Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Politik gentong babi kembali mencuat setelah ada indikasi banyak menteri yang potensial nyapres. Para menteri tersebut dikhawatirkan akan menggunakan dana publik untuk mempengaruhi masyarakat memilihnya pada pilpres 2024.
Peluang ke arah itu memang sangat terbuka, terutama menteri yang tugas dan fungsinya (tupoksinya) bersentuhan langsung dengan masyarakat. Para menteri itu bisa saja mengkonversi beberapa program untuk digunakan kampanye secara indirect. Menteri membawa program ke masyarakat tidak untuk kepentingan kementerian yang dipimpinnya, tapi diarahkan untuk kepentingan nyapres.
Kampanye indirect (terselubung) menggunakan dana negara memang berpeluang mempengaruhi masyarakat. Apalagi saat ini sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok masyarakat seperti ini tentu potensial dipengaruhi politik gentong babi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Hanya saja besar kecil pengaruhnya sangat ditentukan oleh nilai jual dari menteri yang melakukan politik gentong babi. Bagi menteri yang nilai jualnya tinggi (terlihat dari elektabilitasnya), tentu pengaruh politik gentong babi akan sangat besar kepada masyarakat. Politik gentoong babi justeru akan menimbulkan efek penguatan bagi masyarakat untuk memilih sang menteri.
Sebaliknya, menteri yang nilai jualnya rendah, tentu pengaruh politik gentong babi terhadap masyarakat memang ada. Hanya saja pengaruhnya tidak akan meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan.
Jadi, yang sangat dikhawatirkan bila menteri itu punya nilai jual tinggi dan tupoksinya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Menteri seperti ini akan berpeluang memanfaatkan politik gentong babi untuk makin meningkatkan elektabilitasnya. Politik gentong babi akan sangat efektif dimanfaatkan untuk menambah lumbung suara.
Peluang itu semakin besar mengingat di Indonesia lebih dominan pemilih emosional. Mereka memilih bukan karena kapasitas dan kompetensi calon, tapi kerap masih atas pertimbangan perut. Mereka inilah yang berpeluang besar terpengaruh oleh politik gentong babi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Peluang seperti itu tentu tak dimiliki calon yang tidak memiliki jabatan publik. Mereka tidak dapat melakukan politik gentong babi, karena mereka memang tidak mempunyai akses untuk itu.
Calon yang bukan pejabat publik tentu akan menggunakan dana pribadi atau dana sponsor untuk mempengaruhi masyarakat pemilihnya. Penggunaan dana tersebut untuk mempengaruhi rakyat tidak dapat dikatakan politik gentong babi.
Namun penggunaan dana dari mana pun sumbernya dapat disebut politik uang. Hal ini tentu tidak dibenarkan dan melanggar perundang-undangan pemilu. Pelakunya dapat dikenakan pidana.
Justeru yang mengerikan bila pejabat publik, termasuk menteri, melakukan politik gentong babi yang dikombinasikan dengan dana sponsor. Mereka ini akan dapat melakukan apa saja untuk mempengaruhi masyarakat guna memilihnya.
Bahkan para pejabat publik ini bisa tidak melakukan kampanye secara langsung. Dia menggunakan para relawan untuk mengkampanyekan dirikan, termasuk membagi aneka sembako.
Pejabat publik seperti ini menggunakan anggaran publik dan dana sponsor bisa saja dengan memanfaatkan para relawan. Dia seolah tidak tahu menahu aktifitas para relawan dengan tetap melaksanakan tupoksinya. Padahal, dia yang menjadi otak semua gerak langkah para relawan dalam mempengaruhi masyarakat.
Jadi, semua pihak yang pro demokrasi perlu mencermati perilaku pejabat publik yang kelihatannya akan nyapres. Mereka perlu dipelototi baik dalam penggunaan dana publik maupun dana sponsor dalam setiap aktifitasnya yang bersentuhan dengan masyarakat.
Pengawasan juga perlu dilakukan terhadap para relawan yang belakangan bermunculan. Perlu diketahui sumber dana para relawan yang belakangan ini banyak membagikan sembako dan aktifitas lainnya dalam mempengaruhi masyarakat untuk kepentingan pejabat publik yang ingin nyapres.
Hal itu diperlukan agar politik gentong babi dan dana sponsor yang berlebihan dapat diminimalkan. Dengan begitu politik uang dapat diminimalkan pada pilpres mendatang, sehingga nantinya terpilih capres yang kompeten dan terjaga integritasnya.
Oleh : Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Tak ketinggalan aset pembangkit panas bumi PLN (PLTP) ikut dicomot untuk digabung agar dijual bersama anak perusahaann Pertamina geotermal energi (PGE)
Beritaneka.com—Luar biasa tambahan utang Pertamina terutama dari global bond. Tambahan utang global bond Pertamina bertambah sangat fantastis sejak direkturnya dijabat oleh Nicke Widyawati. luar biasa. Sekarang dalam kubangan utang Pertamina disubholding untuk di jual ketengan di pasar modal. Apa laku?
Tambahan utang masing masing tahun 2018 senilai 750 juta dolar, tahun 2019 senilai 1,5 miliar dolar, tahun 2020 senilai 1,95 miliar dolar dan tahun 2021 senilai 1,9 miliar dolar. Sehingga sejak 2018 pertamina telah menambah global bond sebanyak 7,1 miliar dolar atau 102,9 triliun rupiah. Dahsyat!
Baca juga: Pertamina Sulit Berkembang karena Dibebani Pungutan Segunung
Sepanjang tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 pertamina menambah global bond sebanyak 8,75 miliar dolar. Jadi tambahan global bond dimasa dirut yang sekarang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan global bond yang pernah dibuat seluruh dirut Pertamina sejak tahun 2011.
Ada dua soal yang mucul pertama, mengapa seberani itu menambah utang pertamina, apa yang menjadi dasar motivasinya. Kedua, kemana utang global bond yang mahal ini dialokasikan?
Sebagaimana diketahui sejak 2014 Pertamina sudah istirahat atau berhenti mengambil global bond. Namun begitu pergantian direktur tahun 2018 akhir, utang global bond pertamina digenjot, terus bertambah dan sekarang menggunung.
Utang global bond Pertamina telah bertambah hampir dua kali lipat sejak 2014 sampai dengan sekarang tahun 2021. Bahkan mulai tahun ini dan tahun tahun ke depan pertamina akan terus menambah global bond.
Kita tidak tau global bond Pertamina digunakan buat apa? Aset pertamina tidak bertambah dari sumber global bond itu, laporan keuangan pertamina tidak menjelaskan apa apa terkait penggunaan global bond atau uang itu digunakan untuk membeli apa saja. Apakah hal ini memang tidak perlu dilaporkan ke Pemerintah dan masyarakat?
Secara kasat mata memang tidak ada pencapaian yang merupakan hasil dari global bond. Kilang kilang pertamina tidak terbangun, kebakaran, kebocoran terus berlangsung, mengindikasikan Pertamina kesulitan keuangan. Utang global bondnya banyak tapi kondisi keamanan perusahaan menurun. Sehingga Morgan Indeks mengeluarkan Pertamina sebagai perusahaan yang aman untuk investasi.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Sebagaimana dikerahui total utang Pertamina sampai dengan semester tahun 2021 mencapai 41,064 miliar dolar atau senilai 595,5 triliun rupiah, utang yang tak akan terlunasi diera akhir zaman migas. The Last Oil. Itulah sepertinya yang menjadi alasan mengapa Pertamina di subholding dan dijual ke pasar modal melalui IPO anak perusahaan Pertamina.
Badan pertamina dijual ketengan, dengan terlebih dahulu dipotong potong dalam sub holding hulu, sub holding kilang, sub holding perkapalan, sub holding power, hingga sub holding pemasaran.
Dengan jurus bagaikan monyet menangkap mangsa aset PLN yakni pembangkit panas bumi PLN, ikut dicomot untuk dijual bersama Pertamina Geotermal Energi (PGE). Pertamina jatuh dari tangga, PLN malah ikut ketiban tangga. PLN lebih sakit ini.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Saya bermimpi, masih berada di dalam ruang pertemuan persiapan Kemerdekaan Indonesia. Terdengar seorang tokoh bangsa mengatakan dengan keras, bahwa Indonesia berdiri atas perjuangan rakyat dari seluruh daerah. Indonesia bukan milik sekelompok orang, tetapi milik seluruh rakyat daerah yang menyerahkan kedaulatan daerahnya untuk bergabung dengan negara Indonesia yang baru akan kita bentuk.
Oleh karena itu, masa depan bangsa dan negara ini harus ditentukan melalui perwakilan rakyat yang terdiri dari seluruh daerah dan golongan di bawah pimpinan hikmah-kebijaksanaan yang bermusyawarah atau berkumpul dalam persidangan (Yamin).
Badan perwakilan rakyat dari daerah dan golongan tersebut membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR yang memegang kekuasaan negara tertinggi.
Baca juga: Arti Konstitusi, Pelanggaran dan Konsekuensi: Berhenti atau Diberhentikan
Artinya, MPR yang merupakan perwakilan rakyat dari segala golongan dan daerah menentukan masa depan Indonesia, masa depan seluruh daerah Indonesia, secara musyawarah.
Untuk itu, MPR mempunyai tiga tugas pokok yang sangat mulia.
Pertama, MPR membuat Garis Besar Haluan Negara yang memuat berbagai kebijakan yang perlu diambil untuk mencapai cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia, yaitu merdeka (freedom), bersatu, daulat, adil dan makmur, berdasarkan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, MPR mengangkat Presiden (sebagai mandataris MPR) untuk menjalankan tugas negara dan tuga pemerintahan berdasarkan ketetapan GBHN.
Ketiga, MPR memantau dan mengevaluasi Presiden apakah sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketetapan GBHN, melalui pertanggungjawaban Presiden pada akhir masa jabatan. Selain itu, MPR juga mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan Presiden apabila dinilai tidak layak atau membahayakan negara.
Tetapi, bagaimana kalau para wakil rakyat di MPR tidak menjalankan tugasnya untuk kepentingan rakyat, tanya seorang peserta rapat.
Seperti sudah saya jelaskan, bahwa MPR harus dipimpin di bawah hikmah-kebijaksanaan. Oleh karena itu kita tegaskan dalam sila keempat Pancasila, yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dengan demikian, kita terus mengingatkan para wakil rakyat agar memimpin Indonesia secara hikmah-kebijaksanaan.
Pemimpin di bawah Hikmah akan menghasilkan pemikiran baik dan menghindari pemikiran buruk. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan wakil rakyat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk malaksanakannya, jelasnya lagi.
Kemudian saya tergelitik untuk bertanya. Di dalam mimpi, saya kemukakan bahwa setelah 76 tahun merdeka ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan pada tahun 1945.
Konstitusi Indonesia sejak amandemen 1999-2002 sudah berubah. MPR sekarang bukan lagi perwakilan daerah dan golongan yang bermusyawarah menentukan masa depan negara. MPR bahkan secara sukarela menyerahkan kekuasaannya dalam memilih Presiden menjadi pemilihan secara langsung.
Dampaknya, menurut pengamatan saya, lanjut saya cukup berapi-api, Indonesia kini dikuasai para pemilik modal yang mendanai pemilihan langsung ini, tentu saja bersama-sama dengan kekuatan partai politik.
Baca juga: Pertamina Sulit Berkembang karena Dibebani Pungutan Segunung
Karena pencalonan anggota wakil rakyat dan presiden harus melalui partai politik. Mereka yang menentukan segalanya, dibiayai oleh pemilik modal.
Setelah pemilu selesai mereka tinggal mengatur membagi-bagi “rejeki”. Bahkan ada yang berkata ekstrim, mereka mengatur “perampokan” atas negeri ini, melalui penerbitan undang-undang yang menguntungkan pada pemilik modal.
Seorang tokoh bangsa menjawab. Yang dilakukan para wakil rakyat itu merupakan pengkhianatan kepada daerah dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Itu jelas. Tidak dapat dibantah. Kami berjuang untuk kesejahteraan dan kebebasan seluruh rakyat Indonesia. Bukan untuk para pengkhianat tersebut. Saya termenung!
Sejarah menunjukkan bahwa pengkhianatan atau penindasan kepada rakyat adalah hal yang dapat terjadi. Dan bersamaan itu juga, rakyat akan bangkit, pasti bangkit, melakukan perlawanan atas penindasan. Dan semua itu adalah sah. Perlawanan kepada penjajah adalah sah. Begitu juga perlawanan kepada penindas rakyat juga sah. Misalnya Revolusi Amerika atau Revolusi Perancis, keduanya sah menurut sejarah.
Jadi sebaiknya penguasa politik di Indonesia waspada untuk itu. Jangan jadi pengkhianat rakyat. Kembalikan Kedaulatan kepada Rakyat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kita tidak mau politik di Indonesia berakhir seperti Raja Louis ke XVI yang harus berakhir di Guillotine pertama di Perancis: killing no murder.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Setiap negara mempunyai Konstitusi. Konstitusi Indonesia dinamakan Undang-Undang Dasar (UUD). Tapi, apa sebenarnya arti konstitusi, dan apa gunanya? Apakah hanya untuk melengkapi keperluan dokumen negara, dan berfungsi sebagai hiasan belaka? Atau hanya untuk gagah-gagahan saja?
Menurut kamus Merriam-Webster, Konstitusi adalah dokumen yang mengatur prinsip dasar dan hukum dari sebuah negara, yang di dalamnya mengatur wewenang dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara di satu sisi, dan juga mengatur kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak rakyat di lain sisi.
Jadi, Konstitusi adalah pertama, mengatur pemerintah (presiden) dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan batasan-batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Kedua, memberi tanggung jawab kepada pemerintah (presiden) untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak rakyat.
Baca juga: Sikap ABS Menyeruak di Istana Negara
Misalnya hak merdeka (kebebasan) menyampaikan pendapat dan menentukan pilihan, hak untuk memilih dan dipilih, hak mendapatkan keadilan, baik keadilan hukum atau keadilan ekonomi, dan lainnya.
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah tidak boleh bertindak melampaui wewenang yang diberikan di dalam konstitusi. Kalau pemerintah melanggar, maka rakyat mempunyai hak untuk memberhentikan dan mengganti.
Tugas untuk mengawasi pemerintah agar menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang diberikan di dalam konstitusi, maka rakyat menunjuk perwakilan rakyat, yang dinamakan DPR dan MPR dalam konstitusi Indonesia, atau House of Representatives dan Congress di Amerika Serikat.
Kalau pemerintah melanggar ketentuan konstitusi, melanggar ketentuan UUD, maka perwakilan rakyat wajib memberhentikan pemerintah (presiden). Karena untuk tujuan itu lah DPR dan MPR dibentuk. Meskipun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Sebagai pembanding, presiden Amerika Serikat juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Tetapi, House of Representatives dan Congress dapat memberhentikan presiden kalau melanggar konstitusi.
Dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dikatakan:
“….. That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government, ….”
Intinya, …. rakyat mempunyai hak untuk memberhentikan dan mengganti presiden kalau melanggar konstitusi …
Selain itu, tugas inti DPR lainnya adalah membuat undang-undang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, demi kepentingan rakyat umum, bukan untuk kepentingan sekelompok rakyat tertentu.
Bagaimana kalau wakil rakyat, DPR dan MPR, tidak menjalankan tugasnya sesuai konstitusi, atau melanggar konstitusi?
Bagaimana kalau DPR membuat peraturan dan undang-undang yang merugikan rakyat umum dan berpihak kepada sekelompok kecil masyarakat yang dinamakan oligarki?
Bagaimana kalau DPR dan MPR membiarkan pemerintah (presiden dan aparat hukum) melanggar konstitusi? Yang artinya DPR dan MPR juga melanggar konstitusi?
Atau bagaimana kalau DPR menyerahkan (sebagian) hak legislatifnya kepada pemerintah (presiden) sehingga DPR kehilangan (sebagian) fungsi legislatif dan tidak bisa melakukan pengawasan lagi?
Dalam hal ini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sesuai yang dinyatakan dalam konstitusi UUD, khususnya Pembukaan UUD yang mengatakan Kedaulatan ada di tangan rakyat, mempunyai hak untuk memberhentikan semua perwakilan rakyat yang melanggar UUD. Artinya, rakyat berhak membubarkan DPR dan MPR yang melanggar UUD.
Baca juga: Pertamina Sulit Berkembang karena Dibebani Pungutan Segunung
Ketentuan ini berlaku bagi semua pihak, tanpa kecuali. Juga termasuk bagi partai politik yang melanggar UUD, wajib bubar. Misalnya, partai politik minta atau menentukan mahar politik bagi calon pimpinan nasional, baik calon presiden, calon kepala daerah, atau calon anggota DPR. Atau bahkan membatasi hak seseorang untuk menjadi pimpinan nasional dengan menetapkan threshold.
Kalau semua pihak yang melanggar konstitusi bersekongkol dan tidak mau mundur, maka rakyat harus mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hak daulatnya, dengan membubarkan semua institusi perwakilan rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mengadakan pemilihan umum kembali.
Artinya, konstitusi bukan untuk hiasan saja sebagai pelengkap dokumen negara. Tetapi untuk dilaksanakan oleh semua pihak yang disebut di dalam konstitusi. Pihak yang melanggar konstitusi harus diberhentikan atau dibubarkan.
Penegakan konstitusi seperti digambarkan di atas menjadi prasyarat mutlak untuk Indonesia bisa maju. Penegakan konstitusi menjadi bagian dari penegakan hukum, yang mana menjadi prasyarat untuk demokrasi bisa berjalan baik.
Kalau tidak ada penegakan konstitusi dan penegakan hukum sesuai hukum yang berlaku, maka yang diperoleh bangsa ini adalah tirani dan penderitaan rakyat.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Pertemuan tujuh Ketua Umum dan Sekjen Partai dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara dipenuhi puja puji. Para Ketua Umum Partai memuji habis keberhasilan Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19.
Ketua Umum Gerindra menilai, penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan Pemerintahan Jokowi sudah efektif dan sudah berada di jalan yang benar.
Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, memuji Jokowi karena secara cepat menangani pandemi Covid-19. Bahkan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, menilai Presiden Jokowi sudah excellent dalam penanganan pandemi Covid-19 di tanah air.
Baca juga: Makna Dibalik Baliho Kaesang
Penilaian senada diungkapkan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskantar. Menurutnya, penanganan pandemi Covid-19 di bawah kepemimpinan Jokowi sudah berhasil, sehingga apapun yang dilakukan pemerintah harus didukung.
Bahkan pujian juga dilayangkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. “Kita sudah benar, makanya saya bilang dukung bapak. Jalur kita sudah betul,” tegas Megawati.
Puja puji semacam itu mengingatkan sikap dan perilaku elit di era Orde Baru. Para petinggi negeri bila bertemu Presiden Soeharto selalu berisi puja puji. Tidak ada yang berani menyatakan jalur kita sudah melenceng, apalagi di jalur yang salah.
Sikap asal bapak senang (ABS) itu tentu berbahaya bagi perkembangan Indonesia. Presiden tidak diberi situasi dan kondisi yang sebenarnya. Akibatnya bisa saja membuat presiden terlena, sehingga meneruskan kebijakan yang sudah diambil.
Padahal survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 20 – 25 Juni 2021 memperlihatkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Presiden menangani pandemi Covid-19 menurun dari 56,5 persen menjadi 43 persen.
Baca juga: Pemerintah Pilih PPKM Darurat Karena Lebih Ekonomis
Dari survei yang dilakukan berbagai lembaga survei juga menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi terus menurun.
Jadi, puja puji yang disampaikan para ketua umum partai itu kiranya tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang sebenarnya. Pandemi Covid-19 dan dampaknya masih menghantui negeri tercinta. Hal itu terlihat dengan masih diberlakukannya PPKM di Indonesia.
Belum lagi kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat yang terus meningkat akibat dampak pandemi Covid-19. Mereka ini sudah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, sudah saatnya di era resformasi sikap ABS dihilangkan. Sebab, dominannya sikap ABS di era Orde Baru telah merusak berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentu bangsa ini tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Sebab, keledai saja tidak mau masuk lubang yang sama.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999
Oleh : Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Beritaneka
Beritaneka.com—Bayangkan saja ditengah pandemi Covid 19 Pertamina digenjet berbagai pungutan oleh pemerintah. Lebih dari Rp. 110 triliun yagg harus dibayar Pertamina kepada pemerintah dalam semester I tahun 2021. Dua pertiga dari yang dibayar Pertamina tersebut adalah pajak dan pungutan yang harus dipungut kepada rakyat, sepertiga adalah bagi hasil atas minyak mentah yang digali Pertamina.
Sementara keuantungan Pertamina makin menipis, pada saat yang sama pajak pungutan penerintah makin menebal. Tidak ada ruang bagi Pertamina untuk lebih fleksibel dalam menghadapi badai Covid-19. Pada tahun lalu penjualan BBM Pertamina menurun drastis lebih dari 25 persen. Penurunan terbesar sepanjang sejarah Pertamina.
Keuntungan Pertamina sendiri hanya hitungan ratusan juta dolar. Untuk sebuah perusahaan dengan belanja atau pengeluaran lebih dari Rp. 1200 triliun keuntungan sebesar itu sangatlah minim. Tidak sebanding dengan keuntungan para penyumplai minyak impor.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Beban pungutan yang begitu besar, PPN, PPH, PBBKB, dan berbagai pungutan lainnya, termasuk bagi hasil grossplit yang dibebankan kepada Pertamina membuat perusahaan ini meradang. Kondisi keuangan perusahaan memaksa memotong belanja hingga Rp80 triliun di tahun 2021. Disaat yang sama beban operasional meningkat, beban bunga meningkat.
Berbagai kecelakaan kerja yang dialami Pertamina yang begitu banyak belakangan ini, mulai dari kebakaran 3 kilang berturut-turut yakni Balikpapan, Balongan dan Cilacap. Kebocoran ONWJ yang berlanjut dan kebocoran Rokan setelah beberapa hari Pertamina mengambil rokan dari Chevron. Kesemua itu patut dilihat sebagai hukum sebab akibat. Belanja kurang onderdil bisa jadi dikorbankan. Morgan indeks mengeluarkan Pertamina dari perusahaan yang aman untuk investasi.
Baca juga: Penghianatan Menteri, Jokowi Harus Belajar dari Soeharto
Terlebih rakyat yang harus menerima dampak dari pungutan yang melewati Pertamina, para kosumen BBM, konsumen gas, dll, harus membayar setiap tetes konsumsi mereka atas kebutuhan dasar karena dipungut pada saat mereka membeli bahan bakar. Pajak dan pungutan yang tidak kembali kepada Pertamina apalagi kepada rakyat. Pajak dan pungutan yang habis buat bayar utang luar negeri.
Kata Sri Mulyani utang pemerintah bisa dibayar asalkan rakyat bayar pajak. Sedap sekali jadi menteri keuangan ini.
Seharusnya di tengah pandemi ini pemerintah berhenti memungut pajak dan pungutan seabrek atas barang barang publik, barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Pajak dan pungutan semacam itu adalah berwatak kolonial yang bertentangan semangat kemerdekaan dan keadilan soaial.
Oleh : Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Beritaneka.com—Karena perbankkan di Indonesia tidak memiliki visi yang sejalan dengan komitmen pemerintah. Perbankan Indonesia layaknya lintah darat yang berorientasi bunga yang mencekik. Lebih dari itu tidak ada visi perbankkan dalam masalah masalah lingkungan hidup dan masalah keadilan sosial.
Bagaimana mungkin pemerintah dapat meraih komitmen besar di bidang lingkungan hidup tanpa melibatkan masyarakat dan dunia usaha? Sementara keterlibatan mereka butuh dukungan perbankkan. Bagaimana mungkin pemerintah bisa meraih konsensus climate change, sementara sumber pembiayaan untuk meraihnya tidak disediakan oleh perbankkan? Bagaimana mungkin dunia usaha terlibat jika isue penurunan emisi, sementara isue perubaban iklim ini didesain sebagai isue yang berbiaya mahal oleh perbankkan?
Akibatnya pemerintah jalan sendiri dan bank hanya mencari celah untuk mengambil keuantungan secara sepihak dari kebijakan pemerintah namun tidak dalam rangka mendukung visi besar pemerintah. Seperti pepatah kesempatan dalam kesempitan. Idiom dunia tukang kredit ; Anda butuh uang? Bank menyediakan. Tapi anda dicekik. Bukan untuk mendukung tujuan anda tapi untuk menjerat leher anda.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar
Bayangkan sebagian besar kredit perbakkan Indonesia hanya dialokasikan bagi tambang energi kotor dan pembangkit energi fosil. Tidak ada dukungan perbankkan membiayai energi bersih. Sementara BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi tidak punya modal, tidak punya uang, dan usahanya pun berjalan tertatih tatih.
Akibatnya tidak ada satu pun usaha di bidang energi yang layak yang memenuhi aspek studi kelayakan, yang menguntungkan secara ekonomi dalam berbagai skala usaha, yang dapat dikerjakan oleh masayakat, koperasi, UMKM, dan juga oleh BUMN. Hanya usaha energi kotor yang layak, karena memang sudah establish, konglomerasi energi kotor kian kaya, mendapatkan karpet merah dari perbankkan, fasilitas kredit mudah, dukungan perbakkan dan dukungan keuangan lainnya.
Baca juga: Bermain Data Pandemi, Bermain Nyawa Manusia
Padahal lima tahun lebih sudah waktu yang dilalui Presiden Jokowi untuk memenuhi komitmennya pada perjanjian internasional dalam bidang lingkungan hidup. Presiden menandatangani COP 21 Paris tahun 2016 di hadapan pemimpin dunia. Perjanjian ini juga telah disyahkan menjadi UU melalui DPR.
Sebuah komitmen bersama internasional untuk menurunkan emisi karbon, yang merupakan penyebab kerusakan lingkungan nomor satu saat ini. Komitrman yang baik dalam rangka memperbaiki kualitas hidup manusia dam kualitas hidup bangsa Indonesia.
Lalu mengapa presiden Jokowi tidak bisa mengatur bank? Perbankkan ini tunduk pada siapa?
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Mahkamah Konstitusi (MK) hanya urus satu hal saja, yaitu menegakkan Konstitusi yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar (UUD). MK harus menjaga agar tidak ada peraturan dan UU yang melanggar UUD.
Untuk menjalankan fungsinya, MK terdiri dari sembilan (9) hakim, jumlah yang sangat besar dibandingkan potensi jumlah pekerjaan (perkara) yang mungkin bisa dihitung dengan jari.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ini adalah salah satu wewenang yang diberikan UUD kepada MK (Pasal 24C, ayat (1))
Berdasarkan wewenang ini, pertama, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD, meskipun tidak ada pengaduan atau gugatan dari rakyat (masyarakat). Karena MK adalah penjaga Konstitusi.
Kedua, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD atas permohonan rakyat, meskipun itu seseorang. MK tidak perlu bertanya lagi posisi hukum (legal standing) seorang rakyat untuk bisa minta MK menguji sebuah UU terhadap UUD.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Karena, posisi hukum rakyat sudah jelas di dalam Pembukaan UUD, yang menyatakan bahwa Kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai legal standing, dan mempunyai hak dan kewajiban untuk menegakkan Konstitusi, serta mencegah terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi.
Karena, pelanggaran terhadap Konstitusi bukan hanya melanggar dan merugikan hak seorang rakyat, tetapi melanggar dan merugikan hak seluruh rakyat Indonesia.
Sehingga, kalau seseorang menggugat apakah presidential threshold melanggar UUD, maka MK tidak perlu bertanya apakah seseorang tersebut akan mencalonkan diri sebagai presiden. Hal tersebut tidak relevan. Karena, kalau presidential threshold melanggar UUD, maka wajib batal demi hukum, demi Konstitusi dan UUD: karena, semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan UUD, wajib batal.
Kedua, MK wajib menguji setiap UU atas permohonan rakyat. MK wajib menguji, antara lain, Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 (tentang Virus Corona), yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR menjadi UU No 2 Tahun 2020, apakah bertentangan dengan UUD, atas permohonan dari beberapa kelompok rakyat.
Karena, PERPPU yang sudah diundangkan tersebut di mata rakyat bertentangan dengan UUD, karena menghilangkan hak anggaran DPR selama 3 tahun berturut-turut sejak 2020, dan pemerintah bisa menyusun APBN tanpa persetujuan DPR, yang mana melanggar Pasal 20A ayat (1) UUD.
Selain itu, PERPPU juga melanggar prinsip kesetaraan hukum Pasal 27 ayat (1) UUD. Serta melanggar prinsip peri-kemanusiaan dan peri-keadilan yang tertulis di dalam pembukaan UUD. Karena PERPPU memberi kekebalan hukum kepada pejabat dan pengguna anggaran selama 3 tahun.
Perlu ditekankan, bahwa isi Pembukaan UUD lebih tinggi dari isi batang-tubuh UUD (yang muat pasal-pasal). Karena, isi pembukaan UUD menjadi dasar dan pedoman untuk menyusun batang-tubuh UUD, sehingga pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD tidak boleh bertentangan dengan isi Pembukaan UUD.
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Baca juga: Abaikan Nyawa di Masa Pandemi, Apakah Termasuk Kejahatan Kemanusiaan?
Kalimat ini bermakna, bahwa penjajahan harus dihapus di atas dunia, bukan saja di muka bumi Indonesia, karena tidak sesuai dengan peri-kemanuiaan dan peri-keadilan.
Jadi jelas, alasan utama pejajahan harus dihapus karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Sehingga, sebagai konsekuensi, apa pun yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan harus enyah dari muka bumi Indonesia, dan dunia. Karena ini merupakan nilai-nilai kehidupan Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD, termasuk pelaksanaannya, yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, serta tidak sesuai dengan butir-butir lainnya di dalam Pembukaan UUD, juga harus enyah dari muka bumi Indonesia. Sehingga cita-cita Indonesia untuk menjadi Makmur dan Adil bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Termasuk pasal-pasal yang merampas hak kedaulatan rakyat, semua harus diluruskan. Perwakilan rakyat bukan pemegang kedaulatan rakyat yang sebenarnya, dan selamanya. Karena perwakilan adalah titipan kedaulatan yang bersifat sementara, dan dapat diambil kembali oleh rakyat setiap saat.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi, apabila MK tidak bisa meluruskan semua UU yang bertentangan dengan Konstitusi, maka MK wajib bubar demi menyelamatkan Konstitusi dan UUD. Karena, dengan membiarkan terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi, MK berarti melanggar Konstitusi. Dan menjadi tyranny, sebagai penjaga tyranny.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD, menurut mata dan hati rakyat, akan dimuat di tulisan selanjutnya.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Kaesang Pangarep di instagramnya memunculkan dua balihonya yang mirip baliho Puan Maharani dan Airlangga Hartarto.
Baliho tersebut tentu memunculkan banyak makna. Pertama, bisa saja baliho Kaesang itu hanya memanfaatkan isu aktual untuk kepentingan usahanya.
Jadi, baliho itu digunakan untuk mendompleng popularitas Puan dan Airlangga dalam mendongkrak omsetnya. Di sini Kaesang jelih memanfaatkan isu demi kepentingan bisnisnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Minta Menkes Turunkan Biaya Test PCR
Dua, bisa saja baliho itu sebagai guyonan belaka. Kemungkinan ke arah itu masih terbuka mengingat usia Kaesang yang masih relatif muda. Diusianya itu tentu biasa menjadikan hal-hal kontroversial sebagai baha candaan.
Tapi kalau itu dimaksudkan sebagai guyonan, tentu sangat beresiko. Sebab, keluarganya berlatar belakang politik, yang akan dengan mudah dijadikan sasaran tembak. Apalagi keluarganya kader PDIP, tentu sangat beresiko bila Puan petinggi PDIP dijadikan bahan guyonan.
Tiga, ada kemungkinan baliho itu sindiran terhadap Puan dan Airlangga. Kaesang sebagai kalangan milenial tentu menggunakan caranya yang lugas dalam menyindir seseorang. Cara mudah tentu dengan membuat baliho yang hampir sama dengan orang yang disindir.
Namun kalau itu motifnya, tentu secara politis akan beresiko terhadap keluarganya. Bukan hanya kepada Walikota Solo dan Walikota Medan, tapi berpeluang berdampak kurang baik kepada Presiden Joko Widodo.
Empat, ada kemungkinan Kaesang menggunakan baliho yang mirip Puan dan Airlangga dimaksudkan untuk membidik capres pada Pilpres 2024. Sebab, pada instagramnya juga ada balihonya dengan narasi Saya Siap Untuk RI 1.
Tentu saja peluang guyonan juga tetap terbuka. Sebab, selama ini sepak terjangnya di dunia politik belum ada.
Baca juga: Dukung Integrasi Data Jokowi, IPB Sodorkan Data Desa Presisi
Namun, karena Kaesang berasl dari keluarga politik, maka tidak menutup kemungkinan ia memang serius untuk menjajal hiruk pikuk nyapres. Hal itu juga sudah dilakukan kakaknya, yang dari dunia bisnis kemudian loncat ke dunia politik, dan sekarang menjadi Walikota Solo. Hal yang sama juga dilakukan kakak iparnya, yang sekarang Walikota Medan.
Tapi kalau itu motifnya, tentu Kaesang akan berhadapan dengan Puan dan petinggi PDIP yang pro Puan. Tentu resikonya sangat besar bagi keluarga Kaesang secara keseluruhan.
Semua itu tentu serba kemungkinan. Namun, kemungkinan terbesar, baliho itu di buat Kaesang hanya untuk kepentingan pemasaran demi mendongkrak omzetnya.
Penulis buku:
1. Tipologi Pesan Persuasif
2. Perang Bush Memburu Osama
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM.IISIP Jakarta 1996 – 1999
Oleh : M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Banyak hasil survei terkait elektabilitas tokoh yang dirilis berbagai lembaga survei. Hasilnya kerap membingungkan masyarakat.
Survei yang dilakukan Charta Politica dan Indonesia Political Opinion (IPO) misalnya, menunjukkan hasil yang berbeda. Pada Charta Politica, elektabilitas tiga besar masih dipegang Ganjar Pranomo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Hasil ini tidak mengejutkan karena dari berbagai survei dari lembaga survei yang kredibel tiga tokoh ini memang bergantian menempati urutan satu hingga tiga.
Berbeda halnya hasil yang dirilis IPO, tiga besar diisi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Sandiaga Uno. Sementara elektabilitas Prabowo hanya diurutan 5 dengan hasil 7,8 persen.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
Temuan IPO ini menimbulkan tanda tanya, mengingat selama ini elektabilitas Prabowo selalu tiga besar dan tidak pernah dibawah satu digit (7,8 persen). Padahal, selama periode tersebut tidak ada isu miring yang berarti yang dapat menimbulkan melorotnya elektabilitas Prabowo.
Perbedaan hasil survei seperti itu sudah kerap terjadi. Akibatnya, banyak pihak yang sudah meragukan validitas hasil survei, khususnya terkait popularitas dan elektabilitas tokoh tertentu.
Habiburokhman, salah satu Wakil Ketua Umum Gerindra, termasuk yang meragukan hasil survei eksternal. Menurutnya, Gerindra hanya percaya hasil survei internal.
Nada sumbang seperti itu sudah kerap mengemuka. Hasil survei dinilai untuk menggiring opini publik baik dalam arti positif maupun negatif.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Kesan seperti itu tentu berbahaya bagi eksistensi lembaga survei. Sebab, hubungan lembaga survei dengan pengguna dan masyarakat didasarkan pada kepercayaan.
Kalau kepercayaan pengguna dan masyarakat sudah hilang, akan hilang pula eksistensi lembaga survei tersebut. Setidaknya lembaga survei itu akan hidup segan mati tak mau.
Hal itu tentu tak perlu terjadi bila semua lembaga survei tetap taat asas dengan prosedur survei. Untuk itu, objektifitas harusnya tetap dijadikan etos kerja dan harga mati bagi semua lembaga survei di tanah air.
Penulis buku:
1. Riset Kehumasan
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Perang Bush Memburu Osama
Mengajar:
1. Metode Penelitian Komunikasi
2. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP 1996 – 1999.