Beritaneka.com—Jumat, 9 April 2021. DPR RI menyetujui pengabungan Kemenristek dengan Kemendikbud dan pembentukan Kementerian Investasi pada Rapat Paripurna. Keputusan itu diperkirakan akan membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan reshuffle kabinet.
M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, melihat momentum tersebut sebaiknya digunakan Jokowi untuk mengganti beberapa posisi menteri di kabinet. Ada empat posisi yang segera harus diganti.
Salah seorang, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Sebab, dari pengamatan Jamiluddin, selama memimpin Kemendikbud, belum ada gebrakan yang membanggakan yang dilakukan Nadiem.
“Dan hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) juga menginginkan Nadiem di reshuffle,” ujar penulis buku Tipologi Pesan Persuasif kepada Beritaneka.
Dengan bergabungnya Kemenristek ke Kemendikbud, tegas Jamiluddin, Nadiem dikhawatirkan semakin tak mampu memimpin kementerian tersebut. Padahal melalui penggabungan itu diharapkan riset akan semakin berkembang di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi.
“Kapasitas Nadiem tampaknya tak cukup mumpuni menangani hal itu,” tegasnya.
Jamiluddin menyarankan, Jokowi sebaiknya mencari sosok yang tepat agar penggabungan dua kementerian itu membuahkan hasil. Nama yang cocok menggantikan Nadiem adalah Bambang Brodjonegoro, yang pernah menjadi Menteri Bappenas dan memiliki pengalaman akademik yang mumpuni.
Selain itu, Jokowi juga layak mengevalusia menteri lainnya yang selama ini kinerjanya dipersepsi publik rendah. Para menteri ini selayaknya ikut di reshuffle.
Menteri Komuniksi dan Informatika, Johny G. Plate, salah satu yang layak di reshuffle. Menteri satu ini praktis hanya memimpin informatika, sementara komunikasinya diabaikan begitu saja. Padahal di era pandemi dan resesi ini, seharusnya Kemenkominfo aktif mengkomunikasikan hal itu agar masyarakat mempunyai pemahaman yang utuh. Namun hal itu tidak dilakukan Kemenkominfo.
“Sebaiknya menkominfo yang baru sosok yang memiliki keahlian komunikasi. Tujuannya agar dapat merancang sistem komunikasi yang sesuai dengan era otonomi daerah,” ungkap pengajar Metode Penelitian Komunikasi itu.
Selama ini, sistem itu belum ada, sehingga menyulitkan mengalirkan informasi dari pusat ke daerah dan sebaliknya dalam komunikasi dua arah. Untuk ini, tentu diperlukan sosok berlatar belakang komunikasi.
Nama lain yang diusulkan Jamiluddin diganti adalah Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko . Mantan Panglima TNI itu dinilai sudah tidak layak menduduki posisi tersebut setelah cawe-cawe urusan internal Partai Demokrat. Hal ini secara langsung telah mengotori lembaga KSP yang seharusnya netral. Keberadaan Moeldoko di KSP juga akan membebani Jokowi. Publik akan mempersepsi istana melindungi Moeldoko bila ia tetap bercokol di KSP.
“Dengan di reshufflenya Moeldoko, lembaga kepresidenan akan terbebas dari tudingan negatif. Publik akan yakin Jokowi tidak melindungi Moeldoko,” ungkapnya.
Terakhir, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, pntas untuk diganti karena juga paling banyak disorot publik. Hasil survei IPO menyebut, menteri Yasonna justru yang paling dominan diminta responden untuk di reshuffle. (zs)