Beritaneka.com—Vaksin Nusantara tetap melakukan uji klinis fase 2 meskipun BPOM belum memberi izin. Seolah menantang, uji klinis ini diikuti sejumlah tokoh nasional, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI.
Para peneliti vaksin Nusantara tampak mengabaikan keputusan BPOM. Padahal BPOM dengan tegas menilai uji klinik fase 1 belum memenuhi banyak kaidah tahapan uji klinik.
Sebagai peneliti, idealnya merespon penilaian BPOM tersebut. Telaah ilmiah dari perspektif medis yang dikemukakan BPOM seyogyanya direspons dengan cara yang sama.
Baca Juga: Jamiluddin Ritonga: Perilaku Azis Syamsuddin Tidak Beretika
Ironinya, peneliti vaksin Nusantara tetap melanjutkan uji klinis dengan melibatkan relawan orang-orang pesohor di Indonesia, khususnya Anggota Komisi IX DPR RI. Keikutsertaan mereka ini patut disayangkan, karena sudah mengabaikan BPOM sebagai lembaga yang punya otoritas menetapkan layak tidaknya suatu vaksin untuk diuji lebih lanjut.
Tindakan sebagian Anggota Komisi IX DPR itu secara langsung sudah merendahkan BPOM. Celakanya, tindakan mereka itu tidak atas dasar pertimbangan medis.
Karena itu, keikutaertaan para Anggota Komisi IX DPR ini terkesan sangat politis. Mereka tidak menyangkal temuan BPOM dari sisi medis, namun keikutsertaannya itu menunjukkan keberpihakan kepada vaksin Nusantara tanpa argumentasi medis yang jelas.
Tindakan demikian seharusnya tidak perlu dilakukan Anggota Komisi IX. Mereka sebenarnya bisa mempertemukan BPOM dan peneliti vaksin Nusantara untuk mendengarkan pertimbangan medis dari masing-masing pihak.
Baca Juga: Jamiluddin Ritonga: Reshuffle Kabinet, Semua Wakil Menteri Ditiadakan
Dari argumentasi medis itulah idealnya Komisi IX DPR bersikap dan bertindak tetap mendukung atau tidak melanjutkan uji klinis vaksin Nusantara. Jadi idealnya pertimbangannya semata kaidah medis.
Karena itu, sangat disayangkan kalau vaksin Nusantara didukung karena dinilai produk lokal, apalagi dikaitkan dengan nasionalisme. Pertimbangan demikian sangat membahayakan mengingat persoalan vaksin berkaitan dengan hidup matinya manusia.
Jadi, uji vaksin seyogyanya dilihat dari kaidah medis, bukan politis. Hanya dengan begitu, kita bisa melihatnya dengan jernih dan objektif.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Tipologi Pesab Persuasif
- Perang Bush Memburu Osama
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Metode Penelitian Komunikasi
- Krisis dan Strategi Public Relation
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999.
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh pada tanggal 4 Maret 2021.
Kehadiran PP No 53 ini adalah pelaksanaan amanat Pasal 65 Ayat (3) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 65 ayat (3) ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 64-nya yang menyatakan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan salah satunya dengan Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Organ dan Jaringan Tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Tentunya kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini yang telah dinanti selama 12 tahun oleh masyarakat Indonesia, harus kita apresiasi bersama.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan PP No 53 ini. KPCDI menilai PP ini menjadi kabar baik bagi seluruh pasien yang membutuhkan transplantasi organ dan jaringan di Indonesia, khususnya bagi penderita gagal ginjal.
Dalam Penjelasan PP 53 ini disebutkan transplantasi sebagai temuan hebat di dunia kedokteran yang berhasil memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup ribuan pasien di seluruh dunia. Transplantasi organ, khususnya ginjal, di luar negeri diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan di dalam negeri karena berbagai faktor seperti sumber pendonor lebih banyak berasal dari pendonor hidup, belum adanya aturan yang memberikan kepastian hukum untuk transplantasi yang berasal dari pendonor mati batang otak/mati otak, faktor biaya, faktor budaya, dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transplantasi organ.
Dengan lahirnya PP No 53 ini diharapkan kendala-kendala tersebut dapat diatasi sehingga proses Tranplantasi Organ dan Jaringan Tubuh menjadi lebih berkembang lagi membantu rakyat Indonesia.
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) pun diatur dalam PP, baik dari peran meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan, sisi pendanaan (alokasi APBN dan APBD), sosialisasi, pembinaan RS yang menyelenggarakan Transplantasi, membuat Bank Mata dan Bank jaringan lainnya, dan membangun Sisitem Informasi Transplantasi. Seluruh fasilitas Kesehatan pun diharapkan mendukung upaya meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan melalui kegiatan pengerahan Pendonor.
Transplantasi Organ memang diidentikan dengan biaya mahal. Paket Biaya Tranplantasi Organ terdiri dari biaya pemeriksaan kelayakan dan kecocokan antara Resipein dan Pendonor; Biaya operasi Transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, Biaya Perawatan paska operasi transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, dan Iuran atau dana jaminan Kesehatan dan jaminan kematian bagi Pendonor.
Kabar gembira bagi masyarakat miskin, Pasal 15 ayat (3) PP No. 53 mengamanatkan bagi Resipien (pasien penerima donor) yang tidak mampu maka paket Biaya Transplantasi Organ diberikan bantuan sesuai dengan mekanisme jaminan Kesehatan nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Tentunya dengan Pasal 15 ayat (3) ini pelayanan Transplantasi Organ bisa diakses masyarakat miskin kita. Tidak hanya itu Pemerintah Pusat atau Pemda pun membantu Resipien dari masyarakat miskin untuk membayarkan penghargaan kepada pendonor yang tidak bisa menjalankan aktivitas atau pekerjaan secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan kesehatannya.
Bila Pemerintah membantu Biaya Transplantasi Organ dan Penghargaan bagi masyarakat miskin, tidak halnya dengan Transplantasi Jaringan (yang meliputi Transplantasi Jaringan Mata dan Jaringan Tubuh lainnya) bagi masyarakat miskin. Dalam PP No 53 ini tidak disebutkan tentang bantuan biaya Transplantasi Jaringan dari Pemerintah Pusat maupun Pemda kepada masyarakat miskin, sehingga peluang masyarakat miskin mengakses Transplantasi Jaringan sangat kecil mengingat biaya Transplantasi Jaringan tidak akan terjangkau oleh masyarakat miskin.
Seharusnya Pemerintah juga membantu membiayai Transplantasi Jaringan ini, mengingat ketidakmampuan masyarakat miskin membiayainya sendiri. Pemerintah harus memberikan keadilan bagi masyarakat miskin untuk mengakses Transplantasi Jaringan.
Saya menilai Pemerintah harus merujuk pada Pasal 5 ayat (3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin. Pasal 5 ayat (3) ini mengamanatkan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Dengan Pasal 5 ayat (3) UU HAM ini Pemerintah seharusnya membiayai Tranplantasi Jaringan kepada masyarakat miskin sehingga Negara benar-benar mampu memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin yang membutuhkan Transplantasi Jaringan.
Kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini sudah baik, namun demikian ke depannya kita berharap bersama Pemerintah mau juga membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin kita.
Oleh: Prof.Dr.KH.Hamid Fahmy Zarkasyi,M.Ed., M.Phil
(Rektor Universitas Darussalam Gontor)
Beritaneka.com—Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa negara Eropa.Banyak fakta yang menarik untuk dibagi bersama. Di antara yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke Inggris, Maret 2010.
Di Nottingham saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan sebaliknya semakin sekuler dan bahkan atheist ia semakin cerdas.
Saya tidak baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W.Cantwell Smith definisi religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti “religiusitas” pun begitu. Makna cerdas pun juga masalah. Sebab, kini berkembang istilah kecerdasan spiritual. Jadi desain penelitian tersebut tampaknya perlu dipersoalkan.
Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu dikaji lebih lanjut. Jika maksudnya adalah kecerdasan intelektual itupun masih perlu ujian lebih mendalam. Sebab, kecerdasan itu, bukan karena pandangan hidup sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah kecerdasan spiritual, jelas sekali tidak benar.
Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan gereja yang telah menjadi Masjid. Di Birmingham, masjid Mu’az adalah bekas gereja dan seminari. Beberapa gereja di daerah Aston, Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding “jama’ah” yang antri masuk bar.
Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak orang. Di sana tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa, di Manchester terdapat nama gereja “A Church for those who don’t like to go to church”.
Itulah arti pernyataan “spirituality has gone to the east”. Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham Barat itu maju tanpa agama. Artinya semakin sekuler, semakin rendah spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya mengapa di Barat training kecerdasan spiritual menjamur. Jadi, riset di atas tidak reliable. Apalagi menurut Islam spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak beda.
Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Ternyata tidak. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama, pemerintahnya mulai mengurusi agama.
Di Inggris pemerintah terpaksa membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini, di Amerika malah muncul idea de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat private. Harvey Cox, yang pernah menjual idea sekularisasi agama-agama, akhirnya mengoreksi idenya itu. Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan.
Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang bijak bestari. Bulan lalu saya menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria. Temanya tentang moderasi dan toleransi.
Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi di sini dan negara Eropa tidak. Jawab saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga tidak toleran pada agama.
Di Indonesia, agama bisa muncul di ruang publik. Ceramah agama-agama bisa muncul di TV. Tabligh akbar, Natalan atau peringatan hari keagamaan bisa diadakan di ruang publik. Sesuatu yang mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti ekslusif.
Tapi anehnya, yang kini dituduh ekslusif adalah sikap keberagamaan. Itupun berdasarkan analisa abad ke-16 dan 17, di saat mana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan, lebih banyak dibanding di dunia Islam.
Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang. Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik. Tidak puas dengan sample peristiwa Jack Nelson-Pallmeyer, merujuk kepada kitab suci. Ia lalu menulis buku “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Qur’an”. Intinya, kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.
Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang sebenarnya justru antara agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme.
Sikap ekslusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis. Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “all race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, di situ terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu simbul pluralisme dan kesamaan Tuhan agama-agama.
Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan dosen systematic theology Professor Hans Joachim Sander. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang.
Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika. Bahkan dia terus terang “liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas.
Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Lucunya, menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas. Artinya menjadi sekuler atau liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri dan orang lain. Begitulah nestapa masyarakat yang telah kehilangan “misykat”.
Wallahu a’lam.
Oleh: Hadi Nur Ramadhan
Founder Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun
Beritaneka.com—Mosi integral Natsir merupakan satu prestasi gemilang dalam pentas sejarah yang sangat monumental dalam parlemen Indonesia. Ulama Negarawan yang bergelar Datuk Sinaro Panjang (1908-1993) ini mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita kenal sekarang ini.
Di balik itu, mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949.
Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah M. Natsir yang waktu itu sebagai Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah selanjutnya dia formulasikan dalam dua kata, yaitu ”Mosi Integral”.
Sahabat Natsir, Mr. Mohamad Roem sesama aktifis pergerakan dari Partai Masjumi mengatakan: “… betapa dalam ikhtiar melicinkan Mosi Integral itu, Pak Natsir berbicara dengan Pemipin Fraksi dari yang paling Kiri yakni Ir. Sakirman dari PKI, dan dengan yang paling Kanan yakni Sahetapy Engel dari BFO. Dan pada waktu menyampaikan usul mosi integral di parlemen maka beliau menahan diri untuk tidak berbicara soal federalisme atau unitarisme. Karena pokok persoalan bukan disitu….”, (Mohamad Roem, Peralihan ke Negara Kesatuan, Jakarta: Media Dakwah, 1993, hal 47).
Sebagai Ketua Fraksi Masjumi. fraksi terbesar di parlemen, M. Natsir berlekas mengajukan Mosi Integral yang disampaikan ke Parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Bahkan Bung Hatta menyebut Mosi Integral Natsir sebagai Proklamasi yang kedua setelah Proklamasi yang pertama pada 17 Agustus 1945.
Kini Mosi Integral NKRI yang digagas oleh M. Natsir pada 3 April 1950 sudah berusia 71 tahun. Tugas kita sekarang sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin adalah bukan saja menghargai Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap negara-bangsa Indonesia, tetapi juga menjaga tetap tegak dan utuhnya NKRI seraya menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa.
Dari sosok lelaki tiada tanding yang lahir di Alahan Panjang Sumatera Barat ini kita belajar tentang sebuah nilai kesederhanaan, keteguhan memegang prinsip dan kesediaan untuk melakukan kompromi ditengah kemajemukan bangsa.
Itulah warisan manikam keteladanan M. Natsir yang masih sangat relevan dan pantas diapresiasi di tengah ‘carut-marut’nya kondisi bangsa akibat gejala pragmatisme politik. Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa-jasa pemimpinnya.
Berikut ini isi pidato M. Natsir tentang Mosi Integral tahun 1950 yang terdokumentasikan oleh DP. Sati Alimin dalam buku Capita Selecta II Jakarta: Abadi, 1957.
“Saudara Ketua,
Dalam menentukan sikap fraksi saya terhadap mosi ini, fraksi adalah terlepas dari soal “apakah kami dapat menerima oper semua keterangan-keterangan yang tercantum dalam mosi atau tidak!”. Juga menjauhkan diri dari pada pembicaraan unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini, sebab pusat persoalannya tidak ada hubungannya dengan hal–hal itu, akan tetapi jauh di lapangan lain.
Pembicara-pembicara yang mendahului saya, sudah dengan panjang lebar mengemukakan hal ini.
Orang yang setuju dengan mosi ini tidak usah berarti, bahwa orang itu unitaris, orang federalispun mungkin juga dapat menyetujuinya. sebab soal ini sebagai mana saya katakan, bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, akan tetapi soal menyelesaikan hasil dari perjuangan kita masa lampau yang tetap masih menjadi duri dalam daging.
Tiap-tiap orang yang meneliti jalan persengketaan Indonesia -Belanda, tentu akan mengetahui bagaimana riwayat timbulnya Negara Sumatera Timur (NST). Dan bagaimana fungsinya NST itu. Walaupun bagaimana juga ditimbang, ditinjau dan dikupas, tetapi rakyat dalam perjuangannya melihat struktur itu sebagai bekas alat lawan untuk meruntuhkan Republik Indonesia. Maka inilah yang menimbulkan reaksi dari pihak rakyat. Bukan soal teori unitarisme dan federalisme.
Kejadian-kejadian yang bergolak di NST sekarang bukan suatu hal yang kunsmatig atau dibikin-bikin akan tetapi adalah satu akibat yang tidak dapat dielakan dan yang harus kita selesaikan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai hasil perundingan dengan Belanda dahulu.
Orang bisa berkata, bahwa semua mosi atau resolusi dari rakyat dan demonstrasi- demonstrasi yang telah berlaku di NST itu menurut Yuridische vormnyanya belum dapat dianggap sebagai suatu manifestasi dari kehendak rakyat. Tapi coba, apakah akibatnya jikalau mosi ini ditolak lantaran dianggap prestisennya belum cukup? Ia akan berarti pancingan bagi rakyat untuk menghebat dalam demonstrasi!
Saya teringat pada Pidato presiden pada pembukaan Sidang Parlemen ini. Beliau berkata, bahwa dalam satu tahun ini kita tetap konstitusionil. kita akan menuruti apa yang disebut dalam konstitusi dan tidak akan menyimpang dari konstitusi.
Akan tetapi menyimpang dari padanya, jikalau keadaan memaksa. hal ini diperlihatkan oleh rakyat. dan diartikannya jika keadaan bisa, tidak memaksa, tidak memberikan jalan baginya untuk mencapai cita-citanya, maka diciptakannya keadaan yang memaksa dengan segala akibatnya yang dipikul oleh rakyat itu sendiri.
Barangkali di dalam meninjau mosi ini Pemerintah merasa khawatir, kalau – kalau mosi ini akan mengakibatkan suatu bentrokan. akan tetapi menolak dan mematikan mosi ini berarti memperhebat apa yang telah terjadi.
Oleh karena itu letakkanlah titik berat dari mosi ini pada apa yang disebut dalam keputusan, yaitu supaya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menempuh jalan biasa dengan kebijaksanaanya untuk menyelesaikan persoalan ini.
Jikalau pemerintah menganggap bahwa jika pekerjaan itu dengan sekaligus dan serentak dijalankan, akan menimbulkan bermacam-macam kekacauan, maka bagi Pemerintah cukup terbuka jalan mengadakan Undang-Undang Darurat untuk mengadakan peralihan, sehingga RIS dapat bertindak tidak membiarkan rakyat di NST bergolak, dan diberikan kepada mereka kesempatan untuk menyelesaikan soalnya sendiri. Maka dalam pasal-pasal yang ada dalam undang-undang darurat itu terbuka jalan bagi pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan dengan sebaik-baiknya.
Saudara ketua, Izinkanlah saya sekarang berbicara terlepas atau tidak terlepas dari pada soal unitarisme atau federalisme, akan tetapi dalam hubungan yang lebih besar mengenai mosi ini. sebagai hendak mengemukakan sedikit pemandangan mengenai dasar dari pada kejadian–kejadian yang kita hadapi sekarang, dari mulai kedaulatan diserahkan kepada kita, baik kiranya kalau kita terlebih dahulu melihat posisinya mosi ini di dalam, hubungan yang lebih besar.
Takkala Konstitusi sementara ditandatangani dan diratifisir, umumnya orang, baik pemerintah ataupun parlemen menganggap bahwa Konstitusi itu dan struktur-srtuktur negara dengan segala sifat – sifat yang baik dan cacat – cacat yang ada di dalamnya, dapat dipakai sebagai dasar pemerintahan sementara sampai Konstituante yang akan datang.
Akan tetapi rupanya jalan sejarah menghendaki lain. segera sesudah penyerahan kedaulatan, di daerah timbul pergolakan. apa yang terpendam dan tertekan selama beberapa tahun yang lalu dalam hati rakyat, sekarang meluap dan meletus dengan berupa demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang dirahasiakan oleh rakyat sebagai restan- restan dari struktur kolonial di daerahnya, terutama di daerah Republik di pulau Jawa, Sumatera dan Madura.
Ini semua tidak mengherankan, akan tetapi adalah memang pembawaan riwayat perjuangan yang inherent dengan cara penyelesaian persengketaan Indonesia -Belanda yang diakhiri dengan KMB.
Soal-soal yang harus dihadapi oleh negara kita yang muda ini sekaligus bertimbun-timbun dihadapan kita. Soal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, yang sudah begitu lama menderita, soal demokrasi sering pemerintahan, soal pembangunan ekonomi, soal keamanan, ketentraman dan 1001 macam soal lain-lain lagi, semuanya urgent dan harus dipecahkan dengan segera. kita bisa menyusun prioritasnya menurut pendapat kita masing-masing, akan tetapi yang sudah terang ialah, pemecahan soal yang satu bersangkut paut dengan yang lain, tidak dapat di pisah – pisah.
Usaha kemakmuran rakyat, penjaminan keamanan, tidak dapat berjalan selama belum ada ketentuan politik dalam negeri. Politiekerust ini tidak dapat diciptakan selama masih ada duri-duri dalam daging. yang dirasakan oleh rakyat, yang walaupun kedaulatan sudah ditangan kita, tapi kita masih berhadapan dengan struktur-struktur kolonial serta alat alat politik pengepungan yang diciptakan oleh Van Mook di daerah-daerah.
Dalam menghadapi pergolakan untuk melenyapkan duri-duri dalam daging itu orang terbentur kepada Konstitusi sementara, lebih lekas dari yang disangka tadinya.
Pikiran terombang ambing antara:
a. Kehendak akan tetap bersikap “Konstitusional”.
b.Desakan untuk keluar Konstitusi dari lubang lubang yang ada dalam Konstitusi itu sendiri.
Inisiatif terlepas dari tangan pemerintah. tak ada konspirasi untuk menghadai soal ini dalam jangka yang tertentu. Semboyan yang ada hanyalah :”Terserah kepada kemauan rakyat”.
Rakyat bergolak dimana-mana. Hasilnya hujan resolusi dan mosi. parlemen menerima dan tinggal mengoperkan semuanya itu kepada Pemerintah dengan tambahan argumentasi yuridis dan lain-lain, dan kalau perlu dengan citaten dan encyclopaedie.
Dengan begitu pemerintah lambat laun terdesak kepada posisi yang defensif. Lalu pemerintah terpaksa menyesuaikan diri setapak demi setapak dengan undang-undang darurat sebagai legalisasi. Dan setiap kali ada “Persesuaian dalam hal ini” Saudara ketua, Parlemen dan Pemerintahan merasa ‘berbahagia’ lantaran ada persesuaian itu.
Dalam pada itu pintu kebahagiaan bagi rakyat belum kunjung kelihatan. jalan pikiran tetap kabur dan samar. Dikaburkan oleh begripsverwarring, berkacaunya beberapa pengertian seperti berkacaunya pengertian unitarisme dan federalisme dalam masyarakat, yang bukan lantaran federalisme atau unitarisme itu sendiri, sebagai bentuk struktur negara akan tetapi lantaran kabur dan bercampur aduknya pengertian-pengertian itu dengan sentimen anargonisme, sebagai warisan dari persengketaan Indonesia – Belanda.
Kekacauan pikiran melumpuhkan jalannya usaha pembangunan kemakmuran rakyat. Dengan begini kita tidak terlepas dari satu vicieuse cirkel yang tidak tentu dimana ujungnya.
Saya bertanya bagaimana mengartikan, “terserah kehendak rakyat itu?” apakah itu menyerahkan kepada rakyat untuk mengadu tenaga mereka didaerah , untuk memperjuangkan kehendak mereka di tempat masing-masing dengan segala akibat – akibatnya dan eksesnya? Habis itu lantas kita mengkonstatir dan melegalisir hasil dari pergolakan itu?
Sekali lagi saya bertanya sampai berapa langkah kesediaan hanyut seperti ini? Apakah sampai kita terbentur kepada satu batu karang nanti? Tidak, Saudara Ketua!, bukan begitu semestinya, tapi sikap macam sekarang, saya kuatir pemerintah lambat laun akan hanyut kepada jurusan itu.
Pemerintah yang timbul dari rakyat dan yang terdiri dari pemimpin perjuangan kemerdekaan sendiri, tentu tahu benar-benar dan sudah dapat merasakan, apa yang hidup dalam keinginan rakyat itu.
Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh Pemerintah selama ini, dapat diterapkan bahwa pemerintah terlepas dari defensinya seperti sekarang. Dengan begitulah mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan – persengketaan yang lama. elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan propinsialisme.
Berhubung dengan ini saya ingin memajukan satu mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian:
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalanya pada waktu yang akhir-akhir ini.
MEMPERHATIKAN:
Saudara-saudara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah – daerah Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia. Kompak untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya, dan persiapan-persiapan untuk itu kita harus diatur begitu rupa, dan menjadi program politik dari pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah RIS. Politik pengleburan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dari pemerintah di seluruh Indonesia
MEMUTUSKAN:
Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik diwaktu yang akhir-akhir ini dengan cara integral dan program yang tertentu.
Jakarta, 3 April 1950.
M. Natsir – Soebadio Sastrasatomo – Hamid Algadri – Ir. Sakirman – K. Werdojo – Mr.A.M.Tambunan – Ngadiman Hardjosubroto – B. Sahetapy Engel – Dr. Tjokronegoro – Moch. Tauchid – Amelz – H. Siradjuddin Abbas.(el)
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Pemerintah harus segera melakukan reformasi secara fundamental terhadap kebijakan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian tanpa menimbulkan guncangan besar.
Beritaneka.com—Perekonomian Indonesia menunjukkan tren melemah dalam lima belas tahun terakhir (2005-2019). Salah satu penyebab utama pelemahan tersebut karena harga komoditas andalan ekspor Indonesia turun tajam sejak 2011, terutama harga batu bara, kelapa sawit, dan karet, yang menyumbang hampir 40 persen dari total ekspor nonmigas (minyak dan gas) pada tahun 2011.
Harga komoditas awalnya naik pesat hingga pertengahan 2008 menyusul relaksasi kebijakan moneter global, khususnya Bank Sentral AS, the FED, pada masa Alan Greenspan. Harga komoditas kemudian turun tajam menyusul krisis keuangan global, mendekati harga awal tahun 2004.
Beruntung, penurunan tajam harga komoditas ini tidak berlangsung lama. Kebijakan global quantitative easing (QE) untuk melawan resesi global pada 2007/2008 membuat harga komoditas kembali naik.
Gelombang kedua boom komoditas ini berlangsung hingga awal 2011 sebelum turun tajam menyusul dihentikannya QE. Akibatnya, nilai ekspor Indonesia juga terus turun dari 203 miliar dolar AS pada 2011 (tertinggi) menjadi hanya 145 miliar dolar AS pada 2016.
Sejalan dengan penurunan harga komoditas dan nilai ekspor, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara nominal juga turun dari rata-rata 19,6 persen per tahun pada periode lima tahun pertama (2005-2009), menjadi 12,5 persen pada periode lima tahun kedua (2010-2014) dan 8,43 persen pada periode lima tahun ketiga (2015-2019).
Akibatnya, penurunan pertumbuhan PDB nominal diikuti oleh penurunan pertumbuhan pendapatan pemerintah dari rata-rata 17,5 persen per tahun (2005-2009) menjadi 12,9 persen (2010-2014) menjadi 5,0 persen (2015-2019). Hal ini menyebabkan rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB turun tajam, setelah mengalami kenaikan di awal tahun 2000-an.
Rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB mencapai 19,8 persen pada tahun 2008, yang merupakan rasio tertinggi sejak tahun 2000-an. Selanjutnya, rasio ini terus turun menjadi 15,4 persen pada 2014,12,4 persen pada 2019, dan mencapai rasio terendah 10,6 persen pada 2020. Rasio yang rendah ini menunjukkan bahwa fiskal dan keuangan negara dalam kondisi buruk dan berpotensi memicu krisis fiskal.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga semakin memburuk, yang awalnya turun tajam dari 47,1 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012, namun kemudian meningkat lagi menjadi 30,2 persen pada 2019, dan melonjak menjadi sekitar 39,4 persen pada 2020.
Kurva utang pemerintah ini juga sejalan dengan kurva rasio beban bunga terhadap PDB yang turun dari 2,6 persen pada 2005 menjadi 1,2 persen pada 2012, namun kemudian meningkat menjadi 1,7 persen pada tahun 2019 dan kemudian meningkat tajam menjadi 2,0 persen pada 2020.
Perlu dicatat bahwa beban bunga dalam anggaran fiskal 2020 tidak mencerminkan angka yang seharusnya. Pasalnya, defisit anggaran 2020 sebagian besar ditanggung oleh Bank Indonesia (BI) yang diharuskan membeli surat utang negara di pasar perdana atau sebagai non-competitive bidder.
Artinya, BI wajib membeli surat utang negara jika pembeli yang berminat terlalu sedikit. Secara keseluruhan, BI telah menyerap Rp650 triliun (sekitar 45,8 miliar dolar AS) dari total defisit anggaran sebesar Rp956 triliun. Sebagian besar surat utang negara ini tidak dikenakan bunga karena untuk pembiayaan public goods. Pembiayaan fiskal melalui penciptaan uang ini, jika berlebihan, sangat berbahaya bagi perekonomian.
Selain menimbulkan inflasi dalam jangka menengah, pembelian surat utang negara di pasar perdana akan berdampak negatif terhadap neraca BI dan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor internasional. Karena kebijakan ini bukan merupakan bagian dari kebijakan moneter, maka BI akan kesulitan untuk menyerap kembali kelebihan uang beredar ketika perekonomian mulai membaik yang akan memicu inflasi.
Kondisi fiskal dan keuangan pemerintah seperti dijelaskan di atas sangat rapuh. Di satu sisi, rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB turun tajam menjadi hanya 10,6 persen pada tahun 2020.
Di sisi lain, rasio beban bunga terhadap PDB terus membengkak dan mencapai 2,0 persen pada tahun 2020. Artinya, sisa pendapatan pemerintah yang tersedia untuk belanja negara hanya 8,6 persen dari PDB, seandainya pemerintah memberlakukan anggaran berimbang.
Namun hal tersebut hampir tidak mungkin terjadi karena jauh di bawah realisasi rasio belanja pemerintah di masa lalu yang mencapai rata-rata 18,8 persen per tahun pada 2005-2009, 17,5 persen pada 2010-2014, 15 persen pada 2015-2019, dan 16,9 persen pada 2020.
Untuk mempertahankan tingkat belanja pada tahun 2020, pemerintah diperkirakan memberlakukan kebijakan fiskal yang cukup agresif sehingga akan meningkatkan utang pemerintah terhadap PDB hingga sekitar 52 persen pada tahun 2022, mendekati batas maksimum yang dibolehkan undang-undang sebesar 60 persen, yang kemungkinan akan terlampaui oleh 2023.
Selanjutnya, rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB yang sangat rendah, yaitu sekitar 10,6 persen pada 2020, dengan tren menurun, niscaya akan menimbulkan masalah fiskal yang serius yang dapat berujung pada resesi. Masalah menjadi semakin kompleks ketika beban bunga terus meningkat.
Rasio beban bunga terhadap PDB yang sebesar 2 persen setara dengan 19,2 persen dari total pendapatan pemerintah, yang jauh lebih besar dari acuan ketahanan fiskal menurut IMF dengan batas maksimum 10 persen.
Terakhir, keseimbangan primer yang terus menerus mengalami defisit dari tahun 2012 hingga 2020 juga semakin memburuk. Defisit keseimbangan primer tahun 2020 memburuk, mencapai 4,2 persen dari PDB, dan diperkirakan defisit akan tetap besar pada 2021 dan 2022.
Semua indikator di atas menunjukkan bahwa kondisi fiskal tidak sustain sehingga membutuhkan perubahan drastis. Pemerintah harus segera melakukan reformasi secara fundamental terhadap kebijakan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian tanpa menimbulkan guncangan besar.
Untuk mengatasi masalah fiskal ini, pemerintah tidak punya pilihan lain selain meningkatkan penerimaan pemerintah karena ini adalah sumber utama masalah fiskal. Mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi saat ini. Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan guncangan besar bagi ekonomi.
Upaya peningkatan penerimaan pemerintah harus dilakukan melalui peningkatan pajak. Penerimaan perpajakan saat ini menyumbang sekitar 80 persen dari total pendapatan pemerintah. Pendapatan lainnya berasal dari sumber daya alam yang jumlahnya sangat bergantung pada harga komoditas. Dan pendapatan dari sumber daya alam cenderung menurun dalam jangka panjang. Oleh karena itu, tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama pemerintah.
Yang lebih mengkhawatirkan, pemerintah malah mengambil kebijakan yang berlawanan. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sangat agresif memberikan insentif fiskal dan stimulus pengurangan pajak guna menarik investasi.
Kebijakan-kebijakan ini tentunya akan menurunkan penerimaan pajak dan memperburuk perekonomian, khususnya jika insentif fiskal tersebut gagal meningkatkan investasi secara signifikan seperti yang terjadi sejak 2015.(el)
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Adanya rencana Pemerintah menerapkan kelas standar di ruang perawatan Rumah Sakit (RS), sesuai pasal 54A Perpres Nomor 64 Tahun 2020, tentunya akan berdampak pada dua hal yaitu mengkaji ulang iuran peserta dan nilai INA CBGS.
DJSN yang diberi tugas untuk mengkaji penerapan klas standard ini sudah menginformasikan bahwa akan ada dua kelas standar yaitu kelas PBI dan Kelas Non PBI.
Dengan adanya dua kelas standard ini maka akan ada dua jenis iuran dan dua jenis INA CBGS di satu RS, yang tergantung tipe RS nya.
Terkait iuran, tentunya sebagai konsekuensi adanya kelas standar maka akan ada iuran baru.
DJSN akan menghitung ulang iuran JKN untuk kedua kelas tersebut, khususnya kelas non PBI yaitu dari iuran PPU (pekerja penerima upah) yang iurannya berdasarkan persentase tertentu dari upah dan iuran dari PBPU dan BP yang iurannya sebesar nominal tertentu.
Kalau iuran untuk PBI tentunya akan relatif lebih mudah karena hanya satu kelompok saja yang iurannya dibayar full pemerintah. Kemungkinan Pemerintah tetap memberlakukan iuran sebesar Rp42.000 per orang per bulan.
Sementara kelas non PBI harus dihitung lebih cermat karena melingkupi PPU dan PBPU dan BP. Harus dihitung berapa persen dari upah untuk PPU dan berapa nilai nominalnya untuk PBPU dan BP.
Untuk PPU Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN, iurannya nanti hanya satu. Tidak ada lagi pembagian kelas 2 dan kelas 1, yaitu berdasarkan upah yang diterima. Untuk PPU Badan Usaha/BUMN, ketentuan upah Rp4 juta dan di bawah Rp4 juta akan mendapat kelas 2, sementara di atas Rp4 juta dapat kelas 1, tidak akan berlaku lagi karena semua PPU Badan Usaha/BUMN akan dapat klas non PBI. Demikian juga PPU Pemerintah, tidak akan ada lagi pembagian kelas perawatan berdasarkan golongannya, semuanya akan dapat kelas non PBI.
Demikian juga dengan PBPU dan BP (keduanya biasa disebut peserta mandiri), tentunya tidak ada lagi iuran kelas 1 (Rp150 ribu), kelas 2 (Rp100 ribu) dan kelas 3 (Rp42.000 dengan subsidi).
Semuanya akan satu nilai iuran.
DJSN akan menghitung ulang iuran berdasarkan hitungan aktuaria sehingga iuran nantinya akan bisa memastikan keberlangsungan program, yaitu tidak lagi menyebabkan defisit.
Untuk PPU (Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN) yang iurannya secara persentase, relatif lebih mudah, dan bisa saja tetap diberlakukan 5 persen dari upah. Saya berharap iuran 5 persen tetap diberlakukan, jadi tidak ada perubahan persentasenya lagi, yang dihitung berdasarkan besaran upah (gaji pokok tambah tunjangan tetap), dengan batas maksimal upah Rp12 juta.
Untuk PBPU dan BP relatif sulit karena iuran kelas 3, 2 dan 1 akan dicampur dan dihitung ulang sehingga nilai iurannya akan lebih rendah dari kelas 1 dan 2, tetapi akan lebih tinggi dari kelas 3. Ini artinya iuran kelas 3 peserta mandiri akan naik lagi, walaupun kelas 1 dan 2 akan turun.
Menurut saya, dalam proses penghitungan iuran, khususnya untuk peserta mandiri harus bisa melihat kondisi daya beli peserta kelas 3 mandiri yang kemungkinan iurannya akan naik. Saya berharap Pemerintah menerapkan iuran Rp42.000 untuk seluruh peserta mandiri dengan adanya kelas standar ini.
Bila harus ada kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas 3 akibat adanya kelas standar ini maka paling tidak ada dua mitigasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu :
a.Peserta klas 3 mandiri saat ini yang memang tidak mampu dimasukkan ke PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayar pemerintah, dan nanti masuk kelas standar PBI.
b.Pemerintah tetap memberikan subsidi iuran kepada peserta kelas 3 yang ada saat ini sehingga mereka tetap bisa menjadi peserta aktif, walaupun ada kenaikan iuran lagi sebagai konsekuensi penerapan kelas standar.