Beritaneka.com—Kalangan DPR menyayangkan pemerintah belum mengabulkan kebutuhan riil terkait dana abadi pesantren dan penambahan dana desa. Alasan pemerintah, anggaran sudah defisit.
Dalam laporan APBN tahun 2022 diperkirakan mencapai defisit Rp868 triliun (4,85 persen) dan pembiayaan utang sebesar Rp973,6 triliun. Padahal kedu bidang itu sudah dijamin oleh UU Nomor 18/2019 Pasal 45 dan UU Nomor 6/2014.
“Akibatnya kita belum melihat bagaimana desentralisasi, semangat APBN yang berkeadilan dan berkelanjutan bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia,” ujar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Ratna Juwita Sari, dalam keterangan tertulis kepada media, Senin (13/9/2021).
Baca juga: Selisih Anggaran PEN Sangat Besar, Anggota DPR PAN: Memprihatinkan
Ratna meminta agar pemerintah bersama DPR harus melihat beban fiskal berupa defisit anggaran tersebut, dalam perspektif generasi mendatang. Bahwa, menurutnya, anak-anak muda Indonesia ke depan akan semakin sempit menikmati ruang fiskal, yang disebabkan dari kebijakan yang diambil oleh generasi saat ini.
“Karena itu, saya ingin pertegas dalam hal ini, bahwa bagaimana sebenarnya perencanaan pemerintah dalam pembayaran utang yang akan kita ambil pada tahun 2022 nanti yang rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyebutkan terdapat selisih antara defisit sebesar Rp868 triliun dengan pembiayaan utang Rp973,6 triliun, yaitu sebesar Rp 105,6 triliun. Namun, besaran Rp 105,6 triliun tersebut sangat tergantung pada tingkat besaran PDB pada 2022.
Dengan komposisi ini, menempatkan rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen dan rasio utang terhadap pendapatan menjadi sekitar 51,93 persen. Yang terdiri dari bunga utang Rp405,8 triliun dan pokok utang kisarannya Rp550 triliun. “Sehingga, beban utang yang harus ditanggung pada 2022 sebesar Rp955,87 triliun,” jelas Said
Beritaneka.com—Kalangan DPR, khususnya dari komisi perbankan prihatin atas laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan selisih anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam APBN 2020 yang cukup besar hingga Rp147 triliun.
Selisih itu didapat dari perhitungan BPK yang menyebut total anggaran PEN Rp841,89 triliun. Sedangkan Kementerian Keuangan menyebut Rp695,2 triliun. Di antara kedua angka itulah selisih ditemukan.
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Menanggapi temuan tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir mengaku sangat prihatin dengan temuan selisih Rp147 triliun ini.
“Bukan angka yang sedikit selisih Rp147 triliun. BPK harus segera kami undang ke DPR menyampaikan secara detail bagian mana saja yang tidak kredibel tersebut. Ini persoalan serius karena menyangkut uang rakyat,” kata Hafisz dalam keterangannya kepada media, Kamis (9/9/2021).
Hafisz mengemukakan, dari ikhtisar hasil pemeriksaan BPK semester II 2020, ada biaya program PEN di luar skema sebesar Rp27,32 triliun. Dari angka itu, yang sudah dibelanjakan dalam APBN 2020 sebesar Rp23,59 triliun.
Baca juga: Sesuai Amanat UU, Ketua Komisi II DPR: Pemilu Serentak Dilaksanakan 2024
Selain itu, ungkap dia, ada alokasi kas badan layanan umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) kepada BLU-BLU Rumpun Kesehatan sebesar Rp1,11 triliun.
“Ada relaksasi PNBP K/L sebesar Rp79 miliar yang berasal dari insentif penundaan pembayaran PNBP,” ungkap politisi PAN tersebut.
Dia melanjutkan, temuan BPK juga mencakup fasilitas perpajakan yang diatur dalam PMK Nomor 28 Tahun 2020 selain PPN ditanggung Pemerintah dan PP Nomor 29 Tahun 2020 yang belum masuk ke dalam penghitungan alokasi program PEN dengan nilai yang belum bisa diestimasi.
Beritaneka.com—Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim mempertimbangkan aturan yang membatasi sekolah penerima BOS berdasarkan jumlah siswa di sekolah. Pemerintah memutuskan, sekolah yang memiliki kurang 60 siswa dana BOS-nya dicabut.
”Kebijakan ini dapat berdampak pada pengabaian hak-hak anak-anak yang kurang mampu ataupun anak-anak yang bersekolah di sekolah kecil dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dari negara,” ujar Gus Muhaimin, dalam keterangan resmi DPR, Kamis (9/9/2021).
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Selain itu, para guru honorer di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T) yang selama ini banyak digaji dari dana BOS juga terancam tidak bisa mendapatkan gaji karena keterbatasan finansial sekolah. Menurut Gus Muhaimin, tindakan ini juga melanggar Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945.
Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sementara ayat (2) berbunyi, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Gus Muhaimin mengatakan, kebijakan Mendikbudristek tersebut juga akan berdampak terhadap banyak sekolah. Sebab, sejauh ini, masih banyak sekolah yang terus bertahan dengan mengandalkan dana BOS, terutama sekolah-sekolah di daerah miskin dan jumlah siswa kurang dari 60.
Dikatakan Gus Muhaimin, di lingkup LP Ma’arif NU, misalnya, ada sekitar 20.136 sekolah dan juga madrasah di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa di antaranya jumlah siswanya tak mencapai 60.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mendorong Kemendibudristek untuk menyampaikan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan aturan Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS yang juga diterapkan pada 2020 dan 2019.
Baca juga: Sesuai Amanat UU, Ketua Komisi II DPR: Pemilu Serentak Dilaksanakan 2024
Hal ini untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan aturan tersebut dalam memperbaiki kualitas pendidikan melalui penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya sedikit, khususnya di daerah-daerah 3T.
Selain itu, Pimpinan DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) tersebut juga meminta Kemendikbudristek untuk mencari solusi dan pendekatan lain yang tepat dalam membenahi kualitas pendidikan di Indonesia agar seluruh satuan pendidikan dapat memberikan pelayanan pendidikan yang layak, namun dengan tidak mengorbankan dan tetap memprioritaskan hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek) menerapkan aturan penghentian penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 60 siswa. Kebijakan tersebut diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Setiap negara mempunyai Konstitusi. Konstitusi Indonesia dinamakan Undang-Undang Dasar (UUD). Tapi, apa sebenarnya arti konstitusi, dan apa gunanya? Apakah hanya untuk melengkapi keperluan dokumen negara, dan berfungsi sebagai hiasan belaka? Atau hanya untuk gagah-gagahan saja?
Menurut kamus Merriam-Webster, Konstitusi adalah dokumen yang mengatur prinsip dasar dan hukum dari sebuah negara, yang di dalamnya mengatur wewenang dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara di satu sisi, dan juga mengatur kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak rakyat di lain sisi.
Jadi, Konstitusi adalah pertama, mengatur pemerintah (presiden) dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan batasan-batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Kedua, memberi tanggung jawab kepada pemerintah (presiden) untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak rakyat.
Baca juga: Sikap ABS Menyeruak di Istana Negara
Misalnya hak merdeka (kebebasan) menyampaikan pendapat dan menentukan pilihan, hak untuk memilih dan dipilih, hak mendapatkan keadilan, baik keadilan hukum atau keadilan ekonomi, dan lainnya.
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah tidak boleh bertindak melampaui wewenang yang diberikan di dalam konstitusi. Kalau pemerintah melanggar, maka rakyat mempunyai hak untuk memberhentikan dan mengganti.
Tugas untuk mengawasi pemerintah agar menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang diberikan di dalam konstitusi, maka rakyat menunjuk perwakilan rakyat, yang dinamakan DPR dan MPR dalam konstitusi Indonesia, atau House of Representatives dan Congress di Amerika Serikat.
Kalau pemerintah melanggar ketentuan konstitusi, melanggar ketentuan UUD, maka perwakilan rakyat wajib memberhentikan pemerintah (presiden). Karena untuk tujuan itu lah DPR dan MPR dibentuk. Meskipun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Sebagai pembanding, presiden Amerika Serikat juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Tetapi, House of Representatives dan Congress dapat memberhentikan presiden kalau melanggar konstitusi.
Dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dikatakan:
“….. That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government, ….”
Intinya, …. rakyat mempunyai hak untuk memberhentikan dan mengganti presiden kalau melanggar konstitusi …
Selain itu, tugas inti DPR lainnya adalah membuat undang-undang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, demi kepentingan rakyat umum, bukan untuk kepentingan sekelompok rakyat tertentu.
Bagaimana kalau wakil rakyat, DPR dan MPR, tidak menjalankan tugasnya sesuai konstitusi, atau melanggar konstitusi?
Bagaimana kalau DPR membuat peraturan dan undang-undang yang merugikan rakyat umum dan berpihak kepada sekelompok kecil masyarakat yang dinamakan oligarki?
Bagaimana kalau DPR dan MPR membiarkan pemerintah (presiden dan aparat hukum) melanggar konstitusi? Yang artinya DPR dan MPR juga melanggar konstitusi?
Atau bagaimana kalau DPR menyerahkan (sebagian) hak legislatifnya kepada pemerintah (presiden) sehingga DPR kehilangan (sebagian) fungsi legislatif dan tidak bisa melakukan pengawasan lagi?
Dalam hal ini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sesuai yang dinyatakan dalam konstitusi UUD, khususnya Pembukaan UUD yang mengatakan Kedaulatan ada di tangan rakyat, mempunyai hak untuk memberhentikan semua perwakilan rakyat yang melanggar UUD. Artinya, rakyat berhak membubarkan DPR dan MPR yang melanggar UUD.
Baca juga: Pertamina Sulit Berkembang karena Dibebani Pungutan Segunung
Ketentuan ini berlaku bagi semua pihak, tanpa kecuali. Juga termasuk bagi partai politik yang melanggar UUD, wajib bubar. Misalnya, partai politik minta atau menentukan mahar politik bagi calon pimpinan nasional, baik calon presiden, calon kepala daerah, atau calon anggota DPR. Atau bahkan membatasi hak seseorang untuk menjadi pimpinan nasional dengan menetapkan threshold.
Kalau semua pihak yang melanggar konstitusi bersekongkol dan tidak mau mundur, maka rakyat harus mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hak daulatnya, dengan membubarkan semua institusi perwakilan rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mengadakan pemilihan umum kembali.
Artinya, konstitusi bukan untuk hiasan saja sebagai pelengkap dokumen negara. Tetapi untuk dilaksanakan oleh semua pihak yang disebut di dalam konstitusi. Pihak yang melanggar konstitusi harus diberhentikan atau dibubarkan.
Penegakan konstitusi seperti digambarkan di atas menjadi prasyarat mutlak untuk Indonesia bisa maju. Penegakan konstitusi menjadi bagian dari penegakan hukum, yang mana menjadi prasyarat untuk demokrasi bisa berjalan baik.
Kalau tidak ada penegakan konstitusi dan penegakan hukum sesuai hukum yang berlaku, maka yang diperoleh bangsa ini adalah tirani dan penderitaan rakyat.
Beritaneka.com—Kebijakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mendapat kritik keras dari kalangan Komisi X DPR yang membidangi maalah pendidikan. Langkah Nadiem itu dinilai sembrono dan melabrak aturan yang ada.
Nadiem sendiri mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai dasar pembubaran BSNP.
Pasalnya pasal 334 menyatakan mencabut peraturan-peraturan terkait kedudukan BSNP yang sesungguhnya merupakan turunan amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003.
“Mas Menteri coba belajar dulu soal tata aturan perundangan negara, nanya deh sama staf ahlinya sebelum keluarkan regulasi. Biar nggak bikin regulasi yang sembrono, labrak tata aturan. Amanah Undang-Undang mau dimentahkan sama Permendikbudristek, gimana ceritanya…” ujar anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah melalui keterangan tertulis, Jumat (03/09).
Baca juga: Sesuai Amanat UU, Ketua Komisi II DPR: Pemilu Serentak Dilaksanakan 2024
BSNP, berdasar Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021, digantikan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah unit kerja Kemendikbudristek dan bertanggung jawab kepada Menteri sebagaimana tercantum di Pasal 233.
“Tidak hanya persoalan labrak tata aturan perundangan yang ini merupakan kesalahan mendasar dari seorang Menteri dalam menjalani kegiatan bernegara, ketentuan yang dikeluarkan Mas Menteri ini juga punya beberapa masalah yang bisa menghambat pemberian dukungan pada peningkatan kualitas sistem pendidikan kita.”
Pertama, kata Ledia, Badan Standar Nasional Pendidikan merupakan turunan amanah UU Sisdiknas di pasal 35 yang menyebutkan: pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Selanjutnya pada bagian penjelasan dinyatakan bahwa badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan bersifat mandiri pada tingkat nasional dan propinsi.
Maka menghapuskan badan mandiri ini adalah mengabaikan amanah UU yang notabene secara hierarki perundangan lebih tingggi kedudukanya dari Peraturan Menteri.
Kedua, ketika bicara Bicara Standar Nasional Pendidikan, maka sifat cakupannya adalah lingkup pendidikan secara nasional. Baik lingkup pendidikan yang berada di bawah Kemendikbudristek, Kemenag maupun Kementerian dan Lembaga lainnya.
“Penyelenggara pendidikan di negeri ini tidak hanya dinaungi oleh Kemendikbudristek. Ada sekolah dan kampus di bawah Kementerian Agama, juga ada sekolah dan kampus di bawah Kementerian dan Lembaga lain, semisal sekolah dan kampus yang berada di bawah Kementerian Kesehatan. Maka semua urusan pengembangan, pemantauan, pengendalian Standar Nasional Pendidikan menjadi amanah BSNP ini. Tidak bisa diatur oleh badan yang hanya ada di level unit kerja Kemendikbudristek.”
Baca juga: Data Pribadi Bocor, Ketua DPR: Aplikasi Pemerintah Harus Lindungi Data Warga
Ketiga, lanjut Ledia, dalam peraturan terdahulu Badan Standar Nasional Pendidikan ini diamanahkan untuk berfungsi secara mandiri dan profesional. Sementara Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah kementerian dan menjadi salah satu unit kerja Kemendikbudristek jelas tidak mencerminkan arah kemandirian.
Keempat, Ledia mengkritik kebijakan Nadiem sebagai kebijakan mubazir dan sembrono karena membubarkan satu badan untuk membentuk satu badan baru yang serupa tapi tak sama.
“Membubarkan BSNP lalu membentuk badan baru yang mirip tapi berbedanya justru pada persoalan asasi, seperti cakupan, kemandirian dan bahkan melabrak tata aturan perundangan apa namanya kalau bukan mubazir dan sembrono?” ucapnya retoris.
Beritaneka.com—Komisi II DPR yang membidangi masalah pemerintahan menegaskan, terkait dengan persiapan Pemilu merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016. Isi kedua undang-undang tersebut mengamanatkan, tahun 2024 akan dilaksanakan Pemilu secara serentak dalam satu tahun yaitu pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah.
“Kalau flashback, sebetulnya Komisi II awalnya ingin menata ulang sambal kemudian menyempurnakan UU Pemilu yang mana di Indonesia UU Pemilu dibuat berdasarkan dua rezim, yakni Pemilu Presiden dan Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah,” ungkap Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, dalam agenda diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Nasib Pemilu 2024 Di Tengah Wacana Amandemen’ yang digelar di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/9/2021).
Baca juga: Data Pribadi Bocor, Ketua DPR: Aplikasi Pemerintah Harus Lindungi Data Warga
Ia mengatakan, rencana semula Komisi II DPR RI mencantumkan satu rezim saja dengan enter point-nya perubahan/penyempurnaan undang-undang tentang kepemiluan, yang basic-nya adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. “Tetapi karena kita sedang berkonsentrasi pada upaya menghadapi pandemi, akhirnya kami bersepakat dengan pemerintah untuk tidak jadi (melaksanakan),” tuturnya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memang disebutkan setelah tahun 2020 pelaksanaan Pilkadanya serentak secara nasional dilaksanakan pada tahun 2024. Amanat UU itu bahwa pada tahun 2024 harus dilaksanakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Target Pertumbuhan Ekonomi 2022 5,5 persen
Kaitannya dengan isu amandemen UUD 1945, Doli mengatakan, tergantung isu amandemen UUD 1945 ini akan membahas soal apa. Kalau seperti yang berkembang saat ini yaitu untuk memperkuat Lembaga MPR yang juga memungkinkan memasukan Pokok-Pokok Haluan negara (PPHN) maka tidak ada hubungannya dengan ini.
“Tidak ada hubungannya antara amandemen dengan pelaksanaan Pemilu pada tahun 2024. Apalagi amandemennya itu sudah disepakati atau tidak. Kami di Komisi II, selama tidak ada perubahan undang-undang, yang sekarang kami persiapkan adalah persiapan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 yang berdasarkan undang-undang existing yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. Selama itu belum menjadi keputusan politik dan hukum maka tidak akan berpengaruh,” pungkasnya.
Beritaneka.com—Kalangan komisi pertahanan dan informasi DPR mengatakan Indonesia dalam kondisi darurat kebocoran data pribadi. Hal ini dibuktikan kasus kebocoran data pribadi meningkat secara kuantitas. Mengatasinya, dibutuhkan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan otoritas perlindungan data independen sangat tinggi.
“Awalnya kebocoran dari pihak swasta, Bukalapak, Tokopedia, tetapi kemudian data BRI Life yang bocor juga BPJS, apalagi hari ini keluar berita di Kemenkes yang juga soal kebocoran e-HAC,” kata Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan, kepada kalangan wartawan , di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Farhan yang juga dikenal sebagai publik figur itu menjelaskan, solusi yang pas saat ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, menurutnya, perlindungan data pribadi tidak cukup dengan UU ITE.
Baca juga: PTM Dibuka Kembali, Ketua DPR: Evaluasi dan Berikan Pelayanan Terbaik
Farhan menambahkan, Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) ini ingin melahirkan sebuah profesi baru yaitu data protection officer, yang akan membantu para penguasa data untuk mengelola penyimpanan, penguasaan dan pengolahan data pribadi agar sesuai dengan UU.
“Bisa juga lembaga atau protection officer ini juga dalam posisi di level sebuah perusahaan atau lembaga. Kalau di perbankan bisa kita samakan dengan direktur compliance dan mitigasi risiko. Jadi, ini posisi yang sangat tinggi, karena kalau sampai salah, dalam penguasaan dan pengelolaan data pribadi, maka ada sanksi yang menarik di RUU PDP tidak ada kriminalisasi, di RUU PDP ini akan ada denda yang sangat besar,” jelasnya.
Meski menargetkan RUU PDP akan disahkan dalam tahun ini, akan tetapi soal keberadaan lembaga independen pelindungan data masih dalam perdebatan. Ia mengatakan, jika otoritas pelindungan data pribadi harus ada induknya, maka diperlukan sebuah lembaga yang punya otoritas yang kuat. Farhan menilai mimpinya bisa seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Artinya, kalau kita semua sepakat mau membangun sebuah lembaga independen di bawah Presiden untuk pelindungan data, maka kita akan menuntut Presiden dan Menteri Keuangan. Tentunya, memberikan komitmen yang kuat untuk pelindungan data pribadi, minimal sekuat KPK secara politik dan minimal seperti OJk secara anggaran. Sisi lain, ada pragmatisme dan skeptisme yang harus kita jaga sebagai bentuk realistis, kalau kita buat lembaga di bahwa presiden. Independen seperti OJK, butuh waktu berapa lama?” katanya seolah bertanya.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Perhatikan Ketersediaan Vaksin di Daerah Luar Jawa
Dia menambahkan, mencermati begitu daruratnya kondisi pelindungan data di Indonesia. Farhan mengatakan, yang paling realistis adalah usulan Kominfo terkait badan otoritas pengawas data pribadi. Sebab, jika memaksakan lembaga independen sejak awal, maka akan butuh tiga hingga lima tahun agar lembaga tersebut mulai bekerja dengan efektif.
“Bahwa, nanti dalam perkembangan berikutnya kita lakukan evaluasi lembaga ini makin lama makin besar, sehingga nanti bisa menyaingi keberadaan Kominfo, ya boleh dipecah, persis seperti BI dan OJK. Jadi yang saya tawarkan di sini adalah sebuah narasi tentang pragmatisme dan idealisme, keduanya bagus. Kita harus memilih dengan konsekuensinya masing-masing,” tandas politisi dapil Jawa Barat I ini.
Beritaneka.com—Komisi XI DPR RI bersama pemerintah menyepakati asumsi dasar makro ekonomi, target pembangunan dan indikator pembangunan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan kali ini lebih tinggi dari Rancangan APBN 2022 sebelumnya yang sebesar 5,0-5,5 persen.
“Kami sepakati besaran pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen,” ungkap Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto, seperti dikutif dari laman resmi DPR, Selasa (31/08)
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Perhatikan Ketersediaan Vaksin di Daerah Luar Jawa
Adapun asumsi lainnya yang diubah adalah tingkat suku bunga SUN 10 tahun menjadi 6,8 persen. Angkanya turun tipis dari target sebelumnya sebesar 6,82 persen. Kemudian, untuk asumsi dasar makro lainnya tetap sama seperti, inflasi sekitar 3 persen dan nilai tukar rupiah Rp14.350 per dolar AS.
Begitu pula dengan target pembangunan, dimana DPR dan pemerintah sepakat dengan angka di dalam RAPBN 2022. Untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,5 persen-6,3 persen, tingkat kemiskinan 8,5 persen-9 persen, rasio gini 0,376-0,378, serta indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 73,41-73,46. Lalu, indikator pembangunan juga tak ada yang berubah. Nilai tukar petani tetap 103-105 dan nilai tukar nelayan 104-106.
Lebih lanjut, poltisi Fraksi Partai Golkar itu membacakan kesimpulan rapat bahwa DPR RI mendorong pemerintah melakukan penguatan penanganan sektor kesehatan sebagai kunci pemulihan ekonomi dan sosial.
Baca juga: PPMK Diperpanjang, DPR Minta Pemerintah Bantu Pelaku UKM
Belanja kementerian/lembaga dinilai dapat memberikan multiplier effect bagi perekonomian rakyat serta pemerintah diminta untuk dapat menjaga daya beli masyarakat dan mengoptimalkan capaian reformasi struktural di beragam sektor.
“Menteri Keuangan juga agar meningkatkan efisiensi biaya hutang sehingga yield SUN dapat mengurangi beban APBN,” terang Dito. Sementara Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan berkoordinasi untuk mengembangkan UMKM, ekonomi dan keuangan syariah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Legislator dapil Jawa Tengah VIII itu melanjutkan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia agar mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang dapat memberikan potensi risiko pada nilai tukar. “Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK diharapkan ara memperkuat bauran kebijakan yang dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional,” pungkasnya.
Beritaneka.com—Berbagai kalangan mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Baleg DPR RI. Namun, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Al Muzzammil Yusuf meminta pembahasan RUU PKS dilakukan secara komprehensif yang sesuai dengan nilai Pancasila dan budaya Bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Pancasila dan budaya bangsa, komprehensivitas pembahasan tersebut juga harus sesuai konstitusi UUD 1945, khususnya pasal 28G, yang menyebut bahwa bukan hanya perempuan tapi seluruh warga negara berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
“Dalam konteks hubungan seksual, Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 pun sudah memperluas, kekerasan seksual tidak hanya pria wanita, tapi juga lintas gender. Jadi semua bentuk kekerasan atau kejahatan seksual itu keputusan MK sudah mengarah ke situ,” ujar Al Muzzammil seperti dilansir di laman resmi DPR, Kamis (26/08).
Baca juga: Ada 13 WNI Terlantar di Somalia, PKS Desak Pemerintah Cepat Selesaikan
Selain itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menganalogikan pembahasan RUU PKS seperti dalam dua rel. Rel pertama yaitu aspek kekerasan seksual, rel kedua adalah norma bangsa, Pancasila, dan agama. Jadi, menurutnya pelacuran atau aborsi baik dipaksa maupun tidak dipaksa, tidak boleh. Pun soal perzinahan.
“Kalau (negara) barat tidak perlu melarang perzinahan, karena norma mereka cukup selama tidak ada kekerasan. Solusi bagi barat, tidak solusi bagi kita,” tegas Anggota Komisi I DPR RI ini.
Baca juga: Indonesia Harus Merdeka dari Pandemi, Sekjen PKS: Rakyat Tidak Boleh Dibebani
Karena itu, Al Muzzammil menegaskan Baleg DPR RI tidak mengulur-ngulur pembahasan RUU PKS ini. Sehingga, produk hukum yang dihasilkan tidak malah melahirkan kekosongan norma, yaitu melegalkan aspek-aspek yang dilarang oleh agama.
“Bahkan, kita akan beri hukuman sekeras-kerasnya untuk mereka yang melakukan pelecehan seksual. Apapun jenis kelaminnya. Baleg dalam posisi itu. Jadi kalau teman-teman APBGATI mengatakan ada kekosongan hukum, lalu kita ingin membuat UU saya setuju. Justru kita ingin hadirkan UU yang komprehensif, antisipatif, dengan rujukan nilai Pancasila dan budaya bangsa,” tutup legislator dapil Lampung I tersebut.
Beritaneka.com—Kalangan Komisi IX DPR meminta kepada pemerintah untuk memperhatikan ketersediaan vaksin khususnya di wilayah luar Jawa. Pasalnya, belakangan ini beberapa daerah menyuarakan kekurangan stok vaksin. Hal itu harus menjadi perhatian pemerintah karena kesuksesan program vaksinasi bergantung pada ketersediaan vaksin dan distribusi vaksin ke setiap daerah.
“Kalau ingin menyukseskan vaksinasi secara nasional, ketersediaan dan distribusi vaksin harus merata hingga ke pelosok daerah. Jangan hanya fokus di wilayah tertentu saja,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Kesehatan dan Ekonomi Penting Disinergikan, Produksi Vaksin Nasional Solusi Ledakan Covid 19
Wakil rakyat daerah pemilihan Bengkulu ini memaparkan, saat ini vaksinasi yang dilakukan pemerintah sedang terfokus di daerah-daerah rentan dengan konfirmasi kasus dan kematian akibat Covid-19 yang tinggi. Namun bukan berarti hal tersebut mengurangi konsentrasi dalam pendistribusian vaksin ke daerah-daerah.
“Masyarakat daerah sangat membutuhkan vaksin. Apalagi Menteri Kesehatan sendiri mengumumkan bahwasanya konfirmasi kasus positif Covid-19 luar Jawa dan Bali juga mulai menanjak meskipun tak setinggi Jawa dan Bali,” ungkap Elva. Ia berharap pemerintah segera memenuhi kebutuhan vaksin di daerah.
Baca juga: Presiden Jokowi Batalkan Vaksin Berbayar
Kepada masyarakat, Elva menyerukan agar mengetatkan protokol kesehatan dimulai dari lingkup terkecil atau dari diri sendiri. Karena sebelum herd immunity atau kekebalan massal terbentuk, prokes adalah cara yang paling ampuh mencegah dari paparan Covid-19.
“Prokes adalah yang senjata yang paling ampuh. Mulai dari rajin mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan serta mengurangi mobilitas. Ini harus kita mulai dari diri sendiri,” pungkasnya.