Beritaneka.com—Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 668 calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk Daftar Calon Tetap (DCT) untuk Pemilu 2024. “Total untuk daftar calon tetap (DCT) anggota DPD yang kita tetapkan hari ini jumlahnya adalah 668 orang, dengan perincian laki-laki 535 kemudian untuk perempuan 133,” kata ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam Konferensi Pers di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (3/11/2023).
Hasyim menjelaskan, sebanyak 683 orang mendaftar sebagai caleg DPD sejak awal pendaftaran dibuka. Berdasarkan hasil verifikasi, 113 orang dinyatakan Memenuhi Syarat (MS), 568 orang Belum Memenuhi Syarat (BMS), dan dua orang Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
“Selanjutnya setelah melalui masa perbaikan pada verifikasi akhir itu yang memenuhi syarat adalah, bakal calon DPD 675 orang, yang tidak memenuhi syarat delapan orang. Tapi yang kemudian masuk Daftar Calon Sementara (DCS) itu 674 orang, ada satu orang yang mengundurkan diri, karena dia memilih untuk jadi calon anggota DPR,” katanya.
Dari penetapan DCS 674 orang itu, lanjut Hasyim, terdapat empat orang yang mengundurkan diri. Selanjutnya satu orang dinyatakan gagal setelah adanya tanggapan dari masyarakat dan sisanya satu orang lagi TMS karena belum menjalankan masa jeda lima tahun karena sempat tersandung kasus pidana. “Ada satu orang yang tidak memenuhi syarat berkaitan dengan masa jeda 5 tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana,” katanya.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com-Daerah yang dimaksud di sini merujuk suatu teritori di dalam kepulauan yang dulu dinamakan Kepulauan Hindia (Timur), atau (East) Indian Archipelago, atau Hindia Belanda, yang dalam bahasa Yunani disebut Indos Nesos.
Daerah adalah sebuah teritori yang terbentang dari Sumatra hingga Papua. Daerah-daerah tersebut kemudian menyerahkan kedaulatannya untuk membentuk negara baru, yang didirikan pada 17 Agustus 1945: negara Indonesia. Dengan kesepakatan bahwa negara baru tersebut, wajib memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat daerah, serta menegakkan kedaulatan rakyat, dan kedaulatan daerah.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar (UUD) negara Indonesia tahun 1945 memasukkan unsur Utusan Daerah sebagai komponen di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berfungsi sebagai perwakilan daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah di parlemen.
Utusan Daerah ketika itu mempunyai hak suara untuk turut memilih dan mengangkat Presiden (dan Wakil Presiden), memberhentikan Presiden, serta membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal ini berlangsung hingga 2004 (MPR periode 1999-2004). Kemudian UUD yang “asli” diubah atau di-amandemen sebanyak empat kali terhitung sejak 1999 hingga 2002, pasca kejatuhan Presiden Soeharto.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Sayangnya, UUD hasil amandemen tersebut, ada yang mengatakan UUD “palsu”, menihilkan peran daerah. Sangat Ironis. Utusan Daerah (dan utusan golongan) dihapus. Diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya juga harus dipilih melalui pemilihan umum. Sama seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tetapi, hak anggota DPD dimandulkan. Anggota DPD tidak mempunyai hak suara dalam pembuatan undang-undang. Hal ini tentu saja merupakan pengkhianatan terhadap daerah yang sudah menyerahkan kedaulatannya dan turut mendirikan negara Indonesia.
Padahal anggota DPD berjumlah 136 orang. Hampir 25 persen dari jumlah anggota DPR yang berjumlah 575 orang.
Tetapi anggota DPD hanya dianggap sebagai penggembira saja di dalam parlemen. Tidak mempunyai fungsi yang berarti. Hanya bisa mengusulkan undang-undang tetapi tidak mempunyai hak suara untuk menentukan undang-undang.
Baca juga: Majelis, Kembalikan Kedaulatan Rakyat!
Oleh karena itu, tidak heran banyak undang-undang yang disahkan di era reformasi tidak berpihak kepada daerah. Terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang merugikan daerah dan rakyat daerah. Eksploitasi lahan perkebunan, lahan pertambangan atau lahan untuk pengembangan perumahan semakin merajalela, dan semakin merugikan daerah.
Yang menikmati kekayaan sumber daya alam daerah hanya segelintir pengusaha dan penguasa saja, yang dikenal dengan oligarki. Segelintir orang tersebut bahkan menjadi salah satu orang terkaya Indonesia.
Sedangkan kebanyakan rakyat daerah hanya menjadi buruh perkebunan, buruh tambang, atau buruh perumahan di areal lahan tersebut. Di samping, daerah juga kerap dilanda bencana alam, akibat eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Semua itu tentu saja melanggar “kesepakatan” antar daerah yang dituangkan di dalam UUD. Daerah tidak lagi berdaulat. Tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Bahkan daerah tidak mempunyai hak suara untuk membentuk undang-undang yang menyangkut kepentingan daerah.
Baca juga: Arti Konstitusi, Pelanggaran dan Konsekuensi: Berhenti atau Diberhentikan
Sehingga banyak rakyat di daerah hidup dalam kemiskinan yang parah. Adil dan Makmur hanya menjadi impian belaka.
Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR, harus segera mengembalikan kedaulatan daerah. Memulihkan hak anggota DPD agar sama dengan hak anggota DPR. Setidak-tidaknya, anggota DPD mempunyai hak suara yang sama dengan anggota DPR, dalam segala hal, termasuk dalam menentukan undang-undang. Dan, DPD juga dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, di luar pencalonan dari Partai Politik.
Apabila hak DPD tidak segera dipulihkan, dikhawatirkan daerah dapat mencabut mandat kesepakatan sewaktu mendirikan negara Indonesia. Karena institusi negara, Pemerintah maupun DPR serta MPR, telah melanggar kesepakatan antar daerah yang tertuang di dalam UUD. Kesepakatan bahwa Kedaulatan ada di tangan Rakyat. Dan Kedaulatan Daerah ada di tangan Rakyat Daerah.
Semoga para elit politik di pusat dapat berlaku adil kepada semua daerah di Indonesia, dan segera melakukan koreksi atas perlakuan yang tidak adil. Diawali dengan koreksi atas hak suara DPD di parlemen. Sehingga Indonesia dapat mempertahankan tujuan Indonesia bediri sebagai negara kesatuan.
Beritaneka.com—Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengapresiasi langkah pemerintah yang berinisiatif meluncurkan program subsidi upah dengan alokasi dana sebesar Rp 8,8 triliun. Subsidi upah itu dinilai DPDP akan membantu pekerja yang dirumahkan akibat PPKM.
Total alokasi dana yang dikeluarkan pemerintah akan ditujukan bagi 8,8 juta pekerja non esensial. Bantuan tersebut akan disalurkan dalam 2 tahap, masing-masing Rp 500 ribu untuk 2 bulan dan akan dibayarkan sekaligus sebesar Rp 1 juta.
“Program baru subsidi upah yang dikeluarkan pemerintah ini merupakan inisiasi yang baik. Subsidi upah akan membantu pekerja yang dirumahkan, khususnya akibat kebijakan PPKM,” ujar Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Kamis (22/7/2021).
Baca juga: Hindari Kebocoran Data, DPD Minta Peralatan Negara yang Disusupi Satelit Mata-mata Segera Diganti
Seperti dilansir dari laman DPD, program subsidi upah ini, bukan untuk pekerja yang di-PHK. Namun, bagi pekerja yang daerahnya berada pada kategori kritis sehingga terpaksa dirumahkan oleh perusahaan.
LaNyalla mengingatkan, ada beberapa syarat bagi pekerja yang bisa menerima insentif ini.
“Pekerja yang berhak menerima subsidi upah Rp 1 juta tersebut adalah mereka yang bekerja di sektor non esensial. Pekerja juga harus sudah terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan, dan bergaji Rp 3,5 juta ke bawah per bulan. Selain itu, lokasi kerjanya masuk kategori PPKM Level 4,” kata Senator Jawa Timur itu.
Sejak awal pelaksanaan PPKM, LaNyalla sudah menyoroti kemungkinan terjadinya PHK massal. Sebab tidak semua perusahaan bisa menerapkan metode work from home (WFH). Sedangkan saat PPKM Darurat, operasional perusahaan di luar sektor esensial dan kritikal tidak diperbolehkan.
“Jadi memang harus ada antisipasi dari pemerintah. Program subsidi upah ini bisa menjadi salah satu antisipasi tersebut, meski harus ada beberapa upaya lagi yang harus dilakukan,” ucap LaNyalla.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Prioritas Utama, Fathan: Hentikan Proyek Infrastruktur
Mantan Ketua Umum PSSI itu juga menyoroti informasi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyatakan opsi PHK mulai dibicarakan para pengusaha kepada pekerjanya akibat PPKM. Pengurangan karyawan memang sudah dilakukan pengusaha, mulai dari merumahkan karyawan, ataupun memutus para pegawai kontrak.
Hal tersebut terjadi lantaran pengusaha semakin sulit untuk membayar gaji karyawan, apalagi untuk karyawan yang dirumahkan. Salah satunya adalah para pengusaha mal karena ada larangan beroperasi selama PPKM Darurat.
“Saya memahami kondisi yang sedang dialami. Namun sekali lagi saya mengimbau kepada para pengusaha untuk tidak melakukan PHK. Pengusaha bisa berdiskusi dengan pemerintah untuk mencari solusi paling baik,” jelasnya.
Beritaneka.com—Laporan Badan Intelijen Negara (BIN) yang menyebut banyaknya peralatan negara yang ditempeli satelit mata-mata asing, mendapat perhatian serius dari Dewan Perwailan Daerah9DPD). Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah segera mengambil tindakan. Salah satunya, mengganti semua peralatan negara yang disusupi satelit mata-mata.
“Ini bukan persoalan sepele. Harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap seluruh sistem maupun peralatan negara karena ini menyangkut ketahanan nasional,” tutur LaNyalla, Rabu (16/6/2021).
Baca juga: Program Petani Milenial Meluncur di Papua Barat
Ditambahkannya, pengecekan terhadap seluruh peralatan ketahanan negara perlu sesegara mungkin dilakukan sebagai antisipasi terjadinya kebocoran data. Untuk itu, ia meminta BIN merinci peralatan mana saja yang sudah disusupi pihak asing.
“BIN sebagai sebagai satu-satunya institusi yang kedudukannya sebagai ‘State Intelligence’ perlu menyampaikan informasi detil mengenai peralatan-peralatan yang dijadikan mata-mata asing tersebut,” tuturnya.
LaNyalla juga meminta BIN bekerja sama dengan instansi terkait agar masalah penyusupan mata-mata asing ini bisa ditangani dengan sebaik mungkin. Termasuk dengan TNI sebagai penjaga pertahanan negara.
“Kita harus duduk bersama untuk mengatasi persoalan ini. Jangan sampai ada ego sektoral yang akhirnya justru merugikan dan mengancam ketahanan nasional yang akan berdampak terhadap kehidupan bangsa,” tegas LaNyalla.
Mantan Ketua Umum PSSI ini berharap pemerintah menanggapi serius permintaan BIN agar Indonesia bisa memiliki satelit sendiri sehingga kita tidak bergantung kepada satelit pihak lain yang akhirnya menyebabkan kebocoran-kebocoran. LaNyalla menilai perlu ada peran serta dari jajaran akademisi dan berbagai instansi yang terkait dengan teknologi.
“Sudah saatnya Indonesia memiliki teknologi sendiri untuk menjamin keamanan setiap data yang kita miliki. Ini harus menjadi kebijakan pemerintah, apalagi Indonesia kini sudah memiliki BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional),” tegasnya.
Baca juga: Jadi Role Model, AHY Apresiasi DPC Demokrat Surabaya
LaNyalla juga mengimbau agar masyarakat tenang. Ia juga mengingatkan supaya persoalan adanya mata-mata asing di sistem peralatan negara tidak dijadikan bahan pro-kontra.
“Kita harus berpegangan tangan, bersatu untuk bisa sama-sama menyelesaikan persoalan kemungkinan adanya kebocoran data. Tidak perlu saling menyalahkan, tapi mari kita cari solusi bersama demi tegaknya kedaulatan negara tercinta,” kata LaNyalla.