Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN) di lembaga anti rasuah tersebut. Hasilnya, 75 pegawai KPK tidak lolos, pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 orang, sementara dua pegawai tidak mengikuti tes wawasan kebangsaan. Sejumlah aspek yang diukur dalam tes tersebut diantaranya integritas, netralitas, dan antiradikalisme.
Namun, kebijakan KPK melakukan perubahan status pegawai KPK lewat TWK dinilai tidak berdasar. Menurut Ray Rangkuti, Aktivis Nurani ’98 ada tiga alasan hasil tes wawasan kebangsaan ASN KPK harus ditolak.
Baca juga: KPK Sita Dokumen dari Kantor dan Rumah Dinas Azis Syamsuddin
“Pertama, status ASN adalah status peralihan akibat adanya revisi UU KPK yang menetapkan bahwa seluruh pegawai KPK bersifat ASN. Karena dasarnya adalah peralihan, maka semestinya seluruh pegawai KPK secara otomatis jadi ASN tanpa proses pengujian layaknya menjadi calon ASN baru,” ujar Ray Rangkuti.
Pegawai KPK, tegas Ray, bukanlah pegawai baru. Mereka adalah pegawai lama yang karena UU mengubah status kepegawaian mereka jadi ASN. Artinya itu pengubahan otomatis. Pandangan Ray itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa peralihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawainya.
Sebab, perubahan status itu terjadi di tengah jalan, bukan di awal, maka ketentuan tes hanya dapat berlaku bagi calon ASN baru di KPK. Pegawai KPK tidak boleh jadi korban akibat UU yang diubah di tengah jalan.
Baca juga: Mahfud MD Datangi KPK Minta Berkas BLBI
Merujuk pada alasan pertama, Ray mengatakan dasar hukum TWK yang dilakukan KPK adalah lemah. UU KPK tidak mensyaratkan test itu dilakukan. UU KPK menyebut istilah peralihan status kepegawaian, bukan pemilihan status KPK menjadi ASN.
“Oleh karena itu, UU lain yang mengikat status ASN bagi pegawai KPK tidak dapat diberlakukan. Karena proses dan dasar hukumnya yang berbeda,” ungkap Direktur LIMA Indonesia itu.
Lebih ganjil lagi, lanjut Ray, adalah pertanyaan-pertanyaan dalam test TWK sangat jauh berbeda dengan umumnya materi test wawasan kebangsaan bagi calon ASN lainnya. Ray menilai perbedaan tersebut tidak adil. Sekaligus menimbulkan stigma awal bahwa di dalam tubuh pegawai KPK ada anasir-anasir yang tidak sejalan dengan NKRI. Tuduhan yang dahulu pernah diungkapkan untuk memuluskan revisi UU KPK.
“Pertanyaan-pertanyaan dimaksud menyasar pada pandangan dan sikap anti radikalisme. Padahal, sejatinya, wawasan kebangsaan tidak melulu soal ini. Tapi juga soal nepotisme dan oligarki elit partai, kriminalisasi atas perbedaan pandangan dan sikap, mengundang investasi yang ugal-ugalan, import yang tanpa batas (kemandirian pangan bangsa), hutang negara yang menumpuk, perlindungan HAM yang makin memburuk,” tuturnya
Kebijakan diatas adalah persoalan kebangsaan yang nyata di depan mata. Seharusnya, materi pertanyaan lebih mengarah kesana, bukan melokalisir pertanyaan pada hal yang mengarah pada soal sikap dan pandangan anti radikalisme. Pertanyaan itu wujud pendangkalan dan penyempitan makna wawasan kebangsaan. Sekaligus mengalihkan wawasan kebangsaan kritis menjadi wawasan kebangsaan manut saja.
“Maka dengan tiga pertimbangan di atas, saya menolak hasil test wawasan kebangsaan dimaksud. Dan meminta agar pimpinan KPK dan pemerintah secara otomatis menetapkan status seluruh pegawai KPK sebagai ASN,” pungkasnya. (ZS)