Oleh: Chazali H. Situmorang, Cibubur, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh/pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam UU No. 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.
Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan PP nomor 37/2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.
Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program jKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.
Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami PHK karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.
Baca juga: MK: Mahkamah Kompromi?
Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.
Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN, dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus, dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT. Taspen untuk ASN.
Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi “gepeng”.
Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.
Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi “gepeng” Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN. Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).
Baca juga: Duet Pasangan Anies-Puan Sulit Menang
Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.
Apakah setelah keluarnya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah konsisten dan mengalokasikan APBN 2022 untuk JKP? Seharusnya konsisten, karena Keputusan MK memberikan interval waktu 2 tahun.
Tetapi mungkin saja pemerintah ragu untuk meluncurkan program JKP pada tahun 2022 pasca keputusan MK itu, karena terkait Amar Putusan poin 7 yaitu: “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta.”
Perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, apakah termasuk didalam nya “mengalokasikan APBN Sektor Ketenagakerjaan 2022, untuk membayar premi program JKP yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat?”
Jika Kemenkeu tidak berani mengalokasikan APBN untuk program JKP, bukan tidak mungkin beban itu dilimpahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bola panas itu tentu akan menyulitkan lembaga jaminan sosial itu. Dari mana uangnya mau diambil? melakukan Re-Rekomposisi JKK dan JKm? mengambil dana JHT? dana JP? Semuanya itu bisa menjadi jebakan batman yang membawa BPJS Ketenagakerjaan ke ranah hukum, karena menabrak UU SJSN dan UU BPJS.
Kalau tidak dilaksanakan program JKP tersebut, karena pertimbangan Keputusan MK, boleh jadi Kemenaker akan berhadapan dengan buruh, terutama mereka yang terkena PHK dan akan menjadi isu sensi yang semakin menambah meningkatkan suhu konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Solusinya, pertama; mengikuti langkah keputusan Mahkamah Kompromi. Pembayaran program JKP tetap dilaksanakan, tetapi besarannya hanya 0,24% dari upah/gaji terakhir, yang dananya bersumber dari rekomposisi JKK dan JKm BPJS Ketenagakerjaan dan kedua; mempercepat proses pembahasan perubahan UU SJSN/BPJS yang sudah ada di Baleg DPR, dengan memasukan program JKP dan perubahan pasal-pasal yang diperintahkan Keputusan MK yang terkait kedua UU itu.
Semoga revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja berjalan dengan cepat, walaupun bus sarat dengan penumpang untuk mencapai terminal yang diperintahkan MK. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kemampuan pemerintah me-remote Ketua-Ketua Partai dan anggota DPR energy nya masih sama seperti menyusun RUU Cipta Kerja. Jika low bat, program JKP juga akan kehilangan signal.
Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Kebocoran data penduduk Indonesia menjadi berita hangat saat ini. Ada pihak luar yang mengkaim memiliki 279 juta penduduk Indonesia. Atas klaim tersebut Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan investigasi sumber kebocoran data tersebut. Berdasarkan hasil investigasi terbaru yang dilakukan terhadap dugaan kebocoran data penduduk, diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan.
Hal tersebut didasarkan pada data Noka (Nomor Kartu), Kode Kantor, Data Keluarga/Data Tanggungan, dan status pembayaran yang identik dengan data BPJS Kesehatan. Data sampel yang ditemukan tidak berjumlah 1 juta seperti klaim penjual, tetapi sebanyak 100.002 data.
Tentunya kebocoran data ini menjadi hal yang sangat serius karena akan memiliki dampak bagi banyak hal. Keseriusan masalah ini segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan memanggil Direksi BPJS Kesehatan.
Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Bocor, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan, Kominfo, dan Kemendagri
Sebagai institusi public BPJS Kesehatan memang mengelola data yang sangat besar dan relatif rinci. Hal ini tentunya terkait dengan tugas pelayanan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Menurut Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, seluruh rakyat Indonesia diwajibkan ikut program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKN terkini sekitar 222,4 juta orang atau sekitar 82,37 persen dari total rakyat Indonesia.
Data-data yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sangat beragam dan rinci. Terkait dengan data pribadi, data tersebut antara lain nama, alamat, tempat tanggal lahir, NIK, nama keluarga dalam satu KK, upah bagi peserta Penerima Upah, nomor rekening bagi peserta Bukan Penerima Upah, hingga sidik jari.
Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan pun mengelola data kesehatan peserta JKN maupun fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dari masyarakat sipil maupun militer. Data-data tersebut tentunya sangat confidential, yang harus dijaga agar tidak berpindah ke pihak lain.
Untuk mendukung pengelolaan seluruh hal di atas, kerja-kerja BPJS Kesehatan didukung teknologi infomasi, untuk lebih efisien dan efektif. BPJS Kesehatan memiliki banyak aplikasi seperti Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, Aplikasi Sistem Informasi Layanan Publik, Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan.
Untuk mendukung Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu :
1. Mobile JKN, dengan jenis aplikasi Mobile Android dan IOS. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk pendaftaran peserta baru PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah), pindaf Fasilitas Kesehatan, Cek Tagihan, Riwayat pembayaran, Pencaian Fasilitas Kesehatan, Skrining Riwayat Kesehatan, Pendaftaran Antrian Faskes, Ketersediaan Tempat Tidur dan Jadwal Operasi, dan informasi lainnya. Pengguna aplikasi ini adalah public dan internal BPJS Kesehatan.
2. Aplikasi BPJS Checking, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini digunakan untuk cek tagihan iuran peserta via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah peserta BPJS Kesehatan.
3. Aplikasi e-Dabu, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk peserta segmen Badan Usaha untuk dapat melakukan pendaftaran karyawan, mutasi karyawan,informasi tagihan, dsb. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
4. Aplikasi BPJS Admin, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk mencetak e-ID peserta pekerja penerima upah Badan Usaha. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
5. Aplikasi Registrasi Badan Usaha, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk pendaftaran Badan Usaha menjadi peserta BPJS Kesehatan via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
6. Portal Bersama, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini adalah portal pendaftaran Badan Usaha untuk mendaftar peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
Untuk mendukung Sistem Informasi Layanan Publik, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu Website BPJS Kesehatan, Aplikasi Mudik BPJS Kesehatan, Portal Jamkesnews, Aplikasi Aplicares, dan Web Skrining (skrining Kesehatan peserta).
BPJS Kesehatan pun memiliki Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan yang terdiri dari 8 Aplikasi yaitu Aplikasi Health Facilities Information System (HFIS), Aplikasi Pcare-Eclaim, Aplikasi vClaim, Aplikasi Sidik Jari BPJS Kesehatan, Aplikasi Antrean Faskes, Aplikasi Luar paket INACBGs (LUPIS), Aplikasi Apotek Online, dan Aplikasi Klaim Covid-19.
Ketentuan tentang tata Kelola Teknologi Informasi (TI) ini diatur dalam Peraturan Direksi BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Panduan Umum Pengelolaan Teknologi Informasi BPJS Kesehatan.
Baca juga: Investigasi Data Pribadi yang Bocor, Kemkominfo Panggil Direksi BPJS Kesehatan
Beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan antara lain:
1. Control Objectives for Information and Related Technology (COBIT) yang dikembangkan oleh IT Governance Institute untuk membantu BPJS Kesehatan dalam melakukan penilaian tata Kelola atas proses TI yang dimiliki. Tahun 2020 telah dilakukan assessment tingkat kapabilitas tata Kelola TI BPJS Kesehatan menggunakan standar COBIT 5.
2. The IT Infrastucture Library (ITIL) yang dikembangkan oleh office of government Commerce untuk membantu suatu organisasi dalam menyediakan tata Kelola atas layanan operasional TI yang baik dan memenuhi harapan pengguna.
3. The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) yang merupakan standarisasi penerapan Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) atau Information Security Management System (ISMS) yang memenuhi standar internasioal.
4. The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) yang merupakan standarisasi yang dikembangkan oleh ISO untuk membantu suatu organisasi daam hal penerapan Sistem Manajemen Layanan TI (SMLTI) atau Information Technology Service Management (ITSM) yang memenuhi standar internasioal.
Saat ini BPJS Kesehatan telah berhasil memperoleh sertifikasi untuk The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) dan The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) dari Lembaga Sertifikasi International British Standars Intitution (BSI).
Tentunya dugaan kebocoran data yang diduga dari BPJS Kesehatan tersebut, bila dikaitkan dengan banyaknya aplikasi di BPJS Kesehatan, maka kebocoran data tersebut kemungkinan bisa disebabkan diretasnya aplikasi-aplikasi tersebut khususnya Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan dan Aplikasi pelayanan Kesehatan, dan kemungkinan kedua adalah adanya orang dalam yang membocorkan data-data tersebut. Namun saya cenderung menilai kemungkinan pertama yang terjadi, walaupun tentunya penyelidikan atas kemungkinan kedua pun harus dilakukan.
Bila memang karena diretas maka pengamanan aplikasi TI yang dimiliki BPJS Kesehatan relatif rendah. BPJS Kesehatan tidak bisa memastikan beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan untuk menjamin keamanan aplikasi-aplikasi di BPJS Kesehatan. Sebaiknya memang aplikasi yang ada di BPJS Kesehatan juga bisa disederhanakan jumlahnya sehingga bisa lebih efektif dan efisien dalam mengalola program JKN.
Kebocoran data ini harus dituntaskan oleh Pemerintah. Kebocoran data kepesertaan ini juga akan berdampak pada kebocoran data medis rakyat Indonesia yang dikelola BPJS Kesehatan. Ini sangat berbahaya bagi Indonesia bila data rakyat Indonesia dan data medis bisa dimiliki pihak lain.