Beritaneka.com—Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) memperkirakan populasi global mencapai 9,1 miliar pada tahun 2050. Situasi itu memaksa masyarakat dunia meningkatkan produksi pangan dua kali lipat lebih besar.
“Implikasinya adalah semua negara harus meningkatkan produksi pangan sebesar 70 persen dari tingkat produksi saat ini. Untuk negara berkembang harus ditingkatkan dua kali lipat,” ujar Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University, Prof Rizaldi Boer, dalam keterangan tertulis kepada media, Selasa (14/09).
Menurut Boer, Kementerian Pertanian (Kementan) RI sudah menargetkan bahwa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Tentu ini menjadi tantangan besar yang harus dicapai karena Indonesia juga ingin berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan di dunia.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Boer menegaskan, perubahan iklim menjadi tantangan untuk bisa meningkatkan produktivitas. Perubahan iklim akan berpengaruh besar terhadap kemampuan produksi pangan ke depan.
Di sisi lain, Boer menambahkan, pertanian menjadi salah satu sumber emisi utama yang menyebabkan perubahan iklim. Meskipun yang menjadi sorotan adalah energi, FAO memperkirakan bahwa sektor pertanian akan berkontribusi 30 persen dari emisi total.
“Sementara itu, target dunia untuk mencegah terjadinya dampak buruk perubahan iklim mencapai zero emission pada tahun 2050. Target ini kita kenal dengan net zero emisson untuk menghindari dampak buruk perubahan iklim,” ungkap peraih Nobel Peace Prize 2007 ini.
Dosen di Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University ini melanjutkan bahwa untuk mencapai target tersebut, sektor lahan dan kehutanan harus bebas deforestasi pada tahun 2030 (net deforestation). Perlu peningkatan rehabilitasi lahan atau pemanfaatan lahan-lahan yang tidak produktif dengan target 161 juta hektar. Serta mempertahankan kawasan lindung untuk keanekaragaman hayati minimal 57 persen.
“Jika memungkinkan emisi dari sektor tata guna lahan sudah negatif paling lambat tahun 2050. Ini bisa dilakukan melalui kerjasama internasional. Perlu upaya bersama dan dukungan internasional yang memadai melalui kerjasama dengan negara-negara dengan potensi sink yang besar,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakannya, melalui Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia berkomitmen untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor pertanian, lahan, dan kehutanan. Dalam strategi jangka panjang (Long-term Strategy/LTS), Indonesia menargetkan sektor Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) mencapai net sink pada tahun 2030.
“Untuk mencapai net sink, hutan alam tersisa saat ini harus dipertahankan. Sampai tahun 2050, konversi hutan alam tidak lebih dari dua juta hektar,” terangnya.
Baca juga: Pakar IPB: Akibat Perubahan Iklim, Suhu Bumi akan Naik 2 Derajat Celcius
Selain itu, menurutnya, strategi jangka panjang Indonesia yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas pangan 20-50 persen dan sawit sampai 95 persen. Indonesia juga perlu mengembangkan sistem pertanian terpadu dan pertanian campur (mix farming).
“Kurangi food loss dan food waste. Saat ini tingkat kehilangan pangan pada tahap panen dan pasca panen mencapai 11,2 persen dan 6,65-11,1 persen di tingkat eceran. Modernasi alat panen diperlukan untuk meningkatkan teknik panen dan mengurangi kehilangan hasil,” imbuhnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa bantuan berupa fasilitas penyimpanan dan teknologi pengemasan sangat penting untuk mengurangi kehilangan makanan selama distribusi makanan. Perbaikan teknologi panen dan pascapanen diharapkan dapat mengurangi kehilangan pangan dari 71 kilogram per kapita pada tahun 2010 menjadi 34 kilogram per kapita di tahun 2050.
“Strategi berikutnya meningkatkan Gross Domestic Product (GDP). Dengan peningkatan GDP, limbah makanan ikut meningkat. Untuk mencegahnya, kita bisa melakukan kampanye dan penerapan sertifikasi hijau untuk konsumen skala besar, misalnya restoran dan hotel,” pungkasnya.