Beritaneka.com, Jakarta—Komisi III DPR kembali menggelar rapat lanjutan soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun. Ketua Komite TPPU Mahfud MD dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati hadir dalam rapat di kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (11/4/2023) sekitar pukul 14.10 WIB. Rapat masih dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni. Ketua PPATK Ivan Yustiavandana dan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto juga tampak hadir dalam rapat tersebut.
Berbeda dengan rapat sebelumnya, rapat soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun kali ini suasananya kondusif. Tidak ada interupsi dari anggota dewan soal topik rapat. Mahfud MD dan Sri Mulyani sepakat dan kompak akan menelusuri dugaan pencucian uang senilai Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.
Sebelumnya pada Senin (10/4/2023), Mahfud MD menyatakan akan membentuk Satgas Gabungan untuk mengusut tuntas transaksi janggal Rp349 triliun tersebut. Mahfud MD dan Sri Mulyani menyebutkan tidak ada perbedaan data soal transaksi mencurigakan tersebut.
“Tidak ada perbedaan data antara yang disampaikan oleh Menko Polhukam sebagai Ketua Komite (TPPU) di Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023 dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan (Sri Mulyani) di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023,” kata Mahfud di hadapan awak media.
Data yang disampaikan Mahfud MD dan Sri Mulyani berasal dari sumber yang sama, yakni Data Agregat Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK 2009-2023. “Terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang berbeda,” kata Mahfud. Keseluruhan LHA mencapai 300 surat dengan total nilai transaksi agregat sebesar Rp349 triliun.
Berkaitan pembentukan Satgas, Mahfud mengatakan, Satgas akan terdiri dari PPATK, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Bareskrim Polri, Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Bidang Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kemenko Polhukam. Satgas bakal menindaklanjuti laporan hasil analisis (LHA) atau laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan mekanisme case building atau membangun konstruksi kasus dari awal.
“Komite akan segera membentuk tim gabungan atau satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindakanjuti keseluruhan LHA-LHP dengan nilai agregat sebesar lebih dari Rp 349 triliun dengan case building, membangun kasus dari awal,” kata Mahfud.
Case building itu terlebih dulu akan menindaklanjuti soal dugaan TPPU emas batangan ilegal di Bea Cukai senilai Rp189 triliun karena nilainya paling besar. “Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP dengan bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat, yakni LHP dengan nilai agregat lebih dari Rp189 triliun,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan bahwa dugaan TPPU emas batangan senilai Rp189 triliun itu sebagian sudah diproses hukum, bahkan sudah vonis hingga peninjauan kembali (PK). Namun, Komite Nasional TPPU sepakat tetap menindaklanjuti melalui mekanisme case building.
“Sudah dilakukan langkah hukum terhadap TPA (tindak pidana asal) dan telah menghasilkan putusan pengadilan hingga peninjauan kembali (PK). Namun, Komite (TPPU) memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut,” kata Mahfud.
“Termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk ke dalam proses hukum atau case building oleh Kementerian Keuangan,” kata Mahfud lagi.
Hampir senada disampaikan Menkeu Sri Mulyani. Kalaupun ada perbedaan data, menurutnya perbedaannya hanya terjadi saat penyajian laporan kepada DPR.
“Secara awal tadi telah ditegaskan Pak Menko (Mahfud MD) tidak ada perbedaan data antara Menko Polhukam dan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat Rp349 triliun,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan nilai transaksi janggal Rp349 triliun merupakan penghitungan agregat. Artinya angka tersebut jumlah transaksi debit-kredit dan keluar-masuk. Dalam ilmu akuntansi hal ini disebut sebagai double triple accounting. Sehingga jika dijumlahkan terakumulasi menjadi Rp349 triliun.
“Transaksi agregat ini ada transaksi yang debit kredit dan keluar masuk, di dalam melihat akuntansinya ini disebut double triple accounting jadi ini dijumlahkan menjadi Rp349 triliun,” terang Sri Mulyani.
Sementara itu, di awal rapat, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni yang menjadi pimpinan rapat mengingatkan hingga saat ini, Komisi III DPR belum menerima data terkait dengan daftar penyampaian surat PPATK selama 2009 – 2023 dan Berita Acara Penerimaan Surat yang sudah diserahkan by hand pada tanggal 13 November 2017. “Sampai dengan hari ini Ketua Komite TPPU belum menyerahkan data tersebut kepada Komisi III DPR,” kata Sahroni.
Untuk itu, Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem ini mengingatkan kembali kepada pihak terkait untuk menyerahkan data surat PPATK selama 2009–2023 dan Berita Acara Penerimaan Surat yang bersumber dari PPATK tersebut.
Beritaneka.com, Jakarta—Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bersama Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rapat dengan anggota Komisi III DPR di Senayan pada Rabu (29/3/2023) telah mengungkapkan kepada publik mengenai asal usul adanya transaksi mencurigakan atau janggal sebesar Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Mahfud MD selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatakan, nominal tersebut merupakan data agregat temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Salah satu topik penting adalah berkaitan dugaan pencucian uang penyelundup emas senilai Rp189 triliun. Sehingga total dugaan TPPU ini mencapai Rp349 triliun termasuk kasus impor emas Rp189 triliun di dalamnya.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pembentukan Pansus sangat mendesak untuk mengusut tuntas skandal Rp349 triliun tersebut.
Panitia khusus (Pansus) merupakan alat kelengkapan dewan yang bersifat tidak tetap. Pansus sendiri dibentuk berdasarkan kebutuhan guna membahas masalah-masalah tertentu yang berkembang di masyarakat atau timbulnya kondisi darurat yang perlu mendapat perhatian pemerintah.
“Dengan kehadiran pansus maka pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijakan wajib hadir ke DPR termasuk Menkeu, Kepala PPATK, Menkopolhukam. Semua bisa jadi terang benderang dan aparat penegak hukum bisa melakukan pemeriksaan pada saksi-saksi yang namanya disebut dalam dokumen PPATK dan menyeret ke ranah hukum,” kata Bhima seperti dilansir PajakOnline.com, Rabu (5/4/2023).
Menurut Bhima, kalau masalah ini berlarut-larut khawatir kepercayaan pembayar pajak bisa turun, ada yang malas menyetor pajak ada yang menunda melaporkan SPT misalnya. Ini yang rugi pemerintah sendiri.
Sebelumnya, kata Bhima, beberapa kasus yang memiliki angka kerugian negara yang besar seperti kasus Pelindo dibawa ke Pansus dan berakhir dengan penangkapan berbagai tersangka yang terkait korupsi. Waktu itu, Pansus Pelindo menemukan kerugian negara Rp36 triliun. Apalagi kasus Rp349 triliun harusnya pembentukan Pansus sudah dimulai di DPR.
“Sepertinya dari sikap Pak Mahfud bisa diharapkan masalah ini tuntas sebelum pemilu 2024,” pungkas Bhima.