen atau kematian dan Thailand memberikan kompensasi sebesar THB 400 ribu (sekitar Rp. 180 juta) untuk mereka yang mengalami efek samping parah termasuk kematian.
“Mekanisme kompensasi ini juga telah dibuat WHO untuk 92 negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah bawah yang didalamnya banyak terdapat negara-negara di Afrika dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, pemerintah tinggal menjalankannya secara transparan dan tida kbirokratis,” tutup Farouk.