Beritaneka.com—Presiden Jokowi meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengawal investasi. Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch menilai perintah itu berpotensi membuat institusi Polri bersikap represif dan melakukan pelanggaran HAM. Arahan presiden tersebut, perlu diatur dalam peraturan kepolisian. Baik itu melalui Peraturan Polri (Perpol) atau Peraturan Kapolri (Perkap).
“Pasalnya, dengan lahirnya Omnibus Law diberikan ruang yang cukup besar bagi investor untuk berinvestasi di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan dan juga infrastruktur yang membutuhkan lahan yang sangat luas,” ujar Sugeng.
Baca juga: Tagar #PercumaLaporPolisi Viral, IPW: Kapolri harus Sigap
Menurut Sugeng, akibat kebijakan Investasi tidak jarang menggusur rakyat bahkan dengan cara mengkriminalkan. Kendati, UU Cipta Kerja ini diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Kecemasan sugeng tidak berlebihan. Perististiwa yang terbaru, warga yang sedang mempertahankan tanahnya di Desa Suka Mukti, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian setempat, Kamis (16 Desember 2021) malam.
Bahkan, puluhan warga ditangkap secara sewenang-wenang. Disamping, terjadinya teror dari aparat kepolisian dengan melakukan penembakan terhadap kendaraan warga yang menuju lokasi.
Padahal, 115 warga Desa Suka Mukti itu merupakan peserta transmigrasi SKPC 3 tahun 1981. Namun, Kepala Desa menerbitkan SPH Fiktif dan menyerahkannya kepada PT.Treekreasi Marga Mulya.
Baca juga: Terkait Hibah Bodong Rp2 Triliun, IPW Minta Mahfud MD Tegur Kapolri
Sementara pihak BPN setempat telah menerbitkan tiga sertifikat HGU yang berbeda tapi di atas lahan yang sama dengan punya masyarakat. Anehnya, 36 SHM warga justru dibatalkan tanpa proses apapun.
“Kriminalisasi kepada rakyat oleh investor juga terjadi di Riau. Hilangnya 650 hektar lahan yang dibongkar Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau menjadi penyebab dikriminalisasikannya anggota dan pengurus koperasi oleh Polres Kampar di berbagai kasus,” ungkap pengacara kondang ini.
PT Perkebunan Nusantara V berhasil memenjarakan Kiki Islami Pasha dan Samsul Bahri melalui aporan Polisi bernomor: LP/434/IX/2021/SPKT/POLRES KAMPAR/POLDA RIAU tertanggal 1 September 2021. Tuduhannya, karena para tersangka telah menggelapkan barang milik PTPN V dan merampas truk milik koperasi.
Baca juga: Aniaya Warga, IPW Desak Polri Berhentikan Polisi Dominggus Dacosta
Sementara Ketua Koperasi Kopsa-M, Anthony Hamzah yang sudah ditersangkakan sebagai otak perusakan perumahan PT. Langgam Harmuni menjadi bidikan Polres Kampar. Anthony Hamzah lah yang berani melawan investor dengan menolak menandatangani surat pengakuan hutang senilai Rp 115 Miliar yang disodorkan PTPN V sebagai bapak angkat dan meminta penjelasan penggunaan uang pinjaman bank oleh PTPN V untuk kepentingan petani sawit. Disamping meminta penjelasan hilangnya 650 hektar lahan petani sawit.
Keberpihakan pihak kepolisian terhadap investor ini tentu sangat memprihatinkan bila perintah presiden tersebut dijalankan Polri tanpa rambu-rambu ke depannya. Yang terjadi, justru rakyat semakin tidak berdaya mempertahankan hak-haknya dan berjuang memperoleh keadilan.
Padahal, tugas pokok Polri sesuai amanah UU 2 Tahun 2002 tentang Polri adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Disamping, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum.
“Oleh sebab itu, Indonesia Police Watch (IPW) meminta Kapolri memberikan pembatasan, rambu-rambu melalui Perpol atau Perkap kepada anggota Polri untuk melakukan pengawalan investasi dengan humanis,” tegasnya.
Polri harus mengedepankan upaya pre-emtif dan preventif sebagai SOP baku sebelum melakukan upaya represif. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan program Polri Presisi berhasil.
Beritaneka.com—Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegur Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menangani dan menuntaskan kasus dana hibah bodong Rp2 Triliun oleh Heryanty secara profesional.
Pasalnya, masyarakat menunggu langkah internal Polri pasca pemeriksaan Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri yang diperiksa tim dari Itwasum dan Propam Polri. Disamping, masyarakat harus melihat pemeriksaan anak Akidio Tio, Heryanty oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (ditreskrimum) Polda Sumsel yang seakan “jalan ditempat”.
“Oleh karena itu, Menkopolhukam harus mengingatkan Kapolri untuk menjaga profesionalisme Polri. Terutama, dalam menegakkan aturan hukum dan menjaga marwah undang-undang kepolisian,” ujar Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch melalui keterang tertulis.
Baca juga: Aniaya Warga, IPW Desak Polri Berhentikan Polisi Dominggus Dacosta
Sugeng menegaskan dengan adanya kasus dana hibah Rp2 triliun itu, Menkopolhukam yang juga ketua kompolnas, harus memberikan masukan kepada Kapolri untuk menjatuhkan sanksi disiplin dan administrasi bagi pejabatnya yang terlibat dalam kebohongan publik dan membuat kegaduhan di masyarakat. Serta, menuntaskan kasus dana hibah bodong itu ke ranah pidana.
Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri, jelas Sugeng, sudah meminta maaf kepada masyarakat luas karena dirinya tidak hati-hati. Kini, masyarakat menunggu kelanjutan kasus Heryanty atas kebohongan, kegaduhan dan penipuan yang dilakukannya.
Namun hingga sekarang, Polda Sumsel masih membungkam Heryanty dan belum memberikan keterangan sedikit pun ke publik apakah dia memiliki duit atau tidak. Masyarakat hanya tahu dari PPATK kalau Heryanty tidak memiliki uang senilai Rp2 triliun yang akan disumbangkan untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan.
Baca juga: IPW Desak Penganiaya Bripda Daniel Haposan Dipecat
Kendati begitu, ditkrimum Polda Sumsel belum juga menetapkan status Heryanty. Selain, sejak digelandang ke Mapolda 2 Agustus 2021 Heryanty hanya sebagai saksi.
Padahal, pasal 263 KUHP telah cukup jelas untuk menjerat Heryanty yang telah memalsukan bilyet giro Rp 2 Triliun melalui Bank Mandiri ketika uangnya tidak cair. Disamping membuat berita bohong yang membuat keonaran pasal 14 Undang-Undang 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Beritaneka.com—Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar bertemu dengan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/5/2021).
Dalam pertemuan tersebut, Abdul Halim Iskandar atau yang akrab disapa Gus Menteri didampingi oleh Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT Taufik Madjid, Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Ekatmawati, dan Plt. Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan Rosyidah Rachmawati.
Baca juga: Kemendes PDTT dan KIP Jalin Kerjasama Keterbukaan Informasi Publik di Desa
Rosyidah Rahmawati mengatakan, kunjungan Gus Menteri ke Mabes Polri untuk menyampaikan apresiasi ke Kapolri beserta jajarannya yang selama ini telah membantu, mendampingi dan mendukung Kemendes PDTT dalam mengawal dana desa.
“Gus Menteri meminta Kapolri beserta jajarannya untuk tetap memberikan dukungan dan pengawalan terhadap Kemendes PDTT, utamanya dana desa,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Rosyidah, dalam pertemuan tersebut, Gus Menteri menjelaskan prioritas penggunaan dana desa 2021 yang diarahkan untuk pencapaian SDGS Desa.
“Gus Menteri juga menyampaikan terkait dengan badan hukum BUMDes yang sekarang secara aspek legal, badan hukumnya sudah diakui sebagai badan hukum dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja,” ungkapnya.
Selain akan mendukung program-program Kemendes PDTT sebagai bentuk pelayanan Polri kepada masyarakat dan desa, lanjut Rosyidah, Polri juga akan meluncurkan program Restorasi Justice.
Baca juga: Kemendes PDTT Jadi yang Pertama Laksanakan Inpres Jamsostek
Dalam program ini, Polri akan melakukan pendampingan ke masyarakat. Program Restorasi Justice lebih mengutamakan pencegahan daripada penanganan kasus sehingga bagaimana suatu kasus tidak terjadi di jalur hukum.
Program Restorasi Justice lebih mengedepankan keadilan kedua belah pihak yang bermasalah daripada dibawa ke jalur hukum. Misalnya, jika ada pencurian ayam di desa maka akan diupayakan selesai secara adat, tanpa harus berlanjut ke jalur hukum
“Gus Menteri menyambut baik program Restorasi Justice Polri dan akan menyosialisasikannya di desa-desa, karena program ini sesuai dengan SDGs Desa goals ke-18, kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif,” jelas Rosyidah.
Beritaneka.com—Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI meminta maaf kepada masyarakat atas kerusuhan suporter bola di Bandung dan aksi kerumunan massa suporter yang mengepung Bundaran HI Jakarta. IPW menilai kedua aksi itu terjadi akibat kecerobohan Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI, setelah ketiganya nekat menggulirkan Piala Menpora di tengah pandemi Covid- 19.
“Sebagai tanggungjawab moral, Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI harus segera mengganti semua kerusakan dan kerugian masyarakat yang disebabkan amuk suporter, terutama di Bandung,” ujar Neta S Pane, Ketua Presidium Ind Police Watch.
Baca juga: Diduga Terlibat Pemerasan, IPW Desak KPK Periksa Azis Syamsuddin
IPW mengecam keras pernyataan Menpora yang meminta Polri segera menangkap para suporter yang memprakarsai aksi kerumunan itu. Pernyataan Menpora ini salah kaprah. Seharusnya dengan adanya kedua peristiwa di Bandung dan Jakarta itu, Menpora lah yang segera mundur dari jabatannya. Sebab kompetisi yang membawa label kementeriannya tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkannya keamanan dan ketertiban-nya, sehingga terjadi amuk dan kerumunan pasca Final Piala Menpora.
Artinya, semua yang terjadi ini menjadi tanggungjawab Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI. Akibat kecerobohan ketiganya jangan kemudian tanggungjawabnya dileparkan kepada suporter. Lalu para suporter dengan semena mena ditangkap dan diproses hukum oleh aparat kepolisian.
Neta juga menegaskan, peristiwa amuk suporter di Bandung dan kerumunan suporter mengepung Bundaran HI membuka mata publik betapa lemahnya intelijen dan aparatur ciber Polri. Akibat lemahnya intelijen dan polisi ciber semuanya terbiarkan tanpa diantisipasi dan dideteksi dini. Polisi baru sibuk dan kebingungan setelah massa berkumpul dan mengamuk.
“Bayangkan, jika aksi pengepungan massa itu terjadi di depan Istana Kepresidenan, apa jadinya,” tegas Neta.
Baca juga: Runtuhkan Harapan Publik, IPW: Pelaku Pemeras Walikota Tanjungbalai Harus Dihukum Mati
Dalam hal ini IPW menilai Polri sudah kebobolan. Antisipasi, deteksi dini, dan kepekaannya sangat lemah. Padahal rencana aksi itu sudah muncul di medsos beberapa jam sebelumnya dan Polri tidak mengantisipasinya. Sekarang setelah amuk suporter terjadi dan aksi kerumunan massa di Bundaran HI terjadi, Polri baru sibuk hendak memburu medsos pemrakarsanya.
Polri lagi-lagi hanya menjadi pemadam kebakaran yang sangat jauh dari konsep Presisi. Untuk itu IPW berharap, Polri tidak perlu menangkap dan memproses hukum para suporter. Sebab tanggungjawab semua itu ada di Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI yang tetap nekat menggulirkan Piala Menpora di tengah pandemi Covid 19.
Untuk itu IPW juga mendesak Kapolri, Menpora, dan Ketum PSSI segera meminta maaf kepada masyarakat dan mengganti semua kerusakan maupun kerugian yang ditimbulkan dari aksi suporter tersebut. (ZS)
Beritaneka.com—Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo segera membentuk 84 Polsek baru yang tersebar di setiap kecamatan di 23 Polda. Polsek dibentuk untuk meningkatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas).
Penanggung jawab 01 Program Prioritas Kapolri, Irjen Pol RZ Panca Putra menjelaskan, dalam program unggulan Kapolri salah satunya pemenuhan satu kecamatan satu polsek secara bertahap. Kemudian mengubah kewenangan polsek pada daerah tertentu hanya untuk Harkamtibmas atau tidak melakukan penyidikan.
Baca Juga: Ketahanan Fiskal Makin Rapuh, Waspada Krisis Berlanjut
Panca menyatakan, aksi ini telah terealisasi dari program unggulan ini dalam 60 hari. Bahwa telah ada keputusan dari 23 polda untuk membentuk 84 polsek. “Pak Kapolri telah menerima surat laporan dari 23 Polda dimaksud,” kata Panca dalam keterangan pers yang kami kutip hari ini.
Wilayah hukum penambahan Polsek tersebut di antaranya Lampung 12 Polsek, Sulawesi Tenggara 9 Polsek, kemudian Jawa Barat dan Jawa Timur yang masing-masing 7 Polsek. Selain empat daerah tersebut, Panca menyebut pendirian Polsek lain yang akan dibangun di berbagai wilayah hukum di angka 5 sampai dengan 1 unit Polsek.
“Dengan bakal dibentuknya 84 polsek baru sebagai capaian aksi unggulan Kapolri soal penataan organisasi, maka diharapkan akan memberikan dampak yang langsung berpengaruh terhadap pelayanan Polri kepada masyarakat,” katanya.
Capaian tersebut juga paralel dengan program penatapan organisasi berupa mengubah kewenangan polsek pada daerah tertentu hanya untuk Harkamtibmas atau tidak melakukan penyidikan.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat keputusan terhadap peran 1.062 kepolisian sektor. Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor: Kep/613/III/2021 itu, kepolisian sektor tidak lagi diperkenankan untuk menyidik suatu kasus.
Menurut Asrena Kapolri sekaligus pengarah tim Posko Presisi, Irjen Pol Wahyu Hadiningrat mengatakan, peran polsek saat ini ditekankan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi harkamtibmas dengan mempedomani Surat Kapolri Nomor: B/1092/II/REN.1.3./2021 tanggal 17 Februari 2021 perihal direktif Kapolri tentang kewenangan polsek tertentu. Keputusan ini telah berlaku sejak tanggal 23 Maret 2021.
Baca Juga: Mobil Mewah Masuk Busway Dicari Polisi
Hingga saat ini, seluruh polda dan polres telah melakukan inventarisasi hingga 30% dari seluruh Polsek yang direstrukturisasi. “Capaian ini sangat signifikan, karena personil reserse nantinya hanya akan melakukan penyidikan di tingkat Polres setempat. Sedangkan kekuatan personel di tingkat polsek akan dikerahkan untuk kegiatan Harkamtibmas,” katanya.
Namun demikian, masyarakat tetap dapat melakukan pelaporan kepolisian di tingkat polsek kemudian berkas laporan kepolisian nantinya dilimpahkan ke tingkat polres. Sehingga, petugas yang melakukan penyidikan nantinya datang dari polres.
“Dengan kegiatan penguatan polsek dan polres sebagai lini terdepan pelayanan Polri, diharapkan akan membangun sinergi di wilayah hukum dengan mengedepankan Harkamtibmas, atau preventif dan preemptif dalam penegakkan hukum. Sedangkan jika memang terjadi pelanggaran hukum, akan dilakukan penyidikan secara terpadu,” katanya.
Baca Juga: Ramadan di Australia, Polisi Berkuda, Toilet Gratis Full Musik
Sebagai informasi, Brigjen Pol Slamet Uliandi selaku Ketua Posko Presisi menerangkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memiliki empat peta jalan transformasi Polri dalam kepemimpinannya, yaitu transformasi organisasi, operasional, pelayanan publik, dan transformasi pengawasan. Adapun dalam transformasi organisasi memiliki empat program utama, yakni penataan kelembagaan; perubahan sistem dan metode organisasi; menjadikan SDM Polri yang unggul di era Police 4.0; dan perubahan teknologi kepolisian modern di era Police 4.0.
Oleh: Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3
Beritaneka.com—Penuntasan kasus pembunuhan enam pengawal HRS secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak memeroses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan Komnas HAM yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel, tidak valid dan sarat rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan?
Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap.
Sebelumnya Rusdi di Mabes Polri mengatakan: “Pada Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka,” (6/4/2021). Hal yang mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa mereka tak kunjung ditahan aparat?
Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan.
Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam laskar sesuai skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak, pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario ini coba diselaraskan oleh Komnas HAM dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”.
Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu pula sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu.
Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdoa dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdoa, siang dan malam, agar Allah mengabulkan doa-doa kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran, atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban.
Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di KM 50. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil (?!), sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja!!).
Sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan keluarga seluruh korban pembunuhan juga sama, bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat (yang semula disangka preman, karena para aparat tak penah menyatakan identitas!), dan karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri.
Karena yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing, bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM.
Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini, dan juga menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada 9 maret 2021.
Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Kepolisian RI sesuai surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto (ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa Km 50 Tol Cikampek).
Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebutkan dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak.
Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut:
Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya.
Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.
Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan.
Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata).
Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di KM 50, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No.26/2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejagung.
Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM mengatakan terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat.
Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3, dan itu pula sebabnya TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut.
Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam.
Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama pulalah TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian KM 50 Tol Cikampek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan.
Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita, serta mengabulkan doa orang-orang yang dizalimi, para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah SWT kita bertawakkal.