Beritaneka.com—Golkar terbuka untuk berkoalisi asalkan Ketua Umumnya Airlangga Hartarto yang menjadi calon presiden (capres).
Menurut Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, logika politik Golkar itu masuk akal bila didasarkan perolehan suara pileg 2019. Pada pemilihan umum sebelumnya, Golkar memang memperoleh suara terbanyak ketiga atau kedua dalam perolehan kursi di DPR RI.
“Karena itu, Golkar merasa superior untuk memaksakan Airlangga menjadi capres. Partai politik lainnya, selain PDIP dan Gerindra, seolah harus menerima kadernya sebagai cawapres,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Desak Pecat Sri Mulyani, Jamiluddin Ritonga: Pimpinan MPR Melampaui Kewenangannya
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini menegaskan, logika politik itu akan dapat diterima partai lain bila elektabilitas Airlangga tinggi. Setidaknya elektabilitas Airlangga selalu masuk lima besar dalam hasil survei dari lembaga survei yang kredibel.
“Nyatanya, hasil survei dari beberapa lembaga survei yang kredibel, elektabilitas Airlangga hingga saat ini sangat rendah. Kalau pun ada lembaga survei yang merilis elektabilitas Airlangga diatas 20 persen, sangat layak diragukan hasilnya,” ungkapnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Jadi, jelas Jamiluddin, upaya Golkar memaksakan Airlangga menjadi capres dengan elektabilitas rendah tampaknya akan mendapat penolakan dari partai lain. Partai lain tentu akan sulit berkoalisi dengan Golkar yang capresnya peluang menang sangat kecil.
“Jadi, Golkar harus realistis bila ingin berkoalisi dengan partai lain. Pemaksaan Airlangga harus capres hanya realistis bila elektabilitasnya tinggi. Namun bila elektabilitasnya masih seperti saat ini, tentulah partai lain akan tertawa bila Golkar tetap memaksakan Airlangga menjadi capres sebagai syarat koalisi,” tegasnya.