Oleh Andy Budiman
Wakil Ketua Umum DPP PSI
“Tugas pemimpin adalah membantu masyarakat dari tempat mereka berada menuju tempat yang terkadang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya” Henry Kissinger (Leadership, Penguin Press 2022).
Beritaneka.com, Jakarta—Salah satu tantangan terberat pemimpin saat ini, kata Kissinger mengutip pandangan Max Weber mengenai kepemimpinan, adalah hilangnya “Sense of Proportion”. Dalam konteks hari ini, informasi yang berlimpah membuat pemimpin berpotensi kehilangan proporsionalitas dalam menganalisis, merumuskan strategi untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Dan sebaliknya, informasi negatif bahkan hoax akan membuat publik cenderung pesimistis dan tidak puas terhadap para pemimpin politik.
![](https://beritaneka.com/wp-content/uploads/2023/05/Waketum-DPP-PSI-Andy-Budiman.jpg)
Ini adalah era yang tidak mudah untuk memimpin. Menginspirasi dan mendorong masyarakat untuk bergerak menuju visi yang diinginkan seorang pemimpin di era media sosial seperti sekarang adalah sebuah tantangan besar. Tulisan ini mencoba menilai dan memahami karakteristik kepemimpinan ala Jokowi di era yang disebut orang sebagai abad yang berlari.
Jokowi dalam Perspektif Kissinger
Dalam Leadership, Kissinger menyebut bahwa salah satu kualitas terpenting dalam kepemimpinan adalah keberanian dan karakter. Keberanian untuk memilih arah diantara pilihan-pilihan yang rumit dan kompleks, yang memerlukan tekad untuk melampaui yang rutin, dan kekuatan karakter untuk mempertahankan suatu tindakan yang dianggap perlu diambil.
Awalnya tidak ada orang yang percaya bahwa kita bisa membangun sistem kereta bawah tanah karena ibukota rentan banjir, Jokowi yang kala itu menjabat Gubernur DKI memperlihatkan karakter dan keberanian dengan merealisasikan pembangunan Mass Rapid Transportation yang kini menjadi kebanggaan ibukota.
Pesimisme juga muncul ketika Jokowi memulai proses pembangunan infrastruktur. Banyak kalangan mempertanyakan, baik manfaat maupun kesiapan kita membangun infrastruktur dalam skala besar-besaran. Tapi Jokowi tetap berkeras.
Kini, lebih dari duaribu seratus kilometer jalan tol yang dibangun Jokowi telah menghubungkan kota-kota, menggerakkan ekonomi, mempermudah pertukaran barang dan jasa. Pembangunan jalan tol di era kepemimpinan Jokowi lebih dari dua kali lipat dibanding pembangunan jalan tol sejak 1978.
Lebih dari duaratus ribu kilometer Jalan Desa yang dibangun telah menghubungkan satu desa dengan desa lain, membuka isolasi. Delapanbelas Pelabuhan yang dibangun menjadi titik hubung antara 17,000 pulau dari Sabang sampai Merauke. Duapuluh satu bandar udara baru, telah memperlancar lalu lintas bisnis dan perdagangan antar daerah. Sementara tigapuluh bendungan dan waduk yang dibangun mengaliri sawah-sawah. Memperkuat ketahanan pangan kita menghadapi perubahan iklim.
Inilah kebijakan yang lahir dari kepemimpinan yang memahami persoalan rakyat, kepemimpinan yang mampu menganalisis dan merumuskan strategi yang tepat untuk membangun fondasi yang kokoh untuk mensejahterakan rakyat.
Sebuah kebijakan yang didasarkan atas visi yang jelas bahwa Infrastruktur, pada akhirnya tidak hanya akan menggerakkan ekonomi. Karena kelak, jalan-jalan, pelabuhan, dan bandar udara, adalah titik-titik yang akan memudahkan rakyat Indonesia bertemu dan bekerjasama satu sama lain. Menggerakkan ekonomi dan memperkuat persatuan.
Kualitas yang sama kembali diperlihatkan ketika Jokowi berkeras menjalankan kebijakan Hilirisasi Nikel, melawan Uni Eropa yang menggugat kebijakan itu di World Trade Organisation (WTO). Sebuah langkah berani dalam membela kepentingan nasional. Dulu tahun 2013-2014 ketika Indonesia hanya mengekspor biji mentah – nilai ekspor nikel hanya Rp 20 triliun. Setelah Hilirisasi berjalan dan biji nikel diolah industri dalam negeri, pendapatan negara naik hampir tujuhbelas kali lipat menjadi Rp 325 triliun.
Hilirisasi membuka peluang bagi kita untuk kembali membangun basis industri nasional memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang membuat dunia menjuluki Indonesia sebagai “The Next Green Superpower” mengingat kita memiliki seperempat cadangan nikel dunia yang merupakan elemen terpenting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Sebuah kebijakan yang berhasil menggerakkan ekonomi, membuka lapangan kerja bagi anak muda, memberi nilai tambah ekonomi bagi negara, dan menempatkan Indonesia sebagai pemain penting di dunia dalam proses transisi menuju kendaaan berbasis listrik.
Keberpihakan
Pada 2014, di India muncul perdebatan klasik antara dua ekonom raksasa Amartya Sen peraih Nobel Ekonomi dengan Profesor Jagdish Bhagvati dari Colombia University mengenai cara-cara untuk mencapai kemajuan.
Amartya Sen mewakili mazhab yang berpandangan bahwa negara harus berinvestasi lebih dalam bidang infrastruktur sosial untuk meningkatkan produktivitas rakyat dan dengan demikian menciptakan pertumbuhan. Sen percaya kemampuan manusia akan berkembang maksimal jika negara turun tangan membantu mereka melalui Program Sosial, Pendidikan, dan Kesehatan yang pada akhirnya akan menjadi sumber pertumbuhan berkesinambungan.
Pada kutub lainnya Jagdish Bhagvati menyarankan agar India lebih fokus kepada pertumbuhan. Bhagwati berpendapat bahwa Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, dan Pendidikan yang berkualitas hanya akan dapat dihasilkan melalui pertumbuhan yang cepat.
Dalam konteks Indonesia, Presiden Jokowi mengambil jalan Amartya Sen. Jokowi memperluas program Subsidi Sosial, Pendidikan dan Kesehatan. Dan itu menjadi modal penting dalam menjawab isu keadilan dan ketimpangan sosial. Kebijakan yang lahir dari intuisi Jokowi yang peka dalam memahami kesulitan rakyat kecil. Intuisi untuk selalu berdiri membela kepentingan orang banyak.
Kepekaan dan pembelaan Jokowi terhadap yang lemah juga terlihat dalam visinya untuk mengatasi kesenjangan antara Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur. Pembangunan infrastruktur secara massif di Indonesia bagian Timur adalah cara untuk mengatasi kesenjangan. Ditopang oleh kebijakan Hilirisasi, Indonesia Bagian Timur yang kaya mineral, akan tumbuh menjadi pusat pertumbuhan baru Indonesia yang pada gilirannya akan mengurangi kesenjangan dengan wilayah Indonesia Bagian Barat. Lewat dua kebijakan tersebut, Jokowi memperlihatkan visinya yang kuat tentang cara-cara mengatasi kesenjangan dan menjawab masalah Keadilan Sosial.
Lulus Ujian
Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia pada April lalu memperlihatkan bahwa dukungan publik terhadap Presiden Jokowi mencapai 82 persen. Angka kepuasan tertinggi sepanjang sejarah. Salah satu sumber kepuasan publik adalah kinerja ekonomi. Pada saat perekonomian dunia memasuki resesi, Indonesia justru tumbuh 5,03 persen, melampaui perkiraan banyak kalangan.
Angka-angka kemajuan ekonomi tak berhenti menjadi sekadar statistik belaka, angka-angka itu termanifes dalam bentuk kepuasan dan dukungan publik terhadap kepemimpinan Jokowi. Fenomena langka mengingat dalam politik dikenal istilah “kutukan periode kedua”, dimana pemimpin politik di periode akhir masa jabatannya cenderung semakin tidak populer.
Majalah The Economist dalam liputan khusus mengenai Indonesia (Asia’s Overlooked Giant, edisi 14/11/22) mengutip lelucon yang menggambarkan bahwa sebelum era Jokowi, Indonesia was the planet’s biggest invisible object. Sebuah negara besar namun tidak pernah dianggap penting di mata dunia.
Dibawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia tumbuh cepat menjadi negara yang semakin diperhitungkan. Jokowi membawa rakyat Indonesia mencapai tempat yang tidak pernah terbayang akan dicapai sebelumnya.
Jokowisme
Perjalanan kepemimpinan Jokowi adalah cerita tentang pemimpin yang tumbuh bersama kekuasaan. Pada masa awal terpilih di 2014, orang banyak meragukan kapasitasnya sebagai pemimpin. Tapi Jokowi berhasil mengecewakan para pesimis. Jokowi kini tidak lagi sekadar presiden – tapi menjelma menjadi sebuah Gagasan, Ide Besar tentang Indonesia yang hebat, Indonesia yang maju, tanah air yang membanggakan.
Sebagai presiden ia berhasil menciptakan benchmark atau mistar ukur baru kepemimpinan dalam wujud Jokowisme. Sebuah ciri kepemimpinan yang dekat dengan rakyat, membela kepentingan rakyat lewat etos kerja keras dalam melayani rakyat. Jokowisme adalah metafora dari pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat. Kepemimpinan berani dan berkarakter yang membuat Indonesia menjadi tanah air yang membanggakan, negara yang semakin dianggap penting di mata dunia.
Pada tanggal 14 Februari 2024 nanti, Jokowisme akan menjadi tolok ukur bagi rakyat dalam memilih calon pemimpin berikutnya. Standar baru telah terbentuk, dan rakyat menanti-nanti siapa kandidat yang paling Jokowisme.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Salah seorang calon Presiden Republik Indonesia, Anies Rasyid Baswedan mengusulkan supaya pemilihan umum (Pemilu) kali ini harus menjadi pemilu yang mengutamakan gagasan sebagai kriteria unggul, bukan pemilu yang mengandalkan uang untuk menang.
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Ini tentu satu imbauan yang merupakan angin segar dalam perpolitikan Indonesia. Memang, jika kita melihat kebelakang, sejak era reformasi, politik uang menjadi dominan dalam penentuan kemenangan calon pemimpin Indonesia hampir di semua level pemerintahan di Tanah Air kita. Dengan mengedepankan uang sebagai faktor penentu kemenangan, kualitas serta kebermanfaatan seorang pemimpin bagi rakyatnya menjadi tidak penting.
Jika gagasan bisa menjadi faktor utama dalam memenangkan pemilu, maka Indonesia sudah mulai masuk kedalam era “moderen” di dalam dunia perpolitikannya. Hanya saja, untuk menjadikan gagasan sebagai kriteria utama, diperlukan juga pemilih yang sadar akan pentingnya gagasan dalam menilai calon pilihan mereka. Mereka perlu paham betul bahwa gagasan yang dibawa calon akan memengaruhi kehidupan mereka, minimal selama lima tahun kedepan.
Jika gagasan sebagai faktor keunggulan dapat diterima secara luas oleh masyarakat, maka politik uang tidak akan menjadi penting lagi dalam suatu proses pemilihan umum. Gagasan tentu akan berpengaruh pula kepada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Gagasan juga akan menjadikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Jangka Panjang (RPJP) menjadi rencana yang menitikberatkan pada dampak yang berpihak pada rakyat. Penyusunan APBN maupun APBD akan berpedoman kepada substansi program yang bersumber dari gagasan calon pemimpin yang bertanding dalam Pemilu.
Anggaran negara akan menjadi efektif penggunaannya, Begitu pula penyusunan Rencana Startegis (Renstra) oleh masing-masing lembaga negara maupun lembaga daerah, penyusunannya akan berdasarkan substansi yang menjadi cerminan gagasan pemimpin dimasa Pemilu.
Penyusunan program pemerintah bukan lagi untuk tujuan memghabiskan anggaran, tetapi anggaran digunakan untuk merealisasikan program yang akan memberikan manfaat kepada masyarakat. Kebocoran anggaran juga akan bisa ditekan, karena penyusunan anggaran adalah untuk membiayai gagasan. Monitoring terhadap penggunaan anggran dan realisasi gagasan bisa dilakukan langsung oleh rakyat, karena alasan mereka memilih calon tertentu adalah karena gagasan yang berpihak yang menguntungkan rakyat.
Karena gagasan yang dijual oleh calon pemimpin adalah untuk menarik suara mayoritas pemilih, maka gagasan itu harus merupakan “janji politik” calon pemimpin. Salah satu janji politik yang penting bagi rakyat adalah upaya untuk membangun kesejahteraan.
Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh tumbuh suburnya ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Membangun ekonomi yang berdampak kepada kesejahteraan mengharuskan pemimpin terpilih untuk mengembangkan elemen pendukung lainnya, seperti pembangunan infrastrukur, regulasi yang kondusif, program insentif untuk menarik investasi, ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, akses kepada permodalan, insentif tax dan elemen lainnya yang diperlukan untuk membangun ekonomi untuk rakyat.
Jika kemenangan kompetisi pemilihan pemimpin didasarkan pada uang, maka gagasan yang dikembangkan oleh pemimpin yang terpilih adalah untuk mensejahterakan masyarakat pemberi uang, dan belum tentu akan bermanfaat bagi mayoritas rakyat. Konsentrasi kesejahteraan akan terfokus pada sekelompok kecil masyarakat yang berkolusi dengan calon pemimpin selama proses pemilihan umum.
Jadi memang perlu dibudayakan pemenangan calon pemimpin yang didasarkan kepada pertandingan gagasan, bukan berdasarkan kepada berapa banyak uang yang bisa digelontorkan oleh peserta Pemilu kepada pemilih. Semoga sistem politik moderen ini bisa berkembang dalam dunia perpolitikan Indonesia di masa yang akan datang. Gagasan untuk membangun ekonomi untuk rakyat merupakan fondasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana mandat Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Bisakah koperasi sebagai alat untuk melawan korupsi di negara ini? Korupsi sudah merajalela. Pemberitaan korupsi mendominasi berita sehari-hari yang kita baca dan dengar di media massa maupun media sosial. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah-olah tidak digubris oleh para koruptor. Korupsi bukan saja dilakukan oleh oknum aparat negara, tetapi juga oleh masyarakat swasta, seperti yang terjadi di dunia koperasi baru-baru ini.
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Korupsi terjadi karena ada “kesempatan” untuk mengambil dana pihak ketiga, yang bukan merupakan haknya. Selain kesempatan, korupsi juga terjadi karena lemahnya “pengawasan” terhadap aliran dana. Kesempatan dan lemahnya pengawasan bisa ditanggulangi jika aliran dana bisa dipantau secara transparan. Dengan “transparansi”, kesempatan penyelewengan bisa ditekan, karena ketidakjujuran bisa diketahui dengan mudah. Melalui transparansi, pengawasan juga akan lebih mudah dilakukan. Kalau begitu, bagaimana koperasi bisa mengatasi korupsi?
Anggota koperasi adalah “pemilik” koperasi. Sebagai pemilik, anggota berhak untuk tahu apa yang terjadi di koperasinya, baik dari segi proses maupun hasil. Karena dengan transparansi, anggota akan memiliki informasi yang benar, yang akan digunakan dalam proses pengambilan keputusan strategis, paling tidak pada pengambilan keputusan di setiap Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi. Itu sebabnya, transparansi adalah praktek yang harus ada pada koperasi. Prinsip koperasi yang penting dijalankan oleh koperasi sehingga anggota tahu akan haknya akan transparansi adalah prinsip “pendidikan anggota”. Melalui pendidikan, anggota akan tahu haknya, yang mana salah satunya adalah akses kepada informasi.
Disamping prinsip “pendidikan anggota”, prinsip koperasi lainnya yang berperan untuk melawan korupsi adalah prinsip “keanggotaan yang terbuka” atau “open membership”. Dengan prinsip ini, koperasi berpotensi untuk menjaring anggota dengan jumlah yang tidak terbatas. Melalui prinsip ini, koperasi berpotensi untuk mempunyai jumlah anggota yang besar. Gabungan antara transparansi dan jumlah anggota yang besar akan menekan kemungkinan terjadinya korupsi, karena akses informasi oleh orang banyak akan menutup kemungkinan kecurangan, yang umumnya terjadi jika informasi bisa “disimpan” untuk tidak disebarluaskan.
Kemudian, bagaimana pula bisa terjadi penggelapan atau pencurian uang di dunia koperasi yang banyak diberitakan belakangan ini? Jawabannya cukup mudah. Koperasi yang terlibat dalam kecurangan itu tidak menjalankan prinsip-prinsip koperasi, terutama prinsip “pendidikan anggota”. Dengan absennya pendidikan anggota, maka anggota tidak mengetahui haknya, terutama hak untuk memperoleh informasi, yang akan menciptakan transparansi di koperasi. Disamping itu, kemungkinan besar anggota juga tidak diberikan pengetahuan bahwa anggota adalah “pemilik” koperasi, sehingga anggota juga akan turut bertanggung-jawab atas semua hal yang terjadi di koperasinya. Jika anggota paham bahwa ia turut bertanggung-jawab, tentu anggota akan lebih “agresif” untuk memantau apa yang terjadi di koperasinya. Pantauan anggota akan menurunkan selera para “oknum” untuk berbuat curang. Dengan diterapkannya prinsip-prinsip koperasi, maka koperasi akan terhindar dari korban praktek korupsi atau praktek-praktek sejenisnya.
Bagaimana pula koperasi bisa melawan korupsi di kalangan pemerintah? Korupsi di kalangan pemerintah umumnya adalah penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana APBN digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang bermanfaat untuk masyarakat. Pelaksanaan proyek-proyek ini biasanya diserahkan kepada pihak swasta yang pemilihannya dilakukan melalui proses tender. Biasanya “kebocoran” terjadi pada perpindahan dari tahap rencana kepada tahap implementasi program atau proyek yang dibiayai APBN.
Untuk bisa menekan “kebocoran” dana APBN tadi, maka pelaksanaan program atau proyek sebaiknya lebih banyak dibuka peluangnya kepada koperasi yang menjalankan prinsip-prinsip koperasi dengan benar. Transparansi alur dana APBN beserta hasil yang dicapai bisa menekan kesempatan penyelewengan dana dalam bentuk korupsi atau sejenisnya. Dengan melibatkan koperasi, hasil APBN bisa pula secara langsung dinikmati oleh masyarakat anggota koperasi, yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Pelibatan koperasi dalam program atau proyek APBN merupakan satu bentuk “pencegahan” terjadinya korupsi.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabang produksi yang diperlukan oleh “semua” rakyat Indonesia. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di antaranya adalah air, energi, sumber daya alam dan pangan.
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Menurut amanat pasal 33 ayat 2 UUD 1945, “Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam implementasinya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mengelola cabang produksi yang menguasasi hajat hidup orang banyak tersebut.
Melalui BUMN, negara menjalankan amanat UUD 1945. Contoh BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan amanat ini di antaranya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Aneka Tambang dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, status BUMN berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Salah satu perubahan yang signifikan yang ditetapkan dalam undang-undang ini adalah perubahan terhadap tujuan yang dimandatkan kepada BUMN.
Perubahan status ini memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di BUMN. Dengan demikian BUMN sekarang menjadi entitas usaha yang tugasnya mencari keuntungan atau Profit. Keuntungan BUMN digunakan sebagai sumber untuk menambah pemasukan negara. Perubahan ini tentu akan berdampak pula kepada misi BUMN yang semula, yaitu untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”. Sekarang BUMN diamanatkan untuk mencari keuntungan. Apakah mandat untuk mencari keuntungan bisa sejalan dengan misi untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”?
Pemahaman kita mengenai “hajat hidup orang banyak” yang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 itu adalah hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia. Artinya, jelas misi negara adalah untuk “melayani” seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk mencari “keuntungan” “dari” seluruh rakyat Indonesia. Jika BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia ditugaskan untuk mencari “keuntungan”, apa dampaknya terhadap fungsi pelayanan BUMN?
Untuk melayani hajat hidup orang banyak, BUMN menerapkan tarif yang dibayar oleh masyarakat guna mendapatkan pelayanan tersebut. Karena misinya adalah “melayani”, maka tarif yang dibayar oleh masyarakat adalah tarif yang memang “terjangkau” oleh masyarakat. Alasannya, supaya BUMN dapat melayani sebanyak mungkin masyarakat. Seperti yang kita ketahui, pemerintah memberikan subsidi untuk menekan tarif. Dengan tarif rendah masyarakat akan mudah dilayani, termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Jika BUMN dibebankan untuk mengejar profit, maka tarif yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan akan lebih tinggi, karena ada komponen profit yang ditambahkan ke dalam struktur tarif tersebut. Salah satu mandat penting BUMN sekarang adalah menjadi sumber pendapatan negara, maka tidak masuk akal bila pemerintah mensubsidi tarif, karena subsidi itu akan mengikis kembali pendapatan negara.
Sebagai akibatnya, tarif yang merupakan imbalan pelayanan BUMN akan menjadi lebih tinggi, sehingga hanya kelompok masyarakat yang mampu yang bisa menikmati pelayanan BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa BUMN yang tadinya merupakan “alat” pemerintah untuk mengemban tugas yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 sudah tidak pada tempatnya lagi. Dalam hal ini barang dan jasa yang diproduksi oleh BUMN akan dibatasi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bagaimana sebaiknya supaya cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabannya ada pada KOPERASI. Mengapa Koperasi? Karena hanya badan usaha koperasi satu-satunya badan usaha, di mana pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya.
Konsep ini dikenal dengan istilah “identitas ganda” koperasi. Artinya, koperasi yang menguasai cabang produksi yang bermanfaat untuk orang banyak, maka “orang banyak” yang menjadi anggota koperasi itu adalah juga pemilik cabang produksi tersebut. Jika pemilik koperasi sekaligus pengguna barang dan jasa yang dihasilkan oleh koperasi (layaknya BUMN tadi), maka tidak mungkin komponen “profit” akan ditambahkan kedalam struktur “tarif” barang dan jasa koperasi. Karena tidak mungkin pemilik usaha akan membebankan keuntungan kepada dirinya sendiri. Sehingga koperasi akan beroperasi “at cost” dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dengan demikian, tarif yang akan ditetapkan untuk anggota akan menjadi lebih rendah.
Selain itu, koperasi juga mempunyai prinsip “open membership” yang artinya keanggotaan koperasi bisa bertambah terus jumlahnya. Dengan penambahan jumlah, maka akan terbentuk “economic of scale”, yang akan meningkatkan efisiensi koperasi. Dengan alasan efisiensi ini, koperasi akan terus mengembangkan jumlah anggotanya. Peningkatan efisiensi akan menguntungkan anggota, karena barang dan jasa yang diproduksi koperasi akan bisa dibayar oleh anggota dengan tarif (atau harga) yang lebih rendah.
Koperasi juga menjalankan prinsip transparansi. Dengan adanya transparansi, penyelewengan bisa ditekan sejauh mungkin. Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi. Tidak mungkin operasi maupun transaksi dalam koperasi tidak dilakukan dan dibuka secara transparan. Karena transparansi koperasi merupakan instrumen bagi RAT untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan anggota.
Dengan menyatunya anggota sebagai “pemilik” cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sekaligus sebagai “pengguna” barang dan jasa sebagai hasil olahan cabang produksi tersebut, maka akan bisa dipastikan bagi masyarakat untuk mempunyai akses kepada hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Kekuatan RAT sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi akan mengarahkan kualitas dan kuantitas produksi yang mewakili kepentingan orang banyak tersebut. Skala ekonomi yang dapat diciptakan oleh koperasi akan menurunkan tarif atau harga yang harus dibayar untuk mendapatkan hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itu sebabnya koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai untuk mendapatkan mandat dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Ketergantungan masyarakat kepada pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berujung pada “eksploitasi”. Makna ketergantungan di sini adalah, masyarakat tidak bisa “bebas” menentukan pilihannya untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbatasan kebebasan akan mudah menciptakan eksploitasi. Kebutuhan akhirnya tidak bisa selalu dipenuhi sesuai dengan keinginan semula. Pihak yang dieksploitasi berada pada posisi yang lemah, sedangkan pihak ketiga tersebut berada pada posisi yang menentukan. Dengan demikian kepentingan pihak ketiga akan selalu menjadi prioritas dalam hubungan yang eksploitatif.
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat oleh pihak ketiga bisa dilakukan melalui sektor swasta atau pemerintah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemerintah seyogyanya berpihak kepada kepentingan orang banyak, sehingga kemungkinan besar tidak mengarah kepada eksploitasi. Bagaimana jika pemenuhan kebutuhan itu dilakukan oleh pihak swasta? Ini yang ingin kita tinjau lebih jauh. Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial?
Pemenuhan kebutuhan oleh pihak swasta lazimnya melalui transaksi jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan “profit” atau keuntungan bagi pengusaha tersebut. Komponen “profit” dalam struktur harga akan menyebabkan harga jual berada di atas biaya produksi barang dan jasa yang diperjualbelikan. Produsen barang dan jasa akan selalu berusaha untuk memaksimalkan komponen “profit” ini.
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempunyai kendali untuk menetukan harga barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Akhirnya harga akan ditentukan sepihak yang belum tentu sesuai dengan daya beli masyarakat. Sebagai akibatnya tidak semua masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi seleksi atau “diskriminasi” terhadap masyarakat yang harus dilayani.
Ada kalanya keuntungan perusahaan terbatas besarannya sebagai akibat dari persaingan ketat antar produsen. Sebagai jalan keluar, produsen bersekongkol untuk menetapkan harga, yang mana hal ini juga berada di luar kendali konsumen. Dengan demikian akan terjadi kembali pembatasan terhadap masyarakat yang bisa dilayani kebutuhannya. Di sini keadilan sosial bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya akan terkorbankan.
Selain “harga” yang bisa menjadi faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, “kualitas” barang dan jasa juga berada di luar kendali konsumen. Tinggi rendahnya kualitas barang dan jasa bisa tidak merefleksikan harga barang dan jasa yang dibayar oleh konsumen. Kualitas barang dan jasa bisa dikorbankan guna menekan biaya produksi, sehingga komponen “profit” bisa diperbesar. Rendahnya kualitas barang dan jasa akan berdampak pula kepada “kualitas” pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan masyarakat belum tentu bisa sepenuhnya terpenuhi, karena kualitas barang dan jasa untuk itu tidak memadai. Di sini masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena kebutuhannya tidak terlayani sesuai dengan kualitas yang sepatutnya dia dapatkan.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen menjadi lemah. Harga barang dan jasa berperan untuk “membatasi” jumlah masyarakat yang bisa dilayani. Tingkat kualitas barang dan jasa juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kebutuhan.
Supaya masyarakat dapat dilayani kebutuhannya, melalui harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya, maka masyarakat perlu secara “swadaya” memenuhi kebutuhannya tersebut. Swadaya berarti, penentuan harga serta kualitas barang dan jasa sepenuhnya dalam kendali konsumen.
Untuk bisa memperoleh kendali penuh, konsumen atau masyarakat harus bertindak sebagai “produsen” sekaligus juga sebagai “konsumen”. Posisi sebagai produsen sekaligus konsumen ini hanya bisa tercipta melalui KOPERASI. Dalam hal ini koperasi dikenal dengan “identitas ganda”nya itu, yaitu produsen dan konsumen berada dalam satu entitas koperasi.
Di sini konsumen akan secara “swadaya” dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa bergantung kepada pihak ketiga. Keswadayaan ini mencerminkan keadilan sosial, karena harga dan kualitas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sehingga semua bisa mempunyai akses kepada barang dan jasa secara proporsional.
Bagaimana bisa diwujudkan keadilan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui koperasi? Minimal harus ada dua syarat yang harus dipenuhi: masyarakat MAU menggunakan koperasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dan koperasi MAMPU melakukannya.
Supaya masyarakat MAU menggunakan koperasi, maka masyarakat harus TAHU apa manfaat koperasi dalam kehidupan mereka. Untuk tahu, diperlukan edukasi. Edukasi kepada masyarakat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur informal. Untuk jalur formal, perlu dimulai dari usia sekolah dini, sedangkan untuk jalur informal dilakukan secara “terus-menerus” oleh gerakan koperasi maupun oleh unsur yang berperan di dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk membangun KEMAMPUAN koperasi dalam memainkan fungsinya, maka pengelolaan koperasi perlu dibangun secara “profesional”. Profesionalisme dalam mengelola koperasi tidak beda dengan pengelolaan jenis usaha lainnya. Artinya, diperlukan sumber daya yang dibutuhkan koperasi guna memproduksi barang dan jasa secara profesional.
Dengan digunakannya koperasi sebagai kendaraan, maka “diskriminasi” terhadap masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya bisa dihindari, sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat bisa dilakukan sesuai porsinya. Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh negara sebaiknya melibatkan masyarakat banyak atau rakyat. Sebab, pengelolaan tersebut menguntungkan negara dan rakyat. Pengelolaan oleh negara jelas dilakukan melalui pelibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan melalui keterlibatan masyarakat banyak? Bagaimana caranya?
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan orang banyak adalah memberikan hak konsesi pengelolaan kepada orang banyak, bukan hanya kepada beberapa individu seperti yang terjadi saat ini.
Pemberian hak kepada individu, terutama kepada orang-orang yang dekat dengan penguasa, cenderung menghasilkan “kebocoran”. Hanya sebagian orang atau oligarki, lingkaran dekat dengan penguasa yang dapat menikmati keuntungan. Pengelolaan yang melibatkan orang banyak seyogyanya akan menguntungkan banyak orang pula.
Baca tulisan Dr. Rino sebelumnya:
Pemberian hak konsesi kepada orang banyak sangat tepat jika melibatkan KOPERASI. Koperasi merupakan “alat” yang bisa menghimpun banyak orang. Pemberian konsesi kepada individu bisa mensyaratkan jika mereka bergabung dalam koperasi.
Koperasi merupakan “agregasi” anggota perorangan yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Makin besar keanggotaan koperasi, maka makin besar pula jumlah orang yang diuntungkan oleh pengelolaan sumber daya alam melalui koperasi itu.
Koperasi juga menjamin transparansi, karena individu yang memiliki konsesi yang merupakan anggota koperasi sekaligus pemilik koperasi, akan melakukan kontrol terhadap operasi pengelolaan oleh koperasi.
Pengelolaan oleh koperasi akan menciptakan efisiensi, karena individu bisa secara bersama-sama “menyerahkan” upaya orang per orang kepada koperasi. Selanjutnya, koperasi bisa menghimpun modal pengelolaan dari individu menjadi modal bersama. Dengan demikian agregasi modal bisa diciptakan.
Pemerintah juga akan lebih mudah melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hak konsesi yang diberikan, sehingga penyelewengan dan kebocoran devisa negara bisa lebih baik dipantau. Melalui koperasi, investasi peralatan untuk pengelohan sumber daya bisa ditekan, karena peralatan digunakan bersama oleh pemilik konsesi. Melalui koperasi, juga lebih mudah pula dihimpun keahlian yang dibutuhkan untuk mengelola sumber daya.
Melalui koperasi, pemberian hak konsesi pengelolaan sumber daya alam bisa disebar kepada masyarakat. Dengan berkembangnya keanggotaan koperasi, maka akan lebih banyak pula keuntungan hasil sumber daya alam yang dinikmati oleh banyak orang. Kebocoran devisa negara akan kebih mudah dicegah. Kekayaan alam Indonesia akan lebih banyak diakses oleh masyrakat luas, sehingga kesejahteraan yang lebih merata bisa diciptakan.
Opini Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Sistem politik Indonesia saat ini berbasis oligarki. Ini yang sering dilontarkan oleh berbagai pihak di Indonesia. Apa itu oligarki? Mengutip penjelasan harian KOMPAS, “Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.” (Kompas.com, 24 September 2021).
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Selanjutnya, “Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki.” Dalam hal ini termasuk Indonesia, walaupun bentuk pemerintahannya demokrasi, tapi negara kita dikendalikan oleh para kelompok oligarki.
Ini merupakan sesuatu yang ironis. Negara demokrasi yang pemilihan pimpinannya berdasarkan suara terbanyak, bisa didikte oleh kelompok elit yang minoritas. Bukankah dalam demokrasi “majority rules?” Bukankah kalau demikian, yang harus mengendalikan jalannya negara juga atas kehendak kelompok mayoritas?
Kelompok elit yang disebut kelompok oligarki ini adalah para pemodal yang mendanai proses politik di Indonesia. Mereka merupakan kelompok pengusaha besar yang menguasi berbagai sektor perekomomian di negara ini. Bahkan, kekuatan pemodal atau yang lazim dikenal dengan istilah “cukong politik” ini, juga merambah kekuasaan mereka ke dalam arena legislatif di negeri ini. Apa yang membuat kita yakin bahwa oligarki menguasai kebijakan Indonesia? Kita lihat beberapa fenomena.
Beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini dikatakan kurang berpihak kepada rakyat, bahkan sering dituduhkan banyak berpihak kepada pengusaha. Contoh kebijakan yang dituding menguntungkan pengusaha di antaranya adalah kebijakan penetapan harga test PCR, kebijakan ekspor batubara dan kebijakan HET minyak goreng. Digulirkannya Perppu undang-undang cipta kerja juga mengundang protes para pekerja, karena aturan main dalam undang-undang tersebut disinyalir banyak merugikan para pekerja. Bahkan Perppu ini juga bakal melegitimasi privatisasi perikanan (Muhammad Karim, Kompas, 16 Januari 2023). Masuknya investasi China yang “menggendong” buruh China juga mengundang “gaduh” masyarakat, padahal tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi.
Sudah seyogyanya kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan pengusaha, karena dukungan oligarki tentu harus menghasilkan keuntungan buat oligarki pula. Umumnya para oligarki adalah pengusaha kelas kakap yang mampu mengeluarkan uang triliunan rupiah guna mendukung pelaku politik untuk mencapai kekuasaan.
Melalui pengaruh oligarki ini, tentu akan memengaruhi pemerintah pula untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada oligarki. Beberapa contoh kebijakan yang “tidak” menguntungkan rakyat ini adalah dicabutnya subsidi BBM.
Keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi bahan bakar cukup merepotkan masyarakat, yang mengakibatkan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasar. Badan Pusat Statistik bahkan menyatakan adanya kenaikan angka kemiskinan yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM (Republika, 17 Januari 2023). Laporan Kementerian Keuangan RI menyebutkan bahwa dari tahun 2014 sampai tahun 2019 saja subsidi publik turun sebesar 49%. Hal ini menunjukkan makin sulitnya menciptakan keadilan sosial, karena komponen subsidi merupakan komponen penting dalam menekan kesenjangan sosial di masyarakat. Di negara-negara yang keadilan sosialnya relatif baik, menunjukkan bahwa komponen subsidi adalah penting untuk mendukung kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan, guna menekan ketimpangan sosial.
Sistem pemerintahan yang demokratis seharusnya bisa menciptakan keadilan sosial, karena penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat, sehingga kebijakan pemerintah juga akan berpihak kepada mayoritas kepentingan rakyat.
Kepentingan mayoritas rakyat adalah terciptanya keadilan sosial untuk setiap orang. Seharusnya, oligarki tidak mempunyai tempat di negara demokrasi, karena akan mencederai kepentingan mayoritas rakyat. Dengan berkuasanya sistem politik oligarki di Indonesia, sulit bagi pemerintah untuk berpihak kepada mayoritas rakyatnya. Dengan demikian, akan sulit pula diciptakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD ’45. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya bisa terlaksana melalui sistem politik demokrasi murni.
Selama pemerintahan dikendalikan oleh kelompok oligarki, selama itu pula demokrasi akan terhambat perkembangannya.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—“Scarcity” atau “kelangkaan” adalah puncak dari perebutan umat manusia terdahap sumber daya dunia guna memenuhi hasrat hidupnya. Kelangkaan terjadi bila hasrat duniawi melebihi sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya, paling tidak ini yang dikatakan oleh para ekonom itu.
![](http://beritaneka.com/wp-content/uploads/2022/12/Dr.-Rino-A.-Sadanoer-1.jpg)
Dua kubu “extreme” saling bertanding menawarkan solusi untuk mengatasi kelangkaan tadi, sehingga hasrat kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder, bisa terpenuhi dengan baik. “Komunisme” dan “kapitalisme”, merupakan dua kubu yang cukup lama saling berseteru, yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme dengan sistem ekonomi pasar sebagai cara untuk memenuhi birahi materialisme masyarakat dunia. Bisakah ekonomi pasar menciptakan keadilan sosial?
Mekanisme ekonomi pasar merupakan proses untuk mencapai “keseimbangan” antara penawaran dan permintaan atas barang dan jasa yang kita perlukan. Pada titik “keseimbangan” itu harga barang dan jasa ditentukan.
Dalam mekanisme pasar, persaingan juga merupakan sesuatu yang lumrah. Persaingan menciptakan effisiensi dalam penggunaan sumber daya tadi. Dalam ekonomi pasar, ada istilah-istilah baku yang digunakan.
“Produsen” adalah pihak yang menyediakan barang dan jasa, “konsumen” adalah pihak yang mengonsumsi barang dan jasa. “Persaingan” antara produsen merupakan hal yang biasa dalam praktik ekonomi pasar. Akibat persaingan ini, yang kuat akan menang, yang lemah ada kalanya tersisihkan.
Dalam persaingan ekonomi pasar, yang kuat yang akan bertahan, sehingga menjadi kuat dan bertahan untuk tetap kuat adalah tujuan bagi setiap pelaku pasar. Ada kalanya pelaku pasar bersekongkol dengan kekuasaan untuk bertahan dalam persaingan. Tidak jarang eksploitasi merupakan jalan untuk bertahan.
Korban eksploitasi bisa pengusaha lain (yang lemah), pekerja atau konsumen. Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam. Pengusaha yang lemah akan didikte oleh pengusaha bermodal kuat, atau tersingkir dari persaingan.
Eksploitasi terhadap konsumen juga terjadi apabila konsumen membeli barang dengan harga di luar kewajaran. Konsumen tidak memiliki pilihan selain tunduk kepada ketentuan harga yg ditetapkan oleh produsen. Eksploitasi terhadap pekerja juga sering terjadi, yaitu apabila mereka diberi upah secara tidak wajar. Umumnya terjadi pada buruh di luar lingkaran manajemen suatu perusahaan.
Dalam sistem ekonomi pasar, yang lemah jarang menikmati keadilan sosial. Dalam posisi ini mereka kehilangan kesempatan yang proprosional untuk menghasilkan “income” yang layak. Perbedaan kesenjangan pendapatan yang mecolok, lemahnya distribusi pendapatan yang merata dan merajalelanya kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi di negara yang menerapkan sistem
ekonomi pasar.
Tetapi apapun akses negatif sistem ekonomi pasar, sistem ini tetap merupakan yang terbaik untuk menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya alam. Yang diperlukan hanyalah seperangkat kebijakan dan tindakan yang akan mengurangi akses negatif sistem ekonomi pasar, sehingga keadilan sosial bisa tercapai.
Untuk mengatasi akses negatif sistem ekonomi pasar, seperangkat sistem sosial dan etika perlu diperkenalkan kepada dunia bisnis. Di negara Jerman misalnya, pemerintahnya memperkenalkan sistem sosial dan etika dalam sistem ekonomi pasarnya, sehingga kesenjangan pendapatan dan perbedaan antara kaya dan miskin bisa ditekan.
Porsi masyarakat kelas menengah menjadi besar. Intervensi pemerintah untuk menolong orang miskin dan yang tidak mampu menjadi kebijakan yang pasti dalam pemerintahannya. Distribusi pendapatan yang merata sangat jelas terlihat dimasysrakatnya.
Kebebasan berserikat dijamin oleh undang-undang, sehingga kelompok masyarakat yang lemah bisa diperkuat posisi tawarnya. Bahkan penentuan upah buruh adalah berdasarkan negosiasi antara serikat pekerja dan pemberi kerja. Lembaga konsumen Jerman merupakan lembaga yang sangat kuat yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang. Melalui lembaga konsumen, produsen tidak berani memproduksi produk yang tidak berkualitas yang bisa merusak kesehatan maupun lingkungan.
Secara alami, memang sistem ekonomi pasar akan menghasilkan kelompok yang kuat dan selebihnya akan menyisakan masyrakat yang lemah dari sisi modal dan posisi tawar. Untuk Indonesia, penguasaan oligarki terhadap kehidupan ekonomi dan sosial, bahkan juga politik, merupakan bukti nyata produk sistem ekonomi pasar murni.
Kebijakan pemerintah yang bermuatan etika dan moral perlu diperkenalkan dalam sistem perekonomian Indonesia, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, membangun kekuatan serta posisi tawar kelompok yang lemah perlu digalakkan. Posisi tawar konsumen bisa diwujudkan melalui lembaga konsumen yang kuat. Koperasi merupakan pilihan bagi masyarakat dan UMKM untuk membangun posisi tawar di pasar. Subsidi pemerintah merupakan instrumen yang penting untuk mengangkat masyarakat yang “tersisihkan” sehingga bisa menikmati keadilan sosial. Serikat buruh juga merupakan alat untuk membangun posisi tawar para pekerja.
Jika kita melihat kembali kepada pengalaman di Jerman, prinsip rezim yang berkuasa di sana adalah menelorkan kebijakan maupun peraturan untuk menciptakan kesejahteraan mayoritas rakyatnya. Ini mungkin prinsip yang bisa kita tiru dan terapkan untuk menciptakan keadilan sosial, terutama keadilan sosial dalam sistem ekonomi pasar.