Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Jumlah kasus baru harian covid-19 mengalami penurunan terus dalam beberapa hari belakangan ini. Kasus baru harian per 26 Juli 2021 anjlok menjadi 28.228 orang. Dalam dua hari ini saja, kasus baru harian turun hampir 40 persen. Tentu saja data tersebut, penurunan kasus baru harian akhir-akhir ini, terlihat agak ganjil. Karena hampir sulit dipercaya kasus baru harian bisa turun secara drastis.
Jumlah kasus baru harian covid-19 sangat mudah “dipengaruhi” (atau direkayasa). Oleh karena itu, metode perhitungan harus konsisten. Agar bisa diperoleh informasi dan data yang berguna: data yang obyektif dan bertanggung jawab. Agar pandemi covid-19 bisa dikendalikan sebaik-baiknya.
Karena kasus baru terinfeksi harian dipengaruhi oleh 1) jumlah test dan 2) komposisi test: PCR versus Antigen. Komposisi test yang tidak konsisten akan menghasilkan informasi atau data yang tidak bermakna. Artinya, tidak bisa dijadikan rujukan untuk pengendalian pandemi. Tidak bisa dijadikan dasar untuk mengetahui apakah kasus pandemi sudah membaik atau malah memburuk.
Pertama, jumlah absolut orang terinfeksi harian tidak mempunyai arti sama sekali kalau tidak didampingi data lainnya. Data pada Tabel 1A tidak mempunyai arti apa-apa kecuali hanya sebagai angka belaka. Penurunan kasus baru terinfeksi harian dari rekor 56.757 orang pada 15 Juli 2021 menjadi 38.325 orang pada 20 Juli 2021 tidak mempunyai makna.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meledak, Farouk Abdullah: Refleksi Kesalahan Paradigma Pembangunan Negara
Oleh karena itu, agar informasi dan data kasus baru terinfeksi harian ini bermakna, maka perlu data jumlah test untuk mengetahui positivity rate. Yaitu, berapa besar tingkat penularan covid-19 yang sedang terjadi di masyarakat. Semakin besar tingkat penularan maka semakin buruk pandemi ini.
Dapat dilihat bahwa jumlah test pada 20 Juli 2021 hanya 114.674 orang. Jauh lebih rendah dari jumlah test 15 Juli 2021 sebanyak 185.321 orang. Sehingga menghasilkan jumlah orang terinfeksi pada 20 Juli 2021 jauh lebih rendah dari 15 Juli 2021.
Tetapi, kalau dilihat dari tingkat penularan, yaitu positivity rate, kasus terinfeksi 20 Juli 2021 jauh lebih tinggi (33,4 persen) dibandingkan 15 Juli 2021 (30,6 persen). Artinya, tingkat penularan covid-19 masih sangat tinggi. Masyarakat rentan tertular. Karena itu, tidak boleh ada kerumunan.
Artinya, PPKM Darurat yang berakhir pada 20 Juli seharusnya diperketat. Begitu juga menjelang akhir PPKM pada 25 Juli 2021, positivity rate masih sangat tinggi: 31,2 persen. Dengan demikian, PPKM seharusnya diperketat untuk menurunkan kasus terinfeksi secepatnya. Lockdown. Bukan dengan level-level-an.
Kedua, kasus positivity rate juga dipengaruhi komposisi test: PCR atau antigen. Karena kedua test ini mempunyai positivity rate yang jauh berbeda. Sehingga perubahan komposisi test akan berdampak pada angka positivity rate total.
Asumsikan, tingkat positivity rate test PCR 50 persen, artinya ada 1 orang terinfeksi covid-19 dari setiap 2 orang yang di test PCR. Dan test antigen 10 persen, artinya ada 1 orang terinfeksi covid-19 dari setiap 10 orang yang di test antigen.
Kalau jumlah test ditentukan sebanyak 200.000 orang, terdiri dari test PCR 120.000 orang (60 persen) dan test antigen 80.000 orang (40 persen), maka jumlah orang terinfeksi menjadi 68.000 orang, Yaitu, 60.000 orang dari test PCR (120.000 x 50 persen) dan 8.000 orang dari test antigen (80.000 orang x 10 persen). Artinya, positivity rate secara total menjadi 34 persen (68.000 orang dari 200.000 orang).
Tetapi, kalau komposisi jumlah test PCR dan jumlah test antigen dibalik masing-masing menjadi 40 persen untuk PCR dan dan 60 persen untuk antigen, maka jumlah orang terinfeksi dari test PCR menjadi 40.000 (= 40 persen jumlah test x 200.000 orang x 50 persen positivity rate). Sedangkan jumlah orang terinfeksi dari test antigen menjadi 12.000. Sehingga total terinfeksi menjadi 52.000, atau hanya 26 persen. Lihat Tabel 2.
Kalau jumlah test dikurangi menjadi 100.000 orang, maka jumlah orang terinfeksi akan berkurang menjadi setengahnya juga. Yaitu, kalau komposisi PCR dan antigen 60 persen vs 40 persen maka jumlah orang terinfeksi menjadi 34.000. Turun drastis dari 68.000. Sedangkan kalau komposisi test PCR versus antigen menjadi 40 persen vs 60 persen, maka jumlah orang terinfeksi menjadi 26.000.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Prioritas Utama, Fathan: Hentikan Proyek Infrastruktur
Dari contoh di atas dapat dilihat betapa mudahnya “memengaruhi” jumlah orang terinfeksi harian. Melalui 1) jumlah test dan 2) komposisi test (PCR vs antigen).
Komposisi test pada bulan Juli 2021 dapat dilihat di Tabel 4. Test PCR semakin berkurang dalam seminggu terakhir. Membuat kasus positivity rate secara total seolah-olah turun. Informasi ini bisa menyesatkan. Karena komposisi test antara PCR dan antigen tidak konsisten.
Dalam hal ini, positivity rate dari test PCR harus menjadi pegangan utama dalam menentukan apakah kondisi pandemi membaik atau memburuk: bukan dari jumlah orang terinfeksi, dan bukan dari total positivity rate.
Ternyata kasus pandemi berdasarkan test PCR sejauh ini belum membaik. Positivity rate masih sangat tinggi. Seperti dapat dilihat dari Tabel 4. Artinya, pengendalian pandemi covid-19 sejauh ini belum berhasil menurunkan jumlah orang terinfeksi.
Dalam hal ini, positivity rate dari test PCR harus menjadi pegangan utama dalam menentukan apakah kondisi pandemi membaik atau memburuk: bukan dari jumlah orang terinfeksi, dan bukan dari total positivity rate.
Ternyata kasus pandemi berdasarkan test PCR sejauh ini belum membaik. Positivity rate masih sangat tinggi. Seperti dapat dilihat dari Tabel 4. Artinya, pengendalian pandemi covid-19 sejauh ini belum berhasil menurunkan jumlah orang terinfeksi.
Mari kita imajinasi. Kalau jumlah test pada 26 Juli kemarin diambil dari 250.000 orang, dan komposisi test terdiri dari 60 persen PCR dan 40 persen antigen, maka pada hari itu akan ada 67.000 jumlah orang terinfeksi.
Maka, sangat berbahaya kalau penurunan kasus terinfeksi harian diperoleh melalui perubahan test: perubahan jumlah test dan perubahan komposisi test. Karena perubahan ini dapat menyembunyikan bahaya sesungguhnya.
Yaitu, bermain dengan data pandemi, berarti bermain dengan nyawa manusia. Karena kesalahan informasi bisa berakibat fatal. Kebijakan yang diambil bisa salah fatal. Yaitu relaksasi “lockdown” sebelum waktunya. Yang akhirnya bisa membuat kasus terinfeksi melonjak dan tidak terkendali.
Oleh : Haidir Fitra Siagian, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
Beritaneka.com—Hampir tidak ada yang tahu celah negatif seorang alm. Prof. Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman era Presiden Abdurrahnan Wahid. Sebaliknya yang banyak adalah kita ketahui dari berbagai literatur tentang kejujuran dan keberanian beliau. Juga keseriusan dan kesederhanaannya.
Suatu ketika, seorang wartawan pernah bertanya kepada almarhum. Mengapa begitu jujur dan berani? Singkat saja jawabannya saat itu : “karena saya orang Mandar”!
Siapa orang Mandar itu? Dalam satu kesempatan, mantan Camat Sendana Majene, Irhamnia Muis Mandra, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang Mandar adalah orang yang sudah pernah tinggal di tanah Mandar, makan makanan orang Mandar, dan meminum airnya dari Mandar, maka itu berhak mengaku sebagai orang Mandar.
Baca juga: Pengalaman Pertama diperiksa Polisi Australia
Tetapi tidak berhenti sampai di situ. Orang Mandar adalah orang jujur dan berani dalam kebenaran, menghormati nilai-nilai budaya, kesopanan dan pengalaman ajaran-ajaran agama Islam. Jadi sesungguhnya inilah ciri khas orang Mandar yang dapat membedakannya dengan orang lain dari budaya yang berbeda.
Tentang kejujuran orang Mandar, ada tiga kasus yang akan saya utarakan di sini. Baik yang tidak terkait dengan saya, maupun yang terkait dengan saya, yang baru saja kualami.
Sekitar tahun 2002, terjadi kecelakaan mobil mewah yang ditumpangi oleh pejabat penting dari Kabupaten Bulukumba bersama keluarganya. Mobil tersebut meluncur ke sungai di Kecamatan Sendana. Tenggelam hingga ke dasar sungai. Tak lama kemudian, warga datang beramai-ramai hendak membantu.
Karena memang sungai cukup dalam, jadi terdapat kesulitan dalam mengevakuasi korban. Singkat cerita, semua korban dapat dikeluarkan dari mobil. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Jika tidak salah ingat, semua penumpang mobil itu meninggal dunia. Kira-kira 4-5 orang terdiri dari ayah yang seorang pejabat penting, istrinya, anaknya dan sopirnya.
Setelah itu, semua korban dibawa kembali ke Bulukumba. Beberapa waktu kemudian, datangnya perwakilan keluarga korban menemui warga desa setempat. Mengucapkan terimakasih karena telah membantu mengevakuasi korban. Hal yang paling indah kedengaran adalah menurut pihak keluarga, semua harta: perhiasan, emas, uang, jam tangan dan lain-lain utuh ditemukan, tak ada satupun yang hilang. Satu kejujuran orang Mandar!
Kedua, sekitar lima tahun lalu disebuah rumah sakit di kota Majene. Seorang ibu dari keluarga yang cukup berada dirawat dalam satu kamar kelas. Setelah sembuh, mereka pulang dengan membawa semua barang-barangnya. Lalu seorang anak muda yang baru menikah, yang berprofesi sebagai petugas kebersihan, menemukan sebuah tas perempuan, yang ternyata berisi uang puluhan juta Rupiah. Lalu sang anak muda ini justru melaporkan keberadaan tas itu kepada pimpinan rumah sakit.
Singkat cerita, sang pemilik tas tersebut dipanggil. Dia menghitung uangnya yang tertinggal bersama tasnya. Lengkap, tak ada selembarpun yang hilang. Lalu dia ingin memberikan sebagian uang kepada anak muda yang pertama kali menemukan tas tersebut. Ternyata anak muda itu menolaknya. “saya tidak ingin mendapat hadiah” katanya. Yang penting uangnya kembali dalam keadaan lengkap, saya sudah senang lanjut anak muda tersebut.
Baca juga: Warga Australia Ramaikan Halal bi Halal Diaspora Indonesia di Wollongong
Kejujuran yang ketiga. Ini saya alami sendiri, hari ini, beberapa saat lalu. Ketika saya hendak shalat dhuhur, saya sengaja mencari masjid kampung yang jauh dari kota Malunda. Sekitar lima kilometer saya naik motor mencari masjid. Akhirnya saya dapati masjid mungil dan sederhana.
Walaupun waktu dhuhur sudah masuk, tak ada yang datang. Saya azan sendiri, iqamah sendiri dan shalat pun sendiri. Setelah shalat, saya kembali ke rumah lagoku tempat saya nginap di Malunda. Setelah makan siang dengan ibu mertua, saya merasa ada sesuatu yang janggal.
Mana hapeku? Cari sana sini tak ditemukan. Coba dipanggil, ada nada dering tapi tak dijawab. Saya sudah agak pasrah. Mungkin terjatuh di jalanan. Tapi masih ada znada dering. Mungkin tertinggal di masjid yang kosong itu?
Satu jam lebih mencari dalam rumah, tak ditemukan. Alhamdulillah, tiba-tiba hape adik yang dipakai tadi bunyi. Tampak dalam layar namaku. Ternyata betul, seseorang telah menemukan hapeku dalam masjid. Dia meminta saya datang mengambilnya, di rumah persis samping masjid.
Ketika saya tiba di depan masjid, seorang anak muda yang baru seusai anak SMA keluar dari rumah. Tanpa ABC, dia langsung menyerahkan hapku. Alhamdulillah. Saya senang menemukan kembali hapeku, bukan soal harganya tapi banyak data di dalamnya yang sangat penting bagi saya.
Lebih dari itu, saya justru lebih senang lagi. Karena baru saja menemukan mutiara Mandar. Anak muda Mandar yang jujur atas nama agama dan budaya. Anak muda yang masih memegang teguh kehormatan. Kehormatan orang Mandar sebagaimana diperagakan alm. Prof. Baharuddin Lopa.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Pengendalian pandemi covid-19 di Indonesia terkesan tidak serius. Tidak seperti Vietnam atau New Zealand, dan beberapa negara tetangga lainnya yang sangat sigap. Mereka langsung menutup jalur penerbangan internasional guna memutus mata rantai penularan.
Hasilnya luar biasa. Tingkat penularan dan kematian covid-19 di negara-negara tersebut terkendali dengan baik. Vietnam hanya mencatat 35 orang meninggal sepanjang 2020. Selandia Baru 25 orang. Singapore 29 orang. Sedangkan Indonesia mencatat 22.138 orang meninggal karena covid-19.
Sedangkan sepanjang 2021 hingga 10 Juli, angka kematian di Vietnam hanya bertambah 77 orang menjadi 112 orang. New Zealand bertambah 1 orang menjadi 26 orang, Singapore bertambah 7 orang menjadi 36 orang. Indonesia bertambah 43.319 orang menjadi 65.457 orang.
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Angka kematian covid-19 per satu juta penduduk populasi di Indonesia juga tertinggi dibandingkan negara-negara tersebut.
Keberhasilan pengendalian covid-19 juga membawa berkah bagi pertumbuhan ekonomi. New Zealand dan Vietnam berhasil membukukan pertumbuhan ekonomi positif pada 2020. Sedangkan Indonesia yang nampaknya mengejar pertumbuhan ekonomi malah turun tajam, dari pertumbuhan plus 5,02 persen menjadi minus 2,07 persen, atau turun 7,09 persen.
Pertumbuhan ekonomi (%)
Kegagalan Indonesia dalam pemberantasan pandemi covid-19 dapat dirasakan sejak awal pandemi. Faktor ekonomi nampaknya lebih dominan dibandingkan faktor kesehatan. Lebih dominan artinya secara sadar lebih memilih ekonomi dari pada kesehatan. Meskipun secara sadar pula tahu bahwa hal ini bisa membahayakan nyawa manusia.
Sama seperti kebanyakan negara-negara lainnya, kasus (tertular) harian covid-19 di Indonesia juga naik di awal pandemi. Indonesia kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April 2020, dan dihentikan 3 Juni 2020.
Selama PSBB ini, kasus harian covid-19 tidak kunjung turun. Bahkan meningkat tajam dari 218 kasus menjadi 611 kasus. Dalam kondisi seperti ini, PSBB seharusnya tidak layak dihentikan. Malah harus diperketat.
Tetapi, faktanya PSBB dihentikan. diganti dengan PSBB Transisi. Alasannya tidak jelas dan tidak bisa masuk akal. Masyarakat curiga, PSBB dihentikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020, yaitu periode Juli sampai September.
PSBB Transisi yang tidak lain adalah relaksasi aktivitas masyarakat berlaku dari 5 Juni hingga 10 September 2020. Tidak heran, selama periode mengejar pertumbuhan ekonomi ini, selama PSBB Transisi ini, kasus harian covid-19 melonjak tajam dari 615 orang menjadi 3.276 orang.
Artinya, PSBB Transisi gagal. PSBB mengejar pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kasus tertular harian dan angka kematian covid-19 naik.
Mau tidak mau, PSBB diberlakukan lagi dari 14 September hingga 11 Oktober 2020. Kali ini dinamakan PSBB Ketat. Meskipun tidak ketat sama sekali. Terbukti, kasus harian covid -19 masih naik dari 3.505 orang menjadi 4.279.
Meskipun masih naik, PSBB Ketat dihentikan pada 11 Oktober 2020. Umurnya tidak sampai sebulan. Kenapa? Kenapa? Apakah demi mengejar pesta Pilkada serentak pada 9 Desember 2020? Demi mengejar masa kampanye ? Demi pesta yang membawa maut?
Tidak heran, selama PSBB Transisi yang longgar (12 Oktober 2020-17 Januari 2021) kasus harian covid-19 melonjak tajam dari 4.228 kasus menjadi 11.415 kasus. Angka kematian juga naik. Oleh karena itu, relaksasi PSBB ketika kasus masih tinggi merupakan kebijakan yang sangat salah.
Tapi, salah siapa? Tanggung jawab siapa? Apakah ada pihak yang bisa dimintakan tanggung jawabnya, kalau terbukti ini sebuah kesengajaan? Kesengajaan memilih ekonomi dari pada kesehatan?
PSBB Ketat terpaksa diberlakukan lagi pada 11 Januari 2021, dan kemudian dihentikan pada 22 Maret 2021. Selama periode ini kasus terinfeksi harian memang turun dari 9.602 kasus menjadi 5.841 kasus. Tetapi masih cukup tinggi, dan belum layak dihentikan. Tetapi, kenapa toh dihentikan? Sekali lagi, kenapa PSBB dihentikan sebelum waktunya?
Baca juga: PPN Multitarif Membahayakan: Menciptakan Kelas dan Strata Konsumen
Apakah kali ini untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kuartal II (April – Juni) 2021 yang digembar-gemborkan akan tumbuh 8 persen? Apakah hanya untuk membuktikan, atau berspekulasi, ekonomi Q2/2021 dapat tumbuh 8 persen?
Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, relaksasi PSBB sebelum waktunya membuat kasus harian covid-19 melonjak tajam. Kali ini melonjak dari 5.596 kasus menjadi 28.732 kasus. Dan menempati peringkat tertinggi dunia.
Kebijakan relaksasi PSBB sebelum waktunya juga membawa maut. Jumlah kematian hingga 10 Juli 2021 mencapai 43.319 orang, yang seharusnya tidak perlu terjadi seandainya kebijakan diambil lebih mementingkan kesehatan. Dengan kata lain, tidak melonggarkan PSBB sebelum waktunya. Yang nampaknya dilakukan demi kepentingan ekonomi, di atas nyawa?
Apakah akan ada yang bertanggung jawab atas “kelalaiain” ini? Atau “kesengajaan” ini? Sengaja memilih faktor ekonomi dari pada kesehatan dalam upaya pemberantasan covid-19, yang membawa maut, yang seharusnya bisa dihindarkan?
Oleh : Jamiluddin Ritonga, Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Rumor akan mundurnya menteri dari kabinet Joko Widodo (Jokowi) disampaikan Arief Poyuono.
Rumor tersebut tentu tidak boleh dianggap angin lalu. Sebab, sejarah politik Indonesia dipenuhi penghianatan dari dalam disaat kerajaan atau republik mengalami situasi krisis.
Penghianatan para menteri sangat nyata dikala pemerintahan Soeharto mengalami krisis multidimensi. Penghianatan para menteri dengan cara mengundurkan diri secara bersamaan membuat Soeharto tak dapat mempertahankan kekuasaannya. Soeharto akhirnya mengundurkan diri dan digantikan BJ Habibie.
Baca juga: Pemerintah Pilih PPKM Darurat Karena Lebih Ekonomis
Belajar dari kasus tersebut, tidak menutup kemungkinan peluang penghianatan para menteri terhadap Jokowi. Bisa jadi, ada menteri yang sudah tidak nyaman di tengah penanganan lonjakan kasus Covid-19.
Para menteri tersebut bisa saja kecewa karena merasa kurang dihargai. Perannya yang seharusnya besar dalam penanganan Covid-19, namun tidak diperolehnya karena peran itu diberikan kepada orang lain.
Namun bisa saja ada diantara menteri yang sudah melihat lemahnya pola penanganan krisis akibat Covid-19 sehingga tak yakin dapat mengatasinya. Mereka ini akhirnya merasa lebih baik mundur tetatur daripada nantinya mendapat getahnya.
Jokowi tentunya harus mengambil langkah strategis untuk mengatasi rumor tersebut. Setidaknya ia harus dapat mengembalikan soliditas kabinet yang dipimpinnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Kalau Jokowi tidak melakukannya dengan tepat, bisa saja rumor itu jadi kenyataan. Tentu ini berbahaya bagi kelangsungan kabinet Jokowi.
Tentu Jokowi tidak ingin nasibnya sama seperti Soeharto. Ia ditinggalkan para menterinya saat menghadapi krisis yang maha dasyat.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memilih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di 44 Kabupaten/Kota dan 6 provinsi di Jawa-Bali pada 3 – 20 Juli 2021. Keputusan ini diambil untuk menggantikan PPKM Mikro yang dinilai tidak efektif mengatasi lonjakan kasus Covid-19.
Padahal sebelumnya muncul wacana sebaiknya pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperketat atau Lockdown untuk menekan lonjakan kasus Corona pasca lebaran.
Pilihan Jokowi itu semakin membuktikan, pemerintah dalam penanganan Covid-19 berupaya menjaga keseimbangan sisi ekonomi dan sisi kesehatan. Padahal pilihan ini sudah terbukti tidak efektif. Kasus Covid-19 hingga saat ini tidak dapat dikendalikan, dan belakangan ini justeru menunjukkan grafik peningkatan yang sangat siginifikan.
Pemerintah seharusnya belajar, PSBB yang diperketat yang pernah dilaksanakan terbukti lebih dapat menekan lonjakan kasus Covid-19. Hanya saja, kebijakan ini membawa implikasi pemerintah harus menyiapkan konvensasi kepada masyarakat agar dapat bertahan hidup selama PSBB diberlakukan.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
Hal yang sama juga berlaku bila lockdown yang dipilih. Bahkan implikasi konvensasinya kepada rakyat akan lebih besar daripada kebijakan PSBB diperketat.
Padahal bertolak dari kasus di beberapa negara di Eropa, Selandia Baru, dan Korea Selatan, penerapan lockdown jauh lebih efektif dalam penanganan Covid-9. Bahkan negara teraebut sekarang sudah mendekati hidup normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19 dengan membebaskan warganya dari masker.
Jadi, pemerintah memilih PPKM Darurat tampaknya karena lebih ekonomis daripada PSBB diperketat atau lockdown. Kebijakan ini tetap memberi ruang ekonomi berjalan.
Dengan kebijakan tersebut, pemerintah bukan berarti terbebas dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Hal itu setidaknya diberikan kepada rakyat yang terimbas dari kebijakan PPKM Darurat.
Rakyat yang tidak mampu dan berpenghasilan tidak tetap di Pulau Jawa dan Bali haruslah diberi bantuan sosial. Kewajiban ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan yang diambil.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Kalau kebutuhan pangan rakyat tidak mampu dipenuhi selama PPKM Darurat, barulah pemerintah dapat menindak rakyatnya yang tidak patuh dengan aturan yang ditetapkan. Tapi kalau tidak, tidak sepantasnya pemerintah menindak rakyatnya apalagi menuntut untuk melaksanakan semua aturan PPKM Darurat.
Jadi, selama PPKM Darurat dilaksanakan hak pemerintah boleh dilaksnakan kalau kewajibannya minimal memenuhi pangan rakyatnya sudah dipenuhi. Kalau hak rakyat sudah dipenuhi, barulah pemerintah dapat menuntut rakyatnya melaksanakan kewajiban aturan PPKM Darurat. Termasuk tentunya semua pihak melaksanakan 3 T (testing, tracing, treatment) dan protokol kesehatan.
Hanya dengan begitu, PPKM Darurat diharapkan dapat menekan lonjakan Covid-19. Pemerintah dan rakyat melaksanakan bersama berdasarkan hak dan kewajibannya. Mungkin inilah yang dinamakan adil.
Menulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Oleh: Hadi Nur Ramadhan, (Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun)
Beritaneka.com—MOHAMMAD SIDDIK, Drs., M.A., lahir di Kuala Simpang, Aceh, pada 15 Januari 1942. Memulai pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Tanjung Pura, Langkat, lalu melanjutkan ke SMA di Medan. Sejak di bangku SMA mulai bersentuhan dengan kegiatan da’wah, yakni melalui aktivitasnya di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang dia mulai dari ranting SMA Negeri, ke cabang PII Kota Besar Medan, ke PII wilayah, sampai akhirnya pada 1962 duduk di PB PII.
Siddik Pindah ke Jakarta setelah ikut melaksanakan Muktamar PII ke X di Medan, karena pengalamannya ditarik menjadi pengurus PB PII 1962-1964 berlanjut sampai ke periode Alm Syarifudin Siregar (1964-1966) sampai Alm Husein Umar (1966-1968). Semua kegiatan di PII, dia anggap bagian dari kegiatan dakwah karena ia sering mengisi pelatihan dengan ceramah mengenai berbagai topik yang dihubungkan dengan konsep Islam Sambil Aktif di organisasi, Siddik melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi UI dan FSEP UNAS.
Kuliah Sambil Bekerja
Pada bulan Desember 1963, ayahandanya wafat. Saat itu Siddik sedang menghadiri Musyawarah Wilayah PII Sulawesi Utara di Manado. Karena kelangkaan komunikasi pada waktu itu, Siddik tidak tahu jika ayahnya meninggal dunia. “Tugas menghadiri Musywil PII di Manado belum selesai, namun seperti ada desakan untuk saya segera pulang. Karena tiket pesawat mahal, maka segera saya naik kapal laut. Lima hari kemudian, baru tiba di Jakarta. Saat itulah saya mendapat kabar wafatnya ayah. Saya segera mengusahakan pulang ke Medan, dan tiga hari perjalanan lagi baru tiba di kampung halaman,” kenang Siddik.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Sulit Terselamatkan
Setelah ayahnya meninggal dunia, pada mulanya Siddik merasa tidak mungkin lagi kembali ke bangku kuliah. Sebagai anak lelaki tertua dari delapan bersaudara, Siddik merasa harus menggantikan peran almarhum ayahnya, ketimbang melanjutkan kuliah dengan bekerja untuk membantu keluarga. Namun, ibundanya terus mendorong Siddik agar tetap melanjutkan kuliah di Jakarta. Karena dorongan ibundanya itu, Siddik memutuskan untuk melanjutkan kuliah sambil bekerja. Maka, Siddik pindah kuliah ke Fakultas Sosial, Ekonomi dan Politik Universitas Nasional (UNAS) yang membuka kuliah petang. Pada pagi harinya, Siddik bekerja sebagai staf lokal bagian pers Kedutaan Pakistan di Jakarta.
Selain karena pertimbangan harus bekerja, ada juga alasan lain. Di masa itu UI dan kebanyakan universitas negeri sudah mulai melakukan indoktrinasi. Kuliah yang diberikan sudah tidak murni ilmiah, dan tidak netral. Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno (PBR) diindoktrinasikan dan menjadi pegangan Pemerintah dan diajarkan di berbagai Politik, Ekonomi dan semua yang terangkum dalam Manipol Usdek (Manifesto Politik, Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) jadi mata kuliah wajib. Kampus UNAS yang pada waktu itu dipimpin oleh cendekiawan yang berintegritas, masih mampu menjaga independensinya.
Pada akhir tahun 1967, Siddik menyelesaikan kuliahnya di UNAS. Dia pun segera “melapor” kepada gurunya, Allahuyarham Mohammad Natsir untuk mendapatkan nasihat beliau. Natsir mengajaknya untuk bergabung di Dewan Da’wah yang waktu itu baru saja didirikannya di Masjid Al-Munawarah Tanah Abang Jakarta. Siddik menerima tawaran itu, sampai kemudian bekerja di lembaga internasional untuk waktu yang cukup panjang. Meskipun demikian, dalam aktivitasnya di luar negeri, Siddik tidak pernah putus komunikasi dengan Dewan Dakwah, khususnya dengan Natsir.
Sekretaris Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI)
Pada tahun 1966, ketika Siddik masih aktif di PB PII, ia pernah mengundang Sekretaris Jenderal Muktamar Alam Islami, Dr Inamullah Khan, untuk menghadiri Muktamar ke-12 PII di Bandung. Dalam perjalanan memenuhi undangan WAY, Siddik sempat menjadi tamu Mufti Besar Palestina, Syeikh Haj Al-Amin Al Husaini di markasnya waktu itu di Beirut, Libanon.
Pada tahun 1968, Siddik juga berjumpa dengan tokoh Ikhwanul Muslimin, Dr. Said Ramadhan, di Jenewa, Swiss. Siddik juga Pernah bertemu Pangeran Hassan, ketika itu Putra Mahkota Jordan; bertemu dengan Sekjen Muktamar Al-Quds dan pernah menjadi Menteri Wakaf Jordan, Dr Kamil Sharif. Tahun 1969 berjumpa dengan Direktur Jendral Urusan Islam Mesir, Dr. Taofiq Awaeidah, bersilaturrahmi dengan Sekretaris Jenderal Rabithah Al-Alam Al-Islami, Syeikh Ali Al Harakan, dan lain lain. Pertemuan dan silaturrahmi itu dapat terjadi antara lain karena rekomendasi Alm Dr. M. Natsir.
Meskipun kuliah sambil bekerja, kesenangan berorganisasi tetap dilanjutkan Pada tahun 1966 Siddik terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI) yang berafiliasi kepada World Assembly of Youth (WAY), Organisasi yang sebelum peristiwa G.30.S/PKI dibubarkan oleh Bung Karno karena dianggap berafiliasi ke Barat. WAY berpusat di Brussel, Belgia. KPI ini merupakan organisasi yang mewadahi para pemuda dan pelajar yang berhaluan kanan, antikomunis. Ada sekitar 17 organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang bergabung dalam KPI.
Sebagai Sekjen KPI, Siddik terobsesi melatih pemuda dan mahasiswa Indonesia agar bisa tampil dalam dinamika dunia internasional. Dia mengirimkan pemuda dan mahasiswa ke luar negeri, antara lain Lukman Harun, Arif Rahman, dan Asnawi Latif ke Eropa, Umar Basalim ke India, Mansur Amin ke Srilanka. Mereka kemudian pulang dan membawa pengalaman training-training yang mereka di luar negeri. Setelah pemilu 1971 KPI direkayasa oleh Golkar, Pemenang Pemilu dan Pemerintah menjadi wadah tunggal organisasi pemuda bernama Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai bagian dari politik penyeragaman Orde Baru untuk mewujudkan Sistem politik mayoritas tunggal.
Setelah empat tahun menjadi Sekjen KPI, pada tahun 1970. Siddik terpiih menjadi salah satu dari lima delegasi sekaligus juru bicara delegasi Indonesia pada Kongres Pemuda sedunia yang diadakan oleh PBB di New York. Kongres itu diselenggarakan sekaligus dalam rangka ulang tahun PBB yang ke-25. Dengan persetujuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyusun delegasi RI bersama Departemen Iuar Negeri, Siddik kemudian meneruskan studi Magister dalam Internasional Development Studies di Fairleigh Dickinson University, New Jersey.
Karena datang tanpa beasiswa, untuk membiayai kuliah dan kehidupannya di rantau serta keluarga yang ditinggalkan, Siddik bekerja di restoran, menjadi satpam, pegawai toko buku, dan bekerja di toko swalayan. Siddik menyelesaikan studi magisternya pada pertengahan 1971 dalam waktu setahun. Kembali ke Jakarta pada tahun itu, Sidik kembali mengabdi di Dewan Da’wah sambil mengajar di IKP Jakarta (Sekarang UNJ) dan Lembaga Indonesia Amerika (LIA)
Dari New York ke Katmandu
Setelah itu, dalam rentang waktu tahun 1973 hingga 2002, Siddik bekerja di UNICEF, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di New York dan Katmandu, Nepal, di Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Jeddah dan di Islamic Development Bank (IDB) juga bermarkas di Jeddah, Saudi Arabia.
Sebagai seorang staff junior di PBB, Siddik terbiasa membantu para seniornya dari kalangan Muslim memersiapkan beberapa kegiatan keagamaan rutin di Markas Besar PBB seperti diskusi tentang Islam, shalat Jum’at berjamaah untuk staff dan delegasi yang pada awalnya menggunakan salah satu ruang serbaguna yang kecil. Ia juga biasa mempersiapkan logistik untuk pengajian rutin dan ikut membantu pengajian masyarakatan dan mahasiswa Muslim yang diadakan oleh Muslim Students Association (MSA) cabang Columbia University Yang waktu itu diketuai oleh Mohammad Kamal Hassan, kelak menjadi rektor Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia.
Khusus di kalangan masyarakat Indonesia, Siddik mengambil Inisiatif mengdakan pengajian rutin dari rumah ke rumah, yang alhamdulillah, karena masyarakat Indonesia di New York berhasil berkembang pindah ke aula Konsulat Jenderal RI di New York. Lebih kurang 20 tahun yang lalu membangun Masjid Komunitas Indonesia, Al-Hikmah di bilangan Queens.
Ketika bertugas di Katmandhu, sebagai Staf PBB(UNICEF) di Nepal selama dua tahun ia juga berusaha mengadakan aktifitas dakwah di sana bersama teman-teman cendikiawan Muslim yang jumlahnya sangat sedikit karena Muslim di Nepal memang minoritas. Ketika itu sangat sedikit informasi mengenai keberadaan kaum muslimin di daerah-daerah terpencil.
Untuk mencari data dan informasi yang diperlukan untuk membuat perencanaan, terutama di pedalaman Nepal, Siddik mengutus beberapa dosen muda pergi ke pedalaman untuk mencari data dan membuat studi sedehana tentang kaum Muslimin yang tinggal terisolir di kampung-kampung. Siddik juga ikut membantu mensponsori penerjemahan dan penerbitan buku-buku tentang Islam kedalam bahasa Nepal yang pada waktu itu sangat langka di daerah pegunungan tinggi Nepal.
Membidani Kelahiran WAMY
Melalui berbagai pertemuan internasional di forum World Assembly of Youth (WAY), pada akhir 1960-an Siddik dengan beberapa kawan mengajak delegasi Muslim dari berbagai negeri yang berafiliasi kepada WAY, seperti Anwar Ibrahim dari Malaysia untuk mendirikan semacam WAY untuk dunia Islam. Maka setelah itu Siddik dengan beberapa kawan seperjuangan membuat pernyataan bersama untuk menyatakan komitmen mendirikan organisasi pemuda Islam sedunia yang juga dirasakan oleh pemuda dan mahasiswa Muslim di negeri-negeri lain di luar forum WAY.
Pada tahun 1973, Presiden Libya, Moammar Qadhafi, mengadakan Konfrensi Pemuda Islam Sedunia di Trapoli. Siddik dan beberapa tokoh pemuda dan mahasiswa dari Indonesia hadir pada Konferensi tersebut. Sayang pertemuan Tripoli tidak berhasil, karena Qadhafi ingin menerapkan “teori alam ketiga” dan Kitabul Akhdar (Buku Hijau) yang menjadi dasar gerakan Pan Arabisme, sedangkan mayoritas delegasi menghendaki dasar Islam saja. Sekadar untuk diketahui, teori alam ketiga itu membagi dunia atas tiga lapis atau tiga lingkaran. Lapis inti adalah dunia Arab, lingkaran kedua dunia Islam, dan lingkaran terluarnya adalah negara berkembang.
Baru pada pada pertemuan yang diadakan di Saudi Arabia atas inisiatif Menteri Pendidikan Tinggi Sheikh Hasan Al Sheikh, gagasan membentuk organisasi pemuda Islam sedunia ini dapat direalisir dengan lahirnya World Assembly of Moslem Youth (WAMY) dengan kegiatan utamannya da’wah dalam pengertian mengajak atau mengundang melalui seminar, Penerbitan, pendistribusian buku-buku, bantuan pendidikan/beasiswa, ceramah, dan lain-lain.
Beasiswa untuk Negeri Minoritas Muslim
Pada tahun 1979 setelah berhenti dari PBB, Siddik bekerja di OKI, Jeddah, Saudi Arabia dari 1979 hingga 1984. Ketika itu Siddik merasa kurang puas, karena OKI tidak berbuat banyak mengatasi konflik antar negeri-negeri Islam terutama antara Iran dan Irak. Meskipun OKI berhasil menjalin solidaritas dan Kerjasama antar negeri-negeri Islam. Oleh karena itu, ketika pada tahun 1984 ada kesempatan pindah ke Islmic Development Banking (IDB), Siddik segera berkonsultasi dengan Duta Besar RI di Saudi Arabia, Letnan Jenderal (Purn) H. Achmad Tirtosudiro. Siddik pun hijrah dan bekerja di IDB selama 17 tahun di kantor pusat di Jeddah, dan empat tahun di Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai Direktur IDB untuk wilayah Asia Pasifik.
Selama di OKI, dan kemudian di IDB, Siddik selalu membantu Dewan Da’wah dengan mengirim informasi mengenai kegiatan dakwah di berbagai belahan dunia Islam dan terus memelihara hubungan baik dengan Bapak Mohammad Natsir.
Setelah menyelesaikan tugas di Kuala Lumpur dirinya ditarik mengisi posisi sebaga Direktur Technical Cooperation dan ketika memasuki umur 60 tahun pengabdiannya, Siddik mengundurkan diri karena sudah berniat akan berkiprah di Tanah Air. Pada awal di IDB Siddik diberi tugas mengembangkan program beasiswa IDB untuk masyarakat di negeri-negeri minoritasas Muslim, terutama untuk pendidikan kedokteran, tehnik, pertanian dan eksakta lainnya. IDB memillih program tersebut sebagai sebuah terobosan untuk membangun sumber daya insani di negeri negeri Muslim minoritas yang memang sangat ketinggalan.
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Survey yang diadakan di negeri negeri seperti Filipina, Myanmar, Kamboja, Sri Langka, Nepal, Ghana, Tanzania, Nigeria, Kenya, Siera Leone, Malawi dan lain lain; menunjukkan sangat sedikit atau hampir tidak ada profesi dokter, insinyur, ahli pertanian, dan profesi pembangunan lainnya yang dipegang oleh orang Muslim. Para orang enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah umum, karena sejak awal didirikan oleh para missionaris atau zending yang bertujuan memengaruhi agama anak didiknya.
Melalui program beasiswa dokter gigi IDB, selama 20 tahun terakhir sudah ada lebih dari dua ribu dokter, insinyur ahli pertanian, dan lain-lain. Di Indonesia dewasa puluhan mahasiswa IDB dari Myanmar, Vietnam dan Kamboja yang belajar di UGM, UI, IPB, Universitas Brawijaya (Unibraw). dan lain-lain.
Naluri dakwah Siddik, mendorong terlaksananya program conselling untuk mahasiswa yang sedang belajar. Untuk Itu di setiap negeri dia mengangkat Consellor Kehormatan dan kalangan akademisi dan gerakan yang berwawasan Islami untuk memberi bimbingan rohani dengan pengajian (taklim) setiap dua pekan, minimal sebulan sekali, dan mengarahkan mereka untuk terus memperkaya bekal ilmu agama dan kepemimpinan agar bila mereka kembali dapat memimpin masyarakat Muslim di negaranya masing-masing. Pengalaman Siddik selama mengelola training di PII dan HMI, dikombinasi dengan pengalaman ahli-ahli pengembangan masyarakat dan conselling yang direkrut khusus untuk menguatkan aspek ini. Banyak peserta program IDB ini yang sekarang menjadi dokter, insinyur, ahli pertanian, apoteker, dan lain-lain, memainkan peranan manajerial dalam pembangunan negeri mereka.
Kembali ke Dewan Da’wah
Setelah melanglang buana selama hampir 30 tahun, Siddik berusia 60 tahun, Siddik memutuskan pulang ke Indonesia. Dia ingin mengabdi ke Tanah Air yang sudah lama ditinggalkan, Siddik kembali ke markas habitatnya, Dewan Da’wah Indonesia yang sejak masih muda ia banyak menimba ilmu dan ketauladan dari tokoh-tokoh Masjumi pendiri Dewan Dakwah itu.
Saat kembali ke markas besar, Siddik diamanahi menjadi salah seorang ketua Dewan Dakwah. Pada periode berikutnya, Sidik diberi amanah menjadi Ketua Badan Pengawas sesuai UU Yayasan yang baru. Siddik juga sempat diamanahi sebagai Direktur Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh (LAZIS) Dewan Da’wah yang diresmikan oleh Menteri Agama RI bulan September 2002 sesuai dengan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Zakat. “Melalui LAZIS, kami ingin menghadirkan perananan Dewan Dakwah menangani korban bencana alam di hampir seluruh Indonesia, memberikan pelayanan kesehatan Gratis, membuat program rehabilitasi ekonomi untuk korban bencana alam.
Dengan pengalaman dan networking yang luas, melalui LAZIS Dewan Da’wah Siddik berusaha mencari dukungan untuk pendanaan da’i Dewan Da’wah yang ditempatkan diberbagai daerah di seluruh Tanah Air. Siddik juga sempat diberi amanah memimpin perusahan travel biro pelayanan Haji dan Umrah milik Dewan Da’wah sebagai bagian dari kegiatan Dewan Da’wah yang kelebihan pendapatannya untuk mendukung kegiatan Dewan Da’wah.
Tahun 2015, Dewan Pembina sepakat memilih Siddik menjadi Ketua Umum Dewan Da’wah menggantikan K. H. Syuhada Bahri yang menyatakan mengundurkan diri. “Tugas ini sangat berat” kata Siddik berterus terang. Menurut Siddik, tugas memimpin Dewan Dakwah terasa berat bukan saja karena dia harus belajar dari kepemimpinan, kesahajaan, dan keitiqomahan para pendiri Dewan Dakwah. Di era kepemimpinan Dewan Da’wah saat ini Siddik juga dituntut untuk terus berjuang Dengan tantangan dakwah yang semakin kompleks melalui tiga pilar da’wah, masjid, pesantren dan kampus, mulai kebodohan, kedhu’afaan, sampai kepada tantangan-tantangan ideologis seperti Komunisme, Kristenisasi, dan aliran-aliran yang Menyimpang. Tentu kerangka Dewan Da’wah dengan gerakan bina’an wa difa’an harus terus dilakukan sepanjang zaman.
Hadza Min Fadhli Rabbi
Sejak kecil pria berdarah Pakistan ini suka merenungkan kata-kata hikmah dan mutiara bijak yang sering ia lihat di beberapa surat kabar dan majalah. Salah satu renungan hikmah yang menjadi inspirasinya adalah: “hiduplah sebelum kelahirannmu dan matilah sebelum meninggalmu.” Artinya jadilah orang yang baik yang selalu diidamkan orang dan selalu dikenang orang. Orang baik itu sebelum tiba di suatu tempat atau sebelum ia dilahirkan di tempat itu, orang sudah mendengar kebaikannya dan orang mengharapkan kehadirannya, dengan kata lain ia sudah hidup sebelum kehidupannya di tempat itu.
Selanjutnya meskipun nanti si orang baik itu pindah dari tempat itu, orang sudah mengenang dirinya karena kebaikan dan jasa-jasa serta sumbangannya untuk masyarakat yang ditinggalkannya itu, seolah-olah dia masih hidup dan masih belum meninggalkan tempat itu. “Tapi ini adalah motto kehidupan, atau filsafat kehidupan yang saya dambakan dan suatu keinginan yang tidak mudah diwujudkan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai dan menolong kita merealisasikan mimpi” kata Siddik.
Dalam usia 78 tahun, Siddik masih terlihat segar, meskipun pada tahun 2005 Sempat mengalami Operasi bedah jantung. “Alhamdulillah, ini semua karena Allah, hadza min fadli Rabbi,” katanya merendah dan dengan penuh rasa Syukur
Pria yang lahir dari keluarga sederhana ini dan Aceh, tumbuh dan besar dalam lingkungan yang sangat peduli kepada pendidikan dan dakwah. Itu pulalah yang membuatnya beraktifitas di organisasi dakwah tingkat nasional hingga internasional. Siddik yang banyak disapa Bang Siddik, Ustadz Siddik, dengan kegiatannya yang banyak terkadang sedih karena tidak bisa selalu bersama anak cucu.
Istri tercintanya meninggal pada September 2011 dan dapat karunia Allah seorang pendamping hampir lima tahun kemudian. Melihat jejak hayatnya, kakek 15 cucu yang tinggal di bilangan Condet Jakarta Timur ini, layak diberi amanah memimpin Dewan Dakwah. *
Sumber: Hadi Nur Ramadhan, “Mohammad Siddik: Tugas Ini Sangat Berat”, dalam Lukman Hakiem, Mengenal Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta: Panitia Seabad Dewan Dakwah, 2018.[]
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Ekonomi Indonesia sedang kritis. Bahkan sudah kritis jauh sebelum pandemi covid-19. Pandemi hanya sebagai pemicu ledakan bom waktu.
Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 (Q1/2021) minus 0,74 persen dibandingkan Q1/2020. Minus empat kuartal berturut-turut. Q2/2021 bisa membuat pemerintah agak sedikit lega. Karena pertumbuhan Q2/2021 akan positif. Tetapi bukan berarti pertumbuhan ekonomi sudah pulih. Pertumbuhan Q3/2021 bisa anjlok lagi.
Tetapi, masalahnya bukan di pertumbuhan ekonomi. Permasalahan yang kronis ada di keuangan negara. Permasalahan fiskal. Keuangan negara dalam kondisi sangat kritis. Secara teknis dapat dikatakan bangkrut.
Penjelasannya begini. Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB turun dari 11,4 persen (2014) menjadi 9,8 persen (2019). Kemudian anjlok menjadi hanya 8,3 persen (2020). Dan anjlok lagi menjadi 7,3 persen (Q1/2021). Kritis.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Di lain sisi, rasio beban bunga terhadap PDB naik terus membebani anggaran yang terus menciut. Naik dari 1,3 persen (2014) menjadi 1,7 persen (2019). Kemudian naik lagi menjadi 2 persen (2020 dan Q1/2021). Beban bunga ini pun sudah dibantu oleh Bank Indonesia, yang kasih utang ke pemerintah tanpa bunga, atau dengan suku bunga ringan.
Akibatnya, defisit anggaran dan utang pemerintah melonjak. Karena penurunan penerimaan negara tidak diikuti penurunan belanja negara yang masih tetap tinggi. Defisit anggaran tahun 2020 mencapai 6,2 persen dari PDB. Defisit 2021 dianggarkan 5,7 persen.
Defisit anggaran tersebut membuat rasio utang pemerintah terhadap PDB naik tajam, dari 24,7 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Dan melonjak menjadi 39,4 persen (2020). Diperkirakan akhir tahun 2021 ini rasio utang mencapai 46 persen hingga 48 persen dari PDB.
Oleh karena itu, sulit disanggah kondisi fiskal saat ini sedang kritis. Bahkan sulit terselamatkan. Semua pilihan kebijakan akan berakibat buruk. Berakibat resesi. Mari kita lihat lebih detil, kebijakan apa saja yang bisa menjadi pilihan.
Defisit anggaran lambat laun akan kembali ke batas maksimal 3 persen dari PDB. Saat ini defisit anggaran sekitar 6 persen dari PDB. Berarti akan ada pengurangan defisit sebesar 3 persen dari PDB. Yang cuma dapat dicapai dengan dua cara.
Pertama, memangkas belanja negara. Defisit saat ini sekitar 6 persen. Untuk mendapatkan defisit 3 persen, maka belanja negara harus turun sekitar 3 persen (dari PDB), atau sekitar Rp450 triliun. Akibatnya, ekonomi akan kontraksi. Bisa turun 3 sampai 6 persen.
Karena setiap penurunan 1 persen konsumsi (dari PDB), ekonomi bisa kontraksi antara 1 sampai 2 persen, bahkan bisa lebih. Kalau pemerintah ada hitungan lain, mohon penjelasannya.
Kedua, defisit anggaran bisa dikurangi dengan menaikkan pendapatan negara. Dengan cara menaikkan pajak. Yang paling mudah dan mungkin efektif menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti sekarang yang sedang diinisiasi, dan dibahas di DPR.
Kalau ini terjadi, maka penerimaan pajak (PPN) akan naik, dan defisit anggaran berkurang. Utang juga berkurang. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari pengurangan utang dengan memangkas belanja negara, seperti dijelaskan pada butir pertama di atas. Karena, kenaikan PPN berbuah inflasi. Daya beli turun.
Kenaikan PPN akan membuat konsumsi masyarakat turun sebesar kenaikan PPN yang masuk ke kas negara. Dampaknya, setiap penurunan 1 persen konsumsi masyarakat (dari PDB) untuk menambal defisit anggaran, ekonomi akan kontraksi sekitar 2 persen hingga 3 persen.
Baca juga: BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri
Itu menurut sebuah kajian di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia? Apa konsekuensi kebijakan kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan sosial?
Kenaikan pajak membuat pertumbuhan ekonomi melemah, merupakan hal tidak terbantahkan. Karena pajak dan pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi negatif. Kalau pajak naik, pertumbuhan ekonomi akan turun. Kalau pajak turun, pertumbuhan ekonomi akan naik. Makanya pajak merupakan instrumen utama kebijakan fiskal.
Dengan demikian, kita sudah harus siap siaga menghadapi krisis dan resesi berkepanjangan di 2022. Seiring dengan diberlakukannya kenaikan dan perluasan PPN.
Pilihan ketiga adalah mempertahankan status quo. Kebijakan fiskal berjalan seperti sekarang. mempertahankan defisit anggaran tinggi. Peraturan dan UU yang menghalangi akan diubah. Kalau ini menjadi pilihan, maka keuangan negara dipastikan juga ambruk. Utang menggunung. Mungkin Bank Indonesia harus terus cetak uang. Inflasi akan melonjak. Kepercayaan luar negeri luntur. Devisa kabur. Selamat datang 1998.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Rencana perubahan pajak merupakan topik yang menarik dan perhatian masyarakat luas. Karena pajak memengaruhi kehidupan seluruh masyarakat . Apalagi terkait rencana kenaikan tarif dan perluasan barang kena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Khususnya PPN sembako, pendidikan, kesehatan, asuransi, dan lainnya yang menjadi soroton masyarakat luas. Karena akan menguras isi kantong masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.
Perdebatan kenaikan tarif PPN (dari 10 persen menjadi 12 persen atau bahkan 15 persen) akan menjadi debat tanpa akhir. Alias debat kusir. Karena inti dari kebijakan ini adalah untuk mengisi kas negara yang sedang kosong dengan defisit besar.
Permasalahannya, apakah mengisi kas negara yang sedang kosong dengan PPN sudah tepat? Apa dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat,terutama yang berpendapatan rendah? Apa dampaknya terhadap kemiskinan?
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Apalagi banyak pihak berpendapat bahwa kas negara kosong akibat pemberian berbagai fasilitas pajak, terutama kepada golongan masyarakat menengah atas. Seperti pengurangan pajak penjualan dan barang mewah (PPnBM). Dan berbagai pengurangan pajak lainnya sejak 2015. Dibungkus dalam paket kebijakan ekonomi. Termasuk Tax Amnesty.
Sedagkan paket kebijakan ekonomi yang sampai 16 jilid tersebut tidak menunjukkan hasil. Alias gagal. Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak. Pertumbuhan pendapatan negara malah turun. Artinya, yang terjadi adalah pemborosan kas negara akibat pengurangan pajak. Terjadi transfer payment dari pembayar pajak melalui negara ke masyarakat penerima pengurangan pajak. Yang notabene adalah masyarakat kelas atas.
Tetapi, ironi, yang harus menanggung kegagalan kebijakan tersebut, yang harus menanggung kas negara yang kosong, masyarakat golongan bawah. Melalui kenaikan dan perluasan PPN hingga sembako dan produk pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Memang masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sangat besar menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi bahan makanan pokok.
Rencana PPN ini sangat buruk bagi masyarakat. Karena PPN bersifat regresif. Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah membayar (persentase) pajak lebih besar. Dan, semakin rendah penghasilannya, semakin besar persentase pajak yang dibayar dari penghasilan tersebut.
Pemerintah mencoba mengatasi ketidakadilan PPN ini dengan PPN multi-tarif. Katanya, barang konsumsi untuk masyarakat berkecukupan dapat dikenakan tarif PPN lebih tinggi. Barang konsumsi untuk masyarakat berkekurangan dikenakan tarif PPN lebih rendah. Sehingga adil. Katanya berargumen.
Dicontohkan, beras bisa diklasifikasi premium, medium dan sebagainya. Di mana tarif PPN bisa berbeda-beda. Atau jenis daging, ada daging wagyu atau daging di pasar. Juga bisa dikenakan tarif PPN yang berbeda.
Solusi PPN multi-tarif seperti digambarkan di atas justru berbahaya. Menunjukkan pemerintah tidak memahami permasalahan dan konsekuensi ekonomi politik fiskal dan perpajakan.
Pertama, keadilan pajak adalah persepsi. Kalau definisi adil adalah penghasilan besar harus membayar (persentase) pajak lebih besar, maka mekanisme adil ini hanya bisa dipenuhi dengan pajak penghasilan dengan tarif progresif. Seperti sekarang juga berlaku. Tapi mungkin belum cukup. Sedangkan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah membayar persentase pajak lebih rendah, bahkan tidak sama sekali.
Uang pajak dari pembayar pajak bisa digunakan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Membantu biaya pendidikan, biaya kesehatan, atau subsidi-subsidi lain yang diperlukan untuk meringankan biaya hidup. Agar masyarakat tidak mampu bisa hidup lebih layak dan menikmati pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Mekanisme pajak penghasilan progresif dan redistribusi pendapatan (transfer payment) merupakan instrumen utama untuk mengatasi permasalahan kesenjangan sosial.
Dengan demikian, permasalahan keadilan pajak selesai di tingkat pajak penghasilan. Sisa penghasilan setelah pajak (disposable income) digunakan untuk konsumsi. Barang konsumsi ini bisa dikenakan pajak lagi yang dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Karena keadilan pajak sudah selesai di tingkat Pajak Penghasilan, maka semua masyarakat mempunyai posisi yang sama, dan seharusnya membayar pajak yang juga sama, di tingkat pajak konsumsi: PPN.
Kalau PPN dibuat multi-tarif menurut golongan penghasilan, maka masyarakat secara langsung terbagi ke dalam kelas atau strata. Karena akan ada produk atau jasa untuk orang kaya dan orang miskin, dibedakan dengan tarif PPN. Ada beras orang kaya dan beras orang miskin. Ada sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin. Ada rumah sakit orang kaya dan rumah sakit orang miskin. Dan seterusnya. Sungguh tidak terbayangkan betapa kacaunya Republik ini jadinya.
PPN multi-tarif yang biasa diterapkan di beberapa negara di atur menurut golongan barang. Untuk makanan, minuman dan kebutuhan sehari-hari bisa dikenakan PPN tarif rendah. Selain itu dikenakan PPN tarif tinggi. Tapi semua orang membayar tarif PPN yang sama. Sehingga masyarakat tidak terbagi ke dalam kelas dan strata.
Semoga pemerintah tidak gagal paham mengenai PPN multi-tarif, tidak gagal paham mengenai fungsi pajak penghasilan sebagai instrumen redistribusi pendapatan untuk mengatasi kesenjangan sosial. Semoga pemerintah dan DPR membatalkan rencana perluasan PPN ini.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitad Esa Unggul.
Beritaneka.com—Dunia akademik di Indonesia dikejutkan dengan rencana Universitas Pertahanan (Unhan) akan menganugrahkan jabatan akademiki profesor kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada hari ini, Jumat (11/6/2021).
Terkejut karena para akademisi untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi itu memerlukan proses panjang dan berliku. Pendidikannya juga harus lulusan S3 (doktor)
Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1000.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
KUM tersebut dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah.
Bahkan akademisi harus menulis artikel yang dimuat di Scopus. Hingga saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus.
Karena itu, para akademisi merasa tidak adil bila ada seseorang yang terkesan begitu mudahnya memperoleh jabatan profesor. Moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut.
Apalagi kesan politis begitu kental dari pemberian jabatan profesor tersebut. Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis.
Karena itu, Menteri Pendidikan seyogyanya menertibkan pemberian jabatan profesor. Sudah saatnya aspek politis dipisahkan secara tegas dengan aspek akademis dalam pemberian profesor.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Untuk itu, sudah saatnya menteri pendidikan tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor. Sebab, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis.
Pemberian jabatan profesor sudah saatnya diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap perguruan tinggi. Bahkan di Jerman, pemberian jabatan profesor menjadi kewenangan fakultas. Dengan begitu, kemurnian akademis akan lebih kental dalan penetapan profesor.
M. Jamiluddin Ritonga. mengajar:
1. Metode Penelitian Komunikasi
2. Riset Kehumasan
Menulis buku:
1. Perang Bush Memburu Osama
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Judul di atas bukan pertanyaan kepada DPR atau BPK. Karena pertanyaan-pertanyaan publik melalui surat terbuka kepada “perwakilan rakyat” tersebut nampaknya tidak pernah dilayani. Mungkin pertanyaan harus diajukan secara langsung melalui tatap muka, baru bisa ada jawaban.
Judul dengan tanda tanya di atas hanya sebagai keyakinan penulis saja, bahwa pengelolaan dana haji melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk melalui undang-undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji bertentangan dengan undang-undang tentang Keuangan Negara. Semoga para ahli hukum dapat dan mau mengkonfirmasi atau membantah pendapat di atas.
Tulisan ini saya mulai dengan mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apakah dana haji yang dikumpulkan dan dikelola oleh BPKH merupakan milik swasta atau milik negara? Pertanyaan kedua, apakah BPKH adalah sebuah badan atau organisasi swasta atau negara (publik)?
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Kedua pertanyaan ini sangat penting sebagai dasar hukum pengelolaan keuangan haji yang diperoleh dari calon jemaah haji.
Saya asumsikan, dan dalam hal ini banyak pihak yang setuju, bahwa dana haji yang dihimpun dari calon jemaah haji adalah dana swasta. Untuk pertanyaan kedua, saya juga asumsikan bahwa BPKH adalah sebuah badan yang merupakan bagian dari pemerintah, atau badan pemerintah.
Karena BPKH yang didirikan berdasarkan undang-undang (UU) No 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji merupakan sebuah badan hukum publik (pasal 20 ayat 2) yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri (pasal 20 ayat 3). Yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri Agama. Artinya, BPKH adalah badan pemerintah di bawah Kementerian Agama.
Kalau kondisi di atas benar, yaitu dana haji adalah dana swasta dan BPKH adalah badan pemerintah, maka pengelolaan dana haji oleh BPKH seharusnya bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Karena pemerintah, termasuk pemerintah daerah, lembaga / lembaga tinggi negara, kementerian, badan, dan lainnya yang termasuk unsur pemerintah hanya boleh memungut pendapatan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 8 huruf e), dan yang hanya terdiri dari tiga jenis. Yaitu 1. pendapatan pajak, pendapatan bukan pajak dan 3. hibah.
Sedangkan dana haji bukan merupakan ketiganya. Sehingga pemerintah yang diwakilkan oleh BPKH seharusnya tidak boleh memungut, tidak boleh menerima atau bahkan menampung dana haji di rekening atas nama badan pemerintah, dan, oleh karena itu, tidak boleh mengelola dana haji yang merupakan dana swasta.
Sehingga penunjukkan BPKH sebagai badan untuk mengelola keuangan haji bertentangan dengan UU Keuangan negara.
Yang lebih keliru lagi, pertanggungjawaban pengelolaan dana (keuangan) haji harus dilaporkan kepada Presiden dan DPR melalui Menteri (Agama) setiap 6 bulan (Pasal 52 ayat 5). Dan harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 52 ayat 6): BPK.
Keliru karena Presiden, DPR dan BPK seharusnya tidak ada urusan dengan, dan tidak boleh mengurusi dana haji yang merupakan dana (keuangan) swasta. Presiden, DPR dan BPK seharusnya hanya boleh mengurusi keuangan negara yang pengelolaannya memang harus dipertanggungjawaban kepada publik. Karena, merugikan keuangan negara bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Hal ini tidak berlaku bagi pengelolaan keuangan swasta. Karena, kerugian keuangan swasta bukan termasuk kerugian negara. Misalnya, kalau terjadi kerugian dalam pengelolaan dana haji, baik disengaja maupun tidak sengaja, tidak menjadi temuan sebagai kerugian negara karena memang dana haji bukan keuangan negara. Bukankah seperti itu?
Sehingga pengelola keuangan dana haji, dalam hal ini BPKH, tidak bisa diminta pertanggungjawabannya sebagai pejabat publik atas kerugian yang terjadi, sehingga tidak bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Bukankah begitu?
Oleh karena itu, UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji seharusnya batal demi hukum.