Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS
Beritaneka.com—Seorang teman bercerita tentang sistem rujukan di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang memang masih menyisahkan masalah bagi pasien JKN hingga saat ini.
Permaslaahan rujukan merupakan masalah klasik yang terus dialami peserta JKN. Sejak beroperasinya program JKN, 1 Januari 2014 lalu, sistem rujukan yang diterapkan dalam program JKN belum mampu tersistemkan dengan baik yaitu menjawab kebutuhan peserta JKN ketika harus mengakses fasilitas kesehatan.
Adalah hal yang normatif bila peserta JKN ketika harus mengambil rujukan bisa lebih cepat dan nyaman, tidak lagi harus menunggu antrian panjang hingga terjadinya penumpukan pasien, serta tidak lagi bolak balik ke faskes tingkat pertama ketika harus berobat rutin ke RS, apalagi harus berjenjang mengambil rujukan dari faskes pertama ke RS tipe D, C, B hingga ke RS tipe A.
Baca juga: Memperpanjang dan Memperbaiki Kualitas Hidup
Saya pernah mengadvokasi pasien JKN yang baru selesai operasi di sebuah RS tipe B, dan dokter minta pasien utk kontrol paska operasi. Ketika pasien ingin menggunakan JKN untuk kontrol, pihak BPJS Kesehatan menetapkan harus mendapatkan rujukan lagi dari faskes pertama lalu ke RS tipe C, baru nanti dari RS tipe C diberi rujukan ke RS tempat pasien ini dioperasi.
Saya bilang kenapa tidak langsung saja dari faskes pertama ke RS tempat pasien menjalani operasi yang memang tipe B. Bukankah ketika harus dirujuk ke tipe C maka pasien akan repot jalan ke RS tipe C dan dapat rujukan, lalu pergi ke RS tipe B tersebut. Bukankah ketika dirujuk ke RS tipe C, akan keluar biaya INA CBGs di Tipe C, dan nanti akan terbit lagi biaya INA cbgs di tipe B?
Pernah juga saya mengadvokasi pasien JKN, yang dari faskes pertama dirujuk ke tipe D, lalu hanya sehari dirawat, pasien dirujuk lagi ke RS tipe B. Alasannya RS tipe D tidak mampu merawat penyakit si pasien.
Masalah yg muncul bagi pasien adalah pasien harus membayar denda di RS tipe D dan kemudian bayar lagi di tipe B (kebetulan pasien pernah nunggak iuran). Hal ini diperparah dengan naiknya denda sebesar 100 persen yang dilegitimasi di Perpres no. 64 tahun 2020.
Kenapa faskes pertama tidak langsung merujuk ke RS tipe B dengan jenis penyakit yang dideritanya. Kan faskes pertama harus tahu kemampuan RS yang akan dirujuk sehingga pasien tidak dirawat dari satu RS ke RS yang lain, yang akan berdampak pada terciptanya biaya mahal yaitu biaya INA cbgs utk dua RS dan pasien bayar denda berkali kali. Ketidakmampuan faskes pertama menjadi beban pasien dan BPJS kesehatan.
Tentunya sistem rujukan seperti ini harus bisa disederhanakan untuk memastikan pasien JKN lebih cepat dan nyaman diobati serta biaya INA cbgs bisa dikendalikan.
Baca juga: Mencermati Iuran JKN di Era Kelas Standard
Ketika segala persoalan rujukan ini saya tanyakan, dijawab dengan singkat oleh petugas BPJS Kesehatan, ya ini prosedurnya Pak.
Kenapa harus kaku dengan prosedur yang birokratif dan mahal ini, bukankah saat ini penyelenggaraan JKN sudah memasuki tahun kedelapan, yang tentunya Pemeritah dan BPJS kesehatan bisa menjawab permasalahan klasik ini. Apakah mau seperti ini terus, merepotkan peserta JKN dan menciptakan biaya mahal bagi BPJS kesehatan?
Apa sih evaluasi Pemerintah dan BPJS kesehatan serta DJSN atas masalah rujukan ini? Ayo dong beritahu masyarakat tentang evaluasi ini sehingga masyarakat tahu apakah Pemerintah, BPJS kesehatan serta DJSN serius memperbaiki sistem rujukan di JKN, atau memang belum mampu memperbaikinya?
Permasalahan ini merupakan bagian kecil dari permasalahan JKN lainnya selama 8 tahun ini. Beberapa permasalahan lainnya seperti manfaat kuratif yang terus dikurangi, beberapa jenis obat dikeluarkan dari formularium nasional yang artinya pasien JKN harus membeli obat sendiri, denda yang naik 100 persen, hingga dikeluarkannya 9 juta masyarakat miskin dari JKN tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberitahuan kepada masyarakat miskin tersebut.
Tentunya permasalahan-permasalahan ini menjadi rapor merah bagi Pemerintahan Jokowi selama 7 tahun memerintah.
Semoga di tiga tahun pemerintahan yang tersisa, Pak Jokowi bisa menyelesaikan masalah-masalah JKN yang terjadi selama ini, sehingga ada legacy (warisan) yang jelas dan terukur atas perbaikan JKN. Semoga Pak Presiden mau mengevaluasi para pembantunya dalam mengelola JKN.
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh pada tanggal 4 Maret 2021.
Kehadiran PP No 53 ini adalah pelaksanaan amanat Pasal 65 Ayat (3) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 65 ayat (3) ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 64-nya yang menyatakan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan salah satunya dengan Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Organ dan Jaringan Tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Tentunya kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini yang telah dinanti selama 12 tahun oleh masyarakat Indonesia, harus kita apresiasi bersama.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan PP No 53 ini. KPCDI menilai PP ini menjadi kabar baik bagi seluruh pasien yang membutuhkan transplantasi organ dan jaringan di Indonesia, khususnya bagi penderita gagal ginjal.
Dalam Penjelasan PP 53 ini disebutkan transplantasi sebagai temuan hebat di dunia kedokteran yang berhasil memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup ribuan pasien di seluruh dunia. Transplantasi organ, khususnya ginjal, di luar negeri diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan di dalam negeri karena berbagai faktor seperti sumber pendonor lebih banyak berasal dari pendonor hidup, belum adanya aturan yang memberikan kepastian hukum untuk transplantasi yang berasal dari pendonor mati batang otak/mati otak, faktor biaya, faktor budaya, dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transplantasi organ.
Dengan lahirnya PP No 53 ini diharapkan kendala-kendala tersebut dapat diatasi sehingga proses Tranplantasi Organ dan Jaringan Tubuh menjadi lebih berkembang lagi membantu rakyat Indonesia.
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) pun diatur dalam PP, baik dari peran meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan, sisi pendanaan (alokasi APBN dan APBD), sosialisasi, pembinaan RS yang menyelenggarakan Transplantasi, membuat Bank Mata dan Bank jaringan lainnya, dan membangun Sisitem Informasi Transplantasi. Seluruh fasilitas Kesehatan pun diharapkan mendukung upaya meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan melalui kegiatan pengerahan Pendonor.
Transplantasi Organ memang diidentikan dengan biaya mahal. Paket Biaya Tranplantasi Organ terdiri dari biaya pemeriksaan kelayakan dan kecocokan antara Resipein dan Pendonor; Biaya operasi Transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, Biaya Perawatan paska operasi transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, dan Iuran atau dana jaminan Kesehatan dan jaminan kematian bagi Pendonor.
Kabar gembira bagi masyarakat miskin, Pasal 15 ayat (3) PP No. 53 mengamanatkan bagi Resipien (pasien penerima donor) yang tidak mampu maka paket Biaya Transplantasi Organ diberikan bantuan sesuai dengan mekanisme jaminan Kesehatan nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Tentunya dengan Pasal 15 ayat (3) ini pelayanan Transplantasi Organ bisa diakses masyarakat miskin kita. Tidak hanya itu Pemerintah Pusat atau Pemda pun membantu Resipien dari masyarakat miskin untuk membayarkan penghargaan kepada pendonor yang tidak bisa menjalankan aktivitas atau pekerjaan secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan kesehatannya.
Bila Pemerintah membantu Biaya Transplantasi Organ dan Penghargaan bagi masyarakat miskin, tidak halnya dengan Transplantasi Jaringan (yang meliputi Transplantasi Jaringan Mata dan Jaringan Tubuh lainnya) bagi masyarakat miskin. Dalam PP No 53 ini tidak disebutkan tentang bantuan biaya Transplantasi Jaringan dari Pemerintah Pusat maupun Pemda kepada masyarakat miskin, sehingga peluang masyarakat miskin mengakses Transplantasi Jaringan sangat kecil mengingat biaya Transplantasi Jaringan tidak akan terjangkau oleh masyarakat miskin.
Seharusnya Pemerintah juga membantu membiayai Transplantasi Jaringan ini, mengingat ketidakmampuan masyarakat miskin membiayainya sendiri. Pemerintah harus memberikan keadilan bagi masyarakat miskin untuk mengakses Transplantasi Jaringan.
Saya menilai Pemerintah harus merujuk pada Pasal 5 ayat (3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin. Pasal 5 ayat (3) ini mengamanatkan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Dengan Pasal 5 ayat (3) UU HAM ini Pemerintah seharusnya membiayai Tranplantasi Jaringan kepada masyarakat miskin sehingga Negara benar-benar mampu memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin yang membutuhkan Transplantasi Jaringan.
Kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini sudah baik, namun demikian ke depannya kita berharap bersama Pemerintah mau juga membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin kita.