Beritaneka.com—Harga jual obat-obatan di perusahaan BUMN Kimia Farma kembali dikeluhkan masyarakat. Pasalnya, harga di pasaran mencapai 200 persen lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) pada obat tertentu.
Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska mengaku gelisah dengan naiknya harga obat-obatan di tengah pandemi Covid-19. Terlebih, Presiden Joko Widodo pernah melakukan meminta harga obat diturunkan.
“Saya kira perlu pengawasan yang lebih komprehensif tentang harga eceran tertinggi obat,” kata Darul saat mengikuti rapat kerja Komisi IX DPR RI bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, seperti dilansir dari laman resmi DPR, Selasa (18/1/2022).
Baca juga: DPR Minta Operasi Pasar Tepat Sasaran
Politisi Partai Golkar itu mengaku mendapatkan informasi di lapangan, bahwa harga obat-obatan naik hingga 200 persen dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. “Kira-kira sebulan lalu saya sempat share di (Whatsapp) grup kita, harga obat yang dijual oleh Kimia Farma itu 200 persen di atas HET. Saya kira ini perlu langkah dari) pemerintah,” imbuhnya.
Daruk meminta agar Kemenkes melakukan pengawasan terhadap para produsen obat agar tidak menaikkan harga obat yang saat ini dibutuhkan masyarakat. “Karena BUMN saja melanggar langkah pemerintah, secara estimated sistematis harga obat ini bisa dikontrol sesuai dengan ketentuan yang ada,” tandas Darul.
Baca juga: Kasus Omicron Meningkat, Legislator DPR Imbau Masyarakat Tetap Waspada
Disampaikan Darul, Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, salah satu amanat dalam Inpres itu ialah menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan.
“Sudah nampak namun kami ingin mengusulkan adanya peta jalan yang disusun Kemenkes untuk mengatur industri maupun pihak lain yang ingin mendukung langkah pemerintah,” tegas legislator dapil Sumatera Barat I tersebut.
Baca juga: Vaksinasi Booster Dimulai 12 Januari, DPR Minta Diberikan Gratis untuk Rakyat Kecil
Beritaneka.com—Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk bersama dengan LKPP melakukan pembenahan secara komprehensif atas tata kelola pengadaan obat dan alat kesehatan.
Baik untuk penanganan Covid-19 maupun program JKN, dengan melibatkan BPJS Kesehatan, GP Farmasi, IPMG dan Gakeslab guna memperkuat kesinambungan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang berkualitas.
Komisi IX DPR RRI juga mendesak Kemenkes untuk segera melakukan evaluasi dan merevisi roadmap pengembangan bahan baku obat industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
“Dalam rangka penguatan tata kelola obat, Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk melakukan penyesuaian formularium nasional agar senantiasa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian, dan teknologi kesehatan yang berkembang pesat agar masyarakat mendapatkan hak pelayanan kesehatan dengan standar tertinggi,” ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ansory Siregar, kepada media, Senin (27/9/2021).
Baca juga: Demi Masa Depan Bangsa, DPR Sayangkan Dana Abadi Pesantren Tidak Dikabulkan
Komisi IX DPR RI juga mendesak Kemenkes untuk melakukan pengesahan fornas terbaru sesegera mungkin paling lambat di bulan Oktober 2021 untuk memperluas akses pasien terhadap obat dan terapi baru, serta mencari solusi pembiayaan yang inovatif untuk memastikan akses imunoterapi bagi pasien penyakit katastropik, termasuk kanker paru EGFR negatif, dengan menyediakan pilihan skema pembiayaan dalam program JKN.
“Demi percepatan pengembangan alat kesehatan produk dalam negeri maka Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk intensifikasi koordinasi dan komunikasi antara pemerintah dan pelaku usaha terkait supply and demand alat kesehatan nasional,” tuturnya.
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Kemenkes juga diminta untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan kolaborasi lintas sektor untuk riset inovasi produk alat kesehatan serta mengakselerasi hilirisasi/komersialisasi hasil riset.
“(Kemenkes juga perlu) melakukan penguatan, simplifikasi, dan relaksasi regulasi dari peningkatan ketersediaan dan penggunaan alat kesehatan dalam negeri dengan tetap mengedepankan pengawasan pemanfaatan alat kesehatan, serta berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam rangka pemberian insentif (fiskal dan moneter) untuk memproduksi dan mengembangkan alat kesehatan dalam negeri,” pungkasnya.
Beritaneka.com—Vaksin Nusantara tetap melakukan uji klinis fase 2 meskipun BPOM belum memberi izin. Seolah menantang, uji klinis ini diikuti sejumlah tokoh nasional, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI.
Para peneliti vaksin Nusantara tampak mengabaikan keputusan BPOM. Padahal BPOM dengan tegas menilai uji klinik fase 1 belum memenuhi banyak kaidah tahapan uji klinik.
Sebagai peneliti, idealnya merespon penilaian BPOM tersebut. Telaah ilmiah dari perspektif medis yang dikemukakan BPOM seyogyanya direspons dengan cara yang sama.
Baca Juga: Jamiluddin Ritonga: Perilaku Azis Syamsuddin Tidak Beretika
Ironinya, peneliti vaksin Nusantara tetap melanjutkan uji klinis dengan melibatkan relawan orang-orang pesohor di Indonesia, khususnya Anggota Komisi IX DPR RI. Keikutsertaan mereka ini patut disayangkan, karena sudah mengabaikan BPOM sebagai lembaga yang punya otoritas menetapkan layak tidaknya suatu vaksin untuk diuji lebih lanjut.
Tindakan sebagian Anggota Komisi IX DPR itu secara langsung sudah merendahkan BPOM. Celakanya, tindakan mereka itu tidak atas dasar pertimbangan medis.
Karena itu, keikutaertaan para Anggota Komisi IX DPR ini terkesan sangat politis. Mereka tidak menyangkal temuan BPOM dari sisi medis, namun keikutsertaannya itu menunjukkan keberpihakan kepada vaksin Nusantara tanpa argumentasi medis yang jelas.
Tindakan demikian seharusnya tidak perlu dilakukan Anggota Komisi IX. Mereka sebenarnya bisa mempertemukan BPOM dan peneliti vaksin Nusantara untuk mendengarkan pertimbangan medis dari masing-masing pihak.
Baca Juga: Jamiluddin Ritonga: Reshuffle Kabinet, Semua Wakil Menteri Ditiadakan
Dari argumentasi medis itulah idealnya Komisi IX DPR bersikap dan bertindak tetap mendukung atau tidak melanjutkan uji klinis vaksin Nusantara. Jadi idealnya pertimbangannya semata kaidah medis.
Karena itu, sangat disayangkan kalau vaksin Nusantara didukung karena dinilai produk lokal, apalagi dikaitkan dengan nasionalisme. Pertimbangan demikian sangat membahayakan mengingat persoalan vaksin berkaitan dengan hidup matinya manusia.
Jadi, uji vaksin seyogyanya dilihat dari kaidah medis, bukan politis. Hanya dengan begitu, kita bisa melihatnya dengan jernih dan objektif.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Tipologi Pesab Persuasif
- Perang Bush Memburu Osama
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Metode Penelitian Komunikasi
- Krisis dan Strategi Public Relation
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999.