Beritaneka.com—Komunitas lintas agama di Indonesia melakukan aksi kampanye global “Faiths for Climate Justice” atau “Iman untuk Keadilan Iklim”.
Faiths for Climate Justice merupakan gerakan mobilisasi global umat beragama yang diorganisir oleh GreenFaith International Network. Yaitu aliansi multi-agama dari berbagai organisasi keagamaan akar rumput di Afrika, Amerika, Asia, Australia, dan Eropa.
Dalam aksi itu, mereka menuntut agar pemerintah lebih serius dalam menangani krisis iklim global. Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk mengakhiri pengembangan batu bara dan mendorong penerapan energi bersih.
Baca juga: China Nyaris Punya Kaisar Beragama Islam Kalau Saja Tidak Dikudeta
Aksi itu mereka lakukan di dekat pusat pemerintahan, Masjid Istiqlal dan Gereja Katolik Katedral, Gereja Katolik Santa Theresia dan Kantor Pusat PP Muhammadiyah, pada Minggu (17/10). Tepatnya dua pekan sebelum COP26 berlangsung pada 1-2 November di Glasgow, kota terbesar di Skotlandia, Inggris Raya.
COP atau Conference of the Parties adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya.
“Merusak dan tidak menjaga lingkungan adalah perbuatan haram, karena itu yang menimbulkan madhorot (keburukan) tiada bertepi serta merusak masa depan generasi yang akan datang,” kata Kepala Divisi Lingkungan Hidup, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang sekaligus founding partner GreenFaith International-Asia, Hening Parlan.
Baca juga: Bantu Masyarakat, Gernas MUI Buka Layanan Kosultasi Agama Terkait Covid-19
Ia menegaskan, beragama harus direfleksikan dalam tindakan tidak merusak dan menjaga lingkungan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk tidak abai pada nilai keagamaan.
Begitu juga yang disebutkan oleh anggota GreenFaith International, Brigitta Isworo, yang menyebutkan bahwa perusahakan terhadap bumi menjadi bukti manusia yang turut merusak lingkungan hidup.
“Kita lupa bahwa kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7), tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, serta kita menghirup udaranya, dihidupkan dan disegarkan oleh airnya. Merusak bumi dan lingkungan sama dengan merusak kehidupan yang diberikan oleh Tuhan,” tegasnya.
Baca juga: Politisi PKS Dorong Pemerintah Perjuangkan Anggaran Pendidikan Agama yang Adil dan Memihak
Sebagai informasi, aksi tersebut dilakukan secara serentak di berbagai wilayah, baik dalam atau pun luar negeri. Di antaranya, Jakarta, Riau, Kalimantan, Inggris Raya, New York, dan Australia.
Dalam aksi itu mereka secara serempak menuntut para pemerintah di negara masing-masing untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu krisis iklim yang berdampak global.
Beritaneka.com—Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rapat Koordinasi dengan Bupati dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur secara virtual, Selasa (31/8/2021).
Rapat Koordinasi tersebut secara spesifik membahas tentang pengentasan kemiskinan di 35 kabupaten yang dicanangkan sebagai pilot project kemiskinan ekstrem.
Rapat Koordinasi tersebut merupakan tindak lanjut dari Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet. Dalam Ratas Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia terbebas dari Kemiskinan Ekstrem tahun 2024.
“Pertemuan kita singkat saja, yaitu terkait dengan rencana atau garis kebijakan Pak Presiden awal Januari 2021 dalam rapat terbatas terkait dengan permasalahan kemiskinan di Indonesia, Presiden pada waktu itu memberikan arahan agar kemiskinan ekstrem Indonesia tahun 2024 itu menjadi 0 persen,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar.
Baca juga: Raih WTP, Komisi V Siap Perjuangkan Backlog Anggaran Kemendes Tahun 2022
Tindak lanjut dari Ratas itu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai Wakil Presiden Ma’ruf Amin menentukan Pilot Project dilaksanakan di tujuh provinsi dan 35 Kabupaten.
Diharapkan pada akhir 2021 dan awal 2022, bisa diwujudkan zero kemiskinan ekstrem di wilayah pilot project. Keberhasilan di wilayah pilot project nantinya akan dilanjutkan ke 250 Kabupaten berikutnya di tahun 2022 hingga 2024.
Oleh karena itu, pria yang akrab disapa Gus Halim ini setidaknya sudah memiliki lima strategi untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem di kabupaten-kabupaten yang dijadikan sebagai pilot project.
“Kami dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk menyederhanakan penanganan, dan ini sudah saya paparkan ke Pak Presiden dengan lima pendekatan atau lima strategi,” jelasnya.
Ada pun lima strategi yang ia maksud adalah mengurangi pengeluaran, meningkatkan pendapatan, pembangunan kewilayahan, pendampingan desa dan kelembagaan.
Baca juga: Kemendes Percepat Pencairan BLT, Hingga 15 Juli Tersalurkan Rp5,9 Triliun
Lebih lanjut Gus Halim mengatakan, mewujudkan 0 persen kemiskinan ekstrem bukanlah hal yang mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit jika dilakukan secara bersama-sama.
“Nah, ini tentu sangat menguntungkan bapak ibu semua para pimpinan di kabupaten yang menjadi pilot project karena inilah yang pertama kali, kita harus bisa mewujudkan. Bahwa mewujudkan 0 persen kemiskinan ekstrem itu bukan hal yang mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit sebenarnya kalau memang kita bekerja bersama-sama,” ujar Gus Halim.
35 wilayah yang jadi Pilot Project yaitu Provinisi Jawa Barat di Cianjur, Kuningan, Indramayu, Bandung dan Karawang.
Jawa Tengah di Banyumas, Banjarnegara, Pemalang, Kebumen dan Brebes. Jawa Timur di Probolinggo, Bangkalan, Sumenep, Bojonnegoro dan Lamongan.
Provinsi Maluku di Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur, dan Maluku Barat Daya
Provinisi Nusa Tenggara Timur di Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Sumba Tengah dan Manggarai Timur.
Provinsi Papua di Membramio Tengah, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya dan Deiyai.
Sedang di Provinsi Papua Barat dilaksanakan di Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Tambrauw, Maybrat dan Manokwari Selatan.
Beritaneka.com—Pemerintah tengah fokus berupaya mengatasi kemiskinan ekstrem. Menurut data BPS ada 4 persen orang miskin ekstrim dari total penduduk Indonesia atau sekitar 10,86 juta jiwa. Pemerintah targetkan kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024.
Program percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem menyasar penduduk miskin ekstrem di 25 provinsi dan 212 kabupaten/kota di Indonesia. Namun, Presiden meminta Wapres dan para menteri untuk fokus di tujuh provinsi terlebih dahulu, yakni Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Papua, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
“Jadi kemiskinan ekstrem itu sebenarnya ada di 25 provinsi dan berada di 212 kabupaten/kota, tapi arahan Presiden Jokowi, karena yang bertanggungjawab mengkoordinasi ini adalah Wapres, Presiden meminta kepada Wapres dan Menteri-Menteri untuk fokus di 7 provinsi dulu,” ujar Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi, seperti dilansir di web resmi Wapres, Selasa (31/08).
Baca juga: Angka Kemiskinan Ekstrim Masih Besar, Wapres: Perlu Sinergi Semua Pihak
Alasan dipilihnya 7 provinsi tersebut, Masduki menjelaskan bahwa hal ini didasari keterbatasan dana dan ketujuh provinsi tersebut dinilai memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang signifikan. Diibaratkan hujan dengan air yang terbatas, kata Masduki, tentu tidak maksimal membasahi seluruh area yang luas, sehingga perlu fokus di daerah tertentu dahulu agar hasilnya optimal.
“Ibarat hujan menyirami, kalau semua tempat dengan air yang terbatas, maka tidak semuanya akan basah. Maka harus dilakukan focusing. Focusing-nya di 7 provinsi itu, dan memang relatif cukup signifikan kemiskinan ekstrem di daerah itu,” jelasnya.
Dari 7 provinsi yang terpilih tersebut, tutur Masduki, nantinya akan diambil 5 kabupaten/kota dari masing-masing provinsi, sehingga secara total fokus penanganan kemiskinan ekstrem tahun ini akan menyasar 35 kabupaten/kota. Menurutnya pemilihan kabupaten/kota ini didasarkan pada data BPS.
“Jadi nanti setelah tahun ini ada di 7 provinsi, maka berikutnya akan ke provinsi-provinsi yang lain dari 25 provinsi itu, dan itu ditargetkan sampai 2024,” jelasnya.
Konsolidasi Data
Dalam upaya mengatasi kemiskinan ekstrem utamanya di 7 provinsi yang menjadi fokus tahun ini, menurut Masduki, Wapres menekankan pentingnya konsolidasi dan pembaharuan data.
“Yang diminta oleh wapres itu sebenarnya ada konsolidasi data, updating data. Karena banyak sekali data ini masih perlu dikonsolidasi, perlu diupdate. Contoh, sekarang akibat pandemi itu banyak juga orang-orang yang miskin baru, orang yang ditinggal mati suami/istri itu akan (bisa) menjadi miskin, anak-anak apalagi, anak-anak yatim juga makin banyak. Nah ini harus dikonsolidasi,” jelasnya.
Baca juga: Wapres Ma’ruf Amin: Pers Agar Berempati Di Tengah Pandemi
Terkait konsolidasi data ini, kata Masduki, Wapres meminta Menteri Sosial (Mensos) untuk menyempurnakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Menurutnya, DTKS ini bukan data umum dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) atau lembaga survei penduduk, tetapi data yang benar-benar menyasar rumah tangga.
“Ini diminta ke Mensos agar berkoordinasi dengan kementerian-kementerian yang lain, salah satunya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,” ungkapnya.
Beritaneka.com—Komisi XI DPR RI bersama pemerintah menyepakati asumsi dasar makro ekonomi, target pembangunan dan indikator pembangunan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan kali ini lebih tinggi dari Rancangan APBN 2022 sebelumnya yang sebesar 5,0-5,5 persen.
“Kami sepakati besaran pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen,” ungkap Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto, seperti dikutif dari laman resmi DPR, Selasa (31/08)
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Perhatikan Ketersediaan Vaksin di Daerah Luar Jawa
Adapun asumsi lainnya yang diubah adalah tingkat suku bunga SUN 10 tahun menjadi 6,8 persen. Angkanya turun tipis dari target sebelumnya sebesar 6,82 persen. Kemudian, untuk asumsi dasar makro lainnya tetap sama seperti, inflasi sekitar 3 persen dan nilai tukar rupiah Rp14.350 per dolar AS.
Begitu pula dengan target pembangunan, dimana DPR dan pemerintah sepakat dengan angka di dalam RAPBN 2022. Untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,5 persen-6,3 persen, tingkat kemiskinan 8,5 persen-9 persen, rasio gini 0,376-0,378, serta indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 73,41-73,46. Lalu, indikator pembangunan juga tak ada yang berubah. Nilai tukar petani tetap 103-105 dan nilai tukar nelayan 104-106.
Lebih lanjut, poltisi Fraksi Partai Golkar itu membacakan kesimpulan rapat bahwa DPR RI mendorong pemerintah melakukan penguatan penanganan sektor kesehatan sebagai kunci pemulihan ekonomi dan sosial.
Baca juga: PPMK Diperpanjang, DPR Minta Pemerintah Bantu Pelaku UKM
Belanja kementerian/lembaga dinilai dapat memberikan multiplier effect bagi perekonomian rakyat serta pemerintah diminta untuk dapat menjaga daya beli masyarakat dan mengoptimalkan capaian reformasi struktural di beragam sektor.
“Menteri Keuangan juga agar meningkatkan efisiensi biaya hutang sehingga yield SUN dapat mengurangi beban APBN,” terang Dito. Sementara Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan berkoordinasi untuk mengembangkan UMKM, ekonomi dan keuangan syariah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Legislator dapil Jawa Tengah VIII itu melanjutkan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia agar mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang dapat memberikan potensi risiko pada nilai tukar. “Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK diharapkan ara memperkuat bauran kebijakan yang dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional,” pungkasnya.
Beritaneka.com—Pemerintah memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Manusia Muhadjir Effendy mengatakan, SDM unggul memiliki karakter profesional, produktif inovatif, mampu bersaing, serta memiliki keterampilan di era teknologi digital.
“Sesuai dengan prioritas Presiden Joko Widodo, saya berharap agar para peserta Digital Talent Scholarship bisa menjadi motor penggerak, sekaligus sebagai a founder dalam medan digitalisasi di berbagai bidang,” ujar Muhadjir dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/08/2021).
Baca juga: Kominfo Target ASO Tuntas 2 November 2022
Menko PMK menyatakan menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka, Presiden jyga ingin Indonesia memiliki SDM yang siap menghadapi tantangan global dan dengan kehadiran teknologi revolusi industri 4.0 kedepan.
Menurutnya, Program DTS 2021 menjadi salah satu dari sekian banyak intervensi dari pemerintah untuk dalam upaya mewujudkan SDM Indonesia yang unggul, khususnya dalam bidang teknologi digital.
“Kelebihan dari program ini adalah dapat melibatkan peserta yang beragam, yaitu dari angkatan kerja muda, profesional, SDM TIK, aparatur sipil negara sampai pada masyarakat umum,” jelasnya.
Menko Muhadjir Effendy menilai Program DTS Kominfo didesain untuk menciptakan ekosistem yang seimbang dalam memaksimalkan peran pentahelix, yakni pemerintah, pihak swasta, pelaku usaha, dunia pendidikan tinggi, dan kelompok masyarakat madani atau civil society, serta media massa.
“Kelimanya harus betul-betul bisa memerankan diri dengan baik dan dijalin dengan kokoh, saling mengisi dan saling menguatkan agar terjadi simbiosis yang betul-betul produktif, bisa menjadi fasilitator, bisa menjadi akselerator bahkan bisa juga menjadi motivator dari semua lini kehidupan,” tandasnya.
Baca juga: Pembangunan Infrastruktur Digital, Kemkominfo Lengkapi dengan Siberkreasi
Menko PMK mengapresiasi program DTS yang diinisiasi oleh Kementerian Kominfo. Menurutnya, keterampilan yang didapatkan oleh peserta harus dapat dikembangkan secara terus menerus, tidak hanya ketika mengikuti pelatihan, tapi justru yang lebih penting adalah ketika sudah berada di lingkunan kerja dan masyarakat.
“Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, khususnya Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, yang telah menyelenggarakan program Digital Talent Scholarship selama empat tahun terakhir ini,” paparnya.
Beritaneka.com—Kalangan DPR menagih janji Pemerintah (Kemenko PMK dan Kementerian Sosial) yang sejak 1 Juli 2021 telah menyatakan akan segera menyalurkan bantuan sosial di tengah penerapan kebijakan PPKM Darurat. Janji itu mendesak ditagih karena hingga kini banyak sekali warga mengeluhkan belum kunjung menerima bantuan sosial tersebut.
Kebijakan PPKM Darurat sejak 12 Juli 2021 sudah diperpanjang dan diperluas hingga 15 Kabupaten/Kota di luar Jawa-Bali berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 15,16, dan 18 tahun 2021.
Pembatasan pergerakan tersebut membuat rakyat dan dunia kerja serta usaha semakin mengalami kesulitan ekonomi. Pemerintah seharusnya sejak dari awal sudah mengantisipasi dan secepat mungkin melunasi janjinya dengan segera menyalurkan semua bantuan sosial tunai bagi masyarakat terdampak Covid-19. Tentu, dengan tetap memperhatikan verifikasi dan validasi data penerima, agar tak terulang kasus-kasus bermasalah sebelumnya, termasuk bansos yang dikorupsi.
“Harusnya pemerintah benar-benar antisipatif dan melaksanakan kewajiban konstitusionalnya yaitu segera melindungi seluruh Rakyat Indonesia dari korona, kelaparan, dan dampak sosial ekonomi dari diberlakukannya PPKM Darurat itu. Perlindungan tersebut harusnya dilaksanakan sejak awal diberlakukannya PPKM Darurat, dengan tepat jumlah dan tepat sasaran sesuai verifikasi dan vaktualisasi DTKS, agar jangan terus tertunda akibat birokrasi di Kemensos, juga jangan sampai terulang kasus Bansos sebelumnya yang tidak tepat sasaran maupun yang dikorupsi,” ujar Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dalam keterangannya ke wartawan di Jakarta.
Baca juga: Saling Lempar Tanggung Jawab, PKS Minta Presiden Turun Tangan Hentikan Masuknya TKA Asing
Hidayat yang merupakan Anggota DPR-RI Komisi VIII sebagai mitra Kemensos ini mengkritisi kinerja Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam kepedulian terhadap kelanjutan program Bansos Tunai yang sangat diperlukan Warga dan aman dari korupsi.
Pasalnya, sejak awal perpanjangan bansos tunai, Risma selalu berkilah soal ketiadaan anggaran, sekalipun Kementerian Keuangan berulang kali menyatakan bahwa anggaran tersebut tersedia tinggal menunggu surat pengajuan penerima dari Kemensos.
Kinerja Kemensos salurkan bantuan tunai di era PPKM darurat juga lamban. Pada Rabu (14/7/2021) di mana PPKM sudah berjalan 11 hari, PT Pos sebagai agen penyalur bansos baru menerima surat perintah bayar dari Kemensos, itu pun hanya untuk 2 juta penerima dari total 10 juta penerima bansos tunai.
Masalah akurasi data dan kelambanan pelaksanaan Bantuan Tunai ini juga diperparah dengan tidak segera dilibatkannya Komisi VIII DPR-RI dalam membahas dan memutuskan verifikasi dan validasi data bansos PPKM Darurat, sehingga dirinya mempertanyakan kebenaran dan kevalidan dari data penerima yang dipergunakan oleh Kementerian Sosial saat ini.
Sebab, pada rapat kerja terakhir Komisi VIII dengan Kemensos soal verivali data (24/5/2021), Komisi VIII masih mempertanyakan dan meminta Kemensos memperbaiki data penerima bantuan sosial, dan hingga masa sidang berakhir pada 15/07/2021, verifikasi dan validasi data DTKS belum pernah diputuskan bersama antara Mensos dan Komisi VIII DPR.
Padahal sebelumnya Mensos Risma secara sepihak sudah mendelete(menidurkan) 21 juta DTKS yg diklaim bermasalah oleh Kemensos.
“Alih-alih bersinergi dengan Komisi VIII DPR-RI untuk membahas verivali data sehingga bansos PPKM Darurat bisa lebih tepat sasaran, dan bisa menjauhkan dari bansos dikorupsi, Menteri Risma malah menghadirkan kegaduhan publik, dengan marah-marah di depan umum yang membawa-bawa Papua sehingga membuat marah warga Papua. Mensos harusnya di era covid-19 seperti sekarang ini makin menenteramkan semua WNI, tidak malah membuat pernyataan yang dinilai mengandung rasisme sehingga membuat gerah warga Papua.
Karenanya segera minta maaf dan menarik pernyataan sangat lah dianjurkan, kemudian fokus segera percepat dan perluas penyaluran bansos dengan data-data yang benar-benar valid, sebelum PPKM Darurat berakhir!,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menjelaskan, kelambanan Risma dalam penyaluran Bansos membuat semakin banyak warga terdampak Covid-19 tidak bisa tinggal di rumah, sehingga menyebabkan lonjakan signifikan paparan virus Covid-19.
Sejak awal PPKM Darurat diberlakukan pada 3 Juli 2021, penambahan kasus baru harian Covid-19 justru terus mengalami peningkatan dari 34.379 hingga kini mencapai 47.889 per hari.
Baca juga: KPK Dilemahkan, PKS: Berdampak Buruk Terhadap Investasi
Di saat yang sama, berdasarkan keterangan Bank Indonesia (14/07/2021), aktivitas bisnis turun hingga setengah dari kuartal sebelumnya akibat penerapan PPKM Darurat.
Kondisi ini menyebabkan rakyat tidak hanya terpapar oleh virus Covid-19, tapi juga terpapar oleh ancaman kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan yang tentu mengurangi imun dan daya tahan tubuh di tengah situasi pandemi, sehingga dapat meningkatkan risiko kematian.
Hidayat mendesak Risma untuk segera melengkapi surat perintah bayar bagi seluruh penerima bansos tunai PPKM Darurat, sehingga para warga yang terdampak sosial-ekonomi bisa kembali bertahan atasi dampak buruk Covid-19.
“Saat ini banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian masih terpaksa keluar mencari nafkah, dikarenakan tidak kunjung cairnya bansos dari Pemerintah. Mensos harusnya peka dan peduli akan hal ini, dengan segera mencairkan bansos tunai, bahkan lebih baik lagi jika perjuangkan perluasan penerima bansos akibat semakin banyaknya WNI terdampak covid-19, apalagi dengan diberlakukannya keputusan Pemerintah yang memperpanjang dan memperluas wilayah yang diberlakukan PPKM Darurat,” pungkasnya.
Oleh: Rosidin, Mahasiswa S2 Program Pascasarjana Mikom, Universitas Mercu Buana Jakarta
Beritaneka.com—Kebijakan pemerintah memberlakukan larangan mudik jelang Idul Fitri 1442 Hijriah menjadi pro-kontra di kalangan publik. Hal ini disebabkan di awal memberlakukan kebijakan, antara pemerintah sendiri tidak satu suara. Seperti pernyataan Menteri Perhubungan mengeluarkan pernyataan pemerintah tidak akan melarang masyarakat untuk mudik pada Lebaran 2021. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik, mulai dari tanggal 6-17 Mei 2021.
Sikap pemerintah yang tidak jelas dan tidak konsisten memberikan respon negatif bagi masyarakat. Upaya persuasif yang diambil pemerintah agar masyarakat patuh menjalankan pelarangan mudik sepertinya dihiraukan publik. Bahkan, di tengah-tengah masyarakat muncul polemik. Ada yang patuh, disisi lain tetap saja berupaya mudik walaupun dengan resiko dihadang aparat di tengah jalan.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Padahal pemerintah membelakukan larangan mudik itu merupakan langkah persuasif untuk mencegah penularan Covid 19. Upaya agar tidak menimbulkan cluster baru atau menambah korban penularan Covid-19 yang telah menelan korban begitu banyak. Virus ini memang luar biasa dan dahsyatnya telah merusak sendi-sendi kehidupan ummat manusia di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Virus ini jika dirinci telah menimbulkan berbagai efek negatif. Diantaranya, menghentikan perekonomian dunia, menghentikan dunia penerbangan, menghentikan beberapa perusahaan bahkan sekelas negara adidaya pun yang memiliki persenjataan yang canggih tidak mampu melawan virus yang misteri itu. Tentu, kita sebagai bangsa tidak mau mengalami seperti kejadian yang melanda India kini. Setiap hari ratusan orang meninggal diakibatkan oleh virus C19 ini.
Menurut Anderson, pakar kebijakan publik, konsep kebijakan publik. mempunyai beberapa implikasi, yakni. Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi kepada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat didalam sistem politik.
Baca juga: BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri
Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah antar lembaga ada komunikasi yang baik dalam merumuskan kebijakan pelarangan mudik sehingga ketika kebijakan itu keluar ke publik, pemerintah satu suara.
Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait seperti aparat hukum dalam kebijakan pelarangan mudik merupakan keniscayaan. Kerjasama yang bai, tegas dan konsisten dari pembuat kebijakan akan berdampak positif dalam pelaksanaannya. Masyarakat juga lebih mudah di persuasi agar dengan kesadaran tinggi menjalankan kebijakan publik yang diambil.
Semoga Indonesia cepat keluar dari persoalan CoVid-19. Semoga
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director – Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Utang pemerintah naik pesat beberapa tahun belakangan ini. Baik utang dalam nilai nominal maupun dalam persentase PDB (Produk domestik Bruto), keduanya naik pesat. Utang nominal naik Rp2.175,9 triliun selama periode 2015-2019. Pada 2020, utang nominal naik lagi Rp1.289,9 triliun dalam satu tahun.
Kenaikan ini jauh lebih tinggi dari kenaikan periode-periode sebelumnya. Periode 2005-2009 utang pemerintah hanya naik Rp292,7 triliun dan periode 2010-2014 hanya naik Rp1.018,1 triliun.
Tentu saja simpatisan pemerintah tidak tinggal diam. Ada yang mengatakan simpatisan sekarang ini menjelma menjadi buzzeRp. Bahkan menyerang balik. Membandingkan kenaikan utang nominal antar periode kurang relevan, katanya.
Karena ekonomi bertumbuh dan menjadi lebih besar dalam perjalanan waktu. Sehingga utang nominal untuk membiayai defisit anggaran juga semakin besar. Itu normal. Yang penting adalah rasio utang terhadap PDB. Tambahnya.
Baik, kita lihat rasio utang terhadap PDB. Ternyata naik tajam juga. Rasio utang terhadap PDB naik dari 24,7 persen pada akhir 2014 menjadi 30,2 persen pada akhir 2019. Dan kemudian melonjak menjadi 39,4 persen pada 2020. Diperkirakan rasio ini akan melonjak lagi menjadi 47 persen pada akhir tahun 2021 ini.
Padahal, rasio utang pada periode sebelumnya turun secara maraton. Dari 56,4 persen pada akhir 2004 menjadi 28,3 persen pada akhir 2009, dan menjadi 24,7 persen pada akhir 2014. Padahal, ekonomi pada periode tersebut juga naik tinggi, tapi rasio utang terhadap PDB turun. Jadi alasan para simpatisan aka buzzeRp tidak terbukti.
Tentu saja para simpatisan mempunyai jawaban. Meskipun rasio utang terhadap PDB naik tapi masih dalam batas aman, kilahnya. Masih jauh di bawah 60 persen, sesuai yang dibolehkan UU.
Menurut simpatisan dan pemerintah, batas aman utang pemerintah cukup dilihat dari satu variabel saja. Yaitu rasio utang terhadap PDB di bawah 60 persen. Padahal rasio utang adalah satu hal yang tidak berdiri sendiri. Tidak mempunyai makna kalau dilihat secara terisolasi. Tidak mempunyai arti apa-apa. Hanya sebuah rasio.
Misalnya, rasio utang pemerintah Jepang mencapai 260 persen. Jauh di atas ‘batas aman’ 60 persen. Tapi masih tetap aman saja. Sedangkan rasio utang pemerintah Argentina sekitar 50 persen pada awal 2018, tetapi tidak aman. Harus minta bantuan IMF. Kasus Turki lebih fenomenal. Rasio utang pemerintah Turki hanya sekitar 28 persen dari PDB pada awal 2018. Tetapi terjadi krisis pada pertengahan 2018. Mata uang Peso Argentina dan Lira Turki terdepresiasi tajam. Suku bunga melonjak. Ekonomi jatuh.
Oleh karena itu, utang pemerintah tidak bisa dilihat terisolasi. Yang terpenting adalah bagaimana kemampuan pemerintah membayar utang, atau khususnya membayar bunga utang tersebut. Artinya, berapa besar pendapatan pemerintah harus disisihkan untuk membayar bunga? Istilah teknisnya, berapa besar rasio (beban) bunga terhadap pendapatan pemerintah.
Semakin besar rasio bunga terhadap pendapatan negara maka semakin bahaya. Karena porsi untuk belanja negara semakin kecil. Untuk mempertahankan level belanja negara, maka pemerintah harus berutang lebih besar lagi. Ini yang terjadi sejak 2014.
Rasio lain yang penting adalah berapa besar (rasio) pendapatan pajak dibandingkan dengan PDB. Tentu saja semakin besar rasio ini semakin baik. Berarti setiap pertumbuhan PDB menyumbang ke kas negara semakin besar.
Tetapi, kedua rasio ini sayangnya semakin memprihatinkan. Rasio pendapatan pajak terhadap PDB turun tajam. Rasio tertinggi 13,3 persen pada 2008. Turun tajam menjadi 9,8 persen pada 2019. Dan anjlok menjadi 8,3 persen pada 2020. Tax amnesty yang dipropagandakan bisa membuat tax ratio naik menjadi 14,6 persen pada 2019 hanya isapan jempol saja. Tax amnesty gagal total. Hanya berfungsi sebagai ‘legalized money laundering’. Artinya, uang gelap menjadi terang, direstui negara.
Rasio pendapatan negara terhadap PDB anjlok lebih parah. Dari 19,8 persen pada 2008 menjadi hanya 10,6 persen pada 2020, turun hampir setengahnya. Pendapatan negara adalah pendapatan perpajakan ditambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Artinya, PNBP juga turun tajam.
Di lain sisi, rasio bunga terhadap penerimaan pajak naik terus, dari 11,6 persen pada 2014 menjadi 17,8 persen pada 2019, dan melonjak menjadi 24,5 persen pada 2020. Lebih tinggi dari 2004. Sebelumnya, rasio beban bunga terhadap PDB turun tajam dari 22,3 persen pada 2004 menjadi 10,3 persen pada 2012.
Kedua rasio terakhir ini mencerminkan utang pemerintah dalam kondisi bahaya. Penerimaan negara hanya 10,6 persen dari PDB. Sekitar 20 persen dari jumlah tersebut untuk bayar bunga. Berarti hanya tersisa 8 persen untuk belanja negara. Sedangkan belanja negara, di luar bunga, pada tahun-tahun sebelumnya antara 14 persen sampai 17 persen.
Untuk mempertahankan tingkat belanja negara ini, defisit anggaran diperkirakan mencapai 6 persen sampai 8 persen. Fiskal Indonesia tidak sanggup menanggung beban defisit sebesar itu. Artinya, krisis fiskal menanti. Artinya, utang pemerintah sudah terobos lampu merah. Tinggal menunggu nasib. Apakah ada kendaraan yang nyelonong dari arah lainnya yang bisa menyebabkan crash.