Beritaneka.com—Hingga akhir Juli 2023, penerimaan Pajak tetap tumbuh positif, terutama didukung oleh kinerja kegiatan ekonomi yang baik pada semester I Tahun 2023, yaitu mencapai Rp1.109,1 triliun (64,6% dari Target), tumbuh 7,8% (yoy).
Dari sisi sektoral, seluruh sektor utama masih mencatat pertumbuhan positif meskipun melambat dibandingkan tahun 2022. Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat Konferensi Pers APBN Kita (Kinerja dan Fakta) Edisi Agustus 2023, seperti dilansir PajakOnline.com. dikutip hari ini.
Realisasi Pendapatan Negara hingga Juli 2023 mencapai Rp1.614,8 triliun (65,6% dari Target APBN 2023), tumbuh 4,1% (yoy). Pendapatan Negara dari Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tumbuh positif, sementara Pendapatan Kepabeanan dan Cukai menurun.
Per 31 Juli 2023, realisasi Penerimaan Kepabeanan dan Cukai menurun dipengaruhi penurunan Bea Keluar dan Cukai, sedangkan Penerimaan Bea Masuk masih menunjukkan kinerja positif meskipun melambat.
Penerimaan Kepabeanan dan Cukai mencapai Rp149,8 triliun (49,4% dari Target, turun 19,1% yoy). Penerimaan Bea Masuk tumbuh 3,82% (yoy), didorong oleh kenaikan tarif efektif dan menguatnya kurs USD meskipun terjadi penurunan basis impor.
Sementara itu, Penerimaan Cukai menurun 8,54% (yoy) karena total produksi yang menurun utamanya dari Golongan 1. Bea Keluar juga mengalami penurunan sebesar 81,34% (yoy) akibat penurunan harga Crude Palm Oil (CPO) dan adanya kebijakan pembersihan (flush out) stok CPO yang mendorong tingginya ekspor CPO pada 2022, serta turunnya volume ekspor mineral.
Realisasi PNBP tetap meningkat di tengah fluktuasi harga komoditas, yaitu mencapai Rp355,5 triliun (80,6% Target APBN), tumbuh 5,4% (yoy). Capaian positif ini terutama didorong oleh peningkatan pendapatan SDA non-Migas (135,0% dari Target) yang disebabkan oleh penyesuaian tarif iuran produksi/royalti batu bara dengan berlakunya PP 26/2022 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Belaku pada Kementerian Energi dan SDM.
Selain itu, realisasi pendapatan Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) mencapai 122,7% dari Target, juga turut meningkatkan PNBP, didorong setoran dividen BUMN perbankan dan non-perbankan. Sementara itu, pendapatan SDA Migas (52,6% dari Target) melambat disebabkan oleh menurunnya Indonesian Crude Price (ICP) dan lifting minyak bumi.
PNBP Lainnya (84,8% dari Target) juga mengalami penurunan antara lain disebabkan oleh penurunan pendapatan Penjualan Hasil Tambang (PHT). Realisasi pendapatan BLU (51,6% dari Target) melambat dibandingkan bulan sebelumnya, namun secara year-on-year sama dengan pertumbuhan pada Juli 2022.
Beritaneka.com, Jakarta —Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pajak sebagai sumber penerimaan utama APBN telah membantu pemerintah dalam mendorong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki rumah.
Sri Mulyani mengatakan, rumah yang layak merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup bermartabat. Tanpa dukungan APBN, lanjutnya, MBR akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut. “APBN-pajak Anda adalah alat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya dalam unggahan di akun Instagram @smindrawati, dikutip
hari ini.
Sri Mulyani mengungkapkan APBN telah menggelontorkan dana senilai Rp175,36 triliun
untuk memberikan dukungan akses perumahan untuk MBR pada sepanjang 2010-2022.
Dari jumlah anggaran tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencairkan dana Rp32,2 triliun untuk membangun atau memperbaiki sebanyak 1,14 juta rumah.
Baca Juga:
- Ekonomi Pasar dan Keadilan Sosial
- Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk di ASEAN
- Presiden Jokowi Sambut Minat Investor Malaysia Bangun IKN Nusantara
- Menaker: Resesi Global Jadi Ancaman Terbesar Sektor Ketenagakerjaan Tahun Ini
- BPH Migas: Kuota BBM Pertalite 32,56 Juta KL dan Solar 17 Juta KL Tahun 2023
Kemudian, anggaran Rp79,9 triliun digunakan untuk likuiditas pembiayaan 1,17 juta rumah MBR. Ada pula penanaman modal di PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) senilai Rp7,8 triliun untuk pembiayaan 421.650 rumah.
Di sisi lain, pemerintah juga menambah modal Bank BTN senilai Rp2,48 triliun dan Perum Perumnas Rp1,57 triliun sehingga mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan masyarakat.
Sri Mulyani menyebut pembangunan perumahan telah memberikan dampak ganda yang luar biasa terhadap ekonomi, termasuk menciptakan kesempatan kerja dan mengangkat sektor UMKM.
“Rakyat yang lemah dibantu, rakyat yang kuat membantu dengan membayar pajak.
Inilah gotong royong,” katanya.
Dalam pemberitaan media ini sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani melalui unggahan media sosial Instagram juga menjelaskan peran pajak dan APBN dalam membantu pemerataan listrik ke berbagai wilayah. Hal itu salah satunya tercermin dari pengalokasian dana senilai Rp133,3 triliun
kepada PT PLN pada 2022 untuk pemberian subsidi, stabilisasi harga, serta penyambungan listrik di daerah terluar dan pada kelompok termiskin.
Beritaneka.com—Masa pandemi yang serba tidak pasti ini membuat kebijakan perpajakan berubah-ubah mengikuti dinamika dan perkembangan yang terjadi, baik pada tingkat global maupun nasional.
Termasuk anggaran belanja negara sepanjang 2021 lebih banyak dihabiskan untuk penanganan pandemi dan insentif perpajakan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Sebesar 92,2% realisasi insentif pajak dialihkan ke dunia usaha yang ditentukan Pemerintah; seperti tunjangan PPh 21, Pajak UMKM, pembebasan PPh 22, pengurangan PPh 25, hingga PPN DTP atau Ditanggung Pemerintah.
Baca Juga: UMP DKI Rp4.641.854, Berlaku 1 Januari 2022
“Tahun depan, penerimaan negara kita masih akan mengandalkan penerimaan pajak, terutama dari basis perluasan pajak seperti pajak digital (PPN), e-commerce, transaksi cryptocurrency, dan lainnya. Uang pajak kita masih akan digunakan untuk penanganan pandemi di sektor kesehatan dan insentif dunia usaha untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional,” kata Managing Partners & Director PajakOnline Consulting Group Abdul Koni dalam siaran pers yang diterima Beritaneka.
Menurut Koni, pencapaian penerimaan pajak yang fenomenal di tengah pandemi ini, melebihi target yang ditetapkan APBN yakni sebesar Rp1.231,87 triliun karena dukungan seluruh warga negara Indonesia, para tax payer (pembayar pajak) yang bergotong-royong di masa pandemi ini. Fenomenal karena sudah hampir 12 tahun lebih Pemerintah menunggu untuk dapat melebihi target penerimaan pajak.
“Ini berkat warga patuh dan taat membayar pajak, walaupun di tengah tekanan pandemi. Luar biasa. Mereka adalah patriot bangsa dan negara kita. Patut kita apresiasi bersama,” kata Koni, mantan auditor senior Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
PajakOnline Consulting Group menyatakan, pemulihan ekonomi nasional amat tergantung dari issue pandemi, kebijakan pemerintah, inovasi teknologi perpajakan seperti integrasi NIK dan NPWP (SIN; Single Identity Number pajak), transparansi dan akuntabilitas aparatur negara, dan perluasan basis pajak digital dengan mengejar pajak penghasilan (PPh) perusahaan platform digital asing seperti Google, Facebook, Netflix, Youtube, dan lainnya yang mengambil keuntungan besar dan signifikan di Indonesia.
Selain itu, Trend Pajak 2022 masih berkaitan erat dengan pelaksanaan reformasi perpajakan, melanjutkan insentif pajak, perluasan basis pajak, dan penyelesaian sengketa-sengketa pajak.
Beritaneka.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat neto penerimaan pajak sampai dengan tanggal 26 Desember 2021 telah melebih target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021.
“Sampai dengan tanggal 26 Desember 2021, jumlah neto penerimaan pajak sebesar Rp1.231,87 triliun. Jumlah tersebut sama dengan 100,19% dari target yang diamanatkan dalam APBN Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Rapat Pimpinan Nasional IV DJP di Kantor Pusat DJP (27/12/2021).
Sri Mulyani mengucapkan selamat dan terima kasih atas pencapaian DJP di tahun 2021 ini. “Hari ini adalah hari yang bersejarah. Di tengah pandemi Covid-19, di saat pemulihan ekonomi masih berlangsung, anda mampu mencapai target 100% bahkan sebelum tutup tahun. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas kerja anda semua yang luar biasa. Terima kasih terhadap apa yang kita capai hari ini. Ini adalah bekal kita untuk pelaksanaan tugas-tugas kita di masa mendatang,” ungkap Sri Mulyani.
Baca Juga: Trend Pajak 2022, Perluasan Pajak Digital dan Penyelesaian Sengketa Pajak
Lebih lanjut, tercatat sejumlah 138 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia berhasil mencapai target penerimaan pajak lebih dari 100% dari target yang telah ditetapkan pada masing-masing KPP.
Selain itu, sejumlah tujuh Kantor Wilayah (Kanwil) berhasil mencapai target sebesar lebih dari 100% dari target yang ditetapkan untuk masing-masing Kanwil, yaitu;
- Kanwil DJP Jakarta Selatan I;
- Kanwil DJP Wajib Pajak besar;
- Kanwil DJP Jakarta Khusus;
- Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara;
- Kanwil DJP Kalimantan barat;
- Kanwil DJP Kalimantan Selatan dan Tengah; dan
- Kanwil DJP Jakarta Utara.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan kebahagiaan atas keberhasilan DJP
mencapai target penerimaan pajak 2021 setelah 12 tahun penantian dan perjuangan tanpa henti.
Banyak faktor yang mewujudkan keberhasilan ini, namun yang paling utama adalah dukungan
dan partisipasi seluruh Wajib Pajak yang telah taat dan patuh membayar pajak.
“Kami, seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas dukungan dan partisipasi seluruh Wajib Pajak yang dalam kondisi sedemikian sulit akibat pandemi Covid-19, masih tetap patuh dan taat menjalankan kewajiban perpajakannya dalam membayar pajak. Pajak yang anda bayarkan sangat bermanfaat untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan membiayai pembangunan negeri yang kita cintai ini,” ungkap Suryo Utomo. Suryo juga mengatakan keberhasilan ini tidak lepas dari kerja keras 46 ribu lebih pegawai DJP.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, pembatasan sosial yang masih tinggi, dan terbatasnya interaksi, pengamanan penerimaan pajak menemui hambatan yang tidak mudah.
Namun, dengan semangat yang tidak patah, insan-insan kuat DJP terus bekerja mengumpulkan pundi-pundi penerimaan yang merupakan penopang utama pembiayaan negara. Namun, Suryo melanjutkan, euforia akan keberhasilan ini hendaknya tidak berlebihan.
Ke depan, tantangan akan semakin berat. Tahun 2022 akan menjadi tahun yang sangat krusial, yaitu tahun terakhir defisit APBN boleh melebihi 3%. Tahun 2023 harus sudah di bawah 3%. Sementara, ketidakpastian risiko pandemi Covid-19 masih membayangi. Penerimaan negara tentu dituntut semakin besar untuk dapat menutupi defisit APBN tersebut.
Oleh sebab itu, DJP akan tetap mengevaluasi kinerja tahun 2021 ini. DJP akan menyisir kembali yang telah terjadi di tahun 2021 untuk mempersiapkan diri menjalani tahun 2022. Kinerja dan strategi yang sudah baik akan dilanjutkan di tahun 2022, kinerja dan strategi yang kurang baik akan diperbaiki dan jika perlu diganti.
Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp1.205,81 triliun. Nominal ini mencakup 98,07 persen dari keseluruhan target tahun ini.
“Sejumlah 112 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh wilayah Indonesia telah berhasil mencapai target penerimaan pajak lebih dari 100 persen dari target yang telah ditetapkan pada masing-masing KPP,” demikian keterangan resmi DJP.
DJP menyampaikan sebanyak 5 Kantor Wilayah (Kanwil) telah berhasil mencapai target penerimaan pajak melampaui 100 persen dari targetnya yakni;
- Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan I
- Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus
- Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar
- Kantor Wilayah DJP Sulut dan Malut
- Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara
DJP terus berupaya memenuhi target penerimaan negara melalui seluruh instansi vertikal yang dimiliki. Kami mengharapkan dukungan dari seluruh komponen masyarakat agar DJP dapat mencapai target penerimaan pajak nasional sesuai yang telah ditetapkan.
Baca Juga: Ikuti Fatwa MUI, Komisi IX Minta Pemerintah Prioritaskan Vaksin Halal
Berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021, pemerintah mematok target penerimaan pajak Rp1.229,6 triliun. Adapun, target total pendapatan negara Rp1.743,6 triliun terdiri dari penerimaan pajak tersebut, kepabeanan dan cukai Rp215 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp298,2 triliun.
Beritaneka.com—Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, berpesan melalui momentum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021, komitmen integritas para pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu dibangun untuk memperkuat pajak tanpa korupsi.
Adapun yang menjadi tema peringatan Hari Antikorupsi kali ini adalah “Pulihkan Negeri Saat Pandemi Perkuat Pajak Tanpa Korupsi”.
“SDM (Sumber Daya Manusia) yang berintegritas merupakan salah satu pilar dalam Reformasi Perpajakan. Perilaku yang mengkhianati integritas merupakan isu yang perlu diselesaikan dan ditidaklanjuti sesuai dengan ketentuan untuk menunjukkan bahwa DJP tidak menoleransi segala bentuk penyimpangan dalam mencapai Reformasi Perpajakan. Melalui Reformasi Perpajakan yang tercapai dengan baik, pajak akan menjadi kuat, sehingga pembiayaan pembangunan dapat berjalan dengan baik pula,” kata Suryo Utomo.
Baca Juga: Jelang Nataru, 4 Ruas Jalan Tol Diberlakukan Ganjil-Genap
Hal tersebut disampaikan dalam sambutannya pada acara puncak Hakordia 2021 di Aula Cakti Buddhi Bhakti Kantor Pusat DJP, Kamis 2 Desember 2021. Pada acara yang digelar secara daring dan luring tersebut, menampilkan sajian utama yaitu Gelar Wicara Bincang Integritas dengan narasumber Dirjen Pajak Suryo Utomo, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Awan Nurmawan Nuh, dan mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas.
Sementara itu, sambutan kunci disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dalam Gelar Wicara Bincang Integritas yang salah satu tujuannya adalah memperkaya wawasan program antikorupsi di DJP, Suryo mengatakan dalam rangka penguatan integritas pegawai, DJP melaksanakan program-program sebagai berikut:
- Implementasi Zona Integritas (ZI) – Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah
Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) di lingkungan DJP, sebagai penerapan Reformasi
Birokrasi dalam penegakan integritas dan pelayanan berkualitas. - Melakukan Public Campaign untuk internal maupun eksternal DJP, dengan upaya
publikasi dan kampanye komitmen antikorupsi dari seluruh pegawai di kantor pajak
maupun pada fasilitas publik. - Pemanfaatan Whistle Blowing System, yaitu aplikasi yang digunakan sebagai sarana
untuk melaporkan indikasi tindak kecurangan, pelanggaran, dan fraud di lingkungan DJP. - Memperkuat pengawasan oleh atasan langsung (pengawasan melekat) terhadap
pegawai, melalui program Knowing Your Employee. - Pengawasan pelaksanaan proses bisnis oleh atasan langsung secara berkelanjutan
(on going monitoring). - Internalisasi Corporate Value yang tujuan utamanya adalah meningkatkan sinergi antar
pegawai dalam suatu unit kerja. - Penandatanganan Komitmen Integritas Pimpinan Komitmen Integritas Pimpinan
ditandatangani oleh setiap Pimpinan Unit.
Selain itu, dalam rangka pengawasan internal, DJP terus memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan selaku lini ketiga Sistem Pengendalian Internal (SPI) di Kementerian Keuangan. Tidak lupa, kerja sama dan sinergi juga DJP lakukan bersama KPK yang selama ini telah mendukung dan membantu dalam mewujudkan DJP bersih dari korupsi.
Sementara itu, Ketua KPK, Firli Bahuri, yang bertindak sebagai pembicara sambutan kunci berpesan kepada seluruh pegawai DJP dan masyarakat pada umumnya untuk.mengubah budaya korupsi menjadi budaya antikorupsi.
“Kenapa korupsi ini masih terjadi, satu jawabannya, karena masih ada yang menganggap secara permisif bahwa korupsi adalah peninggalan budaya. Karenanya kami berpendapat bahwa tidak ada kata lain kecuali kita ubah budaya korupsi menjadi budaya antikorupsi,” kata Firli.
Menurut Firli segenap anak bangsa harus melibatkan diri untuk membangun budaya antikorupsi, caranya dengan memahami nilai budaya antikorupsi. Dulu, korupsi hanya dikenal dalam dua bentuk, perbuatan sengaja yang menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain dan penyalahgunaan wewenang, sekarang setidaknya ada 7 kelompok tindak pidana korupsi yaitu kerugian keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dan konflik kepentingan dalam pengadaan. Bentuk korupsi yang paling banyak melibatkan penyelenggara negara adalah gratifikasi, suap-menyuap, dan pemerasan.
“Saya sangat hormati dan apresiasi prestasi dan kerja keras rekan-rekan pajak dalam menjadi andalan utama penerimaan APBN, namun saya juga prihatin karena interaksi yang tidak bisa dihindari dengan wajib pajak sehingga masih ada satu dua oknum pegawai yang tersangkut kasus korupsi. Hal ini mari kita cegah bersama dengan memperkuat integritas,” kata Firli.
Baca Juga: Sebanyak 13 Warga Meninggal Dunia Akibat Letusan Gunung Semeru
Dalam acara puncak Hakordia 2021 ini juga dilakukan penganugerahan pemenang lomba desain grafis dan olimpiade antikorupsi. Hal itu karena sebelumnya telah dilaksanakan lomba desain grafis dan olimpiade antikorupsi sebagai rangkaian kegiatan Hakordia 2021. Dari lomba desain grafis, terkumpul 273 karya dari seluruh unit DJP di Indonesia. Terdiri dari beberapa tema, yaitu whistleblowing system, kode etik dan kode perilaku, gratifikasi, dan internalisasi corporate value.
Untuk olimpiade antikorupsi dilakukan dalam tiga tahap, yaitu dua tahap penyisihan dan satu tahap final. Olimpiade ini diikuti oleh 789 peserta dari seluruh unit DJP di Indonesia.
Beritaneka.com—Partai Keadilan Sejahterah (PKS) merespon data Pandora Papers yang dirilis International Consortium of Investigative Journalis (ICIJ) terkait skema penghindaran pajak yang diduga merugikan negara-negara asal.
“Ini seolah membuka kotak pandora perilaku konglomerat dan pejabat yang melakukan penghindaran pajak, artinya ada dampak dari pengelapan pajak ke negara-negara surga pajak tersebut hingga berkontribusi terhadap rendahnya rasio pajak,” ujar Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati, Kamis (7/10/21).
Menurut Anggota Komisi XI DPR RI ini rasio pajak Indonesia tercatat lebih rendah dibanding dengan negara kawasan Asia Pasifik yang mencapai 21 persen, sementara Indonesia berdasarkan LHKPN rasio pajak kita hanya 9,8 persen di 2020 dan 10,2 di 2019.
“Perbaikan tax rasio ini sangat penting mengingat kondisi fiskal kita yang semakin berat, apalagi dengan hutang negara yang semakin membengkak,” katanya.
Baca juga: PKS Instruksikan Anggota Partai Nonton Film G30S/PKI dan Bendera Setengah Tiang
Legislator PKS ini mengingatkan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan justru skema untuk mencegah penghindaran perpajakan dengan instrumen Alternative Minimun Tax (AMT) dan General Anti Avoidance Rule (GAAR) justru dianulir dalam RUU tersebut.
“Fraksi PKS jelas menolak RUU HPP yang sudah hilang ruh penegakan aturan perpajakan maka imbasnya tax ratio terancam tidak membaik, padahal instrumen pencegahan ini sudah digunakan di 43 negara dan direkomendasikan OECD,” katanya.
Menurut Wakil Ketua BAKN DPR RI ini maka praktik penghindaran pajak di Indonesia akan tetap muncul.
Anis menekankan agar RUU HPP jangan sampai menguntungkan bagi sebagian pihak tertentu saja dengan mengabaikan rasa keadilan bagi WP taat dan patuh.
“Apalagi dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak yang tarifnya mirip tax amnesty jilid 1, tarifnya lebih rendah dari versi Suppresnya. Wajib pajak yang sudah patuh jelas akan merasa dirugikan, akan menurunkan kepatuhan wajib pajak secara umum,” jelasnya.
Baca juga: PKS Terus Perjuangkan Gelar Pahlawan untuk Syaikhona Cholil Bangkalan
Usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan perpajakan dengan menaikan PPN juga dikritisi oleh Anis, “kuncinya sebetulnya kan pada pemulihan ekonomi dan daya beli, ketika ekonomi bergerak otomatis penerimaan pajak akan meningkat. Tetapi dengan kenaikan PPN ini justru akan berdampak pada keseimbangan permintaan barang dan jasa, jelas PKS menolak kenaikan PPN yang membebani rakyat,” paparnya.
Menurut politisi asal DKI Jakarta ini, jika pemerintah ingin memperbaiki rasio perpajakan sehingga fiskal kita pulih harus dimulai dengan memperbaiki sistim perpajakan dan menerapkan asas keadilan perpajakan.
“Insentif harusnya diberikan kepada mereka yang jelas-jelas patuh bukan sebaliknya, semoga dengan terkuaknya Pandora Papers ini mengoreksi dan membuka mata pemerintah akan kekurangsempurnaan RUU HPP,” ujarnya.
Beritaneka.com—Rencana pemerintah bakal memperluas pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan kebutuhan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dinilai kontraproduktif. Sebab, bangsa dan negara masih dalam upaya pemulihan ekonomi lantaran hantaman pandemi Covid-19.
“Kami paham bahwa pemerintah harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun ketika wacana ini disampaikan dalam waktu yang kurang tepat apalagi menyangkut bahan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal itu hanya akan memicu polemik yang bisa menganggu upaya pemulihan ekonomi,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, belum lama ini.
Baca Juga: UMKM Harus Bangkit dengan Semangat 3G dan 4L di Tengah Pandemi
Sekretaris Fraksi PKB ini menjelaskan pihaknya telah menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Dalam RUU KUP tersebut memang disebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok yakni tarif umum dipatok 12%, tarif rendah sesuai skema multitarif 5%, dan tarif final dipatok 1%.
“Skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini pertama kali dimunculkan karena diundang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat,” katanya.
Fathan mengakui jika di sejumlah negara komoditas bahan pokok juga menjadi objek pajak. Namun demikian, apa yang terjadi di negara lain tidak bisa diterapkan begitu saja di Indonesia. “Ada perbedaan konteks seperti stabilitas harga komoditas, kepastian serapan pasar hasil panen, dan beberapa indikator lain yang kebetulan di Indonesia masih belum stabil,” ujarnya.
Dia mengungkapkan rata-rata harga komoditas bahan pokok di Indonesia masih belum stabil. Seperti misalnya fluktuasi harga gabah yang kerap merugikan petani, begitu juga serapan hasil panen beberapa komoditas bahan pokok yang masih belum terjamin.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, wacana pemerintah memperluas basis pajak dengan pemajakan kebutuhan pokok momentumnya kurang tepat.
Baca Juga: Penerapan SIN Pajak Optimalisasi Penerimaan Negara dan Berantas Korupsi
“Kita semua mengetahui masih banyak yang mengalami kondisi sulit hingga saat ini. Daya beli masyarakat menurun. Sektor usaha sedang berupaya bangkit dan membantu pemulihan ekonomi. Bila pajak kebutuhan pokok diterapkan maka daya beli makin anjlok, semakin banyak rakyat menjadi miskin,” kata Koni, Managing Partners & Direktor PajakOnline Consulting Group.
Akibatnya, penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah akan bertambah malah akan semakin menurun karena ketidakmampuan masyarakat untuk membayar pajak karena ekonomi yang makin terpuruk. “Pemerintah harus lebih berhati-hati melakukan perluasan basis pajak dalam situasi dan kondisi ekonomi di masa pandemi ini,” kata Koni, mantan auditor senior DJP.
Beritaneka.com—Pemerintah berencana menaikkan PPN di tahun depan. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang diperkirakan akan mulai pulih sejak akhir tahun ini. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pihaknya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Ada dua skema yang disiapkan kenaikan yang akan diambil pemerintah yakni single atau multi tarif. Jika single tarif maka batasan maksimal PPN bisa naik sampai 15% sesuai UU PPN tahun 2009. Namun jika multi tarif maka akan ada perbedaan pajak untuk jenis barang yang berbeda seperti barang reguler dan barang mewah.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Kebijakan menaikkan PPN itu dikritisi pengamat ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Menurut penilaian Anthony, kebijakan pemerintah menaikkan PPN untuk tambal defisit akan berpengaruh ke berbagai bidang kehidupan. Jika kebijakan itu diterapkan, maka ekonomi akan melemah, angka kemiskinan naik, kesenjangan sosial melebar.
“Karena kenaikan PPN akan mengurangi pendapatan / konsumsi riil masyarakat terutama untuk kelompok kelas bawah,” ujar Antoni
Kebijakan kenaikan pajak itu paling berdampak pada masyarakat bawah karena memberi efek pajak degresif. Artinya masyarakat berpenghasilan rendah menanggung PPN lebih besar dalam persentase penghasilan. Terutama kalau yang naik PPN untuk jenis barang yang dikonsumsi masyarakat bawah misalnya mi instan. Maka, jumlah kemiskinan akan naik.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Antoni menyebut, rasio penerimaan pajak negara terhadap PDB turun terus dari 13,3% (2008) menjadi 9,76% (2019) dan 7,32% (03/2021). Padahal, sudah dibantu kenaikan cukai rokok setiap tahun. Rasio penerimaan pajak ini terendah sejak Orde Baru, dan mendekati prestasi Orde Lama dengan rasio 3,7%.
Ada kesamaan kebijakan fiskal (dan moneter) saat ini dengan Orde Lama. Defisit anggaran naik tajam, mayoritas dibiayai Bank Indonesia. Defisit 2020 6,2% vs Defisit 1965 6,4% dari PDB. Anggaran defisit 2021 5,7%, dan 2022 diperkirakan tetap tinggi.
“Tapi proyek mercusuar maju tak gentar,” tegasnya. (ZS)
Beritaneka.com—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meresmikan reorganisasi instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hari ini. Acara peresmian diselenggarakan di Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat DJP. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan para pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan turut menghadiri acara ini.
“Penataan organisasi instansi vertikal yang dilakukan DJP cukup komprehensif cakupan perubahannya,” ungkap Suryo Utomo dalam sambutannya.
Beberapa perubahan yang mendasar di antaranya perubahan cara kerja, pembagian beban yang lebih proporsional untuk menjalankan proses bisnis inti pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), penambahan jumlah KPP Madya, perubahan komposisi wajib pajak yang terdaftar pada KPP Madya, serta perubahan struktur organisasi.
Baca juga: DJP Bersama 84 Pemda Optimalkan Pertukaran dan Pemanfaatan Data Pajak
Dengan adanya reorganisasi ini, KPP Pratama diarahkan untuk lebih fokus pada penguasaan wilayah (mencakup penguasaan informasi, pendataan, dan pemetaan subjek dan objek pajak) melalui produksi data, pengawasan formal dan material SPT Masa, dan SPT Tahunan.
Selanjutnya, KPP Madya bersama dengan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Khusus akan fokus pada pengawasan terhadap wajib pajak strategis penentu penerimaan, sehingga diharapkan dapat mengamankan 80 s.d. 85 persen dari total target penerimaan pajak secara nasional. Kesemuanya ini tidak lepas dari komitmen DJP untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak.
Pembagian beban yang lebih proporsional pada KPP diimplementasikan melalui penambahan jumlah seksi yang menjalankan fungsi pengawasan pada KPP. Untuk menyederhanakan proses bisnis inti pada KPP, dilakukan juga pengumpulan fungsi-fungsi yang serumpun dalam satu seksi.
DJP membentuk KPP Madya baru dengan mengonversi 18 KPP Pratama menjadi 18 KPP Madya. Penambahan jumlah KPP Madya baru di beberapa Kantor Wilayah dilakukan dengan mempertimbangkan skala ekonomi dan potensi masing-masing wilayah. Penambahan jumlah KPP Madya diiringi dengan perubahan komposisi wajib pajak yang terdaftar pada KPP Madya. DJP menambah jumlah wajib pajak yang diadministrasikan pada Nomor SP- 16/2021 KPP Madya.
Dari yang sebelumnya sekitar 1.000 menjadi 2.000 wajib pajak per kantor atau paling banyak 4.000 wajib pajak dalam satu Kantor Wilayah yang memiliki dua KPP Madya. Dalam rangka reorganisasi, DJP juga melakukan perubahan struktur organisasi pada KPP dengan memperkaya cakupan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh setiap seksi.
Selain itu, dilakukan juga stratifikasi KPP Pratama di mana potensi perpajakan menjadi salah satu dasar dalam menentukan jumlah Seksi Pengawasan. KPP Pratama Kelompok I memiliki enam Seksi Pengawasan, sedangkan KPP Pratama Kelompok II memiliki lima Seksi Pengawasan.
Baca juga: Perpanjangan SIM, STNK, dan Bayar Pajak Kendaraan Akan Berbasis Online
Pembaruan organisasi instansi vertikal DJP berdampak untuk sebagian wajib pajak yakni wajib pajak yang kantor pajaknya mengalami penataan seperti berikut ini. Terdapat 1 Kanwil, 11 KPP, dan 3 Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang mengalami perubahan nomenklatur (nama) kantor. Kemudian terdapat 27 KPP dan 1 KP2KP yang mengalami penyesuaian wilayah kerja. Hal ini dilaksanakan guna menyelaraskan beban kerja, menyesuaikan wilayah kerja, serta konsekuensi dari pembentukan KPP Madya baru.
Wajib pajak yang terdampak reorganisasi instansi vertikal DJP telah mendapatkan pemberitahuan dari KPP terdaftar yang lama. Mulai 24 Mei 2021, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dapat dilaksanakan di KPP terdaftar yang baru.
Bagi wajib pajak yang mengalami kendala dalam melaksanaan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dapat menghubungi DJP melalui Agen Kring Pajak di nomor 1500200. Perlu diketahui masyarakat bahwa reorganisasi instansi vertikal DJP merupakan bagian dari reformasi perpajakan.
Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi perpajakan yang efisien, efektif, berintegritas, berkeadilan, serta untuk mewujudkan organisasi yang andal.
Ketentuan tentang organisasi dan tata kerja baru instansi vertikal DJP dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020. Info selengkapnya tentang Pertanyaan Sering Ditanya (FAQ) ketentuan ini dapat dilihat melalui tautan https://www.pajak.go.id/id/penataan-ulang-organisasi-instansi-vertikal-direktorat-jenderalpajak, sedangkan info tentang perubahan unit kerja tersedia pada tautan www.pajak.go.id/wilayah administrasi. (ZS)