Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Rencana perubahan pajak merupakan topik yang menarik dan perhatian masyarakat luas. Karena pajak memengaruhi kehidupan seluruh masyarakat . Apalagi terkait rencana kenaikan tarif dan perluasan barang kena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Khususnya PPN sembako, pendidikan, kesehatan, asuransi, dan lainnya yang menjadi soroton masyarakat luas. Karena akan menguras isi kantong masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.
Perdebatan kenaikan tarif PPN (dari 10 persen menjadi 12 persen atau bahkan 15 persen) akan menjadi debat tanpa akhir. Alias debat kusir. Karena inti dari kebijakan ini adalah untuk mengisi kas negara yang sedang kosong dengan defisit besar.
Permasalahannya, apakah mengisi kas negara yang sedang kosong dengan PPN sudah tepat? Apa dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat,terutama yang berpendapatan rendah? Apa dampaknya terhadap kemiskinan?
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Apalagi banyak pihak berpendapat bahwa kas negara kosong akibat pemberian berbagai fasilitas pajak, terutama kepada golongan masyarakat menengah atas. Seperti pengurangan pajak penjualan dan barang mewah (PPnBM). Dan berbagai pengurangan pajak lainnya sejak 2015. Dibungkus dalam paket kebijakan ekonomi. Termasuk Tax Amnesty.
Sedagkan paket kebijakan ekonomi yang sampai 16 jilid tersebut tidak menunjukkan hasil. Alias gagal. Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak. Pertumbuhan pendapatan negara malah turun. Artinya, yang terjadi adalah pemborosan kas negara akibat pengurangan pajak. Terjadi transfer payment dari pembayar pajak melalui negara ke masyarakat penerima pengurangan pajak. Yang notabene adalah masyarakat kelas atas.
Tetapi, ironi, yang harus menanggung kegagalan kebijakan tersebut, yang harus menanggung kas negara yang kosong, masyarakat golongan bawah. Melalui kenaikan dan perluasan PPN hingga sembako dan produk pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Memang masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sangat besar menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi bahan makanan pokok.
Rencana PPN ini sangat buruk bagi masyarakat. Karena PPN bersifat regresif. Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah membayar (persentase) pajak lebih besar. Dan, semakin rendah penghasilannya, semakin besar persentase pajak yang dibayar dari penghasilan tersebut.
Pemerintah mencoba mengatasi ketidakadilan PPN ini dengan PPN multi-tarif. Katanya, barang konsumsi untuk masyarakat berkecukupan dapat dikenakan tarif PPN lebih tinggi. Barang konsumsi untuk masyarakat berkekurangan dikenakan tarif PPN lebih rendah. Sehingga adil. Katanya berargumen.
Dicontohkan, beras bisa diklasifikasi premium, medium dan sebagainya. Di mana tarif PPN bisa berbeda-beda. Atau jenis daging, ada daging wagyu atau daging di pasar. Juga bisa dikenakan tarif PPN yang berbeda.
Solusi PPN multi-tarif seperti digambarkan di atas justru berbahaya. Menunjukkan pemerintah tidak memahami permasalahan dan konsekuensi ekonomi politik fiskal dan perpajakan.
Pertama, keadilan pajak adalah persepsi. Kalau definisi adil adalah penghasilan besar harus membayar (persentase) pajak lebih besar, maka mekanisme adil ini hanya bisa dipenuhi dengan pajak penghasilan dengan tarif progresif. Seperti sekarang juga berlaku. Tapi mungkin belum cukup. Sedangkan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah membayar persentase pajak lebih rendah, bahkan tidak sama sekali.
Uang pajak dari pembayar pajak bisa digunakan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Membantu biaya pendidikan, biaya kesehatan, atau subsidi-subsidi lain yang diperlukan untuk meringankan biaya hidup. Agar masyarakat tidak mampu bisa hidup lebih layak dan menikmati pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Mekanisme pajak penghasilan progresif dan redistribusi pendapatan (transfer payment) merupakan instrumen utama untuk mengatasi permasalahan kesenjangan sosial.
Dengan demikian, permasalahan keadilan pajak selesai di tingkat pajak penghasilan. Sisa penghasilan setelah pajak (disposable income) digunakan untuk konsumsi. Barang konsumsi ini bisa dikenakan pajak lagi yang dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Karena keadilan pajak sudah selesai di tingkat Pajak Penghasilan, maka semua masyarakat mempunyai posisi yang sama, dan seharusnya membayar pajak yang juga sama, di tingkat pajak konsumsi: PPN.
Kalau PPN dibuat multi-tarif menurut golongan penghasilan, maka masyarakat secara langsung terbagi ke dalam kelas atau strata. Karena akan ada produk atau jasa untuk orang kaya dan orang miskin, dibedakan dengan tarif PPN. Ada beras orang kaya dan beras orang miskin. Ada sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin. Ada rumah sakit orang kaya dan rumah sakit orang miskin. Dan seterusnya. Sungguh tidak terbayangkan betapa kacaunya Republik ini jadinya.
PPN multi-tarif yang biasa diterapkan di beberapa negara di atur menurut golongan barang. Untuk makanan, minuman dan kebutuhan sehari-hari bisa dikenakan PPN tarif rendah. Selain itu dikenakan PPN tarif tinggi. Tapi semua orang membayar tarif PPN yang sama. Sehingga masyarakat tidak terbagi ke dalam kelas dan strata.
Semoga pemerintah tidak gagal paham mengenai PPN multi-tarif, tidak gagal paham mengenai fungsi pajak penghasilan sebagai instrumen redistribusi pendapatan untuk mengatasi kesenjangan sosial. Semoga pemerintah dan DPR membatalkan rencana perluasan PPN ini.
Beritaneka.com—Empat bank plat merah, per tanggal 1 Juni 2021, berencana melakukan penyesuaian tarif transaksi tarik tunai dan cek saldo di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) Link.
Berdasarkan informasi di situs resmi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, transaksi tarik tunai dan cek saldo yang dilakukan di ATM Himbara berbeda atau ATM Link Aja akan dikenakan biaya.
Baca juga: Bhima Yudhistira: Target Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen Terlalu Optimis
Biaya yang dikenakan keempat bank pelat merah tersebut mematok tarif yang sama untuk transaksi cek saldo sebesar Rp2.500 dan tarik tunai Rp5.000 di mesin ATM Himbara yang berbeda dan ATM Link, dari semula Rp 0 atau gratis.
“Dalam rangka mendukung kenyamanan nasabah bertransaksi maka setiap transaksi cek saldo dan tarik tunai kartu BRI di ATM Bank Himbara atau ATM dengan tampilan ATM Link akan dikenakan biaya,” tulis BRI dalam situs resminya.
Tarif transaksi cek saldo dan penarikan tunai itu, didebet langsung dari rekening nasabah pada saat nasabah melakukan transaksi.
Kebijakan empat bank milik negara itu mendapat penolakan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, kebijakan itu harus ditolak dan dibatalkan. Tulus protes karena kebijakan itu sangat merugikan konsumen.
“Jadi kita minta agar rencana tersebut dibatalkan. Jangan jadikan konsumen sebagai “sapi perah” perbankan,” ujar Tulus kepada Beritaneka.
Kebijakan itu, tegas Tulus harus ditolak karena perbankan mau menangnya sendiri, hanya menjadikan biaya admin bank, termasuk cek saldo sebagai sumber pendapatan.
“Ini tidak pantas. Apalagi saat pandemi seperti ini,” tegasnya.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2021 Minus 0,74%, Indonesia Masih Resesi
Sedangkan untuk biaya transaksi transfer, biaya antar bank melalui ATM Himbara atau ATM Linnk yang dipatok oleh keempat bank BUMN itu tidak mengalami perubahan, yakni sebesar Rp4.000. Selain itu, biaya transaksi selain menggunakan ATM Himbara atau ATM Link juga tidak mengalami perubahan, yakni untuk cek saldo Rp4.000, tarik tunai Rp7.500, dan transfer Rp6.500. (ZS)