Oleh: Chazali H. Situmorang, Cibubur, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh/pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam UU No. 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.
Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan PP nomor 37/2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.
Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program jKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.
Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami PHK karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.
Baca juga: MK: Mahkamah Kompromi?
Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.
Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN, dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus, dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT. Taspen untuk ASN.
Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi “gepeng”.
Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.
Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi “gepeng” Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN. Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).
Baca juga: Duet Pasangan Anies-Puan Sulit Menang
Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.
Apakah setelah keluarnya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah konsisten dan mengalokasikan APBN 2022 untuk JKP? Seharusnya konsisten, karena Keputusan MK memberikan interval waktu 2 tahun.
Tetapi mungkin saja pemerintah ragu untuk meluncurkan program JKP pada tahun 2022 pasca keputusan MK itu, karena terkait Amar Putusan poin 7 yaitu: “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta.”
Perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, apakah termasuk didalam nya “mengalokasikan APBN Sektor Ketenagakerjaan 2022, untuk membayar premi program JKP yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat?”
Jika Kemenkeu tidak berani mengalokasikan APBN untuk program JKP, bukan tidak mungkin beban itu dilimpahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bola panas itu tentu akan menyulitkan lembaga jaminan sosial itu. Dari mana uangnya mau diambil? melakukan Re-Rekomposisi JKK dan JKm? mengambil dana JHT? dana JP? Semuanya itu bisa menjadi jebakan batman yang membawa BPJS Ketenagakerjaan ke ranah hukum, karena menabrak UU SJSN dan UU BPJS.
Kalau tidak dilaksanakan program JKP tersebut, karena pertimbangan Keputusan MK, boleh jadi Kemenaker akan berhadapan dengan buruh, terutama mereka yang terkena PHK dan akan menjadi isu sensi yang semakin menambah meningkatkan suhu konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Solusinya, pertama; mengikuti langkah keputusan Mahkamah Kompromi. Pembayaran program JKP tetap dilaksanakan, tetapi besarannya hanya 0,24% dari upah/gaji terakhir, yang dananya bersumber dari rekomposisi JKK dan JKm BPJS Ketenagakerjaan dan kedua; mempercepat proses pembahasan perubahan UU SJSN/BPJS yang sudah ada di Baleg DPR, dengan memasukan program JKP dan perubahan pasal-pasal yang diperintahkan Keputusan MK yang terkait kedua UU itu.
Semoga revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja berjalan dengan cepat, walaupun bus sarat dengan penumpang untuk mencapai terminal yang diperintahkan MK. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kemampuan pemerintah me-remote Ketua-Ketua Partai dan anggota DPR energy nya masih sama seperti menyusun RUU Cipta Kerja. Jika low bat, program JKP juga akan kehilangan signal.
Beritaneka.com—Pimpinan MPR sepakat meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memecat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. MPR kecewa kepada Sri Mulyani karena diundang dua kali tidak pernah datang.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga menilai permintaan Pimpinan MPR yang disampaikan Fadel Muhammad itu mengejutkan. Sebab, sebagai pimpinan MPR bukanlah rananya untuk meminta presiden memecat menteri.
Baca juga: Sri Mulyani: Ketahanan Pangan Jadi Perhatian Pemerintah
Indonesia sebagai negara yang menganut presidensil, jelas Jamiluddin tentu mengangkat dan memberhentikan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Karena itu, siapa pun, termasuk MPR, tidak berhak menekan presiden untuk memecat menterinya.
“Kiranya akan berbeda bila Indonesia menganut sistem parlementer. Legislatif masih dimungkinkan untuk cawe-cawe urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri,” ujar Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini.
Baca juga: Fokus Penguasaan Wilayah, Sri Muyani Resmikan Reorganisasi Direktorat Jenderal Pajak
Jamiluddin menegaskan, MPR sudah melampaui batas kewenangannya ketika meminta Jokowi memecat Sri Mulyani. Pimpinan MPR seolah tidak memahani tugas dan fungsinya setelah UUD 1945 diamandemen.
“Karena itu, Presiden Jokowi idealnya mengabaikan permintaan pimpinan MPR tersebut. Sebab, kalau hal itu dituruti akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan tata negara di Indonesia,”ungkapnya.
Baca juga: Wacana PPN Sembako, Bhima Yudistira: Argumentasi Pemerintah Lemah
Beritaneka.com—Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan perbaikan atau revisi atas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Aturan pelaksana baru atas undang-undang sapu jagat ini dilarang untuk diterbitkan.
Keputusan tersebut dibacakan secara marathon oleh 9 Hakim MK yang dipimpin oleh Anwar Usman, yang selesai diucapkan pada pukul 14.20 WIB. Materi yang diajukan oleh para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman pada Kamis (25/11/2021) beberapa hari lalu. Kendati begitu, MK menyatakan bahwa aturan yang sudah terbit tetap berlaku hingga batas waktu revisi UU Cipta Kerja.
Baca Juga: MK: Mahkamah Kompromi?
“Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” kata Hakim MK lebih lanjut.
Sementara itu, pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, putusan MK terkait Undang-Undang Cipta Kerja tidak akan memengaruhi berbagai aturan teknis terkait perpajakan yang sudah terbit duluan. Sebab, seluruh aturan turunan memang sudah terbit.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah menyelesaikan berbagai aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Menurutnya, tidak ada lagi aturan turunan yang akan diterbitkan sehingga tidak akan terkendala oleh putusan MK.
“Aturan pelaksanaan di DJP sudah semua. Klaster pajak tidak ada isu lagi, karena kalau mengikuti putusan MK tidak boleh membuat aturan baru, DJP sudah membuat aturan turunan semuanya, tinggal dilaksanakan,” kata Yustinus pada Jumat (26/11/2021).
Aturan turunan terkait perpajakan dari UU Cipta Kerja di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 9/2021 Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha. Aturan ini berisi perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha dan mempercepat implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan.
Baca Juga: Apakah Pohon Emas Ada di Indonesia? Ini Penjelasan Pakar IPB University
Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/2021 tentang Pelaksanaan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Mudah-mudahan (putusan MK) tidak mengganggu implementasi aturan di klaster perpajakan,” kata Yustinus.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Kita simak apa yang dikatakan Anwar Usman, Ketua MK hari ini Kamis 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Detailnya Ketua MK menyatakan “pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Anwar.
Dasar pertimbangannya apa? Anwar Usman menjelaskan, pertama; Metode penggabungan atau Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi. Kedua; Dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Ketiga; Pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Keempat; Draf UU Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh publik.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar
Disamping itu ada dua poin penting dari keputusan Mahkamah itu yaitu :
Pertama; Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Kedua; seluruh UU yang terdapat dalam Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Dari empat hal pertimbangan dan dua poin penting yang disampaikan Mahkamah Konstitusi itu, kita mendengar ada istilah yang jarang didengar dalam setiap keputusan MK. Biasanya Keputusan MK berkekuatan hukum bersifat mengikat dan final, tetapi kali ini narasinya berbeda “berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat”. Biasanya juga narasi “inkonstitusional” tanpa embel-embel, kali ini disebutkan “inkonstitusional bersyarat”.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Idealnya MK itu, mengukur apakah adanya delta antara UU Dasar 1945 dengan UU. Jika ada ketidaksesuaian yang dirasakan masyarakat, sehingga merugikan masyarakat maka dapat dilakukan Judicial Review UU dimaksud. Hasilnya MK memutuskan apakah menerima seluruhnya atau sebagian atau menolak seluruh tuntutan atau sebagian, terhadap pasal-pasal yang diajukan untuk di review.
Keputusan MK kali ini menjadi menarik, karena keputusannya bersifat kompromi, ditandai dengan kalimat “bersyarat”, ada tenggat waktu perbaikan, jika dilampui baru dinyatakan inkonstitusional.
Selama masa perbaikan UU Cipta Kerja, MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Apakah ada kaitannya begitu menggebu-gebunya pemerintah menyiapkan PP terkait UU Cipta kerja, sebagai antisipasi keputusan MK, sehingga walaupun tidak boleh lagi membuat peraturan pelaksanaan yang baru, instrumen regulasi sudah boleh dikatakan lengkap untuk pemerintah melaksanakan UU Cipta Kerja dalam 2 tahun kedepan, sambil memperbaikan UU tersebut sesuai keputusan MK.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Simak apa yang dikatakan Menko Perekonomian Airlangga; “Putusan MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK, yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan,” katanya pada konferensi pers, Kamis (25/11/2021).
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat kompromi itu, langsung disambar pemerintah, dengan pernyataan Airlangga itu. Dari keputusan MK, diharapkan dapat menurunkan tension buruh yang sedang berdemo di sekitar Gedung MK. Apakah tension buruh akan menurun beberapa hari ini, kita tidak dapat menduganya. Karena keinginan buruh UU Cipta Kerja itu dibatalkan sekarang juga, bukan ada tempo 2 tahun. Terutama isu upah buruh yang lagi sensi sekarang ini.
Apakah pemerintah dan DPR dapat “menyempurnakan” UU Cipta Kerja, sesuai dengan perubahan pasal-pasal yang digugat, serta mekanisme pembahasan yang lebih transparan merupakan crucial moment yang sulit diprediksi pemerintah dalam menghadapi gerakan “kuda liar” para buruh.
Baca juga: MAU BUBARKAN MUI?
Kita sudah merasakan bahwa tahun 2022 yang tinggal sebulan lagi, merupakan tahun pemanasan suhu politik menuju Pemilu 2024. Apakah soliditas pemerintah dengan DPR, atau Presiden dengan para Ketua Umum Partai, merupakan variabel yang tidak bisa diabaikan dalam melihat dinamika politik di DPR.
Apakah ada Menteri atau Ketua Umum Partai, berani dan nekat untuk melawan arus kecendrungan masyarakat dan buruh yang sudah hampir putus asa menghadapi Omnibus Law UU Cipta kerja, atau akan muncul Brutus-Brutus yang dapat menggoyahkan pemerintahan Presiden Jokowi, dan mendapatkan simpatik publik.
Bagi buruh, keputusan MK ini menjadi amunisi baru, untuk melanjutkan perjuangannya, yang sudah memakan korban Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat dkk, pentolan KAMI, yang dipenjara dan divonis bersalah, karena ikut berjuang untuk menolak UU Cipta Kerja.
Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan Omnibus Low UU Cipta kerja, yang lebih berorietasi pada kepentingan masyarakat luas, dan para pekerja yang masih jauh dari sejahtera.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Menduetkan Anies Baswedan dan Puan Maharani pada Pilpres 2024 memang punya plus minus.
Plusnya, Duet Anies dan Puan otomatis dapat diusung oleh PDIP. Partai ini pemenang Pemilu 2019 dan dapat mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres. Dengan begitu, Anies tidak perlu lagi mencari partai politik untuk mengusungnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Pasangan ini juga kombinasi religius dan nasionalis, sehingga dapat mengakomodir calon pemilih. Suka tidak suka, religius dan nasionalis merupakan cermin masyarakat Indonesia.
Selain itu, duet Anies dan Puan akan diusung partai politik yang kadernya militan. Hal ini menggaransi pasangan ini akan didukung mesin politik yang solid yang dengan mudah digerakkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Minusnya, duet Anies dan Puan didukung oleh kekuatan yang berbeda. Pada umumnya, pendukung Anies tidak menyukai Puan dan PDIP. Sebaliknya, pendukung Puan dan kader PDIP tidak menyukai Anies.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Jadi pendukung Anies dan Puan seperti minyak dan air, sehingga sulit untuk bersatu. Karena itu, para pendukung bukan menyatu untuk membesarkan duet Anies dan Puan, tapi justeru akan berpeluang untuk saling meniadakan.
Karena itu, peluang menang duet Anies dan Puan dalam Pilpres 2024 relatif kecil. Perkiraan itu akan gugur, bila duet Anies dan Puan hanya berhadapan pasangan boneka yang memang disiapkan untuk kalah.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Beritaneka.com—Beberapa hari belakangan terdapat tuntutan di masyarakat untuk pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) akibat dugaan terorisme. Hal ini berawal dari adanya penangkapan tiga orang terduga teroris yang disinyalir menjadi anggota Jamaah Islamiyah (JI) oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri. Salah seorang dari kegita tersangka adalah seorang anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat menyatakan bahwa tuntutan tersebut tidak rasional.
“Akhir-akhir ini itu banyak atau ada sekelompok yang menginginkan supaya MUI itu dibubarkan. Seperti banyak jawaban yang diberikan oleh para tokoh masyarakat, pimpinan ormas, pimpinan negara, tuntutan itu memang sangat tidak rasional. Saya sependapat itu dengan pendapat para tokoh itu,” ungkap Wapres dalam keterangan persnya, dikutif JUmat(26/11).
Baca juga: Wapres: Produk Pasar Modal Syariah Tumbuh di Tengah Pandemi
Wapres menilai, apabila ada masalah di dalam sebuah organisasi, maka yang harus segera dibenahi adalah masalahnya, bukan pembubaran organisasi.
“Jangan karena satu orang, namanya penyusupan di mana-mana ada penyusupan itu. Jadi, bukan rumahnya yang dibakar tapi ya tikusnya itulah,” tegas Wapres.
Lebih lanjut Wapres pun menguraikan beberapa wujud nyata komitmen MUI dalam pemberantasan terorisme, mulai dari pembuatan fatwa hingga menginisiasi dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Dalam kaitan dengan soal terorisme, saya kira MUI pagi-pagi sudah membuat fatwa tentang terorisme sebagai Tindakan yang haram dan tidak termasuk jihad. Fatwa inilah kemudian yang dijadikan sebagai rujukan, referensi dari berbagai upaya penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Dan MUI tidak hanya membuat fatwa, tapi juga membuat lembaga yang menanggulanginya, namanya Tim Penanggulangan Terorisme (TPT), yang ketuanya juga saya sendiri. Saya sendiri yang mengetuai itu,” urai Wapres.
Baca juga: Wapres Ma’ruf Amin: SDM Unggul Kunci Menangkan Persaingan Global
“Ketika itu penanggulangan terorisme negara masih dalam bentuk desk terorisme di Menkopolhukam. TPT ini bersama dengan desk terorisme itu terus melakukan upaya-upaya sosialisasi dalam rangka menangkal terorisme, menangkal radikalisme, bahkan MUI bersama dengan ormas-ormas Islam lainnya, bersama dengan pemerintah dalam hal ini Menko Polhukam, menginisiasi lahirnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,” tambahnya.
Menutup keterangan persnya, kembali Wapres menegaskan bahwa ia mendukung dilakukannya penegakkan hukum yang adil dan sesuai ketentuan terhadap siapapun yang melakukan tindak kejahatan, termasuk terorisme.
“MUI mendukung supaya penanggulangan atau penindakan terhadap mereka yang terlibat terorisme. Siapapun dia. Walaupun itu misalnya anggota pengurus MUI, kalau dia teroris ya harus [dihukum],” pungkas Wapres.
Beritaneka.com—Bahas komitmen Indonesia dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), Kementerian PPN/Bappenas menggelar SDGs Annual Conference 2021 bertema “Recovery and Resilience: Inclusive Financing towards the Attainmentof the 2030 Agenda” pada 23-24 November 2021.
TPB/SDGs merupakan komitmen global yang memandu capaian pembangunan inklusif dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masa kini sembari menyiapkan hak generasi masa depan. Membuka SDGs Annual Conference 2021, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyatakan pentingnya pendanaan inklusif untuk mewujudkan TPB/SDGs.
Percepatan pencapaian SDGs membutuhkan pendanaan yang besar. Sebelum pandemi, celah pembiayaan SDGs sudah cukup lebar. Dengan adanya pandemi, kebutuhan pendanaan SDGs di tingkat global diperkirakan meningkat sebesar 70 persen.
Baca juga: Bersama Pelaku Bisnis, Bappenas Petakan Potensi Kolaborasi Indonesia-Swedia
Kenyataan ini menunjukkan pentingnya inovasi pembiayaan melalui kolaborasi lintas pemangku kepentingan, baik di tingkat global, nasional, daerah, hingga tingkat desa untuk menutup celah pembiayaan. Aspek pembiayaan ini menjadi kunci, mengingat kesiapan dan respons setiap negara berbeda, khususnya antara negara maju dan negara berkembang.
“Untuk itu, masing-masing pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan harus dilakukan secara terukur dan terarah serta disesuaikan dengan konteks Indonesia,” ujar Wapres RI Ma’ruf Amin selaku Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Koordinasi Nasional Pelaksanaan Pencapaian SDGs Indonesia, dalam keterangan tertulis, Kamis (25/11).
Untuk itu, pencapaian TPB/SDGs harus melibatkan semua pihak, melalui paradigma co-creation, termasuk pendanaan melalui mekanisme co-financing.“Indonesia senantiasa berkomitmen untuk tidak menurunkan target-target yang telah ditetapkan dalam pencapaian SDGs 2030, meskipun disrupsi pencapaian target SDGs dipengaruhi akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Rehabilitasi Ekosistem, Bappenas Beri Mandat IPB Kelola Pesisir Raja Ampat
Komitmen tersebut memerlukan tata kelola kelembagaan dan mekanisme kolaborasi seluruh pemangku kepentingan dan pendekatan yang tidak business as usual. Salah satu tantangan yang besar di antaranya adalah pembiayaan untuk SDGs,” tutur Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfaselaku Koordinator Pelaksana Nasional Pencapaian SDGs.
Berdasarkan Peta Jalan SDGs menuju 2030, kebutuhan pendanaan untuk mencapai SDGs sebesar Rp 67.000 triliun, dengan selisih kebutuhan pendanaan sekitar Rp 14.000 triliun. Untuk itu, kolaborasi seluruh pemangku kebijakan untuk mewujudkan transformasi dan trajectory pembangunan berkelanjutan harus dicapai, agar collectiveactionbisa terlaksana.
“Hasil konferensi ini diharapkan memberi masukan konkret bagi percepatan pencapaian target SDGs. Selain itu, kami harap acara ini juga dapat mengajak seluruh platform partisipatif, termasuk kalangan pemuda, secara kolektif berpikir dan bertindak bersama dalam upaya pencapaian SDGs di Indonesia,” tegas Menteri Suharso.
Baca juga: Bappenas Jalankan Tiga Tahapan Pembangunan Energi Terbarukan di NTT
Sebagai konferensi tahunan keempat, SDGs Annual Conference 2021 dibuka Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dan dihadiri Sekretaris Eksekutif United Nations Economic and Social Commissionsfor Asia andthe Pacific Armida Alisjahbana, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua BKASP DPR RI Fadli Zon, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, dan UN Resident Coordinator Indonesia Valerie Juliand tersebut menjadi ajang softlaunching Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs2021-2024.
RAN tersebut menghimpun ribuan rencana kegiatan dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, filantropi, serta perguruan tinggi, hingga menampilkan SDGs Dashboard 2.0 yang memuat capaian indikator SDGs, sertaSDGs Investment Platform yang menampilkan pemetaan potensi dan peluang investasi berkelanjutan.
Beritaneka.com—Indonesia memiliki tanaman yang dapat menghasilkan emas. Logam mulia tersebut dapat diekstrak dari tanaman yang menyerap logam berat (termasuk logam mulia).
Dalam paparannya saat Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap IPB University, akhir pekan lalu Prof Hamim menjelaskan bahwa logam berat merupakan komponen yang tidak mudah terdegradasi dan keberadaannya di tanah bisa mencapai ratusan tahun.
“Pada tumbuhan, toksisitas logam berat menyebabkan penghambatan fotosintesis, pertumbuhan akar dan tajuk yang berakibat pada penurunan produksi bahkan bisa mnyebabkan kematian. Logam berat bisa menyebar melalui rantai makanan secara biologis sehingga membahayakan kesehatan manusia,” ujar Guru Besar Tetap Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University ini, dalam keterangan tertulis, Jumat(26/11).
Baca juga: Kampus Pertama di Indonesia, IPB Terima Sertifikat SafeGuard Label SIBV
Menurutnya, tumbuhan memiliki mekanisme fisiologis yang memungkinkan untuk dapat menyerap logam berat dari lingkungannya. Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai agen pembersih lingkungan yang dikenal sebagai fitoremediasi.
“Beberapa jenis tumbuhan dapat menyerap logam berat dalam jumlah besar di dalam jaringannya, disebut tumbuhan hiperakumulator. Selain bisa dimanfaatkan dalam fitoremediasi, tumbuhan ini juga bisa digunakan untuk menambang logam yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti nikel, perak, emas, platinum dan talium atau suatu kegiatan yang dikenal sebagai fitomining,” imbuhnya.
Tumbuhan hiperakumulator biasanya banyak ditemukan di wilayah dengan kandungan logam tinggi misalnya tanah serpentine dan ultramafic. Indonesia termasuk negara dengan lahan ultramafic terbesar di dunia yang meliputi wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua.
“Namun potensi tumbuhan hiperakumulator di daerah ini belum tergali secara optimal, sehingga perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak sehingga potensinya bisa digali dan dimanfaatkan untuk tujuan fitoremediasi dan fitomining,” jelasnya.
Baca juga: Malam Puncak Gebyar Nusantara 2021, Wakil Rektor IPB University: Keberagaman Budaya Pengikat Bangsa
Menurutnya, selain tumbuhan hiperakumulator yang hidup di wilayah ultramafic, beberapa jenis tumbuhan penghasil minyak non-pangan (non-edible oil) seperti jarak pagar (Jatropha curcas), jarak kastor (Ricinus communis), mindi (Melia azedarach) dan kemiri sunan (Reutealis trisperma) serta tanaman aromatic (penghasil minyak atsiri) seperti Vetiver (Vetiveria zizanioides) juga berpotensi besar untuk digunakan sebagai agen fitoremediasi maupun fitomining.
“Hasil percobaan membuktikan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut mampu bertahan tumbuh pada media cair mengandung Pb dan Hg serta pada media tailing tambang emas. Di antara keempat spesies penghasil minyak non-pangan yang digunakan, Kemiri sunan (R. trisperma) termasuk yang paling tahan terhadap perlakuan dengan logam berat dan tailing tambang emas,” tuturnya.
Ia mengatakan bahwa beberapa tumbuhan di seputar tambang emas juga bisa menjadi alternatif sumber genetik bagi tumbuhan hiperakumulator logam emas. Hasil eksplorasi tumbuhan di seputar tailing dam pertambangan emas PT Antam UBPE Pongkor diketahui bahwa hampir semua jenis tumbuhan yang tumbuh di sana punya kemampuan mengakumulasi emas meskipun pada kadar yang masih rendah.
“Kelompok bayam-bayaman (Amaranthus) yang tumbuh di seputar tailing, memiliki kemampuan akumulasi emas yang paling tinggi, namun karena biomassanya rendah sehingga potensi fitominingnya tergolong rendah. Tumbuhan lembang (Typha angustifolia) juga cukup tinggi dalam mengakumulasi logam emas (Au). Typha bisa menghasilkan 5-7 gram emas per hektar. Ini tentunya memerlukan ekplorasi yang lebih jauh,” tandasnya.
Baca juga: Apartemen Kepiting 4.0, Inovasi IPB Bersama PT TSI
Sementara itu, dalam percobaan yang dilakukannya, pemanfaatan cendawan endofit berseptat gelap (Dark Septate Endophyte) dan cendawan mikoriza terbukti dapat membantu tumbuhan dalam beradapatasi pada lingkungan tercemar logam berat. Cendawan ini dapat membantu program fitoremediasi.
“Penggunaan senyawa ammonium tiosianat (NH4SCN) sebagai ligan pelarut emas juga dapat meningkatkan penyerapan emas oleh tanaman dan meningkatkan biomassa tanaman. Ini potensi yang baik untuk program fitomining pada tailing tambang emas,” pungkasnya.
Beritaneka.com—Penggunaan anggaran negara atau APBN dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menguatkan anggapan bahwa pemerintah selalu inkonsisten dalam menyusun perencanaan. Hal tersebut disampaikan Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera Farouk Abdullah Alwyni.
Menurutnya, ini adalah sekian kalinya pemerintah mengingkari ucapannya sendiri. Presiden Joko Widodo, melalui Perpres No.107 tahun 2015 mengatur tidak akan ada pembiayaan langsung dari APBN dalam mega-proyek kereta cepat ini.
Baca juga: APBN untuk Proyek Kereta Cepat, Rachmat Gobel: Berkebalikan dengan Tiga Janji Semula
Belum lama kemarin, Presiden mengoreksi aturan tersebut dengan mengeluarkan Perpres No.93 tahun 2021 yang mengatur bahwa proyek akan didukung oleh APBN. Akan ada Penyertaan Modal Negara (PMN) ditambah penjaminan utang kepada BUMN yang memimpin konsorsium.
“Padahal proyek ini bukanlah proyek infrastruktur dasar. Di luar sana masih banyak sebenarnya proyek infrastruktur dasar yang perlu dibiayai melalui APBN,” kata Farouk Alwyni.
Mulai dipakainya APBN sebagai instrumen penambal modal proyek kereta cepat ini, jelas Farouk, tak bisa dilepaskan dari adanya cost overrun (pembengkakan biaya) dari semula US$6,07 miliar menjadi US$8 miliar.
Awalnya proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) ini dirancang dengan nilai investasi US$6,07 miliar. Dana ini diperoleh dari patungan antara konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (terdiri dari PT KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan Jasa Marga) dan konsorsium Cina Beijing Yawan HSR Co.Ltd.
Baca juga: Kereta Cepat Belum Mendesak, Syarief Abdullah: Anggarannya Lebih Esensial untuk Covid-19
Pemerintah berdalih bahwa pembengkakan terjadi sebab faktor seperti pengadaan lahan serta perubahan kondisi geografis dari yang awalnya diperkirakan.
Ada dalih lain yakni pandemi Covid-19 yang menyebabkan anggota konsorsium BUMN Indonesia mengalami kesulitan cashflow.
“Sekilas alasan pemerintah terdengar masuk akal dan bisa dimaklumi. Pendapatan KAI turun drastis sehingga rugi Rp1,7 triliun di tahun 2020. Penggunaan jalan tol milik Jasa Marga tidak optimal. Begitupun kesulitan juga dialami PTPN VIII dan Wijaya Karya,” kata Farouk Alwyni.
“Yang belum sempat dijelaskan kepada publik adalah apakah cost overrun ini sudah final atau masih akan membengkak lagi. Jika masih bertambah, maka ruang fiskal kita akan menyempit sementara masih banyak alokasi belanja yang perlu lebih mendapat perhatian,” kata Farouk Alwyni.
Baca juga: Pembangunan Kereta Api Cepat Disuntik APBN, PKS: Hanya Akal-akalan Pemerintah
Di tengah kondisi keuangan negara yang sedang tidak baik, kata Farouk, semestinya pemerintah lebih fokus pada rencana pemulihan pasca-pandemi.
“Persoalan pandemi adalah absolut present. Ia tampak di depan mata dan perlu segera diselesaikan seperti dukungan terhadap UMKM, penyelenggaraan pendidikan, perlindungan sosial, dan tak lupa kesehatan. Inilah soal-soal yang semestinya jadi prioritas,” kata Farouk Alwyni.
Di sisi lain, selain belum jelasnya pembengkakan biaya kereta cepat, belum jelas pula soal kesepakatan utang kepada PT KCIC dalam proyek kereta cepat dari China Development Bank (CDB).
“Kesepakatannya CDB akan memberi utang sebesar US$3,97 miliar. Seiring membengkaknya biaya proyek seperti sekarang, belum cukup jelas apakah jumlah tersebut akan bertambah atau tidak. Yang jelas, ada bunga tinggi yang perlu dibayar,” jelas Farouk Alwyni.
Farouk mengatakan, membengkaknya biaya investasi kereta cepat Indonesia-China ini bahkan sudah jauh melampaui dana pembangunan proyek yang sama yang ditawarkan Jepang dahulu.
“Sebelum Indonesia resmi bekerja sama dengan China, sempat ada negosiasi dengan Jepang pada proyek ini. Waktu itu Jepang siap mendanai 75 persen dari biaya senilai US$6,2 miliar dengan bunga 0,1% per tahun. Bunga ini jauh lebih kecil dibandingkan pihak China yang sebesar 2% untuk US$ dan 3,46% untuk renminbi,” kata Farouk.
Presiden Jokowi memilih China karena menjanjikan skema business to business, di mana biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman, tanpa melibatkan duit APBN sepeser pun.
“Sayangnya skema ini sudah kacau sekarang.Terpaksa APBN kita harus dipakaimembiayai proyek-proyek yang semestinya tidak diuntukkan,” pungkas Farouk Alwyni.
Beritaneka.com—Sejak 17 November 2021, tercatat 522 kasus harian Covid-19 di mana menjadi kasus terendah sejak Juni 2020. Penurunan kasus harian ke level sangat rendah juga diikuti dengan rendahnya kasus aktif, kematian harian, tingkat penggunaan kasus RS atau Bed Occupancy Rate (BOR) dan tingkat kasus positif.
Kasus aktif sudah berada di level 8.390 atau terendah sejak Mei 2020, sedangkan kematian harian berada di angka 15 (7DMA) dengan positive rate 0,2% (7DMA) dan jumlah testing 150 ribu orang per hari.
Meski demikian, berkaca pada kejadian peningkatan kasus di masa liburan, pemerintah berharap seluruh pihak tetap waspada terutama menjelang libur natal dan tahun baru (Nataru).
Baca Juga: MAU BUBARKAN MUI?
“Perbaikan signifikan terus terjadi seiring kerja sama seluruh pihak yaitu masyarakat yang disiplin dengan protokol kesehatan 5M, serta upaya pemerintah dalam mengakselerasi vaksinasi dan melaksanakan 3T. Kewaspadaan harus dijaga mengingat gelombang I Covid-19 di Indonesia terjadi pasca libur Nataru,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan resmi yang kami kutip hari ini.
Kewaspadaan pemerintah diwujudkan dengan percepatan vaksinasi. Realisasi dosis vaksinasi Indonesia berada di peringkat 5 dunia dengan 219,48 juta dosis vaksin yang sudah tersalur per 17 November 2021. Jika asumsi kecepatan vaksinasi sekitar 1,5 juta dosis per hari, maka pada Maret 2022 vaksinasi dapat menjangkau 70% penduduk dan mendukung tercapainya transisi yang lebih optimal menuju hidup berdampingan dengan endemi.
“Vaksinasi harus terus diakselerasi dan didukung dengan kesadaran masyarakat untuk mencapai herd immunity,” lanjut Febrio.
Selain itu, melalui APBN Pemerintah juga mendukung pelaksanaan intervensi di bidang kesehatan. Realisasi sisi kesehatan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional telah mencapai Rp129,3 triliun dengan manfaat yang sangat luas termasuk vaksinasi, 3T, insentif tenaga kesehatan, dan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional.
Baca Juga: Jangan Vonis Anies dengan Logika Sesat
“Masyarakat diharapkan terus bekerja sama dengan konsisten menerapkan 5M di tengah waktu libur nanti, serta menyukseskan program vaksinasi agar momentum pemulihan ini dapat kita jaga terus,” tutup Febrio.