Oleh: Rosidin, Mahasiswa S2 Program Pascasarjana Mikom, Universitas Mercu Buana Jakarta
Beritaneka.com—Kebijakan pemerintah memberlakukan larangan mudik jelang Idul Fitri 1442 Hijriah menjadi pro-kontra di kalangan publik. Hal ini disebabkan di awal memberlakukan kebijakan, antara pemerintah sendiri tidak satu suara. Seperti pernyataan Menteri Perhubungan mengeluarkan pernyataan pemerintah tidak akan melarang masyarakat untuk mudik pada Lebaran 2021. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik, mulai dari tanggal 6-17 Mei 2021.
Sikap pemerintah yang tidak jelas dan tidak konsisten memberikan respon negatif bagi masyarakat. Upaya persuasif yang diambil pemerintah agar masyarakat patuh menjalankan pelarangan mudik sepertinya dihiraukan publik. Bahkan, di tengah-tengah masyarakat muncul polemik. Ada yang patuh, disisi lain tetap saja berupaya mudik walaupun dengan resiko dihadang aparat di tengah jalan.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Padahal pemerintah membelakukan larangan mudik itu merupakan langkah persuasif untuk mencegah penularan Covid 19. Upaya agar tidak menimbulkan cluster baru atau menambah korban penularan Covid-19 yang telah menelan korban begitu banyak. Virus ini memang luar biasa dan dahsyatnya telah merusak sendi-sendi kehidupan ummat manusia di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Virus ini jika dirinci telah menimbulkan berbagai efek negatif. Diantaranya, menghentikan perekonomian dunia, menghentikan dunia penerbangan, menghentikan beberapa perusahaan bahkan sekelas negara adidaya pun yang memiliki persenjataan yang canggih tidak mampu melawan virus yang misteri itu. Tentu, kita sebagai bangsa tidak mau mengalami seperti kejadian yang melanda India kini. Setiap hari ratusan orang meninggal diakibatkan oleh virus C19 ini.
Menurut Anderson, pakar kebijakan publik, konsep kebijakan publik. mempunyai beberapa implikasi, yakni. Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi kepada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat didalam sistem politik.
Baca juga: BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri
Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah antar lembaga ada komunikasi yang baik dalam merumuskan kebijakan pelarangan mudik sehingga ketika kebijakan itu keluar ke publik, pemerintah satu suara.
Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait seperti aparat hukum dalam kebijakan pelarangan mudik merupakan keniscayaan. Kerjasama yang bai, tegas dan konsisten dari pembuat kebijakan akan berdampak positif dalam pelaksanaannya. Masyarakat juga lebih mudah di persuasi agar dengan kesadaran tinggi menjalankan kebijakan publik yang diambil.
Semoga Indonesia cepat keluar dari persoalan CoVid-19. Semoga
Oleh: Merah Johansyah, Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Beritaneka.com—Pandemi Covid-19 akan diingat dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bercak-hitam. Namun, sejatinya bencana akibat Covid-19 ditimbulkan dan datang bersamaan dengan Bencana-Bukan-Alami ciptaan ekstraktivisme tambang. Berlangsung lebih dari setengah abad di bawah kendali para pengurus publik, gelombang penyebaran dan pendalaman kerusakan dari wabah virus pertambangan berlangsung 24 jam sehari, tanpa hari libur dan tanpa kurva yang melandai.
Kesengsaraan, rusaknya hutan, margasatwa, kampung-halaman di setiap pulau, tamatnya sumber-sumber air kehidupan, meredupnya masa depan negeri dan bangsa sebesar ini akibat wabah virus pertambangan, akan melekat bersama kehidupan sehari-hari warga Indonesia. Bukan untuk satu-dua tahun seperti layaknya prediksi masa mewabahnya covid-19, tapi untuk sebuah kurun waktu yang bahkan terlalu jauh ke depan.
Daya rusak pertambangan beroperasi selayaknya wabah virus. Virus pertambangan akan mencari inang untuk tetap hidup, dengan hinggap dan menggerogoti ruang hidup warga, mengubahnya menjadi konsesi pertambangan. Daratan Kepulauan Indonesia yang tengah diserang oleh kerumunan virus pertambangan adalah seluas 68,9 juta hektar terdiri dari perizinan pertambangan panas bumi, mineral dan batu bara serta minyak bumi dan gas alam.
Virus pertambangan –seperti halnya virus COVID-19– juga bermutasi dalam perkembangannya. Cara virus pertambangan bermutasi salah satunya melalui pengenalan bahasa-bahasa yang terdengar baik dan ramah guna membalut bahayanya virus tambang ini, seperti tambang hijau (green mining) dan tambang yang berkelanjutan (sustainable mining).
Mutasi virus tambang lainnya adalah strategi industri ini dalam bermuslihat dengan warga melalui apa yang disebut tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang merupakan upaya “suap” untuk mendapatkan persetujuan warga. Tipu muslihat industri tambang terhadap publik bermutasi dari waktu ke waktu, agar virus pertambangan menjadi lebih mudah menginfeksi dan diterima tanpa sadar oleh warga.
Termutakhir, mutasi virus pertambangan adalah melalui cara menunggangi mesin-mesin politik elektoral. Sehingga politik elektoral, baik itu pilkada maupun pemilu, bukan hanya menjadi ajang para politisi berebut jabatan dan kekuasaan, namun sekaligus merupakan kesempatan bagi pebisnis tambang mendapatkan jaminan politik bagi bisnis mereka. Sejumlah regulasi dan kebijakan yang dilahirkan dari hasil penunggangan virus tersebut berfungsi sebagai carrier atau ‘sarana penularan’ bagi industri bongkar dan keruk bernama pertambangan.
Para politisi dan pengurus publik yang terlibat dalam politik elektoral tersebut kemudian berubah menjadi budak dari partai politik hingga menerbitkan kebijakan serta izin yang menjadi carrier virus. Virus menyelinap masuk dan menyasar kampung dengan carrier perundang-undangan dan regulasi tanpa ada hambatan berarti. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Cilaka) maupun Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru disahkan oleh pemerintah Indonesia adalah carrier bagi virus pertambangan untuk dapat mengendalikan wilayah yang hendak ditulari.
Operasi virus pertambangan dalam tubuh alam dan rakyat menyebabkan ‘rontok’ dan ‘ambruknya’ imunitas atau daya tahan sosial-ekologis di suatu wilayah atau kesatuan sosial-ekologis menyejarah. Imunitas sosial dan ekologis warga ‘digerogoti’ melalui perusakan terhadap sumber air warga, perampasan tanah, pembongkaran hutan dan pelenyapan biodiversitas hingga penghilangan solidaritas sosial dan pengetahuan leluhur di suatu tempat.
Sama halnya dengan virus covid-19, virus pertambangan tidak bisa diatasi dengan hidup berdampingan dan berdamai dengan virusnya seperti anjuran sesat pengurus publik. Tidak ada vaksin yang dapat mempertebal imunitas warga untuk bertahan dari virus pertambangan. Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan agar terhindar dari virus pertambangan adalah dengan melakukan lockdown atau mengunci wilayah sebagai bentuk boikot terhadap penularan virus pertambangan dengan berbagai carrier-nya yang datang masuk ke kampung.
Sembari melakukan lockdown, daya tahan sosial-ekologis mesti ditingkatkan hingga mencapai stamina yang prima. Jika imunitas sosial-ekologis suatu komunitas sehat dan kokoh, maka penularan virus akan dapat ‘ditangkal’ untuk mencegah perluasan daya rusak virus pertambangan pada seluruh tubuh kampung.
Contoh lockdown wilayah yang dilakukan warga kampung, salah satunya bisa ditemukan di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Mayoritas warga yang bergantung pada pertanian dan perikanan ini, telah dua kali berhasil menghentikan upaya perusahaan tambang. Mulai dari PT Derawan Berjaya Mining yang menambang pasir krom pada 2015 lalu; dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, selama 2018-2020. Keberhasilan warga menghentikan kedua perusahaan itu penuh dengan risiko dan pengorbanan. Mulai dari intimidasi, kekerasan, pelecehan dan kriminalisasi.
Dalam melawan PT GKP ada 27 warga yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mengada-ada. Mulai dari menghalang-halangi aktivitas tambang, pencemaran nama baik, penganiayaan, hingga perampasan kemerdekaan seseorang. Atas pengawalan polisi, PT GKP juga tiga kali menyerobot lahan warga. Akibatnya tanaman jambu mete, cengkeh, pala, dan kelapa — sebagai sumber penghidupan utama — dirusak.
Namun demikian, tak ada pilihan lain bagi warga jika tidak mau kehilangan sumber penghidupan utama. Apalagi, pemerintah daerah dan aparat keamanan condong berada di pihak perusahaan. Maka, solidaritas sosial antar warga kampung pun digalakkan, bahkan terhubung hingga ke Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara dan Jakarta. Solidaritas antar-warga inilah yang meningkatkan imunitas sosial-ekologis warga.
Tak hanya warga Pulau Wawonii, model penguatan imunitas warga yang serupa bisa kita temukan di Lamaknen, Kabupaten Belu dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah-wilayah itu, keberadaan pengurus negara dan perusahaan tambang nyaris tidak bisa menularkan wabah virus pertambangan di hadapan kuatnya imunitas warga kampung dan kota yang teroganisir. Gereja Katolik di dua wilayah itu berperan penting dalam menguatkan imunitas warga. Mulai dari pendampingan warga – yang merupakan umat gereja itu sendiri – hingga menekan otoritas lokal melalui aksi langsung dan bentuk perlawanan lainnya. Sehingga, wabah virus pertambangan berhasil dipukul mundur dari dua wilayah itu.
Jika di Wawonii, Belu, dan Manggarai warga mengandalkan gerakan massa yang teroganisir, pola lockdown berbeda dapat kita temukan di Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Aktivitas penambangan batu kapur di pegunungan karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia (sebelumnya bernama PT Semen Tonasa) dan PT Semen Bosowa yang terus merusak membuat warga di Desa Salenrang bergerak melawan ekspansi penambangan ke wilayah mereka.
Perlawanan yang dilakukan warga setempat, dimulai dengan merebut kembali (reclaiming) sebagian kawasan karst Maros-Pangkep, terutama kawasan yang memiliki nilai sejarah, karena terdapat peninggalaan situs purbakala, hingga kawasan sumber mata air yang keberadaannya sangat vital bagi kehidupan warga. Reclaiming yang dilakukan warga adalah bentuk dari imunitas sosial mereka agar virus pertambangan tidak menyebar ke wilayah mereka. Reclaim kawasan itu, bukan untuk meneruskan praktik penambangan seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan tambang di atas, melainkan menguasainya untuk dikelola secara adil dan berkelanjutan, melalui pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan melanjutkan pertanian.
Nyaris tak ada satu operasi virus pertambangan yang tidak diganggu oleh warga. Bagi mereka, kekerasan dan kriminalisasi dalam menyelamatkan tanah warisan leluhur itu, tak ada apa-apanya jika suatu saat mereka harus kehilangan lahan pertanian-perkebunan dan sumber air. Bagi warga, upaya-upaya lockdown ini sebagai bentuk tanding merebut ruang hidup, yang tidak sebatas mengejar keuntungan ekonomi belaka untuk segelintir orang, tetapi mengelolanya untuk kepentingan bersama warga komunitas secara adil, dengan tetap menjaga seluruh nilai-nilai di dalamnya.
Lockdown yang dilakukan warga di tapak industri pertambangan memang telah berhasil menangkal perluasan daya rusak dari virus ini di kampung-kampung. Namun, virus ini telah parah menginfeksi dan menjangkiti para pengurus publik. Virus pertambangan yang telah mewabah di Indonesia selama tiga generasi terakhir telah mengantarkan kita pada zona ruang-waktu yang genting, yakni bangkrutnya infrastruktur ekologis penjamin metabolisme dan reproduksi sosial, punahnya sistem pengetahuan asli rakyat, serta penghinaan pada martabat manusia.
Warga di lokasi wilayah operasi pertambangan lah yang menanggung kerusakan hutan, pemusnahan bentang air, perladangan pangan, ketahanan solidaritas kampung, dan pengusiran besar-besaran dari ruang-ruang hidup menyejarah, rumah bersama yang menyediakan kehidupan. Beban dan penderitaan warga wilayah tambang ini disembunyikan di balik cerita sukses industri tambang dan energi Indonesia menjamin pasokan konsumsi mineral dan sumber-energi global khususnya untuk Jepang, China dan India; disembunyikan dibalik ilusi target pertumbuhan ekonomi negara yang nyatanya hanyalah pemusatan kekayaan di tangan oligarki.
Dalam situasi genting seperti ini, sudah seharusnya menghentikan pertumbuhan dan penyebaran pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan segala kehidupan termasuk manusia. Maka dari itu, pada HARI ANTI TAMBANG 29 Mei 2020, kami mengajak seluruh warga Bumi untuk mempertanyakan kembali apakah kita mau meneruskan eskalasi wabah virus pertambangan (ekstraktivisme pemangsa ini), ATAU segera kembali menginjak tanah, menghentikan pertumbuhan sektor tambang di seluruh kepulauan, untuk menjamin keselamatan segala kehidupan di kepulauan Indonesia termasuk manusianya.
Inilah saatnya untuk menghentikan laju daya rusak wabah virus pertambangan, putus rantai penularan dalam bentuk penghentian perluasan pertambangan, stop promosi dan proyeksi bisnis pertambangan dan kunci (lockdown) wilayah serta perkuat imunitas simpul perlawanan-pemulihan rakyat.
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director – Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Utang pemerintah naik pesat beberapa tahun belakangan ini. Baik utang dalam nilai nominal maupun dalam persentase PDB (Produk domestik Bruto), keduanya naik pesat. Utang nominal naik Rp2.175,9 triliun selama periode 2015-2019. Pada 2020, utang nominal naik lagi Rp1.289,9 triliun dalam satu tahun.
Kenaikan ini jauh lebih tinggi dari kenaikan periode-periode sebelumnya. Periode 2005-2009 utang pemerintah hanya naik Rp292,7 triliun dan periode 2010-2014 hanya naik Rp1.018,1 triliun.
Tentu saja simpatisan pemerintah tidak tinggal diam. Ada yang mengatakan simpatisan sekarang ini menjelma menjadi buzzeRp. Bahkan menyerang balik. Membandingkan kenaikan utang nominal antar periode kurang relevan, katanya.
Karena ekonomi bertumbuh dan menjadi lebih besar dalam perjalanan waktu. Sehingga utang nominal untuk membiayai defisit anggaran juga semakin besar. Itu normal. Yang penting adalah rasio utang terhadap PDB. Tambahnya.
Baik, kita lihat rasio utang terhadap PDB. Ternyata naik tajam juga. Rasio utang terhadap PDB naik dari 24,7 persen pada akhir 2014 menjadi 30,2 persen pada akhir 2019. Dan kemudian melonjak menjadi 39,4 persen pada 2020. Diperkirakan rasio ini akan melonjak lagi menjadi 47 persen pada akhir tahun 2021 ini.
Padahal, rasio utang pada periode sebelumnya turun secara maraton. Dari 56,4 persen pada akhir 2004 menjadi 28,3 persen pada akhir 2009, dan menjadi 24,7 persen pada akhir 2014. Padahal, ekonomi pada periode tersebut juga naik tinggi, tapi rasio utang terhadap PDB turun. Jadi alasan para simpatisan aka buzzeRp tidak terbukti.
Tentu saja para simpatisan mempunyai jawaban. Meskipun rasio utang terhadap PDB naik tapi masih dalam batas aman, kilahnya. Masih jauh di bawah 60 persen, sesuai yang dibolehkan UU.
Menurut simpatisan dan pemerintah, batas aman utang pemerintah cukup dilihat dari satu variabel saja. Yaitu rasio utang terhadap PDB di bawah 60 persen. Padahal rasio utang adalah satu hal yang tidak berdiri sendiri. Tidak mempunyai makna kalau dilihat secara terisolasi. Tidak mempunyai arti apa-apa. Hanya sebuah rasio.
Misalnya, rasio utang pemerintah Jepang mencapai 260 persen. Jauh di atas ‘batas aman’ 60 persen. Tapi masih tetap aman saja. Sedangkan rasio utang pemerintah Argentina sekitar 50 persen pada awal 2018, tetapi tidak aman. Harus minta bantuan IMF. Kasus Turki lebih fenomenal. Rasio utang pemerintah Turki hanya sekitar 28 persen dari PDB pada awal 2018. Tetapi terjadi krisis pada pertengahan 2018. Mata uang Peso Argentina dan Lira Turki terdepresiasi tajam. Suku bunga melonjak. Ekonomi jatuh.
Oleh karena itu, utang pemerintah tidak bisa dilihat terisolasi. Yang terpenting adalah bagaimana kemampuan pemerintah membayar utang, atau khususnya membayar bunga utang tersebut. Artinya, berapa besar pendapatan pemerintah harus disisihkan untuk membayar bunga? Istilah teknisnya, berapa besar rasio (beban) bunga terhadap pendapatan pemerintah.
Semakin besar rasio bunga terhadap pendapatan negara maka semakin bahaya. Karena porsi untuk belanja negara semakin kecil. Untuk mempertahankan level belanja negara, maka pemerintah harus berutang lebih besar lagi. Ini yang terjadi sejak 2014.
Rasio lain yang penting adalah berapa besar (rasio) pendapatan pajak dibandingkan dengan PDB. Tentu saja semakin besar rasio ini semakin baik. Berarti setiap pertumbuhan PDB menyumbang ke kas negara semakin besar.
Tetapi, kedua rasio ini sayangnya semakin memprihatinkan. Rasio pendapatan pajak terhadap PDB turun tajam. Rasio tertinggi 13,3 persen pada 2008. Turun tajam menjadi 9,8 persen pada 2019. Dan anjlok menjadi 8,3 persen pada 2020. Tax amnesty yang dipropagandakan bisa membuat tax ratio naik menjadi 14,6 persen pada 2019 hanya isapan jempol saja. Tax amnesty gagal total. Hanya berfungsi sebagai ‘legalized money laundering’. Artinya, uang gelap menjadi terang, direstui negara.
Rasio pendapatan negara terhadap PDB anjlok lebih parah. Dari 19,8 persen pada 2008 menjadi hanya 10,6 persen pada 2020, turun hampir setengahnya. Pendapatan negara adalah pendapatan perpajakan ditambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Artinya, PNBP juga turun tajam.
Di lain sisi, rasio bunga terhadap penerimaan pajak naik terus, dari 11,6 persen pada 2014 menjadi 17,8 persen pada 2019, dan melonjak menjadi 24,5 persen pada 2020. Lebih tinggi dari 2004. Sebelumnya, rasio beban bunga terhadap PDB turun tajam dari 22,3 persen pada 2004 menjadi 10,3 persen pada 2012.
Kedua rasio terakhir ini mencerminkan utang pemerintah dalam kondisi bahaya. Penerimaan negara hanya 10,6 persen dari PDB. Sekitar 20 persen dari jumlah tersebut untuk bayar bunga. Berarti hanya tersisa 8 persen untuk belanja negara. Sedangkan belanja negara, di luar bunga, pada tahun-tahun sebelumnya antara 14 persen sampai 17 persen.
Untuk mempertahankan tingkat belanja negara ini, defisit anggaran diperkirakan mencapai 6 persen sampai 8 persen. Fiskal Indonesia tidak sanggup menanggung beban defisit sebesar itu. Artinya, krisis fiskal menanti. Artinya, utang pemerintah sudah terobos lampu merah. Tinggal menunggu nasib. Apakah ada kendaraan yang nyelonong dari arah lainnya yang bisa menyebabkan crash.
Oleh: Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Beritaneka.com—Hari Pendidikan 2 Mei 2021 layak untuk menjadikan refleksi. Pendidikan Indonesia saat ini hendak dibawa ke mana? Tiga trend aktual yang terjadi akhir-akhir ini penting untuk menjadi perenungan sekaligus menjadi pertanyaan jujur, karena bukan sesuatu yang tampak kebetulan.
Kenapa selalu terdapat hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai dasar konstitusi serta Agama, Pancasila, dan Kebudayaan luhur bangsa Indonesia.
Pertama, pada awal proses tidak tercantumkannya frasa “Nilai Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, padahal sangat fundamental sebagaimana termaktub dalam pasal 31 UUD 1945. Alhamdulillah kini sudah terakomodasi, tetapi apakah ke depan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Semoga tidak, karena agama sangatlah penting dan mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi Indonesia.
Kedua, hilangnya atau tidak tercantumnya Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama yang juga Pahlawan Nasional serta Prof Kahar Muzakkir tokoh Muhammadiyah yang juga Pahlawan Nasional dalam buku resmi Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kemendikbud R.I. dua jilid.
Padahal tokoh-tokoh Komunis Indonesia semuanya tercantum seperti Sneevliet, DN Aidit, dan lain-lain. Bahkan dalam jilid 2 halaman 179 ditulis, “Pada 30 September 1965 PKI diduga terlibat dalam gerakan kudeta.”.
Jadi PKI hanya diduga terlibat, bukan terbukti terlibat kudeta 1965. Buku tersebut sampai akhir April 2021 masih beredar utuh Jilid 1 dan Jilid 2 yang dapat dibeli di toko Online. Tetapi sudah resmi terpublikasi dan memperoleh pengantar dari Dirjen Kebudayaan Kemdikbud R.I. Mungkin buku yang beredar itu ilegal dan boleh jadi masih draf seperti rilis Kemendikbud, serta saat ini mudah-mudahan benar-benar ditarik dan dinyatakan salah atau keliru.
Ketiga, kecenderungan pendidikan yang liberal dengan konsep Merdeka Belajar dengan segala plus minusnya. Indonesia pasca reformasi memang cenderung liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Padahal pendidikan bukanlah hanya menanamkan nilai instrumental, karena manusia bukanlah robot yang dapat dicetak di pabrik. Manusia adalah insan yang utuh, yang menurut Ki Hajar Dewantara yang kelahirannya diperingati hari ini, sebagai pendidikan akal-budi.
Apalagi manusia Indonesia yang memiliki tiga dasar nilai hidup di negeri ini yaitu Agama, Pancasila, dan Kebudayaan Indonesia. Bukan insan maju ala Barat yang sekuler dan liberal. Bukan pula manusia sosialis ala Marxisme-Komunisme yang hidupnya untuk perjuangan kelas.
Kebijakan pendidikan Indonesia sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki fondasi pada konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003, termasuk di dalamnya Peta Jalan. Visi pendidikan Indonesia tidak cukup hanya bersifat pragmatis untuk mendidik generasi bangsa yang berkeahlian tinggi dan mampu beradaptasi dengan dunia kerja (link and match) semata seperti robot buatan pabrik.
Pendidikan Indonesia harus merupakan usaha menyeluruh dan terpadu antara aspek kognitif dan psikomotorik dengan afeksi dan akal budi secara keseluruhan. Intinya manusia yang utuh lahir dan batin dalam seluruh dimensinya. Bukan manusia Indonesia satu dimensi.
Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan umum pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan UUD 1945 menurut Prof Taufik Abdullah bukanlah semata cerdas kognisinya tetapi kehidupan manusia Indonesia secara keseluruhan.
Dalam pandangan Kyai Ahmad Dahlan terkait dengan pendidikan iman dan amal, akal suci, dan kemajuan. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara menyangkut pendidikan akal budi manusia. Pendidikan Indonesia harus pendidikan konstitusional, artinya berdasarkan pada pasal 31 UUD 1945 yang menjadi pangkal utamanya.
Karenanya memasukkan aspek keimanan dan ketaqwaan, nilai agama, dan akhlak mulia dalam Peta Jalan Pendidikan maupun pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional kapanpun dan di era pemerintahan manapun bukanlah aspirasi umat beragama, tetapi melekat dengan konstitusi dan perundang-undangan, yang bersifat fundamental dan imperatif.
Pemerintah, DPR, dan Kemendikbud atau institusi negara apapun akan salah jika menjauhkan nilai-nilai Ketuhanan dan keagamaan sebagaimana menjadi perintah konstitusi tersebut. Pemikiran pragmatis dan sekuler yang alergi dan menolak memasukkan kata iman dan taqwa serta nilai agama dalam dunia dan sistem kebijakan pendidikan nasional justru bertentangan dan melawan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.
Pendidikan Indonesia semestinya bervisi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia”.
Karenanya semua pihak dan orang yang mengurus pendidikan Indonesia harus benar-benar seratus persen paham, menghayati, berkeilmuan luas, berkeahlian, berintegritas moral tinggi, dan berjiwa keindonesiaan sejati yang menguasai sepenuhnya hakikat pendidikan nasional Indonesia berbasis konstitusi UUD 1945, Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Indonesia agar tidak tercerabut, tidak salah misi, dan tidak salah tujuan.
Pertaruhannya sangat besar bagi masa depan generasi bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para mujahid dan pendiri negeri tercinta ini.
Sumber Media Sosial: Akun Facebook Haedar Nashir
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director – Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Ekonomi Indonesia 2020 kontraksi 2,07 persen. Pertumbuhan pada kuartal II sampai kuartal IV-2020 semuanya minus. Ekonomi Indonesia dilanda resesi. Diperkirakan pertumbuhan pada triwulan I-2021 juga masih minus. Artinya resesi masih berlanjut.
Di tengah pandemi covid-19 yang belum tahu kapan berakhir, pemerintah menargetkan ekonomi 2021 tumbuh 5 persen. Ada yang mengatakan target ini seperti mimpi di siang hari. Tidak jelas faktor apa yang membuat ekonomi 2021 bisa tumbuh 5 persen. Sulit dimengerti. Optimis tanpa realistis?
Ekonomi Indonesia turun Rp408,7 triliun pada tahun lalu. Tetapi, konsumsi domestik turun lebih tajam lagi, yaitu Rp664,7 triliun. Padahal tahun 2020 ada stimulus fiskal sangat besar. Defisit anggaran membengkak hingga Rp956 triliun.
Untuk bisa tumbuh 5 persen, ekonomi 2021 harus naik paling sedikit Rp1.000 triliun. Apakah mampu? Sangat diragukan.
Karena, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, pemerintah harus memberlakukan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang agresif, dan saling mendukung. Tetapi, sayangnya kedua kebijakan makro tersebut sedang lumpuh.
Pertama, keuangan negara dalam kondisi memprihatinkan. Artinya, stimulus fiskal tidak bisa diharapkan sebagai pengerak ekonomi. Utang pemerintah naik tajam. Rasio utang pemerintah terhadap PDB naik dari 24,7 persen (2014`) menjadi 39,4 persen (2020). Rasio ini diperkirakan akan naik terus, mencapai paling sedikit 52 persen pada akhir 2022. Mendekati batas maksimal 60 persen yang dibolehkan undang-undang.
Kedua, sumber utang dari dalam negeri juga semakin terbatas. Jumlah kredit secara nasional hanya sekitar Rp6.000 triliun. Jumlah simpanan dan tabungan masyarakat juga sekitar Rp6.000 triliun juga. Sehingga sulit memberi pinjaman kepada pemerintah dengan defisit anggaran Rp3.600 triliun lebih untuk tahun 2020, 2021 dan 2022 (estimasi). Kondisi ini berpotensi membuat suku bunga naik, dan menghambat pemulihan ekonomi.
Oleh karena itu, Bank Indonesia sepertinya masih akan menjadi kasir utama pemerintah untuk membiayai pembengkakan defisit anggaran. Istilah awamnya, cetak uang.
Utang luar negeri Indonesia juga naik terus, dari 141 miliar dolar AS pada 2007 menjadi 423 miliar dolar AS pada Februari 2021. Naik tajam. Yang mengejutkan, motor penggerak utang luar negeri ini ternyata dari BUMN dan pemerintah, dengan porsi 63,6 persen dari total utang.
Kenaikan utang luar negeri yang terlalu cepat ini akan menekan kurs rupiah. Yang sekarang diintervensi terus, atau di-doping, agar kursnya menguat. Ironisnya, doping ini justru harus menggunakan utang luar negeri lagi, membuat utang luar negeri naik lebih cepat lagi. Pada waktunya, doping ini tidak akan kuat menahan anjloknya kurs rupiah yang artificial, dan akan tergelincir.
Di lain sisi, pertumbuhan pendapatan negara terus melambat. Rasio pendapatan perpajakan terhadap PDB hanya 8,3 persen (2020). Turun tajam dibandingkan rasio 2008 yang sebesar 13,3 persen. Kalau ditambah dengan pendapatan negara lainnya (Pendapatan Negara Bukan Pajak), rasio pendapatan negara hanya 10,6 persen saja terhadap PDB.
Artinya, kebijakan fiskal sedang lumpuh.
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan moneter seharusnya didorong lebih agresif untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Artinya, suku bunga harus turun. Baik suku bunga Bank Indonesia dan juga suku bunga kredit. Keduanya harus turun.
Tetapi, kebijakan saat ini malah berlawanan. Salah arah. Suku bunga Bank Indonesia masih tinggi. Masih 3,5 persen. Sangat tinggi untuk periode resesi. Suku bunga kredit, apalagi. Sangat tinggi sekali. Rata-rata di atas 10 persen. Tingkat suku bunga ini bahkan lebih tinggi dari kebanyakan negara lainnya, bahkan pada situasi normal sekalipun. Artinya, kebijakan moneter saat ini tidak efektif. Bahkan kontraktif, dan menghambat pemulihan ekonomi.
Akibat suku bunga tinggi di masa resesi, kasus kredit macet akan meningkat. Kebanyakan nasabah tidak bisa membayar bunga dan cicilan, memicu kontraksi besar-besaran. Uang masyarakat akan tersedot ke sektor keuangan. Pertumbuhan ekonomi akan anjlok.
Artinya, kebijakan moneter juga sedang lumpuh. Tepatnya, (sengaja) dilumpuhkan, dengan bunga kredit yang tinggi.
Beritaneka.com—Perilaku Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, dinilai sangat tidak terpuji. Pasalnya, Azis meminta penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju untuk tidak menindaklanjuti dugaan korupsi Wali Kota Tangjungbalai M. Syahrial.
Menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, permintaan itu disampaikan Azis kepada Stepanus di rumah dinasnya pada Oktober 2020.
Sebagai Wakil Ketua DPR RI, perilaku Azis tentu sangat tidak beretika. Ia sudah mengabaikan sumpah jabatan dan kode etik sebagai Anggota DPR RI.
Azis juga sudah berupaya berkolusi dengan penyidik KPK dengan maksud untuk menghalang-halangi penyidikan tindak koorupsi. Tindakannya ini selain sudah mempermalukan lembaga DPR RI, juga telah memandulkan fungsi pengawasan DPR RI.
Bagaimana mungkin DPR akan melakukan fungsi pengawasan kalau ia berkolusi dengan pihak yang diawasi ?
Karena itu, perbuatan Azis selain terkait etika profesi sebagai Anggota DPR RI, juga menyentuh pidana tindak korupsi. Azis, secara langsung maupun tidak langsung telah menghalang-halangi penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya.
Atas dasar itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) selayaknya memproses kasus Azis tersebut secepatnya. MKD dapat melihat kasus ini sebagai perbuatan tidak terpuji yang selain mempermalukan Azis sebagai Anggota DPR RI juga merusak martabat lembaga DPR RI.
Untuk itu, MKD haruslah taat azas melihat kasus pelanggaran etika yang dilakukan Azis. Hanya dengan begitu marwah DPR RI dapat dijaga.
Sementara lembaga penegak hukum juga sebaiknya memproses kasus tersebut dari sisi pidananya. Para penegak hukum juga harus taat azas melihatkan kasus Azis semata dari sisi pidana. Semoga penegak hukum tak silau dengan jabatan Azis.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama.
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Krisis dan Strategi Public Relations
- Metode Penelitian Komunikasi
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Oleh: Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3
Beritaneka.com—Penuntasan kasus pembunuhan enam pengawal HRS secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak memeroses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan Komnas HAM yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel, tidak valid dan sarat rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan?
Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap.
Sebelumnya Rusdi di Mabes Polri mengatakan: “Pada Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka,” (6/4/2021). Hal yang mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa mereka tak kunjung ditahan aparat?
Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan.
Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam laskar sesuai skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak, pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario ini coba diselaraskan oleh Komnas HAM dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”.
Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu pula sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu.
Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdoa dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdoa, siang dan malam, agar Allah mengabulkan doa-doa kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran, atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban.
Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di KM 50. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil (?!), sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja!!).
Sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan keluarga seluruh korban pembunuhan juga sama, bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat (yang semula disangka preman, karena para aparat tak penah menyatakan identitas!), dan karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri.
Karena yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing, bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM.
Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini, dan juga menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada 9 maret 2021.
Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Kepolisian RI sesuai surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto (ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa Km 50 Tol Cikampek).
Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebutkan dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak.
Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut:
Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya.
Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.
Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan.
Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata).
Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di KM 50, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No.26/2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejagung.
Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM mengatakan terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat.
Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3, dan itu pula sebabnya TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut.
Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam.
Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama pulalah TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian KM 50 Tol Cikampek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan.
Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita, serta mengabulkan doa orang-orang yang dizalimi, para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah SWT kita bertawakkal.
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Utang luar negeri Indonesia menanjak terus. Iramanya seperti lagu anak-anak yang sangat populer. Naik-naik ke puncak gunung. Beberapa rasio utang luar negeri menunjukkan angka cukup mengkhawatirkan. Sudah over borrowing. Kata Bapak Kamrussamad, anggota DPR komisi XI.
Kenaikan utang luar negeri memang cukup pesat. Naik dari 141,2 miliar dolar AS pada 2007 menjadi 422,6 miliar dolar AS pada Februari 2021. Naik tiga kali lipat dalam 13 tahun. Kenaikan nominal utang luar negeri ini juga diikuti kenaikan rasio utang luar negeri. Berarti risiko utang luar negeri meningkat. Pertama, rasio pembayaran utang jangka pendek ditambah cicilan bunga terhadap ekspor (debt service ratio) naik dari 17,1 persen (2010) menjadi 27,9 persen (2020). Kalau dihitung berdasarkan pembayaran triwulanan, rasio utang luar negeri terhadap ekspor tersebut naik menjadi 30,1 persen. Artinya, risiko utang luar negeri semakin besar.
Kedua, rasio utang luar negeri terhadap ekspor naik dari 114,9 persen (2010) menjadi 215,2 persen (2020). Lonjakan kenaikan terjadi pada periode 2018-2020 yang naik dari 160,8 persen (2018) menjadi 183,32 persen (2019) dan kemudian naik lagi menjadi 215,2 persen (2020).
Kenaikan rasio ini menunjukkan pendapatan dolar (devisa) untuk membayar utang luar negeri semakin lemah. Karena utang luar negeri lebih banyak digunakan untuk aktivitas non-ekspor. Terjadi mismatch. Kalau sedikit tidak masalah. Tetapi lonjakan rasio ini menunjukkan bersifat struktural. Sangat berbahaya. Memang utang luar negeri pemerintah tidak untuk membiayai ekspor, karena praktis pemerintah tidak ada ekspor.
Sebagai konsekuensi, keperluan devisa untuk pembayaran utang luar negeri lebih mengandalkan utang luar negeri lagi. Ada yang memberi istilah ‘gali lobang tutup jurang’.
Ketiga, rasio utang luar negeri terhadap PDB juga naik tajam, dari 26,6 persen (2010) menjadi 39,4 persen (2020). Artinya, kenaikan utang luar negeri jauh lebih cepat dari kenaikan produksi nasional. Artinya, penggunaan utang luar negeri kurang produktif dalam meningkatkan ekonomi.
Dari ketiga rasio yang semuanya meningkat tajam dapat dikatakan pengelolaan utang, khususnya utang luar negeri, tidak dikendalikan dengan baik. Slogan yang mengatakan utang luar negeri dikelola dengan prudent, dengan hati-hati, tidak terbukti. Hanya slogan kosong.
Karena, faktanya, BUMN dan pemerintah berperan sebagai motor kenaikan utang luar negeri sejak 2015. Kenaikan utang luar negeri dari BUMN dan pemerintah jauh lebih besar dari kenaikan utang luar negeri swasta non-BUMN. Dan terkesan ‘ugal-ugalan’. Mencapai 24 miliar dolar AS pada 2017.
Utang luar negeri BUMN dan pemerintah yang lepas kendali ini menempatkan ekonomi Indonesia dalam bahaya. Kenaikan cadangan devisa ternyata semu. Karena diperoleh dari utang (luar negeri). Ketika asing stop memberi utang lagi, atau stop membeli surat utang korporasi BUMN dan surat utang negara, maka dapat memicu krisis valuta, krisis moneter dan krisis ekonomi.
Risiko tersebut semakin mendekati kenyataan. Mengingat menteri Keuangan sudah minta ‘arahan’ dan ‘bimbingan’ IMF dan Bank Dunia untuk menghadapi utang yang terus membengkak. Apakah artinya Indonesia akan minta ‘bail-out’? Kalau kondisi ekonomi terus memburuk, sangat mungkin sekali Indonesia akan menjadi pasien IMF lagi. Bukan karena pandemi. Tetapi karena salah kelola. Karena kenaikan utang luar negeri ‘ugal-ugalan’ sudah terjadi sejak 2015.
Beritaneka.com—Reshuffle kabinet sebaiknya meniadakan semua wakil menteri. Mereka ini praktis tidak terdengar kinerjanya. Kita tidak tahu yang dikerjakan para wakil menteri. Senyap, tanpa pemberitaan sama sekali.
Padahal rakyat berhak mengetahui apa yang dikerjakan para wakil menteri yang cukup banyak di kabinet Jokowi. Sebab, gaji mereka bersumber dari APBN. Wakil Menteri Pariwisata misalnya, kalau pun diberitakan hanya diinformasikan mendampingi Menteri Pariwisata Sandiaga Uno. Kalau tugasnya hanya mendampingi, untuk apa ada posisi wakil menteri.
Lebih baik tugas dan fungsi wakil menteri didistribusikan ke Sekjen dan dirjen. Mereka ini akan lebih mumpuni melaksanakan tugas-tugas yang diembankan kepada wakil menteri. Dengan begitu anggaran untuk wakil menteri dapat ditiadakan. Ini dengan sendirinya dapat mengurangi beban APBN yang memang sudah berat.
Hal itu juga sesuai dengan kondisi Indonesia yang sedang dilanda resesi ekonomi. Indonesia perlu melakukan pengetatan di semua bidang, termasuk meniadakan anggaran untuk wakil menteri. Agar kinerja kementerian tetap maksimal, presiden perlu mengganti menteri yang kinerjanya biasa-biasa saja. Tentu penggantinya harus memang memiliki kemampuan yang tidak biasa.
Masalahnya, apakah Jokowi cukup independen untuk mengganti para menterinya dengan orang-orang terbaik di bidangnya ? Kalau tidak, tentu reshuffle kabinet tidak akan membawa pengaruh signifikan kepada kinerja masing-masing kementerian.
Reshuffle kabinet jangan sampai hanya menjadi ajang bagi elit politik untuk bergantian menikmati kursi menteri. Kalau ini yang terjadi, maka reshuffle kabinet tidak akan meningkatkan kinerja kementerian.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Tipologi Pesan Persuasif
- Perang Bush Memburu Osama
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Krisis dan Strategi Public Relation
- Metode Penelitian Komunikasi
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP 1996 – 1999.
Oleh Rezza Artha
Ketua Kombid Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
Beritaneka.com—Pemerintah mendorong pertumbuhan perekonomian syariah sebagai alternatif baru yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tingkat pemahaman masyarakat akan konsep ekonomi syariah ini masih amat minim.
Apa eksesnya? Ya banyak, dan buruk..
Pertama, yang jelas literasi yang rendah melahirkan pemikiran yang salah. Banyak orang berpikir sistem bank syariah misalnya itu “pinjam 1.000 kembali 1.000”. Ini dobel-dobel salahnya dan membikin banyak orang tersesat.
Baca Juga: MES DKI Jakarta Dukung Pengembangan UMKM Berbasis Syariah
Memahaminya harus komprehensif. Harus utuh. Pertama, memang benar dalam aturan syariah jika pinjam 1.000 kembali 1.000, nah masalahnya bank syariah tidak membuka usaha peminjaman uang. Tidak ada itu transaksi pinjam meminjam uang. Jikapun ada itu bank syariah memberi pinjaman hanya untuk membantu proses take over misalnya. Setelah itu ya skema bisnis yang berlaku.
Apakah itu:
- Jual beli (ada margin keuntungan bank dari proses jual beli).
- Kerjasama investasi (ada margin bagi hasil dari proses investasi).
- Sewa menyewa (ada margin jasa sewa dari proses sewa menyewa).
Berpikir bank syariah tidak dapat untung itu sangat tersesat, sementara berpikir bank syariah memberi pinjaman juga sangat tidak tepat (tapi bagaimana lagi, kebiasaan di sistem konvensional semua semua diskemakan pinjam uang). Nah, pinjam uang disertai tambahan itulah yang dinamai riba.
Yang kedua, literasi yang rendah menghasilkan pemikiran yang negatif. Pemikiran ini seperti: labelnya saja syariah tetap saja ada bunganya.
Menyamakan keuntungan/bagi hasil/jasa sewa dengan bunga ini amat sesat. Walhasil pemikiran tentang sistem syariah menjadi negatif (ah itu label saja, branding saja).
Yang ketiga, literasi yang rendah menghasilkan prasangka buruk. Prasangka ini seperti: bank syariah itu Islamisasi. Waduh..
Ya memang benar dasar transaksi di perbankan syariah itu ajaran Islam. Akan tetapi ajaran Islam dalam hal muamalah (transaksi manusia dgn manusia) itu dapat diterapkan secara universal.
Coba cek 3 hal ini: (1) Jual beli, (2) Kerjasama investasi, (3) Sewa menyewa.
Apakah ketiga hal tsb hanya bisa dilakukan jika dan hanya jika anda orang Muslim? Tentu tidak. Ketiga transaksi tersebut bisa dilakukan oleh semua umat manusia tanpa batas batas apapun.
Keempat, masih banyak lagi dampak dampak buruk yang dilahirkan dari literasi yang rendah dalam perekonomian syariah. Saya kira ini tantangan terbesar para pelaku ekonomi syariah, terutama MES, sebagai asosiasi terbesar pemangku kepentingan perekonomian syariah di Indonesia.
Jangan sampai rendahnya literasi ini menjadi fireback terhadap usaha usaha baik yang sedang kita jalankan bersama demi perekonomian nasional yang semakin mantap melewati middle income trap yang terus mengancam.
Ini serius middle income trap ini, dan makin susah dilewati jika bangsa kita tak fokus dan distracted dengan isu isu sesat dan tak penting. Dan jika kita tak mampu melewatinya, ya sudah terbelakang ekonominya sepanjang masa. Mau?