Beritaneka.com—Sejumlah aktivis dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Tim UI Watch dan Petisi 100 menggelar diskusi tentang gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Diskusi bertajuk “Sidang Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres: MK dan Para Pendukung Adalah Pengkhianat Konstitusi!?” digelar pada Jumat (14/10/2023) di Jakarta.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan sebagai narasumber pertama mengingatkan MK agar menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang diberikan oleh konstitusi. Artinya, MK tidak boleh melanggar konstitusi.
“Pertama, MK harus melihat apakah penggugat mempunyai legal standing. Apakah ada kerugian konstitusional yang dialami penggugat karena adanya batas usia minimal 40 tahun capres-cawapres. Penggugat tidak boleh mewakilkan pihak lain dalam melakukan gugatan ke MK. Karena sudah menjadi rahasia umum soal batas usia ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada Gibran untuk dijadikan calon wakil presiden,” kata Anthony seperti dikutip Beritaneka dalam Siaran Pers UI Watch dan Petisi 100.
Dia mempertanyakan, jika gugatan tersebut dilakukan untuk kepentingan Gibran, kenapa tidak Gibrannya sendiri yang menggugat MK. Jadi anda tidak bisa menggugat konstitusi untuk orang lain karena itu tidak ada legal standingnya,” kata Anthony
“Yang menggugat itu PSI yang sekarang ketuanya Kaesang adiknya Gibran, dan kebetulan juga Ketua MK adalah Anwar Usman yaitu paman dari Gibran dan Kaesang, itulah kenapa MK dipelesetkan jadi Mahkamah Keluarga,” tambahnya.
Anthony mengatakan, PSI tidak memiliki legal standing untuk menggugat batas usia karena tidak bisa mencalonkan Capres/Cawapres, hal itu karena PSI tidak memenuhi parliamentary threshold pada 2019 lalu.
“Karena tidak ada legal standing harusnya MK tidak boleh menerima gugatan itu,” jelasnya.
Namun jika MK menerima gugatan tersebut, kata Anthony, MK telah melanggar konstitusi. “Dalam Undang-undang Pemilu salah satu definisi pengkhianat negara adalah pelanggar konstitusi, karena itulah acara ini mempertanyakan apakah MK melanggar konstitusi sehingga menjadi pengkhianat konstitusi? Apabila melanggar konstitusi maka keputusannya tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan,” tuturnya.
Narasumber lainnya, politikus yang juga sebagai ahli hukum DR Ahmad Yani SH MH menegaskan bahwa sesuai UU, bahwa batas umur Capres-Cawapres itu 40 tahun.
“Di UU sudah menyatakan bahwa batas umur itu 40 tahun, artinya produk UU menginginkan dengan berbagai macam argumentasi bahwa disepakati itu 40 tahun,” jelasnya.
Menurut Yani, tidak ada kewenangan sedikit pun mandat yang diberikan konstitusi bagi MK untuk membentuk norma. “Kalau dia mengubah artinya mengubah norma dan membentuk norma baru, itu tidak bisa karena akan menimbulkan problematika baru,” jelasnya.
Yani mengingatkan bahwa MK itu sejatinya memiliki kedudukan sebagai negarawan. “Seorang negarawan itu dia tidak boleh ikut terlibat hal-hal yang berimplikasi pada politik praktis. Karena itu langkah MK seharusnya menolak dengan tegas karena ini bukan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili atau memutus perkara,” jelasnya.
“Atau supaya tidak ada tuduhan dianggap MK itu “Mahkamah Keluarga”, karena membuka jalan supaya Gibran jadi Cawapres. Agar ini tidak ada tafsir kepentingan politik istana terhadap MK, kenapa MK tidak menunda pengambilan keputusan ini?” ujar Yani.
Soal penundaan keputusan ini, kata Yani, pernah dilakukan MK pada 2014, yaitu tentang pemilu serentak. “Kenapa sekarang tidak?” tanyanya.
Meski demikian, terkait MK, ia sependapat dengan usulan agar sebaiknya evaluasi total keberadaan MK. “Jangan-jangan MK sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya,” tuturnya.
Anggota Badan Pekerja Petisi 100, Marwan Batubara menjelaskan tujuan diskusi tersebut dilakukan. Pihaknya berharap publik bisa paham situasi dan MK bisa mendengar, juga berharap MK tidak main-main dengan konstitusi dan undang-undang.
Marwan mencoba untuk mengungkap dugaan motif adanya upaya gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu.
“Dugaan pertama, ini keinginan Jokowi dan oligarki untuk melenggangkan kekuasaan,” ujarnya.
Dugaan kedua, lanjut Marwan, ada kekhawatiran kalau sudah lengser akan digugat secara hukum maka diperlukan pengamanan dengan menempatkan orang-orang yang nanti kalau terpilih bisa mengamankan kedudukan dan posisinya, syukur kalau tetap dominan. “Kalau anak dengan bapak itu satu paket, jadi harapannya tetap dominan,” tukasnya. Dan dugaan ketiga, dalam rangka berburu rente, kata Marwan.
Kemudian, ia juga mencoba mengungkap modus dibalik ini semua. “Kalau MK konsisten atau kalau masih punya moral itu tidak akan coba cawe-cawe untuk membuat kebijakan dengan menyatakan menerima perubahan menjadi 35 tahun atau pernah menjabat jadi kepala daerah maka boleh menjadi cawapres,” ungkapnya.
Menurutnya, hal ini tidak akan dilakukan MK jika konsisten dengan aturan yang disepakati melalui konsensus nasioanal melalui Pancasila, UUD 45 dan UU Pemilu. “Kita minta supaya MK mengingat amanat reformasi, TAP MPRS Nomor 19 tahun 98 tentang Penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bersih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Artinya, MK yang lahir dari reformasi kalau tidak memperhatikan amanat tersebut maka bisa disebut juga pengkhianat reformasi,” kata Marwan.
Marwan menyimpulkan dalam gugatan ini ada beberapa modus, yaitu menghalalkan segala cara, mengkhianati konstitusi, melanggar UU, membunuh demokrasi, mengintervensi MK dengan diberi gratifiasi berbagai fasilitas melalui pihak ketiga dari UU MK No. 24 Tahun 2023 menjadi No. 7 Tahun 2020. Kemudian menyandera pimpinan partai, memanfaatkan dana pengusaha atau oligarki.
“Jadi dengan kita paham motif dan melihat modusnya, maka sangat besar potensi putusannya nanti batas usia bisa turun atau dibuat norma baru dengan menambahkan jika pernah menjadi kepala daerah boleh mencalonkan sebagai cawapres,” ujar Marwan.
“Itulah yang kita khawatirkan, dan kita ingatkan MK, kalau anda melakukan itu maka anda sudah menjadi pengkhianat konstitusi, reformasi dan demokrasi,” tandasnya.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Cibubur, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh/pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam UU No. 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.
Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan PP nomor 37/2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.
Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program jKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.
Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami PHK karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.
Baca juga: MK: Mahkamah Kompromi?
Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.
Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN, dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus, dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT. Taspen untuk ASN.
Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi “gepeng”.
Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.
Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi “gepeng” Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN. Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).
Baca juga: Duet Pasangan Anies-Puan Sulit Menang
Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.
Apakah setelah keluarnya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah konsisten dan mengalokasikan APBN 2022 untuk JKP? Seharusnya konsisten, karena Keputusan MK memberikan interval waktu 2 tahun.
Tetapi mungkin saja pemerintah ragu untuk meluncurkan program JKP pada tahun 2022 pasca keputusan MK itu, karena terkait Amar Putusan poin 7 yaitu: “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta.”
Perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, apakah termasuk didalam nya “mengalokasikan APBN Sektor Ketenagakerjaan 2022, untuk membayar premi program JKP yang menjadi kewajiban Pemerintah Pusat?”
Jika Kemenkeu tidak berani mengalokasikan APBN untuk program JKP, bukan tidak mungkin beban itu dilimpahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bola panas itu tentu akan menyulitkan lembaga jaminan sosial itu. Dari mana uangnya mau diambil? melakukan Re-Rekomposisi JKK dan JKm? mengambil dana JHT? dana JP? Semuanya itu bisa menjadi jebakan batman yang membawa BPJS Ketenagakerjaan ke ranah hukum, karena menabrak UU SJSN dan UU BPJS.
Kalau tidak dilaksanakan program JKP tersebut, karena pertimbangan Keputusan MK, boleh jadi Kemenaker akan berhadapan dengan buruh, terutama mereka yang terkena PHK dan akan menjadi isu sensi yang semakin menambah meningkatkan suhu konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Solusinya, pertama; mengikuti langkah keputusan Mahkamah Kompromi. Pembayaran program JKP tetap dilaksanakan, tetapi besarannya hanya 0,24% dari upah/gaji terakhir, yang dananya bersumber dari rekomposisi JKK dan JKm BPJS Ketenagakerjaan dan kedua; mempercepat proses pembahasan perubahan UU SJSN/BPJS yang sudah ada di Baleg DPR, dengan memasukan program JKP dan perubahan pasal-pasal yang diperintahkan Keputusan MK yang terkait kedua UU itu.
Semoga revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja berjalan dengan cepat, walaupun bus sarat dengan penumpang untuk mencapai terminal yang diperintahkan MK. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kemampuan pemerintah me-remote Ketua-Ketua Partai dan anggota DPR energy nya masih sama seperti menyusun RUU Cipta Kerja. Jika low bat, program JKP juga akan kehilangan signal.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Beritaneka.com—Kita simak apa yang dikatakan Anwar Usman, Ketua MK hari ini Kamis 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Detailnya Ketua MK menyatakan “pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Anwar.
Dasar pertimbangannya apa? Anwar Usman menjelaskan, pertama; Metode penggabungan atau Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi. Kedua; Dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Ketiga; Pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Keempat; Draf UU Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh publik.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar
Disamping itu ada dua poin penting dari keputusan Mahkamah itu yaitu :
Pertama; Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Kedua; seluruh UU yang terdapat dalam Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Dari empat hal pertimbangan dan dua poin penting yang disampaikan Mahkamah Konstitusi itu, kita mendengar ada istilah yang jarang didengar dalam setiap keputusan MK. Biasanya Keputusan MK berkekuatan hukum bersifat mengikat dan final, tetapi kali ini narasinya berbeda “berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat”. Biasanya juga narasi “inkonstitusional” tanpa embel-embel, kali ini disebutkan “inkonstitusional bersyarat”.
Baca juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Idealnya MK itu, mengukur apakah adanya delta antara UU Dasar 1945 dengan UU. Jika ada ketidaksesuaian yang dirasakan masyarakat, sehingga merugikan masyarakat maka dapat dilakukan Judicial Review UU dimaksud. Hasilnya MK memutuskan apakah menerima seluruhnya atau sebagian atau menolak seluruh tuntutan atau sebagian, terhadap pasal-pasal yang diajukan untuk di review.
Keputusan MK kali ini menjadi menarik, karena keputusannya bersifat kompromi, ditandai dengan kalimat “bersyarat”, ada tenggat waktu perbaikan, jika dilampui baru dinyatakan inkonstitusional.
Selama masa perbaikan UU Cipta Kerja, MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Apakah ada kaitannya begitu menggebu-gebunya pemerintah menyiapkan PP terkait UU Cipta kerja, sebagai antisipasi keputusan MK, sehingga walaupun tidak boleh lagi membuat peraturan pelaksanaan yang baru, instrumen regulasi sudah boleh dikatakan lengkap untuk pemerintah melaksanakan UU Cipta Kerja dalam 2 tahun kedepan, sambil memperbaikan UU tersebut sesuai keputusan MK.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Simak apa yang dikatakan Menko Perekonomian Airlangga; “Putusan MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK, yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan,” katanya pada konferensi pers, Kamis (25/11/2021).
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat kompromi itu, langsung disambar pemerintah, dengan pernyataan Airlangga itu. Dari keputusan MK, diharapkan dapat menurunkan tension buruh yang sedang berdemo di sekitar Gedung MK. Apakah tension buruh akan menurun beberapa hari ini, kita tidak dapat menduganya. Karena keinginan buruh UU Cipta Kerja itu dibatalkan sekarang juga, bukan ada tempo 2 tahun. Terutama isu upah buruh yang lagi sensi sekarang ini.
Apakah pemerintah dan DPR dapat “menyempurnakan” UU Cipta Kerja, sesuai dengan perubahan pasal-pasal yang digugat, serta mekanisme pembahasan yang lebih transparan merupakan crucial moment yang sulit diprediksi pemerintah dalam menghadapi gerakan “kuda liar” para buruh.
Baca juga: MAU BUBARKAN MUI?
Kita sudah merasakan bahwa tahun 2022 yang tinggal sebulan lagi, merupakan tahun pemanasan suhu politik menuju Pemilu 2024. Apakah soliditas pemerintah dengan DPR, atau Presiden dengan para Ketua Umum Partai, merupakan variabel yang tidak bisa diabaikan dalam melihat dinamika politik di DPR.
Apakah ada Menteri atau Ketua Umum Partai, berani dan nekat untuk melawan arus kecendrungan masyarakat dan buruh yang sudah hampir putus asa menghadapi Omnibus Law UU Cipta kerja, atau akan muncul Brutus-Brutus yang dapat menggoyahkan pemerintahan Presiden Jokowi, dan mendapatkan simpatik publik.
Bagi buruh, keputusan MK ini menjadi amunisi baru, untuk melanjutkan perjuangannya, yang sudah memakan korban Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat dkk, pentolan KAMI, yang dipenjara dan divonis bersalah, karena ikut berjuang untuk menolak UU Cipta Kerja.
Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan Omnibus Low UU Cipta kerja, yang lebih berorietasi pada kepentingan masyarakat luas, dan para pekerja yang masih jauh dari sejahtera.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Mahkamah Konstitusi (MK) hanya urus satu hal saja, yaitu menegakkan Konstitusi yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar (UUD). MK harus menjaga agar tidak ada peraturan dan UU yang melanggar UUD.
Untuk menjalankan fungsinya, MK terdiri dari sembilan (9) hakim, jumlah yang sangat besar dibandingkan potensi jumlah pekerjaan (perkara) yang mungkin bisa dihitung dengan jari.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ini adalah salah satu wewenang yang diberikan UUD kepada MK (Pasal 24C, ayat (1))
Berdasarkan wewenang ini, pertama, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD, meskipun tidak ada pengaduan atau gugatan dari rakyat (masyarakat). Karena MK adalah penjaga Konstitusi.
Kedua, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD atas permohonan rakyat, meskipun itu seseorang. MK tidak perlu bertanya lagi posisi hukum (legal standing) seorang rakyat untuk bisa minta MK menguji sebuah UU terhadap UUD.
Baca juga: Kenaikan PPN, Anthony Budiawan: Berdampak Buruk Bagi Masyarakat Bawah
Karena, posisi hukum rakyat sudah jelas di dalam Pembukaan UUD, yang menyatakan bahwa Kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai legal standing, dan mempunyai hak dan kewajiban untuk menegakkan Konstitusi, serta mencegah terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi.
Karena, pelanggaran terhadap Konstitusi bukan hanya melanggar dan merugikan hak seorang rakyat, tetapi melanggar dan merugikan hak seluruh rakyat Indonesia.
Sehingga, kalau seseorang menggugat apakah presidential threshold melanggar UUD, maka MK tidak perlu bertanya apakah seseorang tersebut akan mencalonkan diri sebagai presiden. Hal tersebut tidak relevan. Karena, kalau presidential threshold melanggar UUD, maka wajib batal demi hukum, demi Konstitusi dan UUD: karena, semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan UUD, wajib batal.
Kedua, MK wajib menguji setiap UU atas permohonan rakyat. MK wajib menguji, antara lain, Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 (tentang Virus Corona), yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR menjadi UU No 2 Tahun 2020, apakah bertentangan dengan UUD, atas permohonan dari beberapa kelompok rakyat.
Karena, PERPPU yang sudah diundangkan tersebut di mata rakyat bertentangan dengan UUD, karena menghilangkan hak anggaran DPR selama 3 tahun berturut-turut sejak 2020, dan pemerintah bisa menyusun APBN tanpa persetujuan DPR, yang mana melanggar Pasal 20A ayat (1) UUD.
Selain itu, PERPPU juga melanggar prinsip kesetaraan hukum Pasal 27 ayat (1) UUD. Serta melanggar prinsip peri-kemanusiaan dan peri-keadilan yang tertulis di dalam pembukaan UUD. Karena PERPPU memberi kekebalan hukum kepada pejabat dan pengguna anggaran selama 3 tahun.
Perlu ditekankan, bahwa isi Pembukaan UUD lebih tinggi dari isi batang-tubuh UUD (yang muat pasal-pasal). Karena, isi pembukaan UUD menjadi dasar dan pedoman untuk menyusun batang-tubuh UUD, sehingga pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD tidak boleh bertentangan dengan isi Pembukaan UUD.
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Baca juga: Abaikan Nyawa di Masa Pandemi, Apakah Termasuk Kejahatan Kemanusiaan?
Kalimat ini bermakna, bahwa penjajahan harus dihapus di atas dunia, bukan saja di muka bumi Indonesia, karena tidak sesuai dengan peri-kemanuiaan dan peri-keadilan.
Jadi jelas, alasan utama pejajahan harus dihapus karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Sehingga, sebagai konsekuensi, apa pun yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan harus enyah dari muka bumi Indonesia, dan dunia. Karena ini merupakan nilai-nilai kehidupan Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD, termasuk pelaksanaannya, yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, serta tidak sesuai dengan butir-butir lainnya di dalam Pembukaan UUD, juga harus enyah dari muka bumi Indonesia. Sehingga cita-cita Indonesia untuk menjadi Makmur dan Adil bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Termasuk pasal-pasal yang merampas hak kedaulatan rakyat, semua harus diluruskan. Perwakilan rakyat bukan pemegang kedaulatan rakyat yang sebenarnya, dan selamanya. Karena perwakilan adalah titipan kedaulatan yang bersifat sementara, dan dapat diambil kembali oleh rakyat setiap saat.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi, apabila MK tidak bisa meluruskan semua UU yang bertentangan dengan Konstitusi, maka MK wajib bubar demi menyelamatkan Konstitusi dan UUD. Karena, dengan membiarkan terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi, MK berarti melanggar Konstitusi. Dan menjadi tyranny, sebagai penjaga tyranny.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD, menurut mata dan hati rakyat, akan dimuat di tulisan selanjutnya.