Beritaneka.com—Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres) yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A.
Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
“Mengambil Permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a guo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” katanya.
Pada sidang pendahuluan yang digelar Selasa (5/9/2023) lalu, Dwi Nurdiansyah Santoso selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengatakan pihaknya mengagumi pejabat pemerintahan berusia muda yang dinilainya berhasil dalam membangun ekonomi daerah.
Diakui Pemohon ada banyak data yang menunjukkan sejumlah kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 40 tahun pada Pemilu 2019 disertai dengan kinerja yang baik. Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah.”
Sementara, MK sebelumnya sudah menolak tiga gugatan soal batas usia Capres dan Cawapres. Diantaranya, Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 35 tahun. Lalu, Perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Garuda. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Kemudian, Perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa sebagai pemohon.
Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (16/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar mengatakan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a Quo. Para Pemohon memilki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” katanya.
Diketahui, terdapat 11 gugatan soal batas usia Capres Cawapres. 7 diantaranya akan diputuskan pada Senin, (16/10/2023).
Berikut daftar gugatan batas usia Capres Cawapres yang dibacakan putusannya:
- Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 35 tahun.
- Perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Garuda. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
- Perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa sebagai pemohon. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
- Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
- Perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A sebagai pemohon. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 21 tahun.
- Perkara nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung sebagai pemohon. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 25 tahun.
- Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Soefianto Soetono dan Imam Hermanda. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 30 tahun.
Namun demikian, masih ada sejumlah perkara soal batas usia Capres Cawapres yang masih tahap persidangan, di antaranya:
- Perkara nomor 93/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Guy Rangga Boro sebagai pemohon. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 21 tahun.
- Perkara nomor 94/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Riko Andi Sinaga sebagai pemohon. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 25 tahun.
- Perkara nomor 101/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Rio Saputro, Wiwit Ariyanto, dan Rahayu Fatika Sari sebagai pemohon. Pemohon ingin MK menyatakan batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun pada proses pemilihan.
- Perkara nomor 102/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Soefianto Soetono dan Imam Hermanda sebagai pemohon. Pemohon ingin MK menyatakan batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun.
- Perkara nomor 103/PUU-XXI/202 yang diajukan oleh Rudy Hartono sebagai pemohon. Pemohon ingin MK menyatakan batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun.
Beritaneka.com—Sejumlah aktivis dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Tim UI Watch dan Petisi 100 menggelar diskusi tentang gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Diskusi bertajuk “Sidang Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres: MK dan Para Pendukung Adalah Pengkhianat Konstitusi!?” digelar pada Jumat (14/10/2023) di Jakarta.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan sebagai narasumber pertama mengingatkan MK agar menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang diberikan oleh konstitusi. Artinya, MK tidak boleh melanggar konstitusi.
“Pertama, MK harus melihat apakah penggugat mempunyai legal standing. Apakah ada kerugian konstitusional yang dialami penggugat karena adanya batas usia minimal 40 tahun capres-cawapres. Penggugat tidak boleh mewakilkan pihak lain dalam melakukan gugatan ke MK. Karena sudah menjadi rahasia umum soal batas usia ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada Gibran untuk dijadikan calon wakil presiden,” kata Anthony seperti dikutip Beritaneka dalam Siaran Pers UI Watch dan Petisi 100.
Dia mempertanyakan, jika gugatan tersebut dilakukan untuk kepentingan Gibran, kenapa tidak Gibrannya sendiri yang menggugat MK. Jadi anda tidak bisa menggugat konstitusi untuk orang lain karena itu tidak ada legal standingnya,” kata Anthony
“Yang menggugat itu PSI yang sekarang ketuanya Kaesang adiknya Gibran, dan kebetulan juga Ketua MK adalah Anwar Usman yaitu paman dari Gibran dan Kaesang, itulah kenapa MK dipelesetkan jadi Mahkamah Keluarga,” tambahnya.
Anthony mengatakan, PSI tidak memiliki legal standing untuk menggugat batas usia karena tidak bisa mencalonkan Capres/Cawapres, hal itu karena PSI tidak memenuhi parliamentary threshold pada 2019 lalu.
“Karena tidak ada legal standing harusnya MK tidak boleh menerima gugatan itu,” jelasnya.
Namun jika MK menerima gugatan tersebut, kata Anthony, MK telah melanggar konstitusi. “Dalam Undang-undang Pemilu salah satu definisi pengkhianat negara adalah pelanggar konstitusi, karena itulah acara ini mempertanyakan apakah MK melanggar konstitusi sehingga menjadi pengkhianat konstitusi? Apabila melanggar konstitusi maka keputusannya tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan,” tuturnya.
Narasumber lainnya, politikus yang juga sebagai ahli hukum DR Ahmad Yani SH MH menegaskan bahwa sesuai UU, bahwa batas umur Capres-Cawapres itu 40 tahun.
“Di UU sudah menyatakan bahwa batas umur itu 40 tahun, artinya produk UU menginginkan dengan berbagai macam argumentasi bahwa disepakati itu 40 tahun,” jelasnya.
Menurut Yani, tidak ada kewenangan sedikit pun mandat yang diberikan konstitusi bagi MK untuk membentuk norma. “Kalau dia mengubah artinya mengubah norma dan membentuk norma baru, itu tidak bisa karena akan menimbulkan problematika baru,” jelasnya.
Yani mengingatkan bahwa MK itu sejatinya memiliki kedudukan sebagai negarawan. “Seorang negarawan itu dia tidak boleh ikut terlibat hal-hal yang berimplikasi pada politik praktis. Karena itu langkah MK seharusnya menolak dengan tegas karena ini bukan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili atau memutus perkara,” jelasnya.
“Atau supaya tidak ada tuduhan dianggap MK itu “Mahkamah Keluarga”, karena membuka jalan supaya Gibran jadi Cawapres. Agar ini tidak ada tafsir kepentingan politik istana terhadap MK, kenapa MK tidak menunda pengambilan keputusan ini?” ujar Yani.
Soal penundaan keputusan ini, kata Yani, pernah dilakukan MK pada 2014, yaitu tentang pemilu serentak. “Kenapa sekarang tidak?” tanyanya.
Meski demikian, terkait MK, ia sependapat dengan usulan agar sebaiknya evaluasi total keberadaan MK. “Jangan-jangan MK sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya,” tuturnya.
Anggota Badan Pekerja Petisi 100, Marwan Batubara menjelaskan tujuan diskusi tersebut dilakukan. Pihaknya berharap publik bisa paham situasi dan MK bisa mendengar, juga berharap MK tidak main-main dengan konstitusi dan undang-undang.
Marwan mencoba untuk mengungkap dugaan motif adanya upaya gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu.
“Dugaan pertama, ini keinginan Jokowi dan oligarki untuk melenggangkan kekuasaan,” ujarnya.
Dugaan kedua, lanjut Marwan, ada kekhawatiran kalau sudah lengser akan digugat secara hukum maka diperlukan pengamanan dengan menempatkan orang-orang yang nanti kalau terpilih bisa mengamankan kedudukan dan posisinya, syukur kalau tetap dominan. “Kalau anak dengan bapak itu satu paket, jadi harapannya tetap dominan,” tukasnya. Dan dugaan ketiga, dalam rangka berburu rente, kata Marwan.
Kemudian, ia juga mencoba mengungkap modus dibalik ini semua. “Kalau MK konsisten atau kalau masih punya moral itu tidak akan coba cawe-cawe untuk membuat kebijakan dengan menyatakan menerima perubahan menjadi 35 tahun atau pernah menjabat jadi kepala daerah maka boleh menjadi cawapres,” ungkapnya.
Menurutnya, hal ini tidak akan dilakukan MK jika konsisten dengan aturan yang disepakati melalui konsensus nasioanal melalui Pancasila, UUD 45 dan UU Pemilu. “Kita minta supaya MK mengingat amanat reformasi, TAP MPRS Nomor 19 tahun 98 tentang Penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bersih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Artinya, MK yang lahir dari reformasi kalau tidak memperhatikan amanat tersebut maka bisa disebut juga pengkhianat reformasi,” kata Marwan.
Marwan menyimpulkan dalam gugatan ini ada beberapa modus, yaitu menghalalkan segala cara, mengkhianati konstitusi, melanggar UU, membunuh demokrasi, mengintervensi MK dengan diberi gratifiasi berbagai fasilitas melalui pihak ketiga dari UU MK No. 24 Tahun 2023 menjadi No. 7 Tahun 2020. Kemudian menyandera pimpinan partai, memanfaatkan dana pengusaha atau oligarki.
“Jadi dengan kita paham motif dan melihat modusnya, maka sangat besar potensi putusannya nanti batas usia bisa turun atau dibuat norma baru dengan menambahkan jika pernah menjadi kepala daerah boleh mencalonkan sebagai cawapres,” ujar Marwan.
“Itulah yang kita khawatirkan, dan kita ingatkan MK, kalau anda melakukan itu maka anda sudah menjadi pengkhianat konstitusi, reformasi dan demokrasi,” tandasnya.
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Mahkamah Konstitusi (MK) bukan lagi penegak konstitusi. Tetapi, menjelma menjadi bagian yang melanggengkan pelanggaran konstitusi. Semua gugatan uji materi presidential threshold 20 persen dimentahkan, ditolak tanpa dasar, ditolak dengan melanggar konstitusi itu sendiri.
Ada dua alasan yang menjadi senjata pamungkas MK menolak semua permohonan uji materi.
Pertama, mengenai kedudukan hukum pemohon atau legal standing. MK akan menjaga agar pemohon tidak mempunyai legal standing, sehingga tidak bisa menggugat.
Kedua, terkait alasan open legal policy. Menurut MK, DPR mempunyai wewenang konstitusional menentukan presidential threshold, berapapun, sesukanya, sepanjang disetujui DPR dan disahkan menjadi UU. Artinya, presidential threshold sebagai open legal policy sah secara konstitusi, menurut MK.
Kedua alasan MK tersebut sangat mengada-ada, tidak profesional, sewenang-wenang alias tirani, hanya untuk mempertahankan UU yang merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi, bertentangan dengan kepentingan publik dan konstitusi.
Dalam uji legal standing (kedudukan hukum) MK menganut “kepentingan langsung” atau “direct interest”. Menurut MK, hanya pihak yang mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi (judicial review): menguji sebuah UU terhadap konstitusi.
“Kepentingan langsung” diartikan pihak pemohon mempunyai kerugian konstitusional secara langsung akibat diberlakukannya sebuah UU.
Terkait uji materi presidential threshold, pemohon yang mempunyai kerugian konstitusional antara lain yang mempunyai kualifikasi tidak diragukan untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden. Artinya, rakyat biasa yang tidak mempunyai kualifikasi meyakinkan sebagai calon presiden, dianggap tidak mempunyai kerugian konstitusional, dan tidak bisa mengajukan permohonan uji materi.
Uji legal standing menurut direct interest seperti dijelaskan di atas sudah usang, sudah ditinggalkan. Mahkamah hampir di seluruh negara demokrasi dan negara maju dunia sudah menganut uji legal standing lebih luas, beralih dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik): legal standing pemohon dianggap relevan sepanjang mewakilkan kepentingan publik yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU.
Alasannya, konstitusi adalah hukum publik, dibuat untuk melindungi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata. Artinya, hukum publik (hukum administratif) pada prinsipnya
bukan mengenai hak individu, melainkan tentang kesalahan publik (public wrongs) dalam menjalankan prinsip keadilan dan kewajaran hukum publik: Hal ini sebenarnya yang menjadi pokok gugatan uji materi presidential threshold.
Maka itu, pendapat MK bahwa hanya pihak yang mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi sepenuhnya salah memahami fungsi konstitusional MK. Artinya, MK tidak kompeten dan layak dibubarkan.
Kedua, dalam hal pemohon mempunyai legal standing, MK akan menghalangi dengan alasan presidential threshold merupakan open legal policy DPR, karena itu, menurutnya, sah secara konstitusi. Artinya, MK berpendapat bahwa DPR mempunyai wewenang konstitusional secara mutlak dalam menentukan presidential threshold: 20 persen, 30 persen atau bahkan 50 persen, semua sah menurut MK.
Alasan ini lebih vulgar lagi, secara terang-terangan bertentangan dengan konstitusi.
Pertama, dalam konstitusi tidak boleh ada interpretasi open legal policy, karena akan menjadi sumber kekacauan hukum.
Konstitusi Pasal 6A ayat (2) mengatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa ada interpretasi lain: konstitusi tidak mencantumkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold): Artinya, tidak boleh ada ambang batas pencalonan presiden. Maka itu, open legal policy yang mengatur presidential threshold, secara terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, DPR tidak mempunyai hak dan wewenang konstitusional apapun untuk mengubah (bunyi) konstitusi, terlebih melalui UU yang dimaksudkan sebagai open legal policy. Karena UU yang dibuat DPR secara hierarki berada di bawah konstitusi, dan tidak bisa koreksi konstitusi.
Selain itu, dan yang terpenting dari semuanya, lembaga tinggi negara yang mempunyai wewenang konstitusional untuk mengubah (makna) konstitusi adalah MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Artinya, sekali lagi, lembaga DPR tidak mempunyai wewenang konstitusional sama sekali untuk mengubah konstitusi, termasuk melalui open legal policy.
Dengan mengakui open legal policy terkait presidential threshold sah menurut konstitusi berarti MK sudah merampas, mengambil secara tidak sah, hak dan wewenang konstitusional DPD yang merupakan bagian dari MPR. Tindakan ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, hakim MK layak diberhentikan, dan bertanggung-jawab penuh atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com-Partai Politik melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, membuat Indonesia dikuasai para oligarki, membuat Indonesia menjadi negara tirani. Di mana ekonomi dan hukum dikuasai para penguasa oligarki tirani.
DPR membuat Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berimplikasi Indonesia ‘for Sale’, dengan cara memanipulasi proses pemilihan presiden dan menetapkan Presidential Threshold 20 persen. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah suara minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR.
Dengan demikian, akan terbentuk kartel politik (baca: koalisi) oligarki yang akan menguasai ekonomi Indonesia. Karena kartel politik hanya menyisakan dua calon Presiden dan Wakil Presiden, yang keduanya adalah pilihan oligarki. Alias Presiden jadi-jadian, atau Presiden boneka.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Rakyat muak. Rakyat marah. Karena dijadikan komoditas politik untuk Indonesia ‘for Sale’, untuk kekayaan oligarki.
Sekelompok rakyat sudah beberapa kali mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Tetapi kandas. Dalam salah satu putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Presidential Threshold …… “adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.”
Sepertinya MK sudah keluar dari wewenangnya sebagai Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai pelaksana uji materi UU Pemilu terkait Presidential Threshold sebesar 20 persen terhadap UUD. Alasannya sebagai berikut.
Pertama, MK hanya diminta uji materi apakah Presidential Threshold 20 persen melanggar pasal 6A ayat (2) UUD, yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Baca juga: Inflasi Global, Quantitative Easing dan Potensi Resesi 2022
Dalam konteks ini, terkesan Presidential Threshold 20 persen melanggar Pasal 6A ayat 2 UUD tersebut. Tetapi, putusan MK tidak berdasarkan uji materi dengan UUD. Melainkan berdasarkan pendapat dan opini subjektif yang tidak berpatokan pada UUD. Sehingga putusan MK melanggar Konstitusi itu sendiri. seperti dijelaskan berikut ini.
Kedua, MK tidak dimintai pendapatnya bagaimana memperkuat sistem presidensial. Atau, pasal mana di dalam UUD yang mengatakan bahwa Presidential Threshold 20 persen bisa dan wajib untuk memperkuat sistem presidensial?
Kalau tidak ada, maka alasan MK bahwa Presidential Threshold 20 persen adalah konstitusional karena memperkuat sistem presidensial jelas salah kaprah. Karena semua itu di luar wewenang MK, yang tugasnya hanya menguji sebuah UU terhadap UUD. Bukan interpretasi subjektif kebutuhan bangsa ini dalam politik, termasuk sistem presidensial.
Karena itu, jangan salahkan rakyat kalau menganggap putusan MK mengada-ada, sebagai kepanjangan tangan oligarki tirani yang menindas rakyat.
Ketiga, alasan MK tidak masuk akal dan tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Baik secara teori maupun fakta empiris. Karena sistem pemerintahan di banyak negara lain bisa stabil meskipun tidak mempunyai Presidential Threshold dalam pencalonan presiden.
Keempat, kalau alasannya stabilitas sistem presidensial, maka Presidential Threshold 20 persen tidak cukup. Sehingga presiden masih harus ‘berdagang sapi’ dengan partai politik lainnya, alias membentuk kartel politik, untuk menguasai parlemen. Saat ini, dukungan kartel politik (baca: koalisi) mungkin mencapai 80 persen dari jumlah kursi di DPR, atau lebih. Sehingga Presidential Threshold 20 persen tidak ada arti sama sekali.
Baca juga: Menihilkan Peran DPD Merupakan Penghinaan dan Pengkhianatan Kepada Daerah
Dengan demikian, Presidential Threshold 20 persen untuk pencalonan presiden tidak ada hubungannya dengan memperkuat sistem presidensial. Sehingga alasan MK sangat mengada-ada, dan di luar wewenang MK.
Rakyat menduga putusan ini diambil demi kepentingan tirani oligarki, yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. Karena itu, sekali lagi, rakyat sangat marah. Rakyat merasa muak dengan permainan kotor oligarki tirani yang menguasai eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kini, sekali lagi, rakyat dari berbagai latar belakang menggugat Presidential Threshold 20 persen agar dihilangkan. Sesuai mandat UUD di mana Presiden dan Wakil Presiden dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Di dalam jejeren penggugat termasuk juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kali ini, MK harus lebih waspada dalam memutuskan perkara ini, harus berdasarkan konstitusi dan berkeadilan. Nasib bangsa Indonesia ada di tangan MK, apakah terus dalam cengkeraman oligarki tirani atau menjadi negara demokrasi yang bersih. Hakim MK harus menjalankan revolusi mental agar kembali ke dalam koridor yudikatif yang independen.
Rekayasa putusan yang tidak adil dapat memicu kemarahan rakyat lebih besar. Dapat mengundang revolusi mental, untuk merebut kembali kedaulatan rakyat dari tangan oligarki tirani.
— 000 —