(Nasehat untuk anak-anakku-1)
Oleh: Dr. Masri Sitanggang, Wakil Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia
Beritaneka.com—Anak-anakku, berhentilah berkeluh kesah.
Keluh kesahmu, tak ‘kan pernah menyelesaikan masalah.
Bangkit, tegakkan kepala dan melangkahlah tegap !
Hadapi semua tantangan seperti kau sedang menyelesaikan tugas akhir sekolah.
Rumah besar ini didirikan oleh moyangmu dengan peluh dan darah.
Demi kalian, anak-anak cucunya, agar hidup punya marwah.
Bukan warisan sesiapa atau dari sesiapa, apalagi hadiah.
Maka, terhadap yang ingin memonopoli, yang merasa lebih berhak, janganlah mengalah.
Rumah besar ini milikmu, sebentar lagi akan kutinggalkan.
Aku akan menghadap Sebenar Pemilik, untuk menjawab pertanyaan.
Tentang : apa yang t’lah kuperbuat untuk rumah besar dan penghuninya ?
Tentang : apa yang t’lah kulakukan untuk menyiapkanmu, sebagai penghuni dan penjaga berikutnya rumah besar ini ?
Tentang waktu dan segala anugrah yang telah dititipkan-Nya.
Ya, tentang penghambaanku selama berada di dunia fana.
Baca juga: Presidential Threshold, Mahkamah Konstitusi dan Revolusi (Mental)
Maafkan aku, anak-anakku.
Aku tak seberuntung orang-orang tua lain yang diberi anugrah gelar mulia seperti Syeikh, Kiyai, Ulama dan semacamnya.
Aku cuma mendapat alif-ba-ta- tsa di waktu senggangnya, di gubuk tengah ladang, di sela-sela rehatnya menghalau gerombolan pipit yang silih berganti menyerang padi, dari seorang petani kecil di desa terpencil
(Ya, Allah… Ampuilah segala dosanya; lapangkanlah kuburnya dan jadikanlah pengajaranya padaku sebagai amal yang pahalanya terus mengalir untuknya, Aamien)
Tidak ada gelar mentreng yang bisa kau banggakan dariku.
Bila pun kau simak catatan hidupku, ‘kan kau dapati deretan kelabu tanda kebodohanku.
Aku pun cemas, tak tahu apa yang akan kukatakan kelak pada Allah, Sebenar Pemilik apa yang ada.
Tapi, kau tak perlu takut dan tak perlu pula berkecil hati.
Kau tak ‘kan ditanyai tentang catatan kelam karena kebodohanku itu.
Allah Maha Adil lagi Bijaksana; Dia tidak akan minta pertanggungjawaban seorang anak karena dosa-dosa yang diperbuat orang tuanya. Pun, Dia tidak membebaskan tanggungjawab seorang anak karena gelar mulia orangtuanya. Anak seorang pendosa dan anak seorang ulama sama saja di depan pengadilan-Nya.
Justeru, orangtualah yang akan disoal tentang apa-siapa dan bagaimana anak-anaknya.
Karena itu, harapan sangatku, kau tidak ‘kan mengulang kebodohanku dan turutlah nasehat-nasehatku agar kau bisa jadi saksi meringankan bagiku.
Syukur-syukur jika kau, mau berbakti pada orang tua yang tak lagi berdaya ini, tak lupa sisipkan dalam simpuhmu seuntai do’a : “Robbigh firli waliwalidayya warhamhuma kama robayani shoghiro”.
Ya Rabb, ampunilah kesalahan-kesalahanku dan kesalahan-kesalahan kedua orangtuaku; sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.
Insya Allah, doamu itu akan menjelma menjadi cahaya yang menerangi, atau awan yang melindungi, atau salju yang menyegarkan hidupku di sana.
Rumah besar yang sebentar lagi kutinggalkan ini, adalah milikmu.
Bangunlah sesuai zamanmu, tapi jangan sekali-kali bergeser dari pondasi yang ditancapkan moyangmu.
Hakekat dari rumah besar, yang dibangun dengan peluh dan darah, ini terletak pada fondasinya.
Dari situ kau temukan ruhnya : apa, kenapa, bagaimana dan untuk apa rumah dibangun ?
Baca juga: Belajar Hikmah dari Alm. AGH Dr. Sanusi Baco
Dari situ kau dapat menangkap wujud utuh dan arah kiblat rumah yang diidamkan.
Dari situ kau tahu jumlah, letak dan tatanan bilik yang menunjukkan keindahan, keserasian sekalian menjamin keharmonisan penghuninya.
Dari itu semua, kau akan tahu keluarga macam apa sesungguhnya yang ingin diwujudkan.
Itulah jati dirimu, jati diri keluarga di dalamnya.
Bila pondasi itu berubah, maka hakekatnya, rumah besar yang dibangun moyangmu sudah tidak ada lagi: tinggal cerita masa lalu pengantar tidur anak cucu. Yang ada, adalah rumah baru dengan hakekat baru yang terputus dari keperibadian serta jati dirimu dan cita leluhurmu.
Entahlah, apakah di saat seperti itu, kau dan anak cucumu masih menjadi tuan rumah atau sudah jadi tamu.
Rumah besar ini sangat mempesona, rawat dan jagalah.
Akan senantiasa ada orang-orang yang iri dan beriat memiliki.
Akan senantiasa ada orang-orang dengki yang ingin merusak, meruntuhkan dan bernafsu mengusai.
Akan senantiasa ada orang-orang munafiq yang, lisannya tiada henti berteriak : “kami sedang melakukan pembangunan”, (padahal) sedang membuat kerusakan : merubah pondasi.
Akan senantiasa ada penghianat yang membantu panjahat mencuri, menggadai dan menghabisi kekayaan rumah besar ini, terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi.
Kau pasti merasakan betapa sesaknya nafas bila menyaksikan angkuhnya para bajingan itu beraksi.
Kau pasti merasakan tekanan amarah yang sangat ketika menyaksikan para penghianat dan munafik menghiasi bibirnya dengan kata-kata yang seolah bijak bak ayat-ayat suci. Menjijikkan !
Kau pun pasti rasakan beratnya himpitan, tekanan lahir bathin, manakala setan-setan itu mengintimidasi.
Tetapi, berhentilah berkeluh kesah, anak-anakku.
Keluh kesah hanya ‘kan membuat kau bertambah lemah.
Bangkit, ambillah batu atau, kalau tak mampu, kerikil pun memadai.
Jadikan ia “Rujumasy Syayathien”, meteor pelempar setan-setan yang adalah musuhmu dan musuh Allahu Rabbi.
Hantarkan setan-setan dan orang-orang ingkar kepada Rabbnya itu ke masing-masing tempat yang telah dijanjikan : ‘azabas sa’ir, azab api yang menyala-nyala, atau ke neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali.
Atau, gores sesuatu dengan pena yang pernah kubelikan dari hasil gaji pegawai negeri.
Atau, berteriaklah sekerasnya dengan kata-kata yang pernah aku dan guru ngajimu ajarkan.
Agar teman-temamu terjaga dari lelapnya.
Agar orang-orang alim-berilmu tidak menjadi setan bisu.
Agar setan-setan itu tahu : rumah besar ini ada pemiliknya.
Agar penjahat dan penghianat itu tak berlaku sekehendaknya.
Jangan termangu.
Jangan biarkan lidahmu kelu tak bersuara.
Janganlah kau menjadi anak-anak lemah tak berdaya, terpejara oleh bisikan keraguan dan ketakutan yang memang segaja dihembuskan oleh setan-setan dari kalangan jin dan manusia.
Bangkitlah !
Jadilah kau bagian dari generasi lima-lma empat, pengganti generasi yang murtad.
Generasi yang cinta Allah dan jalan Jihad melawan para penjahat dan penghianat.
Generasi yang laa yakhaafuna lau mata laaim, tidak takut akan celaan orang-orang yang suka mencela.
Anak-anakku, sebagai barisan generasi lima-lima empat, kau pasti akan dicela oleh para penjahat dan penghianat.
Berbagi label buruk akan dilemparkan ke wajahmu.
Baca juga: Mari Berdoa untuk: Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan Enam Pengawal HRS
Berbagai gelar beraroma busuk akan disematkan padamu : mungkin fundamentalis, mungkin ekstrimis mungkin radikalis atau bahkan teroris. Semua itu untuk menimbulkan rasa takut supaya pendirianmu goyah dan kau kembali surut, supaya orang-orang menjauhimu dan supaya orang berilmu menjadi setan bisu
Jangan takut, jangan surut.
Kau memang harus menjadi seorang fundamentalis untuk bisa menjaga fondsi. Menjadi radikalis untuk bisa menghadapi para munafiq dan penghianat. Lebih dari itu, kau memang harus jadi teror bagi para setan yang ingin meruntuhkan atau menggadaikan rumah besar ini.
Ya, kau harus menjadi terosis bagi mereka.
Wahai anak-anakku, dengarkan ini :
Jangan takut, jangan surut.
Kau harus menjadi teror bagi penjahat dan penghianat.
Kalau pun kau mati di jalan ini, itu adalah satu kemuliaan.
Camkanlah ini : Mati dalam peperangan, bukanlah satu kekalahan; kekalahan yang sesungguhnya adalah, bila kau tunduk pada kemauan musuh.
Anak-anakku, berhentilah berkeluh kesah.
Pegang teguhlah nasehatku ini, biar aku bisa pulang dengan tenang.
Jadilah kau saksi yang membantuku kelak menjawab pertanyaan Yang Maha Adil.
Semoga Allah memberi jalan yang mudah bagimu…