Oleh: DR Masri Sitanggang, Wakil Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia
(Artikel yang ditulis sekitar dua tahun setengah lalu, pada awal isu pindah Ibu Kota Negara muncul, ini perlu disimak ulang agar dipahami mengapa rencana itu harus ditolak. Fakta-fakta yang diperoleh kemudian, ternyata menguatkan kekhawatiran yang dituangkan dalam artikel ini)
Beritaneka.com—Resistensi terhadap rencana pemindahan ibu kota negara, dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tampaknya sangat besar. Dari segi biaya, yang diperkirakan menelan sedikitnya Rp 466 T, pemindahan ibu kota negera itu dinilai menyalahi nalar sehat. Bukan karena besaran biaya itu ansich, melainkan karena keuangan negara sedang menuju sekarat.
Dari mana dana sebesar itu kalau bukan ngutang lagi ? Padahal, utang luar negri Indonesia saat ini sudah menggunung. Pada akhir triwulan II 2019, utang sudah mencapai USD 391,8 miliar atau setara dengan Rp 5.601 T (Rp 14.296 per Dolar AS) dan harus membayar cicilan Rp 400 T di tahun 2019 ini.
Bayangkan, Rp 400 T setahun. Itu artinya lebih dari Rp 1 T per hari. Yang menanggung semua beban utang itu adalah rakyat; dan rakyat sepertinya sudah kehabisan suara untuk menjerit karena sudah lama berteriak menahan beban hidup yang kian berat.
Baca juga: Ibu Kota Negara Baru Namanya Nusantara
Tentu saja ini mengundang banyak tanya. Seberapa urgen pemindahan ibu kota negara itu dibanding dengan mengurangi beban hidup rakyat ? Ibarat barang, seberapa hancur Jakarta sehingga dinilai tidak bisa dipakai lagi dan harus diganti ? Mengapa rencana pemindahan ibu kota negara tidak masuk dalam Nawa Cita dan kampanye-kampanya Jokowi, kalau memang begitu mendesak dan penting untuk membangun kesejahteraan rakyat ?
Alasan Presiden Jokowi karena Jakarta sering banjir, padat dan macet di samping untuk pemerataan pembangunan, tampaknya sulit diterima. Terlalu sepele. Sebab banjir, padat dan macat sesungguhnya adalah masalah yang harus dihadapi dengan management dan rekayasa teknologi, bukan sesuatu yang harus dihindari dengan menyingkir –apalagi dengan resiko pembiayaan yang kian menyulitkan keuangan negara.
Sementara pemerataan pembangunan bukanlah tergantung di mana letak ibu kota, melainkan tergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola pembangunan itu sendiri. Itu artinya, pengelolaan pembangunanlah yang harus dibenahi. Jadi, alasan Presiden Jokowi agak membingungkan.
Oleh karenanya, banyak orang kemudian menduga-duga “ada udang di balik batu” pemindahan ibu kota negara ini. Umumnya dugaan itu mengarah kepada kepentingan bisnis sekelompok orang untuk memperkaya diri. Bagi-bagi proyek dan investasi bisnis. Boleh-boleh saja, namanya juga menduga-duga, seperti juga menduga bahwa ini adalah “buntut dari Pilkada DKI dan kekalahan Ahok”. Setidaknya, kekalahan Ahok mendorong mempercepat rencana pemindahan ibu kota negara.
Sukar menghindari anggapan bahwa ada kekuatan politik tertentu yang berambisi menguasai ibu kota negara. Dengan keunggulan financial yang dimiliki, kelompok ini mampu mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik, menggunakan partai-partai dan saluran demokrasi untuk mencapai ambisi politiknya.
Ibu kota suatu negara adalah pusat pemerintahan negara itu. Ibu kota negara adalah pusat kegiatan politik, pusat informasi dan –mau tidak mau, menjadi pusat kegiatan ekonomi bisnis dan budaya. Ibu kota sebuah negara menjadi lambang yang mencerminkan hampir semua kehidupan rakyat dan merupakan jendela negera itu di mata internasional.
Ibu kota adalah kebanggaan negara. Dalam bahasa singkat, ibu kota negara adalah “centre of gravity”, pusat gaya Tarik, dari suatu negara. Begitulah strategisnya kedudukan ibu kota negara sehingga bila dapat menguasai ibu kota negara, hampir dapat dipastikan akan dapat dominan menentukan politik negara. Apalagi jika Presiden dan Gubernur Ibu Kota Negara dapat sejalan seiring seiya sekata, selesailah sebagian besar tugas mengendalikan negara.
Ambisi kelompok “kekuatan politik tertentu” ini untuk menguasai Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI tampaknya kandas sudah. Meski pun, sesungguhnya, sejak reformasi semua daya yang dimiliki –baik dana maupun tenaga, sudah dikerahkan. Keteledoran Ahok membuka wajah aslinya menistakan Al Maidah 51 bukan saja menyebabkan kekalahan dalam kontestasi, melainkan juga merontokkan harapan menguasai DKI.
Persoalan Al Maidah 51 telah menumbuhkan kesadaran sekaligus resistensi kuat umat Islam dan warga asli terhadap kelompok kekuatan politik di belakang Ahok. Terlebih lagi kebijakan politik pembangunan Gubernur terpilih, Anis R Baswedan. Anis lebih memihak pada rakyat bawah –yang secara faktual adalah penduduk asli negeri ini– dan membuat nasib proyek reklamasi jadi tak menentu. Maka kelompok “kekuatan politik tertentu” ini harus mengubur dalam-dalam ambisinya merebut kekuasaan di DKI Jakarta sebagai ibu kota negara.
Baca juga: Pindah Ibu Kota, PKS: Memperbanyak Kasus ‘Layangan Putus’
Yang sangat realistis untuk dapat mewujudkan ambisi menguasai ibu kota NKRI adalah bila ibu kota negara pindah dari Jakarta. Ibarat perang, membuka front perlawanan di luar sarang musuh, di wilayah luar benteng musuh. Pindahnya ibu kota negara merupakan jalan arteri bagi mereka untuk menguasai ekonomi dan mengambil alih kekuasaan politik ibu kota negara.
Oleh karena itu, sekali lagi, “kekuatan politik tertentu” ini sangat berkepentingan untuk merealisasi rencana pindah ibu kota negara. Kalau pun bukan sebagai “man behind the scene”, alias “Master Mind”, dapat dipastikan mereka tidak akan berpangku tangan, malah sebaliknya berperan sangat penting dalam urusan ini.
Kalimantan Timur sangat menjanjikan. Tidak perlu repot dan berbiaya mahal menimbun laut untuk menampung pemukiman para pendukung, seperti reklamasi teluk Jakarta. Kalimantan Timur masih berupa “lahan kosong” murah dan luas. Diperkirakan tidak akan ada hambatan, apalagi persaingan yang berarti, dalam menguasai lahan luas di “ibu kota NKRI” Kalimantan Timur itu.
Apalagi, mayoritas penduduk asli Indonesia selalu senang menjual lahan dengan harga yang dapat sekedar memenuhi standar hidupnya. Perlu juga diteliti, jangan-jangan lahan yang ada di Kalimanatan Timur itu pun memang sudah lama dikuasai kelompok tertentu itu.
Dominasi mereka di Kalimantan Timur (bila menjadi Ibu Kota NKRI) akan nyata, bukan lagi isapan jempol. Tak perlulah dibantah. Merekalah yang paling siap untuk membangun dan bermigrasi ke sana karena mereka yang berkuasa secara ekonomi di Indonesia sekarang ini. Demografi akan drastis berubah. Migrasi besar-besaran (entah dari mana) ke Kalimantan Timur untuk mengisi real estate, kondominium, kompleks bisnis, apartemen sampai rumah susun.
Selanjutnya, melalui saluran demokrasi yang liberalistis sekarang ini, mereka –yang demikian exclussive mendukung sesamanya, akan “lenggang kangkung” menuju kursi Gubernur dan DPRD Kalimantan Timur. Ibu kota NKRI akan sepenuhnya dikuasai.
Dengan kekuatan ekonomi dan politik, mereka akan dengan mudah pula menyulap Kalimantan Timur menjadi daerah khusus kelompok “kekuatan politik tertentu”. Tak akan ada lawan politik yang berarti. Ambisi mereka tercapai, tinggal menyempurnakan capaian tujuan politik yang lebih besar : kuasai NKRI.
Belajar dari Lie Kwan Yew menganeksasi kekuasaan Melayu atas Singapura. Kata La Ode ( Trilogi Pribumisme, 2018 ), setelah Le Kwan Yew memerintah Singapura, yang pertama kali dilakukan adalah menggusur kampung-kampung dan menggantikannnya dengan rumah susun dan apartemen. Alasannya adalah : pembangunan kualitas hidup manusia. Warga Melayu menempati rumah susun dan apartemen dengan cara sewa.
Satu saat warga melayu tidak sanggup bayar sewa, karena harga sewa ditingkatkan, langsung diusir dan diganti dengan Etnis Cina Singapura. Akhirnya warga Melayu tersingkir dari negaranya sendiri dan digantikan oleh imigran Cina dari Taiwan, Hongkong dan RRC. Inilah strategi Sun Tzu yang jitu : “menang perang tanpa perang”. Singapura –tanah Melayu yang di dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada disebut Tumasek, telah dianeksasi Etnis Cina.
Aneksasi serupa itu, kata La Ode, sedang diusahakan untuk diterapkan oleh kelompok ECI (Etnis Cina Indonesia) di Indonesia dalam tempo 2 kali 5 tahun ke depan. La Ode memperkirakan, di tahun 2027 atau 2029 ECI sudah berhasil menganeksasi pemerintahan Indonesia dari kekuasaan Pribumi Nusantara Indonesia.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Pemindahan Ibu Kota Idealnya Diputuskan Melalui Referendum
Langkah Lie Kwan Yew, masih menurut La Ode, sesungguhnya telah diterapkan oleh Ahok di DKI dalam rangka menjadikan Jakarta sebagai Singapura kedua.Tetapi ambisi mereka di DKI kandas. Pilkada terlalu cepat mendahului reklamasi dan Ahok terlalu percaya diri (untuk menghindari kata menyombongkan diri) sehingga terlalu cepat pula menunjukkan wajah aslinya.
Seperti hendak mewanti-wanti, La Ode dalam bukunya itu merasa perlu menulis satu bab khusus tentang tujuan strategi politik ECI, yakni menganeksasi NKRI. Demokrasi kita yang sudah bercorak liberal ini adalah jalan tol bebas hambatan bagi kelompok ECI –yang telah menguasai ekonomi Indonesia, untuk bertarung di bidang politik menguasai partai politik, menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif dan menjadi apparatus yudikatif.
Dalam kata pengantarnya La Ode menulis “…bahwa ECI sebagai imigran Cina di Indonesia akan ‘mengambil alih’ kekuasan Pribumi Nusantara Indonesia atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui saluran demokrasi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan. Rencana politik itu terhitung mulai tahun 2019 – 2029. Upaya itu tidak disadari oleh hampir seluruh Pribumi Nusantara Indonesia.” Akankah dimulai dari pemindahan ibu kota negaara?
Tahun 2019-2029 ! Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya : pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya?
Wallah a’lam bisshawab
(Nasehat untuk anak-anakku-1)
Oleh: Dr. Masri Sitanggang, Wakil Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia
Beritaneka.com—Anak-anakku, berhentilah berkeluh kesah.
Keluh kesahmu, tak ‘kan pernah menyelesaikan masalah.
Bangkit, tegakkan kepala dan melangkahlah tegap !
Hadapi semua tantangan seperti kau sedang menyelesaikan tugas akhir sekolah.
Rumah besar ini didirikan oleh moyangmu dengan peluh dan darah.
Demi kalian, anak-anak cucunya, agar hidup punya marwah.
Bukan warisan sesiapa atau dari sesiapa, apalagi hadiah.
Maka, terhadap yang ingin memonopoli, yang merasa lebih berhak, janganlah mengalah.
Rumah besar ini milikmu, sebentar lagi akan kutinggalkan.
Aku akan menghadap Sebenar Pemilik, untuk menjawab pertanyaan.
Tentang : apa yang t’lah kuperbuat untuk rumah besar dan penghuninya ?
Tentang : apa yang t’lah kulakukan untuk menyiapkanmu, sebagai penghuni dan penjaga berikutnya rumah besar ini ?
Tentang waktu dan segala anugrah yang telah dititipkan-Nya.
Ya, tentang penghambaanku selama berada di dunia fana.
Baca juga: Presidential Threshold, Mahkamah Konstitusi dan Revolusi (Mental)
Maafkan aku, anak-anakku.
Aku tak seberuntung orang-orang tua lain yang diberi anugrah gelar mulia seperti Syeikh, Kiyai, Ulama dan semacamnya.
Aku cuma mendapat alif-ba-ta- tsa di waktu senggangnya, di gubuk tengah ladang, di sela-sela rehatnya menghalau gerombolan pipit yang silih berganti menyerang padi, dari seorang petani kecil di desa terpencil
(Ya, Allah… Ampuilah segala dosanya; lapangkanlah kuburnya dan jadikanlah pengajaranya padaku sebagai amal yang pahalanya terus mengalir untuknya, Aamien)
Tidak ada gelar mentreng yang bisa kau banggakan dariku.
Bila pun kau simak catatan hidupku, ‘kan kau dapati deretan kelabu tanda kebodohanku.
Aku pun cemas, tak tahu apa yang akan kukatakan kelak pada Allah, Sebenar Pemilik apa yang ada.
Tapi, kau tak perlu takut dan tak perlu pula berkecil hati.
Kau tak ‘kan ditanyai tentang catatan kelam karena kebodohanku itu.
Allah Maha Adil lagi Bijaksana; Dia tidak akan minta pertanggungjawaban seorang anak karena dosa-dosa yang diperbuat orang tuanya. Pun, Dia tidak membebaskan tanggungjawab seorang anak karena gelar mulia orangtuanya. Anak seorang pendosa dan anak seorang ulama sama saja di depan pengadilan-Nya.
Justeru, orangtualah yang akan disoal tentang apa-siapa dan bagaimana anak-anaknya.
Karena itu, harapan sangatku, kau tidak ‘kan mengulang kebodohanku dan turutlah nasehat-nasehatku agar kau bisa jadi saksi meringankan bagiku.
Syukur-syukur jika kau, mau berbakti pada orang tua yang tak lagi berdaya ini, tak lupa sisipkan dalam simpuhmu seuntai do’a : “Robbigh firli waliwalidayya warhamhuma kama robayani shoghiro”.
Ya Rabb, ampunilah kesalahan-kesalahanku dan kesalahan-kesalahan kedua orangtuaku; sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.
Insya Allah, doamu itu akan menjelma menjadi cahaya yang menerangi, atau awan yang melindungi, atau salju yang menyegarkan hidupku di sana.
Rumah besar yang sebentar lagi kutinggalkan ini, adalah milikmu.
Bangunlah sesuai zamanmu, tapi jangan sekali-kali bergeser dari pondasi yang ditancapkan moyangmu.
Hakekat dari rumah besar, yang dibangun dengan peluh dan darah, ini terletak pada fondasinya.
Dari situ kau temukan ruhnya : apa, kenapa, bagaimana dan untuk apa rumah dibangun ?
Baca juga: Belajar Hikmah dari Alm. AGH Dr. Sanusi Baco
Dari situ kau dapat menangkap wujud utuh dan arah kiblat rumah yang diidamkan.
Dari situ kau tahu jumlah, letak dan tatanan bilik yang menunjukkan keindahan, keserasian sekalian menjamin keharmonisan penghuninya.
Dari itu semua, kau akan tahu keluarga macam apa sesungguhnya yang ingin diwujudkan.
Itulah jati dirimu, jati diri keluarga di dalamnya.
Bila pondasi itu berubah, maka hakekatnya, rumah besar yang dibangun moyangmu sudah tidak ada lagi: tinggal cerita masa lalu pengantar tidur anak cucu. Yang ada, adalah rumah baru dengan hakekat baru yang terputus dari keperibadian serta jati dirimu dan cita leluhurmu.
Entahlah, apakah di saat seperti itu, kau dan anak cucumu masih menjadi tuan rumah atau sudah jadi tamu.
Rumah besar ini sangat mempesona, rawat dan jagalah.
Akan senantiasa ada orang-orang yang iri dan beriat memiliki.
Akan senantiasa ada orang-orang dengki yang ingin merusak, meruntuhkan dan bernafsu mengusai.
Akan senantiasa ada orang-orang munafiq yang, lisannya tiada henti berteriak : “kami sedang melakukan pembangunan”, (padahal) sedang membuat kerusakan : merubah pondasi.
Akan senantiasa ada penghianat yang membantu panjahat mencuri, menggadai dan menghabisi kekayaan rumah besar ini, terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi.
Kau pasti merasakan betapa sesaknya nafas bila menyaksikan angkuhnya para bajingan itu beraksi.
Kau pasti merasakan tekanan amarah yang sangat ketika menyaksikan para penghianat dan munafik menghiasi bibirnya dengan kata-kata yang seolah bijak bak ayat-ayat suci. Menjijikkan !
Kau pun pasti rasakan beratnya himpitan, tekanan lahir bathin, manakala setan-setan itu mengintimidasi.
Tetapi, berhentilah berkeluh kesah, anak-anakku.
Keluh kesah hanya ‘kan membuat kau bertambah lemah.
Bangkit, ambillah batu atau, kalau tak mampu, kerikil pun memadai.
Jadikan ia “Rujumasy Syayathien”, meteor pelempar setan-setan yang adalah musuhmu dan musuh Allahu Rabbi.
Hantarkan setan-setan dan orang-orang ingkar kepada Rabbnya itu ke masing-masing tempat yang telah dijanjikan : ‘azabas sa’ir, azab api yang menyala-nyala, atau ke neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali.
Atau, gores sesuatu dengan pena yang pernah kubelikan dari hasil gaji pegawai negeri.
Atau, berteriaklah sekerasnya dengan kata-kata yang pernah aku dan guru ngajimu ajarkan.
Agar teman-temamu terjaga dari lelapnya.
Agar orang-orang alim-berilmu tidak menjadi setan bisu.
Agar setan-setan itu tahu : rumah besar ini ada pemiliknya.
Agar penjahat dan penghianat itu tak berlaku sekehendaknya.
Jangan termangu.
Jangan biarkan lidahmu kelu tak bersuara.
Janganlah kau menjadi anak-anak lemah tak berdaya, terpejara oleh bisikan keraguan dan ketakutan yang memang segaja dihembuskan oleh setan-setan dari kalangan jin dan manusia.
Bangkitlah !
Jadilah kau bagian dari generasi lima-lma empat, pengganti generasi yang murtad.
Generasi yang cinta Allah dan jalan Jihad melawan para penjahat dan penghianat.
Generasi yang laa yakhaafuna lau mata laaim, tidak takut akan celaan orang-orang yang suka mencela.
Anak-anakku, sebagai barisan generasi lima-lima empat, kau pasti akan dicela oleh para penjahat dan penghianat.
Berbagi label buruk akan dilemparkan ke wajahmu.
Baca juga: Mari Berdoa untuk: Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan Enam Pengawal HRS
Berbagai gelar beraroma busuk akan disematkan padamu : mungkin fundamentalis, mungkin ekstrimis mungkin radikalis atau bahkan teroris. Semua itu untuk menimbulkan rasa takut supaya pendirianmu goyah dan kau kembali surut, supaya orang-orang menjauhimu dan supaya orang berilmu menjadi setan bisu
Jangan takut, jangan surut.
Kau memang harus menjadi seorang fundamentalis untuk bisa menjaga fondsi. Menjadi radikalis untuk bisa menghadapi para munafiq dan penghianat. Lebih dari itu, kau memang harus jadi teror bagi para setan yang ingin meruntuhkan atau menggadaikan rumah besar ini.
Ya, kau harus menjadi terosis bagi mereka.
Wahai anak-anakku, dengarkan ini :
Jangan takut, jangan surut.
Kau harus menjadi teror bagi penjahat dan penghianat.
Kalau pun kau mati di jalan ini, itu adalah satu kemuliaan.
Camkanlah ini : Mati dalam peperangan, bukanlah satu kekalahan; kekalahan yang sesungguhnya adalah, bila kau tunduk pada kemauan musuh.
Anak-anakku, berhentilah berkeluh kesah.
Pegang teguhlah nasehatku ini, biar aku bisa pulang dengan tenang.
Jadilah kau saksi yang membantuku kelak menjawab pertanyaan Yang Maha Adil.
Semoga Allah memberi jalan yang mudah bagimu…