Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Wacana presidential threshold (PT) nol persen terus bergulir. Bahkan beberapa anak bangsa sudah membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk yudisial review.
Beberapa partai politik (parpol) menolak wacana PT nol persen. Pendapat beberapa parpol ini juga bervariasi dalam menentukan persentase PT. Ada parpol yang mengusulkan 5 sampai 10 persen, ada yang 10 persen, tapi ada juga yang justeru meminta 30 persen.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Arief Poyuono Jangan Terjebak Etnosentrisme
Namun demikian, lebih banyak parpol yang menginginkan PT diturunkan dari 20 persen. Hal ini mengindikasikan masih ada peluang untuk menurunkan persentase PT.
Untuk mencari titik temu dari wacana tersebut, tampaknya perlu diambil jalan tengah terkait penetapan persentase PT. Parpol yang ada di DPR kiranya perlu mempertimbangkan PT yang sama dengan ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Kalau ada 9 parpol yang masuk Senayan, maka semua parpol itu dengan sendirinya berhak mengajukan capres dan cawapres. Jumlah pasangan capres dan cawapres sebanyak itu setidaknya sudah memberi banyak pilihan bagi para pemilih sebagaimana diharapkan demokrasi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Harus Realistis dalam Berkoalisi
Jumlah pasangan tersebut diharapkan juga sudah mendekati karakteristik pemilih di Indonesia. Variasi pemilih setidaknya sudah tercermin pada pasangan yang akan dipilih.
Kalau ambang batas tersebut diterima, maka setiap parpol yang masuk Senayan dengan sendirinya berhak mengusung sendiri capres dan cawapres. Setiap parpol yang ada di Senayan tidak perlu berkoalisi saat mengusung capres dan cawapres.
Peluang berkoalisi akan terbuka bila putaran pertama pilpres tidak ada pemenang. Pasangan calon yang masuk dua besar pada putaran pertama, dapat mengajak parpol lain untuk berkoalisi pada putaran kedua.
Baca juga: Desak Pecat Sri Mulyani, Jamiluddin Ritonga: Pimpinan MPR Melampaui Kewenangannya
Kiranya jalan tengah tersebut dapat menengahi wacana sekitar PT. Masalahnya apakah parpol mau bijak dan proporsional dalam menetapkan PT?
Oleh: Chazali H. Situmorang, Cibubur, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh/pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam UU No. 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.
Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan PP nomor 37/2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.
Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program jKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.
Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami PHK karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.
Baca juga: MK: Mahkamah Kompromi?
Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.
Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN, dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus, dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT. Taspen untuk ASN.
Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi “gepeng”.
Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.
Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi “gepeng” Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN. Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).
Baca juga: Duet Pasangan Anies-Puan Sulit Menang
Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.
Apakah setelah keluarnya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah konsisten dan mengalokasikan APBN 2022 untuk JKP? Seharusnya konsisten, karena Keputusan MK memberikan interval waktu 2 tahun.
Tetapi mungkin saja pemerintah ragu untuk meluncurkan program JKP pada tahun 2022 pasca keputusan MK itu, karena terkait Amar Putusan poin 7 yaitu: “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta.”
Perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, apakah termasuk didalam nya “mengalokasikan APBN Sektor Ketenagakerjaan 2022, untuk membayar premi program JKP yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat?”
Jika Kemenkeu tidak berani mengalokasikan APBN untuk program JKP, bukan tidak mungkin beban itu dilimpahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bola panas itu tentu akan menyulitkan lembaga jaminan sosial itu. Dari mana uangnya mau diambil? melakukan Re-Rekomposisi JKK dan JKm? mengambil dana JHT? dana JP? Semuanya itu bisa menjadi jebakan batman yang membawa BPJS Ketenagakerjaan ke ranah hukum, karena menabrak UU SJSN dan UU BPJS.
Kalau tidak dilaksanakan program JKP tersebut, karena pertimbangan Keputusan MK, boleh jadi Kemenaker akan berhadapan dengan buruh, terutama mereka yang terkena PHK dan akan menjadi isu sensi yang semakin menambah meningkatkan suhu konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Solusinya, pertama; mengikuti langkah keputusan Mahkamah Kompromi. Pembayaran program JKP tetap dilaksanakan, tetapi besarannya hanya 0,24% dari upah/gaji terakhir, yang dananya bersumber dari rekomposisi JKK dan JKm BPJS Ketenagakerjaan dan kedua; mempercepat proses pembahasan perubahan UU SJSN/BPJS yang sudah ada di Baleg DPR, dengan memasukan program JKP dan perubahan pasal-pasal yang diperintahkan Keputusan MK yang terkait kedua UU itu.
Semoga revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja berjalan dengan cepat, walaupun bus sarat dengan penumpang untuk mencapai terminal yang diperintahkan MK. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kemampuan pemerintah me-remote Ketua-Ketua Partai dan anggota DPR energy nya masih sama seperti menyusun RUU Cipta Kerja. Jika low bat, program JKP juga akan kehilangan signal.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Kita simak apa yang dikatakan Anwar Usman, Ketua MK hari ini Kamis 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Detailnya Ketua MK menyatakan “pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Anwar.
Dasar pertimbangannya apa? Anwar Usman menjelaskan, pertama; Metode penggabungan atau Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi. Kedua; Dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Ketiga; Pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Keempat; Draf UU Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh publik.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar
Disamping itu ada dua poin penting dari keputusan Mahkamah itu yaitu :
Pertama; Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Kedua; seluruh UU yang terdapat dalam Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Dari empat hal pertimbangan dan dua poin penting yang disampaikan Mahkamah Konstitusi itu, kita mendengar ada istilah yang jarang didengar dalam setiap keputusan MK. Biasanya Keputusan MK berkekuatan hukum bersifat mengikat dan final, tetapi kali ini narasinya berbeda “berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat”. Biasanya juga narasi “inkonstitusional” tanpa embel-embel, kali ini disebutkan “inkonstitusional bersyarat”.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Idealnya MK itu, mengukur apakah adanya delta antara UU Dasar 1945 dengan UU. Jika ada ketidaksesuaian yang dirasakan masyarakat, sehingga merugikan masyarakat maka dapat dilakukan Judicial Review UU dimaksud. Hasilnya MK memutuskan apakah menerima seluruhnya atau sebagian atau menolak seluruh tuntutan atau sebagian, terhadap pasal-pasal yang diajukan untuk di review.
Keputusan MK kali ini menjadi menarik, karena keputusannya bersifat kompromi, ditandai dengan kalimat “bersyarat”, ada tenggat waktu perbaikan, jika dilampui baru dinyatakan inkonstitusional.
Selama masa perbaikan UU Cipta Kerja, MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Apakah ada kaitannya begitu menggebu-gebunya pemerintah menyiapkan PP terkait UU Cipta kerja, sebagai antisipasi keputusan MK, sehingga walaupun tidak boleh lagi membuat peraturan pelaksanaan yang baru, instrumen regulasi sudah boleh dikatakan lengkap untuk pemerintah melaksanakan UU Cipta Kerja dalam 2 tahun kedepan, sambil memperbaikan UU tersebut sesuai keputusan MK.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Simak apa yang dikatakan Menko Perekonomian Airlangga; “Putusan MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK, yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan,” katanya pada konferensi pers, Kamis (25/11/2021).
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat kompromi itu, langsung disambar pemerintah, dengan pernyataan Airlangga itu. Dari keputusan MK, diharapkan dapat menurunkan tension buruh yang sedang berdemo di sekitar Gedung MK. Apakah tension buruh akan menurun beberapa hari ini, kita tidak dapat menduganya. Karena keinginan buruh UU Cipta Kerja itu dibatalkan sekarang juga, bukan ada tempo 2 tahun. Terutama isu upah buruh yang lagi sensi sekarang ini.
Apakah pemerintah dan DPR dapat “menyempurnakan” UU Cipta Kerja, sesuai dengan perubahan pasal-pasal yang digugat, serta mekanisme pembahasan yang lebih transparan merupakan crucial moment yang sulit diprediksi pemerintah dalam menghadapi gerakan “kuda liar” para buruh.
Baca juga: MAU BUBARKAN MUI?
Kita sudah merasakan bahwa tahun 2022 yang tinggal sebulan lagi, merupakan tahun pemanasan suhu politik menuju Pemilu 2024. Apakah soliditas pemerintah dengan DPR, atau Presiden dengan para Ketua Umum Partai, merupakan variabel yang tidak bisa diabaikan dalam melihat dinamika politik di DPR.
Apakah ada Menteri atau Ketua Umum Partai, berani dan nekat untuk melawan arus kecendrungan masyarakat dan buruh yang sudah hampir putus asa menghadapi Omnibus Law UU Cipta kerja, atau akan muncul Brutus-Brutus yang dapat menggoyahkan pemerintahan Presiden Jokowi, dan mendapatkan simpatik publik.
Bagi buruh, keputusan MK ini menjadi amunisi baru, untuk melanjutkan perjuangannya, yang sudah memakan korban Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat dkk, pentolan KAMI, yang dipenjara dan divonis bersalah, karena ikut berjuang untuk menolak UU Cipta Kerja.
Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan Omnibus Low UU Cipta kerja, yang lebih berorietasi pada kepentingan masyarakat luas, dan para pekerja yang masih jauh dari sejahtera.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Menduetkan Anies Baswedan dan Puan Maharani pada Pilpres 2024 memang punya plus minus.
Plusnya, Duet Anies dan Puan otomatis dapat diusung oleh PDIP. Partai ini pemenang Pemilu 2019 dan dapat mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres. Dengan begitu, Anies tidak perlu lagi mencari partai politik untuk mengusungnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Pasangan ini juga kombinasi religius dan nasionalis, sehingga dapat mengakomodir calon pemilih. Suka tidak suka, religius dan nasionalis merupakan cermin masyarakat Indonesia.
Selain itu, duet Anies dan Puan akan diusung partai politik yang kadernya militan. Hal ini menggaransi pasangan ini akan didukung mesin politik yang solid yang dengan mudah digerakkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Minusnya, duet Anies dan Puan didukung oleh kekuatan yang berbeda. Pada umumnya, pendukung Anies tidak menyukai Puan dan PDIP. Sebaliknya, pendukung Puan dan kader PDIP tidak menyukai Anies.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Jadi pendukung Anies dan Puan seperti minyak dan air, sehingga sulit untuk bersatu. Karena itu, para pendukung bukan menyatu untuk membesarkan duet Anies dan Puan, tapi justeru akan berpeluang untuk saling meniadakan.
Karena itu, peluang menang duet Anies dan Puan dalam Pilpres 2024 relatif kecil. Perkiraan itu akan gugur, bila duet Anies dan Puan hanya berhadapan pasangan boneka yang memang disiapkan untuk kalah.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Oleh: M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015
Beritaneka.com—Desakan dari pihak tertentu untuk bubarkan MUI tidak perlu ditanggapi serius.
Desakan itu boleh jadi asli maka itu menunjukkan bahwa Kelompok Anti Islam/Islamofobia yang merasa mendapat dukungan Rezim Berkuasa (yang diam saja dan terkesan membiarkannya) mendapatkan momentum dengan penangkapan sejumlah ulama/muballigh.
Baca juga: Milad Ke-109 Muhammadiyah, Haedar Nashir: Utamakan Kepentingan Bangsa dan Negara
Atau, desakan itu palsu yakni hanya merupakan manuver untuk mengalihkan perhatian dari masalah besar yang sedang dihadapi bangsa, atau pelanggaran etika kekuasaan yang sedang didesakkan penyelesaiannya oleh sebagian rakyat. Mereka hanya ingin mengetes air (testing the water).
Maka, sebaiknya kita lihat saja dengan tersenyum apakah kelompok yang mendesakkan pembubaran MUI itu benar-benar berani atau sesungguhnya mereka adalah kelompok pengecut yang hanya bisa mengumbar kata-kata tapi tidak berani melaksanakannya. Kita semua jangan beralih perhatian untuk terus melakukan amar makruf nahyi munkar terhadap kerusakan struktural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Hari Ini Milad Ke-109 Muhammadiyah: Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama
Ketahuilah kalau ada pihak, siapapun mereka, yang berani membubarkan MUI maka mereka akan berhadapan dengan umat Islam di seluruh Tanah Air. Sebagai yang pernah memegang amanah sebagai Ketua Umum MUI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI saya siap turun lapangan.
Wallahu al-Musta’an
Oleh M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Kedatangan Kepala staf Presiden (KSP) Moledoko ditolak peserta aksi Kamisan yang digelar di Taman Signature, Semarang. Penolakan kedatangan Moeldoko tentu sangat memalukan. Sebagai pejabat negara Moeldoko sudah sama sekali tidak dihormati oleh peserta aksi Kamisan.
Penolakan itu berkaitan dengan pudarnya kepercayaan peserta aksi Kamisan terhadap Moeldoko. Bagi mereka, Moeldoko bukan sosok yang dipercaya, sehingga kehadirannya tidak dibutuhkan. Moeldoko bukan bagian dari mereka, sehingga tak perlu cawe-cawe dalam aksi mereka.
Terlihat ada gap antara pejabat dengan rakyat. Gap ini tentu tidak seharusnya terjadi di negara demokrasi.
Gap tersebut juga akan memutus komunikasi antara pejabat dan rakyat. Hal ini akan semakin menjauhkan rakyat dengan pemimpinnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Celakanya, ketidakpercayaan itu tertuju kepada Moeldoko, salah satu pejabat yang dinilai dekat dengan presiden. Ketidakpercayaan itu tentu dapat berhimbas kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Masyarakat akan menilai, kalau orang dekat presiden saja tidak dipercaya masyarakat, bagaimana dengan pejabat negara yang jauh dengan presiden ? Para pejabat ini bisa saja makin tidak dianggap oleh masyarakat.
Bahayanya, kalau persepsi masyarakat seperti itu, maka dukungan terhadap pemerintah akan dapat menurun. Masyarakat sudah tidak akan sejalan lagi dengan pemimpinnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Kalau dukungan masyarakat terus menurun, maka legitimasi pemerintah semakin lemah. Hal ini tentu tidak diinginkan Jokowi.
Untuk meminimalkan hal itu terjadi, maka Jokowi segera mengevaluasi menterinya yang sudah tidak dipercaya masyarakat. Para menteri seperti ini selayaknya segera di reshuffle. Hanya dengan cara itu pemerintahan Jokowi terhindar dari krisis kepercayaan.
Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Dalam KTT G20 yang berlangsung di Roma, Presiden Joko Widodo mendapat pujian dari Ratu Belanda Maxima Zorreguieta Cerruti. Ratu Belanda memuji gojek di Indonesia, dan mengatakan, gojek telah berhasil membantu UMKM dengan memberikan akses terhadap pasar yang lebih luas melalui digitalisasi.
Pujian Ratu Belanda ini merupakan pengakuan terhadap gojek yang ikut berperan secara signifikan dalam perekonomian Indonesia. Saya menilai sistem layanan berbasis digital seperti gojek, grab, dsb memang telah ikut berperan dalam percepatan perputaran barang dan jasa di negara kita.
Tentunya sistem layanan tersebut tidak bisa dipisahkan dengan para pekerjanya yang menjadi pelaku utama layanan tersebut. Para pengemudi gojek, grab, dsb adalah pelaku ekonomi yang memang telah berkontribusi juga pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca juga: JKN dan Rapor Merah Pak Presiden
Guna mendukung keberlangsungan sistem layanan ini maka adalah tugas Pemerintah untuk memastikan para pengemudi gojek dan pekerja transportasi berbasis digital lainnya mendapat perlindungan nyata, yaitu perlindungan atas pekerjaan, upah, jaminan sosial, dsb, seperti perlindungan yang dinikmati oleh pekerja formal dalam regulasi-regulasi ketenagakerjaan yang ada saat ini.
Selama ini Pemerintah hanya fokus melindungi pekerja formal, namun ABAI pada pekerja informal, pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja gojek ini, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, dsb. Seluruh pekerja berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, dan oleh karenanya mereka butuh perlindungan juga.
Tidak hanya itu, ketika Pemerintah menggelontorkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU), Pemerintah hanya memberikannya pada pekerja formal dengan MENGABAIKAN pekerja lainnya. Ketidakadilan seperti ini yang selalu dipertontonkan Pemerintah. Padahal justru pekerja informal, pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja gojek, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, dsb adalah pekerja yang sangat terdampak di masa pandemi ini. Pekerja formal yang diberikan BSU masih dapat upah, sementara pekerja-pekerja tersebut belum tentu dapat penghasilan lagi.
Untuk perlindungan jaminan sosial berupa program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi pekerja informal, pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja gojek, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, dsb, yang diwajibkan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden No. 109 tahun 2013, pun dibiarkan Pemerintah. Tidak ada upaya untuk memastikan dan mewajibkan pekerja-pekerja tersebut terlindungi di BPJS Ketenagakerjaan. Regulasi hanya ada di atas kertas, tanpa keseriusan Pemerintah di lapangan.
Baca juga: Kebocoran Data
Demikian juga Pasal 8 ayat (2) yang memberikan akses kepada para pekerja tersebut mendapatkan jaminan pensiun, namun sampai saat ini ditutup aksesnya oleh Pemerintah sehingga tidak ada satu pun pekerja informal, pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja gojek, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, dsb yang terdaftar sebagai peserta Program Jaminan Pensiun di BPJS Ketenagakerjaan.
Inpres No. 2 tahun 2021 yang menginstruksikan Kementerian Perhubungan mendorong pekerja transportasi dalam jaringan (online) menjadi peserta aktif dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan, pun sampai saat ini belum jelas arah regulasinya.
Pemerintah segeralah lindungi seluruh pekerja Indonesia, jangan hanya pekerja formal. Mereka adalah pekerja yang juga berkontribusi secara signifikan untuk pembangunan Indonesia. Mereka berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Semoga pujian Ratu Belanda tidak berhenti di Roma saja, tetapi dilanjutkan dengan kemauan Pemerintah untuk melindungi seluruh pekerja kita. Seluruh pekerja ya Pemerintah, tidak hanya pekerja formal !!!
Oleh Anthony Budiawan – Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Jasmerah, judul pidato Presiden Soekarno yang terakhir pada 1966, merupakan singkatan dari “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.
Jasmerah merupakan pesan yang masih sangat relevan sampai saat ini. Karena para elit bangsa Indonesia cenderung meninggalkan sejarah. Melupakan sejarah. Apalagi para elit oligarki. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Demi meraup keuntungan tanpa memikirkan nasib puluhan atau ratusan juta rakyat jelata di Daerah yang hidup dalam kemiskinan. Para oligarki ini mungkin juga buta sejarah.
Sepertinya, para elit bangsa memang sedang Meninggalkan Sejarah. Meninggalkan sejarah terbentuknya Indonesia. Meninggalkan sejarah dan fakta bahwa Daerah adalah penyandang dana pembangunan Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan pada masa ekonomi sulit.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Meskipun demikian, terkesan Daerah hanya dianggap sebagai pelengkap NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan Daerah sering dianggap menjadi beban negara. Harus dikasih uang oleh pemerintah pusat. Namanya, dana transfer ke Daerah.
Padahal, Indonesia dibentuk oleh kekuatan Daerah yang terbentang dari Sumatra hingga Papua. Mereka sukarela menyatukan diri membentuk Indonesia. Mendirikan Republik Indonesia. Tanpa kekuatan Daerah, tidak ada Indonesia pada 17 Agustus 1945, hingga sekarang.
Yang ada mungkin kerajaan atau kesultanan. Seperti sebelum kemerdekaan. Di mana Daerah di kepulauan Indonesia diperintah oleh para raja, sultan atau bangsawan.
Ekonomi Indonesia hancur akibat perang dunia kedua, yang berakhir pada Agustus 1945. Dan tambah hancur akibat perang revolusi perjuangan 1945-1949, yaitu perang untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
Baca juga: Menihilkan Peran DPD Merupakan Penghinaan dan Pengkhianatan Kepada Daerah
Fasilitas produksi rusak. PDB tahun 1949 lebih rendah dari PDB 1938. Produksi sektor pertanian dan perkebunan tahun 1950 lebih rendah dari 1940.
Ekonomi Indonesia tahun 1950-an tergantung dari sektor perkebunan, khususnya karet. Indonesia saat itu merupakan produsen karet alam terbesar dunia. Ekspor perkebunan, yang didominasi karet, mencapai 60 persen dari total ekspor. Mayoritas sisanya terdiri dari komoditas mineral.
Data ini menunjukkan bahwa Daerahlah yang membiayai negara Indonesia merdeka. Perkebunan karet terbesar ada di Sumatra, bagian selatan dan timur. Ekspor hasil perkebunan dan karet tersebut mengisi sebagian besar dompet devisa dan kas negara.
Harga komoditas, khususnya karet, mengalami tekanan sepanjang dekade 1960-an. Membuat Indonesia bangkrut. Cadangan devisa turun dari 293,75 juta dolar AS pada 1960 menjadi hanya tinggal 2 juta dolar AS pada 1967. Rezim Orde Lama jatuh. Rezim Orde Baru naik.
Ekonomi kemudian bangkit. Cadangan devisa naik dari 2 juta dolar AS pada 1967 menjadi 1.490,5 juta dolar AS pada 1974, dan mencapai 5.014,17 juta dolar AS pada 1981. Luar biasa.
Kebangkitan cadangan devisa ini diperoleh dari hasil ekspor minyak bumi (dan gas alam), yang melesat dari 384 juta dolar AS pada tahun fiskal 1969/1970 menjadi 18.824 juta dolar AS pada tahun fiskal 1981/1982. Atau, mencapai 81,9 persen dari total ekspor.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar
Di samping itu, penerimaan kas negara dari Migas juga meningkat. Dari Rp65,8 miliar pada 1969 menjadi Rp8.627,8 miliar pada 1981, atau sekitar 70,6 persen dari total penerimaan negara. Belum termasuk ekspor mineral.
Luar biasa. Begitu besar kontribusi keuangan Daerah kepada Indonesia. Tanpa migas dan mineral dari Daerah, Indonesia sudah bangkrut sejak lama.
Uang dari migas dan mineral ini digunakan untuk pembangunan Indonesia. Pembangunan sekolah, universitas, puskesmas, rumah sakit, jalan raya, bendungan, irigasi, pelabuhan, dan lainnya.
Daerah tampil sebagai hero, menyelamatkan keuangan negara, menyelamatkan Indonesia, dan membiayai pembangunan Indonesia.
Daerah penghasil minyak bumi dan gas alam terbentang dari Sumatra Selatan, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, sampai Maluku dan Papua.
Tetapi, kebanyakan Daerah-Daerah tersebut justru masih miskin, dan sangat miskin. Bahkan Daerah dipandang dengan sebelah mata. Banyak yang mencibir, Daerah hanya menyusahkan Indonesia, karena miskin.
Tetapi, sekali lagi, Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meningggalkan Sejarah, bahwa Daerah yang membangun Indonesia pada masa awal kemerdekaan, dan ketika Indonesia bangkrut.
Termasuk pembangunan ekonomi pasca krisis 1998, di mana kekayaan mineral dan batubara serta lahan perkebunan sawit milik Daerah menjadi penyangga ekonomi Indonesia untuk dapat keluar dari krisis.
Ekspor batubara melesat dari 1,3 miliar dolar AS pada 1999 menjadi 25,5 miliar dolar AS pada 2011. Secara total ekspor batubara mencapai 245 miliar dolar AS selama periode 2000-2019.
Ekspor sawit naik dari 1,1 miliar dolar AS pada 1999 menjadi 17,3 miliar dolar AS pada 2011. Ekspor karet juga naik dari 849,2 juta dolar AS (1999) menjadi 11,8 miliar dolar AS (2011)
Sayangnya, hasil kekayaan alam tersebut dinikmati oleh segelintir pengusaha oligarki.
Ini merupakan pengkhianatan besar kepada Daerah, dan kepada rakyat Daerah. Padalah, Daerah sudah menyerahkan kedaulatannya, serta kekayaan alamnya, untuk membangun Indonesia. Tetapi mayoritas rakyat Daerah masih hidup serba miskin.
Karena itu, sebaiknya pemerintah harus terus mengingat, JASMERAH: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Bahwa Daerah yang membangun Indonesia.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com-Daerah yang dimaksud di sini merujuk suatu teritori di dalam kepulauan yang dulu dinamakan Kepulauan Hindia (Timur), atau (East) Indian Archipelago, atau Hindia Belanda, yang dalam bahasa Yunani disebut Indos Nesos.
Daerah adalah sebuah teritori yang terbentang dari Sumatra hingga Papua. Daerah-daerah tersebut kemudian menyerahkan kedaulatannya untuk membentuk negara baru, yang didirikan pada 17 Agustus 1945: negara Indonesia. Dengan kesepakatan bahwa negara baru tersebut, wajib memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat daerah, serta menegakkan kedaulatan rakyat, dan kedaulatan daerah.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar (UUD) negara Indonesia tahun 1945 memasukkan unsur Utusan Daerah sebagai komponen di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berfungsi sebagai perwakilan daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah di parlemen.
Utusan Daerah ketika itu mempunyai hak suara untuk turut memilih dan mengangkat Presiden (dan Wakil Presiden), memberhentikan Presiden, serta membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal ini berlangsung hingga 2004 (MPR periode 1999-2004). Kemudian UUD yang “asli” diubah atau di-amandemen sebanyak empat kali terhitung sejak 1999 hingga 2002, pasca kejatuhan Presiden Soeharto.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Sayangnya, UUD hasil amandemen tersebut, ada yang mengatakan UUD “palsu”, menihilkan peran daerah. Sangat Ironis. Utusan Daerah (dan utusan golongan) dihapus. Diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya juga harus dipilih melalui pemilihan umum. Sama seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tetapi, hak anggota DPD dimandulkan. Anggota DPD tidak mempunyai hak suara dalam pembuatan undang-undang. Hal ini tentu saja merupakan pengkhianatan terhadap daerah yang sudah menyerahkan kedaulatannya dan turut mendirikan negara Indonesia.
Padahal anggota DPD berjumlah 136 orang. Hampir 25 persen dari jumlah anggota DPR yang berjumlah 575 orang.
Tetapi anggota DPD hanya dianggap sebagai penggembira saja di dalam parlemen. Tidak mempunyai fungsi yang berarti. Hanya bisa mengusulkan undang-undang tetapi tidak mempunyai hak suara untuk menentukan undang-undang.
Baca juga: Majelis, Kembalikan Kedaulatan Rakyat!
Oleh karena itu, tidak heran banyak undang-undang yang disahkan di era reformasi tidak berpihak kepada daerah. Terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang merugikan daerah dan rakyat daerah. Eksploitasi lahan perkebunan, lahan pertambangan atau lahan untuk pengembangan perumahan semakin merajalela, dan semakin merugikan daerah.
Yang menikmati kekayaan sumber daya alam daerah hanya segelintir pengusaha dan penguasa saja, yang dikenal dengan oligarki. Segelintir orang tersebut bahkan menjadi salah satu orang terkaya Indonesia.
Sedangkan kebanyakan rakyat daerah hanya menjadi buruh perkebunan, buruh tambang, atau buruh perumahan di areal lahan tersebut. Di samping, daerah juga kerap dilanda bencana alam, akibat eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Semua itu tentu saja melanggar “kesepakatan” antar daerah yang dituangkan di dalam UUD. Daerah tidak lagi berdaulat. Tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Bahkan daerah tidak mempunyai hak suara untuk membentuk undang-undang yang menyangkut kepentingan daerah.
Baca juga: Arti Konstitusi, Pelanggaran dan Konsekuensi: Berhenti atau Diberhentikan
Sehingga banyak rakyat di daerah hidup dalam kemiskinan yang parah. Adil dan Makmur hanya menjadi impian belaka.
Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR, harus segera mengembalikan kedaulatan daerah. Memulihkan hak anggota DPD agar sama dengan hak anggota DPR. Setidak-tidaknya, anggota DPD mempunyai hak suara yang sama dengan anggota DPR, dalam segala hal, termasuk dalam menentukan undang-undang. Dan, DPD juga dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, di luar pencalonan dari Partai Politik.
Apabila hak DPD tidak segera dipulihkan, dikhawatirkan daerah dapat mencabut mandat kesepakatan sewaktu mendirikan negara Indonesia. Karena institusi negara, Pemerintah maupun DPR serta MPR, telah melanggar kesepakatan antar daerah yang tertuang di dalam UUD. Kesepakatan bahwa Kedaulatan ada di tangan Rakyat. Dan Kedaulatan Daerah ada di tangan Rakyat Daerah.
Semoga para elit politik di pusat dapat berlaku adil kepada semua daerah di Indonesia, dan segera melakukan koreksi atas perlakuan yang tidak adil. Diawali dengan koreksi atas hak suara DPD di parlemen. Sehingga Indonesia dapat mempertahankan tujuan Indonesia bediri sebagai negara kesatuan.
Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS
Beritaneka.com—Seorang teman bercerita tentang sistem rujukan di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang memang masih menyisahkan masalah bagi pasien JKN hingga saat ini.
Permaslaahan rujukan merupakan masalah klasik yang terus dialami peserta JKN. Sejak beroperasinya program JKN, 1 Januari 2014 lalu, sistem rujukan yang diterapkan dalam program JKN belum mampu tersistemkan dengan baik yaitu menjawab kebutuhan peserta JKN ketika harus mengakses fasilitas kesehatan.
Adalah hal yang normatif bila peserta JKN ketika harus mengambil rujukan bisa lebih cepat dan nyaman, tidak lagi harus menunggu antrian panjang hingga terjadinya penumpukan pasien, serta tidak lagi bolak balik ke faskes tingkat pertama ketika harus berobat rutin ke RS, apalagi harus berjenjang mengambil rujukan dari faskes pertama ke RS tipe D, C, B hingga ke RS tipe A.
Baca juga: Memperpanjang dan Memperbaiki Kualitas Hidup
Saya pernah mengadvokasi pasien JKN yang baru selesai operasi di sebuah RS tipe B, dan dokter minta pasien utk kontrol paska operasi. Ketika pasien ingin menggunakan JKN untuk kontrol, pihak BPJS Kesehatan menetapkan harus mendapatkan rujukan lagi dari faskes pertama lalu ke RS tipe C, baru nanti dari RS tipe C diberi rujukan ke RS tempat pasien ini dioperasi.
Saya bilang kenapa tidak langsung saja dari faskes pertama ke RS tempat pasien menjalani operasi yang memang tipe B. Bukankah ketika harus dirujuk ke tipe C maka pasien akan repot jalan ke RS tipe C dan dapat rujukan, lalu pergi ke RS tipe B tersebut. Bukankah ketika dirujuk ke RS tipe C, akan keluar biaya INA CBGs di Tipe C, dan nanti akan terbit lagi biaya INA cbgs di tipe B?
Pernah juga saya mengadvokasi pasien JKN, yang dari faskes pertama dirujuk ke tipe D, lalu hanya sehari dirawat, pasien dirujuk lagi ke RS tipe B. Alasannya RS tipe D tidak mampu merawat penyakit si pasien.
Masalah yg muncul bagi pasien adalah pasien harus membayar denda di RS tipe D dan kemudian bayar lagi di tipe B (kebetulan pasien pernah nunggak iuran). Hal ini diperparah dengan naiknya denda sebesar 100 persen yang dilegitimasi di Perpres no. 64 tahun 2020.
Kenapa faskes pertama tidak langsung merujuk ke RS tipe B dengan jenis penyakit yang dideritanya. Kan faskes pertama harus tahu kemampuan RS yang akan dirujuk sehingga pasien tidak dirawat dari satu RS ke RS yang lain, yang akan berdampak pada terciptanya biaya mahal yaitu biaya INA cbgs utk dua RS dan pasien bayar denda berkali kali. Ketidakmampuan faskes pertama menjadi beban pasien dan BPJS kesehatan.
Tentunya sistem rujukan seperti ini harus bisa disederhanakan untuk memastikan pasien JKN lebih cepat dan nyaman diobati serta biaya INA cbgs bisa dikendalikan.
Baca juga: Mencermati Iuran JKN di Era Kelas Standard
Ketika segala persoalan rujukan ini saya tanyakan, dijawab dengan singkat oleh petugas BPJS Kesehatan, ya ini prosedurnya Pak.
Kenapa harus kaku dengan prosedur yang birokratif dan mahal ini, bukankah saat ini penyelenggaraan JKN sudah memasuki tahun kedelapan, yang tentunya Pemeritah dan BPJS kesehatan bisa menjawab permasalahan klasik ini. Apakah mau seperti ini terus, merepotkan peserta JKN dan menciptakan biaya mahal bagi BPJS kesehatan?
Apa sih evaluasi Pemerintah dan BPJS kesehatan serta DJSN atas masalah rujukan ini? Ayo dong beritahu masyarakat tentang evaluasi ini sehingga masyarakat tahu apakah Pemerintah, BPJS kesehatan serta DJSN serius memperbaiki sistem rujukan di JKN, atau memang belum mampu memperbaikinya?
Permasalahan ini merupakan bagian kecil dari permasalahan JKN lainnya selama 8 tahun ini. Beberapa permasalahan lainnya seperti manfaat kuratif yang terus dikurangi, beberapa jenis obat dikeluarkan dari formularium nasional yang artinya pasien JKN harus membeli obat sendiri, denda yang naik 100 persen, hingga dikeluarkannya 9 juta masyarakat miskin dari JKN tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberitahuan kepada masyarakat miskin tersebut.
Tentunya permasalahan-permasalahan ini menjadi rapor merah bagi Pemerintahan Jokowi selama 7 tahun memerintah.
Semoga di tiga tahun pemerintahan yang tersisa, Pak Jokowi bisa menyelesaikan masalah-masalah JKN yang terjadi selama ini, sehingga ada legacy (warisan) yang jelas dan terukur atas perbaikan JKN. Semoga Pak Presiden mau mengevaluasi para pembantunya dalam mengelola JKN.